Kementrian Lembaga: MK

  • Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD) DPR RI masih belum ideal.
    Dari total 580 anggota parlemen, hanya 127 di antaranya perempuan, tepatnya setara 21,9 persen.
    Angka itu masih terpaut cukup lebar dari ketentuan baru yang ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi Nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa minimal keterwakilan perempuan dalam seluruh AKD harus mencapai 30 persen.
    Mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), hingga Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), BKSAP, MKD, dan BURT.
    Pada akhirnya, putusan ini menjadi penegasan kembali komitmen terhadap politik hukum kesetaraan gender di parlemen.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Terpisah, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa putusan sudah sesuai dengan jumlah yang ada saat ini.
    “Jadi total sekarang kan 127 anggota perempuan dari total 580 anggota. Menurut saya ini menjadi penting, tidak dimaknai untuk bagaimana ini sekadar jumlah. Tapi, bagaimana partai itu betul-betul memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya,”
    “Pendidikan politik yang komprehensif dan mempersiapkan dari mulai sekolah partainya untuk merencanakan perwakilan perempuan itu memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya di bidang itu,” tambah dia.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.
    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Adapun dalam perbaikan bagian posita dan petitum, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Diantaranya, perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    “Oleh karena itu menurut saya bahwa penting kiranya kerja politik, karena yang di parlemen itu kan perpanjangan partai sebetulnya, bukan person. Tapi dia institusi kepartaian sehingga itu saja ini harapan saya bisa memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” lanjut Rieke.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen.
    Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    “Kemajuan yang patut diapresiasi, walau masih jauh dari target ideal minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia,” lanjut Puan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, ada hambatan utama yang menyebabkan keterwakilan perempuan dalam AKD tak sampai 30 persen.
    “Hambatan utama keterwakilan perempuan di AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin,” kata Titi.
    Dia bilang, hal ini diperparah dengan aturan dalam perekrutan partai dan negosiasi politik di parlemen.
    Ditambah lagi, posisi strategis sering didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, dan bukan prinsip kesetaraan gender.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Di sisi lain, Titi melihat adanya pandangan bias gender dalam partai, yang menilai bahwa isu perempuan bukan prioritas utama. Ditambah lagi, anggota legislatif perempuan yang kebanyakan tidak mendapatkan dukungan dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    Titi menilai dalam upaya mendorong jumlah perempuan dalam AKD, pendidikan politik dalam kaderisasi partai dinilai penting. Pelatihan kepemimpinan dinilai mampu meningkatkan kapasitas dan jaringan politik perempuan dalam partai.

    “Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” lanjut Titi.
    Rieke menambahkan, pada dasarnya mempersiapkan kader-kader perempuan yang siap untuk menjadi calon legislatif bukanlah perkara yang mudah. Dia bilang, kaderisasi parpol terhadap anggota perempuan perlu dilakukan.
    “Memang tidak mudah untuk dari mulai keterpilihan proses dari pencalonan, penjaringan, penyaringan, kemudian penetapan sebagai calon di elektoral. Oleh karena itu menurut saya bahwa penting memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” kata Rieke.
    Rieke juga menilai, pendidikan politik yang komprehensif dapat mempersiapkan kader politik yang tidak hanya mampu bertugas di DPR, dan memiliki kemampuan pilitik yang memumpuni.
    “Partai (perlu) merencanakan perwakilan perempuan itu yang memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan, dipersiapkan untuk menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya,” lanjut dia.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul sekaligus mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M. Jamiluddin Ritonga menegaskan bahwa ke depannya setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg.
    “Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD. Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan,” kata Jamiluddin.
    “Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” lanjut Jamiluddin.
    Dia menegaskan bahwa partai adalah merupakan awal atau cikal – bakal kader politik perempuan tumbuh, memiliku kualitas untuk ditempatkan sebagai wakil rakyat di parlemen.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?

    Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?

    Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar agar setiap pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) memuat keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Pemenuhan angka atau memang mampu menghadirkan anggota DPR berkualitas?
    Alat Kelengkapan Dewan atau AKD terdiri dari komisi-komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
    Putusan MK itu diketok di sidang akhir uji materi untuk perkara nomor 169/PUU-XXII/2024, pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, terdapat perbaikan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Pada perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada
    Kompas.com
    , Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Senada, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka juga menyambut baik putusan MK terkait keterwakilan perempuan dalam AKD.
    “Saya mengapresiasi dan menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi terkait keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD),” ujar Rieke.
    Menurutnya, keputusan MK ini akan berdampak langsung pada penguatan partai politik dalam menyiapkan kader perempuan yang lebih siap dan berdaya saing.
    “Dan tentu saja ini berimplikasi pada bagaimana partai politik menyiapkan kader-kader perempuannya, semakin diperkuat begitu,” ujar dia.
    “Bukan hanya keterwakilan secara kuantitatif, tapi putusan MK ini juga penting dimaknai harus berimbas pada keterwakilan perempuan secara kualitatif,” tambah dia.
    Namun demikian, pemenuhan perempuan dalam AKD masih mengalami tantangan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Menurut Rieke hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Titi menambahkan, ada pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama.
    Sehingga anggota legislatif perempuan minim dukugan struktural dan politik dari partainya.
    “Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    “Minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” tegas Titi.
    Sebagai anggota DPR dari kaum perempuan, Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.

    Sementara itu, Titi Anggraini menilai putusan MK yang mewajibkan keterwakilan perempuan di pimpinan AKD minimal 30 persen dan persebaran anggota legislatif perempuan di keanggotaan AKD secara proporsional adalah langkah konstitusional yang sangat progresif untuk memperbaiki ketimpangan tersebut.
    “Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal transformasi budaya politik agar parlemen menjadi ruang yang lebih inklusif dan representatif,” jelas Titi.
    “Tantangannya ke depan adalah memastikan implementasinya berjalan konsisten di semua lembaga perwakilan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Baik untuk DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, maupun MPR,” tegasnya.
    Berbicara soal kuantitas, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul yang juga mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M Jamiluddin Ritonga mengatakan pembagian porsi anggota legislatif bisa sesuai dengan amanat MK. Namun tentu hal itu harus merujuk pada jumlah legislator perempuan.
    “Secara kuantitas bila jumlah legislator perempuan dapat dibagi habis minimal 30 persen untuk setiap AKD DPR RI. Namun bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka Keputusan MK tersebut dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan,” ungkapnya.
    “Sebab, jumlah legislator perempuan tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” ungkap dia.
    Hal yang sama juga berlaku dari sisi kualitas. Jamiluddin menegaskan, bila kualitas (kompetensi) legislator perempuan mencerminkan semua AKD DPR RI, maka akan mudah mendistribusikan minimal 30 persen legislator perempuan ke setiap AKD.
    “Sebaliknya, bila kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen kiranya hanya pemaksaan. Sebab, akan banyak legislator perempuan ditempatkan di AKD yang tak sesuai kompetensinya,” kata dia.
    “Kalau hal itu terjadi, akan membuat legislatir perempuan tidak produktif. Setidaknya akan sulit bagi legislator perempuan untuk melaksanakan fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi secara maksimal,” tambahnya.
    Dia menegaskan bahwa Keputusan MK sangat baik untuk kesetaraan gender, namun tidak mudah untuk diimplementasikan.
    Karena itu, DPR harus mampu mensiasati Keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya.
    “Legislatif perempuan juga nyaman ditempatkan di AKD tertentu karena sesuai dengan kompetensinya,” ujar dia.
    Saat ini, tercatat ada 127 anggota perempuan dari total 580 anggota DPR RI, atau sekitar 21,97 persen. Rieke berharap, keberadaan perempuan tidak hanya sebatas angka, tetapi juga diikuti peningkatan kapasitas dan peran substantif di berbagai komisi.
    “Menurut saya ini penting tidak dimaknai sekadar jumlah. Partai harus memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya melalui pendidikan politik yang komprehensif,” tegas Rieke.
    Untuk memastikan keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif, Jamiluddin mengimbau agar partai mampu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg. Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD.
    “Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan. Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” ungkap Jamiluddin.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegasnya.
    Senada, Rieke juga menilai bahwa perempuan yang duduk di parlemen, baik di komisi ekonomi, sosial, maupun hukum, harus memahami konteks peran legislatif dalam sistem presidensial Indonesia.
    “Sehingga ketika seseorang ditempatkan, baik laki-laki maupun perempuan, dia sudah mengerti apa tugas dan kewajibannya sebagai wakil rakyat. Tidak bisa ini hanya dimaknai persoalan jenis kelamin perempuan harus ada di setiap komisi,” tegasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Respons putusan MK, Saleh Daulay: PAN beri ruang perempuan di AKD DPR

    Respons putusan MK, Saleh Daulay: PAN beri ruang perempuan di AKD DPR

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay mengatakan partainya selalu memberikan ruang bagi perempuan untuk menempati posisi strategis di alat kelengkapan dewan (AKD) DPR RI.

    Saleh menyampaikan hal itu merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 169/PUU-XXII/2024 yang mengharuskan komposisi anggota maupun pimpinan AKD mengakomodasi keterwakilan perempuan.

    “Di pimpinan fraksi PAN, ketua dan bendahara kami adalah perempuan, [yakni] Putri Zulkifli Hasan dan Widya Pratiwi. Keduanya sangat kompeten. Sejauh ini, seluruh urusan fraksi dikerjakan dengan baik,” kata dia dalam keterangan diterima di Jakarta, Senin.

    Putri Zulkifli Hasan juga duduk sebagai Wakil Ketua Komisi XII yang mengurusi bidang energi dan sumber daya mineral. Selain itu, imbuh dia, kader PAN lainnya, Desy Ratnasari, dipercaya sebagai Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).

    “Dan banyak anggota perempuan fraksi PAN yang dipercaya menjadi kapoksi (ketua kelompok fraksi) di berbagai komisi,” ujar Saleh Daulay.

    “Sejauh ini, para srikandi PAN tersebut bekerja dengan baik. Mereka selalu memberikan laporan yang sangat baik kepada fraksi secara reguler. Bahkan, dalam beberapa isu tertentu, mereka justru menginisiasi program khusus dalam menunjang komisi dan kerja-kerja pemerintah,” sambung dia.

    Dia mengatakan fraksi PAN setuju dengan putusan MK tersebut. Ia berharap seluruh fraksi di DPR akan melaksanakan putusan yang bersifat final dan mengikat itu, sekaligus berlomba menjaring calon anggota legislatif (aleg) perempuan yang berkualitas.

    “Selain jumlahnya, partai-partai juga harus memikirkan agar para aleg perempuannya bisa menjadi pimpinan di AKD dimulai dari rekrutmen, pelatihan, pembinaan, dan penempatan. Semua proses itu harus benar-benar dilaksanakan secara baik agar kualitas dan hasil kerja DPR semakin bagus dan berorientasi bagi kesejahteraan rakyat,” katanya.

    Sejalan dengan pertimbangan hukum MK, Saleh mengatakan partai harus memikirkan agar perempuan diberi kesempatan untuk menjadi pimpinan di fraksi masing-masing. Hal ini mengingat keputusan penting dan strategis dibicarakan lintas pimpinan fraksi.

    “Kalau perempuan yang memimpin, otomatis seluruh kepentingan dan kebijakan yang diambil akan berorientasi pada gender dan pemberdayaan perempuan. Ini tidak mudah, tetapi harus dilaksanakan. Fraksi PAN dengan senang hati telah memulainya,” ujar dia.

    Di samping itu, dia mengatakan perempuan turut memiliki kepentingan di berbagai komisi. Oleh sebab itu, ia mendorong semua fraksi memperhatikan keterwakilan perempuan di semua komisi, sebagaimana yang diamanatkan MK.

    “Perlu dipertegas bahwa dimana pun dan kapan pun, perempuan harus mendapat tempat yang baik dan terhormat. Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Bahkan, sangat banyak perempuan yang secara kualitas di atas laki-laki,” kata Saleh yang juga Ketua Komisi VII DPR RI.

    Sebelumnya, Kamis (30/10), MK mengabulkan pengujian undang-undang yang dimohonkan oleh Perkumpulan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan pakar kepemiluan Titi Anggraini.

    MK memutuskan komposisi anggota maupun pimpinan alat kelengkapan dewan atau AKD di DPR RI harus mengakomodasi keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan di tiap-tiap fraksi.

    AKD itu meliputi Badan Musyawarah (Bamus), komisi, Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan panitia khusus (pansus).

    Dalam hal ini, MK memberi pemaknaan baru terhadap Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 114 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), Pasal 151 ayat (2), dan Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) serta Pasal 427E ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PKS Hormati Putusan MK soal Wajibkan Ada Perempuan Pimpin Tiap AKD DPR

    PKS Hormati Putusan MK soal Wajibkan Ada Perempuan Pimpin Tiap AKD DPR

    Jakarta

    PKS menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan keterwakilan perempuan dalam pembentukan dan pimpinan alat kelengkapan Dewan (AKD) DPR. Presiden PKS Almuzammil Yusuf mengatakan putusan MK adalah mutlak.

    “Ini putusan MK yang kapan? Kemarin? Baru? Terbaru? Ya. Memang begini ya, ini putusan MK ini secara konstitusional, itu final and binding. Itu yang mau tidak, mau senang tidak senang, itu final and binding,” ujar Muzammil kepada wartawan, Minggu (2/11/2025).

    Dia mengatakan PKS berdiri pada posisi terikat dengan konstitusi. PKS menghormati putusan itu sebagai hal yang mutlak.

    “Sehingga kalau anda tanya, apa posisi kita? Posisi terikat dengan konstitusi. Kita perlu menghormati itu. Apa penyikapan dari pimpinan DPR, nanti kita dengar. Tapi kalau PKS, senang tidak senang, putusan MK karena dia di konstitusi, disebut final and binding, kita menghormatinya,” jelasnya.

    Menurutnya, apabila ada wacana publik mengenai putusan itu merupakan hal yang biasa terhadap negara demokrasi. “Bahwa ada wacana publik, ada berbagai pendapat, itu biasa di demokrasi kita. Saya kira itu posisi kita,” tutupnya.

    “Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon IV untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan perkara nomor 169/PUU-XXII/2024 dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis (30/10).

    (azh/azh)

  • Mahfud MD Didorong Pimpin Tim Independen Usut Dugaan Korupsi Whoosh

    Mahfud MD Didorong Pimpin Tim Independen Usut Dugaan Korupsi Whoosh

    GELORA.CO -Presiden Prabowo Subianto diminta untuk membentuk tim independen dengan menunjuk mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD untuk memimpin tim yang bertujuan mengusut dugaan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh era Joko Widodo alias Jokowi.

    Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyelidiki proyek Whoosh sejak awal 2025. Namun sampai saat ini, KPK tidak mengumumkan apa saja yang sudah dilakukan dalam mengusut proyek tersebut.

    “KPK lamban dan melempem dalam mengusut kasus Whoosh tersebut, sedangkan publik mendesak agar KPK menetapkan Jokowi dan Luhut tersangka sebagai penanggung jawab utama proyek tersebut, karena bagi publik kasus ini mudah dibaca dan mudah ditelusuri,” kata Muslim kepada RMOL, Minggu, 2 November 2025.

    Namun, Muslim melihat bahwa, pimpinan KPK yang ditunjuk Jokowi tersandera akibat utang budi. Akibatnya, KPK seperti dirudung ketakutan kalau harus mengusut kasus Whoosh secara transparan, profesional dan penuh kejujuran.

    “Diperlukan tim independen untuk mengusut kasus tersebut. Karena dugaan mark up tiga kali lipat dari biaya yang dikeluarkan untuk proyek kereta cepat itu sangat terang benderang. Di bandingkan dengan Arab Saudi yang bangun proyek kereta cepatnya dengan jarak 1.500 Km, biayanya Rp112 triliun. Kereta Cepat Jakarta-Bandung dengan jarak 142 Km biayanya hampir mencapai Rp120 triliun,” jelas Muslim.

    Dengan perbandingan yang sederhana saja kata Muslim, publik mengetahui proyek Whoosh di mark up gila-gilaan. Bahkan menurut Prof Anthony Budiawan kata Muslim, kerugian Whoosh mencapai Rp73,5 triliun.

    “Dengan lambannya dan kagoknya KPK usut Whoosh secara cepat dan transparan, maka diperlukan tim independen untuk selamatkan keuangan negara segera dibentuk. Tim ini segera saja dipimpin oleh Mahfud MD sebagai mantan Hakim MK untuk ngebut mengusut tuntas kasus tersebut,” tutur Muslim.

    Untuk itu kata Muslim, Presiden Prabowo harus segera mengeluarkan Keppres untuk bagi Mahfud MD dkk untuk segera bekerja mengusut kasus tersebut.

    “Dan untuk sementara ide untuk Whoosh Jakarta-Surabaya nggak perlu dipikirkan dulu. Whoosh yang sekarang saja bermasalah dan larut-larut penyelesaiannya. Kok mau bikin lagi masalah baru untuk Whoosh Jakarta-Surabaya. Ditunggu gebrakan Prabowo dan Mahfud MD untuk selamatkan keuangan negara dan invasi terselubung rezim PKC-Xi Jinping,” pungkas Muslim.

  • Kompleks DPR-MA di IKN Dibangun November, Anggarannya Rp 11,6 T

    Kompleks DPR-MA di IKN Dibangun November, Anggarannya Rp 11,6 T

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto telah berkomitmen untuk melanjutkan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dan menjadikannya Ibu Kota Politik 2028. Selaras dengan itu, infrastruktur legislatif dan yudikatif akan mulai dibangun dalam waktu dekat.

    Komitmen kelanjutan IKN ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025 yang mengatur arah pembangunan nasional, termasuk percepatan pembangunan IKN.

    Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, mengatakan pembangunan fisik tahap kedua difokuskan pada Kawasan Legislatif dan Yudikatif. Tanda tangan kontrak hasil lelang pembangunan dijadwalkan berlangsung pada akhir Oktober hingga November 2025.

    “Pasca Perpres 79, pembangunan fisik maupun non-fisik di IKN akan semakin masif. Saat ini, sekitar 7.000 pekerja konstruksi tinggal di Hunian Pekerja Konstruksi (HPK). Pada tahap kedua, jumlah pekerja diperkirakan mencapai 20.000 orang untuk mempercepat pembangunan IKN,” kata Basuki dalam keterangan tertulis, Sabtu (1/11/2025).

    Basuki menjelaskan, kompleks perkantoran legislatif akan dibangun di lahan seluas 42 hektare (ha) dengan anggaran Rp 8,5 triliun untuk periode pembangunan 2025-2027. Pembangunan tersebut mencakup Gedung Sidang Paripurna, Plaza Demokrasi, Serambi Musyawarah, Museum, dan gedung kerja lainnya.

    Sementara kompleks yudikatif akan memiliki luas 15 ha dengan anggaran Rp 3,1 triliun. Di sana, akan dibangun gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Mahkamah Agung (MA).

    Secara keseluruhan, anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan kedua kawasan ini mencapai Rp 11,6 triliun. Proses pembangunan kedua kompleks diperkirakan memakan waktu 25 bulan dimulai pada November 2025.

    Plaza Yudikatif Foto: Dok. Otorita IKN

    Masjid hingga Basilika Rampung 2025

    Selain gedung perkantoran, pembangunan prioritas lainnya termasuk penataan Pasar Sepaku, Masjid Negara, dan Basilika ditargetkan selesai dan beroperasi akhir 2025. Fasilitas pendukung lainnya, seperti konektivitas jalan di KIPP Sub-WP 1B dan 1C, hunian, pasar, dan fasilitas pendidikan, juga tengah dipersiapkan untuk mendukung relokasi ASN ke Nusantara.

    Sebagai pendukung infrastruktur fisik, Otorita IKN juga memastikan bahwa sumber air baku di IKN bisa memenuhi kebutuhan ASN yang akan pindah ke IKN. Hal ini melalui Bendungan Sepaku Semoi dengan luas 800-900 Ha dengan kapasitas tampungan 16 juta meter kubik dan mampu menyediakan air baku 2.500 liter/detik.

    Dari ketersediaan air baku, 1.500 liter/detik akan dialirkan ke IKN dan 1.000 liter/detik dialirkan ke Balikpapan. Selain bendungan, juga telah disiapkan Intake Sepaku dengan instalasi pengolahan air dengan kapasitas 300 liter/detik. Adapun air yang mengalir IKN merupakan air yang dapat diminum.

    Pemerintahan Daerah Khusus (Pemdasus)

    Lebih lanjut, dalam rangka persiapan menuju Pemerintahan Daerah Khusus (Pemdasus), Otorita IKN menggandeng Jimly School of Law and Government (UGM) untuk merancang regulasi dan struktur Pemdasus secara komprehensif.

    Dengan dimulainya tahap persiapan pembangunan Kawasan Legislatif dan Yudikatif, IKN semakin memperkuat fondasinya sebagai pusat pemerintahan modern, inklusif, dan berkelanjutan.

    Halaman 2 dari 2

    (shc/ara)

  • Bamsoet Apresiasi Upaya Pemerintah Menjaga Efisiensi dan Transparansi

    Bamsoet Apresiasi Upaya Pemerintah Menjaga Efisiensi dan Transparansi

    Jakarta

    Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo menilai arah politik hukum Presiden Prabowo sudah tepat karena mampu menyeimbangkan efisiensi, antikorupsi, dan demokrasi. Ia mengingatkan agar kebijakan berani pemerintah dijalankan secara akuntabel agar hukum tidak disalahgunakan sebagai legitimasi kekuasaan.

    Prabowo mengambil sejumlah langkah berani seperti restrukturisasi BUMN, pemangkasan belanja negara Rp306,7 triliun, serta penindakan tegas terhadap korupsi dan pengusaha nakal. Kebijakan ini dinilai bisa menjadi terobosan besar jika dijalankan dengan akuntabilitas dan transparansi. Namun, tanpa pengawasan yang kuat, upaya tersebut berisiko menjadikan hukum sekadar alat pembenaran penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

    “Keberanian Presiden Prabowo mengambil keputusan besar tersebut perlu diapresiasi. Karena telah membawa perubahan besar dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Kita juga harus punya tekad yang sama dengan Presiden Prabowo, agar hukum tidak boleh diterapkan secara tebang pilih,” kata Bamsoet dalam keterangan tertulis, Sabtu (1/11/2025).

    Dalam kuliah umum di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur itu, Bamsoet juga meminta aparat penegak hukum seperti jaksa, polisi, dan hakim agar bertindak dengan nurani dan menghindari praktik yang merugikan masyarakat kecil.

    Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III ini menyoroti kebijakan pemangkasan belanja pemerintah sebagai langkah efisiensi besar. Ia merujuk pada pengurangan anggaran operasional kementerian/lembaga sekitar delapan persen dari total belanja nasional 2025.

    Transformasi politik hukum juga tercermin dari restrukturisasi BUMN. Pemerintah mengganti peran Kementerian BUMN dengan Badan Pengatur BUMN yang bertugas mempercepat reformasi dan membuka lebih luas akses investasi.

    “Perubahan besar seperti ini harus diimbangi penguatan lembaga pengawas. Kalau pemerintah ingin BUMN jadi lokomotif pembangunan, pastikan tata kelolanya bisa diawasi. Jangan sampai efisiensi dijadikan alasan untuk menutup ruang transparansi. Negara ini sudah terlalu sering kehilangan uang rakyat karena pengawasan yang lemah,” katanya.

    “Ketika putusan MK tidak dijalankan secara konsisten, itu artinya supremasi hukum dipinggirkan oleh kompromi politik. Sikap pemerintah dan DPR terhadap putusan MK akan menjadi barometer sejauh mana supremasi hukum benar-benar dihormati,” jelas Bamsoet.

    Bamsoet menegaskan politik hukum harus memperkuat kontrol publik, bukan membatasinya. Ia menilai setiap perubahan hukum besar perlu melibatkan partisipasi masyarakat dan uji publik yang transparan.

    “Demokrasi substantif bukan diukur dari banyaknya undang-undang yang dibuat. Tetapi, dari seberapa besar rakyat punya akses untuk memengaruhi kebijakan. Kalau rakyat tidak tahu untuk apa kebijakan dibuat, maka legitimasi politiknya akan rapuh,” pungkasnya.

    (akn/ega)

  • Perempuan di Jantung Parlemen

    Perempuan di Jantung Parlemen

    Perempuan di Jantung Parlemen
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    PUTUSAN
    Mahkamah Konstitusi Nomor 169/PUU-XXII/2024 menjadi tonggak penting dalam sejarah demokrasi representatif Indonesia.
    MK secara tegas memerintahkan agar seluruh alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR — mulai dari Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, hingga Mahkamah Kehormatan Dewan — wajib memuat keterwakilan perempuan secara proporsional.
    Tak hanya itu, komposisi pimpinan AKD kini harus menjamin keterlibatan perempuan paling sedikit 30 persen.
    Putusan ini sejatinya bukan sekadar koreksi terhadap undang-undang yang abai terhadap kesetaraan, melainkan penegasan bahwa politik hukum Indonesia tidak boleh terus berwajah maskulin.
    Selama dua dekade terakhir, keterwakilan perempuan di parlemen sering berhenti pada batas formal: ada kuota dalam daftar calon legislatif, tetapi kuota itu menguap ketika perempuan sudah duduk di kursi kekuasaan. Di balik jargon partisipasi, yang terjadi justru marginalisasi.
    Melalui amar putusan ini, MK mengingatkan bahwa keadilan substantif tidak akan lahir dari demokrasi yang timpang gender.
    Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan politik bukanlah kemurahan hati sistem, melainkan hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
    MK bahkan menegaskan kembali prinsip
    affirmative action
    sebagai “kesepakatan nasional” — jalan menuju kesetaraan yang nyata, bukan seremonial.
    Selama ini, wacana keterwakilan perempuan dalam politik sering terjebak dalam angka. Kuota 30 persen seolah menjadi garis finis perjuangan, padahal semestinya hal demikian menjadi titik awal menuju keadilan substantif.
    Politik kuota tanpa distribusi peran hanyalah kosmetik demokrasi. Dalam banyak kasus, perempuan memang hadir di parlemen, tetapi tidak pada ruang-ruang strategis pengambilan keputusan—tidak di jantung kekuasaan, melainkan di pinggiran simbolik representasi.
    Putusan MK kali ini mengubah arah politik hukum tersebut. MK tidak hanya menegaskan hak perempuan untuk duduk di kursi kekuasaan, tetapi juga mengintervensi struktur internal lembaga legislatif agar ruang pengaruh itu benar-benar terbuka bagi perempuan.
    Inilah bentuk konkret dari
    constitutional feminism
    —pandangan bahwa Konstitusi harus aktif melindungi dan memberdayakan kelompok yang selama ini terpinggirkan.
    Secara sosiologis, putusan ini menantang budaya politik patriarkal yang telah lama mengakar. DPR selama ini lebih sering dikuasai oleh logika fraksi dan patronase, posisi strategis kerap diberikan berdasarkan loyalitas politik, bukan perspektif kesetaraan.
    Padahal, kehadiran perempuan bukan hanya soal keadilan numerik, melainkan soal kualitas kebijakan yang lebih inklusif, empatik, dan berpihak pada kepentingan publik yang lebih luas.
    Dengan membuka ruang perempuan di seluruh AKD, MK sejatinya sedang mendorong redistribusi kekuasaan— langkah penting untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia bukan hanya prosedural, tetapi juga berkeadilan gender.
    Putusan Mahkamah Konstitusi ini pada dasarnya menegaskan kembali bahwa demokrasi sejati tidak hanya berbicara tentang siapa yang berkuasa, tetapi juga siapa yang diwakili dan didengar.
    Demokrasi tanpa keterwakilan perempuan sejatinya adalah demokrasi yang pincang—demokrasi yang gagal menangkap kompleksitas sosial dalam proses pengambilan keputusan publik.
    Dalam teori demokrasi deliberatif ala Jürgen Habermas, legitimasi politik tidak lahir semata dari hasil pemilihan umum, melainkan dari proses diskursif yang inklusif—yakni keterlibatan semua kelompok yang terdampak oleh kebijakan publik dalam proses pembentukannya.
    Dengan demikian, absennya suara perempuan dalam alat kelengkapan Dewan berarti ada separuh warga negara yang tersingkir dari ruang deliberasi kebangsaan.
    Dari perspektif teori keadilan ala John Rawls, prinsip
    fair equality of opportunity
    menuntut agar semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memengaruhi keputusan kolektif.
    Namun, dalam praktiknya, struktur politik yang maskulin justru menciptakan apa yang disebut Nancy Fraser sebagai “subordinasi sistemik dalam representasi politik”, di mana perempuan hadir sebagai simbol, bukan subjek kekuasaan.
    Putusan MK ini mencoba membalik arus tersebut. Dengan mewajibkan keterwakilan perempuan di setiap alat kelengkapan Dewan, Mahkamah sejatinya sedang mengubah arsitektur kekuasaan politik agar lebih adil dan reflektif terhadap realitas sosial.
    Ini bukan semata langkah hukum, tetapi transformasi budaya politik — dari
    politics of exclusion
    menuju
    politics of inclusion.
    Tentu, keberadaan perempuan dalam struktur pengambilan keputusan bukan hanya memperkaya perspektif, melainkan juga memperkuat kualitas kebijakan publik.
    Pelbagai studi, termasuk penelitian World Bank (2020) dan UN Women (2022), menunjukkan bahwa lembaga legislatif yang lebih seimbang secara gender cenderung menghasilkan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan lingkungan.
    Dengan kata lain, keterwakilan perempuan bukan hanya persoalan moral atau etika politik, tetapi juga rasionalitas kebijakan.
    Putusan MK Nomor 169/PUU-XXII/2024 dengan demikian harus dibaca sebagai upaya konstitusionalisasi keadilan sosial berbasis gender.
    MK mengingatkan bahwa konstitusi bukan teks netral, melainkan instrumen emansipatoris yang harus berpihak pada kelompok termarjinalkan.
    Di titik inilah, MK menjalankan fungsinya sebagai penjaga moral konstitusi — memastikan bahwa hukum tidak sekadar mengatur kekuasaan, tetapi juga menata ulang relasi kuasa agar lebih adil.
    Putusan Mahkamah Konstitusi ini seharusnya tidak berhenti sebagai teks hukum, melainkan menjadi momentum politik untuk menata ulang cara bangsa Indonesia memaknai kekuasaan.
    Perintah MK agar keterwakilan perempuan hadir di seluruh alat kelengkapan Dewan menuntut keberanian politik dari partai-partai untuk keluar dari pola lama: politik yang tertutup, hierarkis, dan maskulin.
    Tanpa komitmen politik yang nyata, putusan konstitusional ini akan kembali menjadi simbol tanpa roh.
    Jika dibaca dengan kacamata politik hukum, langkah MK ini menunjukkan bahwa hukum bukan hanya produk dari kekuasaan, tetapi juga alat korektif terhadap ketimpangan struktural.
    MK menggunakan konstitusi sebagai instrumen
    transformative justice
    —keadilan yang tidak sekadar menghukum atau mengatur, tetapi mengubah relasi sosial agar lebih setara. Seperti dikatakan oleh jurist feminis, MacKinnon, hukum harus hadir bukan untuk “menyamakan perempuan dengan laki-laki”, melainkan untuk menghapus struktur dominasi yang membuat perempuan selalu berbeda secara sosial dan politis.
    Kini, tugas besar ada di tangan DPR dan partai politik. Mereka harus menindaklanjuti putusan ini dengan mekanisme konkret: penataan tata tertib DPR, kebijakan afirmatif dalam fraksi, hingga evaluasi rutin atas komposisi alat kelengkapan Dewan.
    Pun, publik sipil dan gerakan perempuan perlu terus mengawal agar prinsip keadilan gender tidak berhenti di ruang sidang MK, tetapi berakar dalam praktik politik keseharian.
    Jadi, keterwakilan perempuan di jantung parlemen bukan sekadar tentang menambah kursi, melainkan menambah cara pandang terhadap keadilan.
    Demokrasi yang sejati hanya bisa hidup jika seluruh warga negara—tanpa terkecuali—dapat berpartisipasi secara bermakna dalam menentukan arah bangsa.
    Putusan MK ini adalah panggilan konstitusional untuk memastikan bahwa politik Indonesia bukan lagi arena eksklusif “kekuasaan laki-laki”, tetapi ruang bersama untuk keadilan yang setara dan manusiawi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Golkar Pelajari Putusan MK soal Wajib Ada Perempuan di Pimpinan AKD DPR

    Golkar Pelajari Putusan MK soal Wajib Ada Perempuan di Pimpinan AKD DPR

    Jakarta

    Fraksi Golkar DPR RI siap menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan keterwakilan perempuan dalam pembentukan dan pimpinan alat kelengkapan Dewan (AKD) DPR. Namun, Golkar perlu mempelajari putusan itu sebelum menempatkan kadernya.

    “Kami siap menindaklanjuti. Hanya saja mesti pelajari detail amar putusannya seperti apa? Soalnya yang mengirimkan pimpinan AKD kan terdiri kan ada delapan fraksi,” kata Ketua Fraksi Golkar DPR RI, Sarmuji, kepada wartawan, Sabtu (1/11/2025).

    Sarmuji kemudian bertanya-tanya soal porsi setiap AKD harus partai mana saja yang mengirim keterwakilan perempuan. Dia khawatir keterwakilan perempuan itu tak seimbang di setiap AKD.

    “Dalam satu AKD siapa yang harus mengirimkan perwakilan perempuan. Apakah suatu fraksi dihitung akumulasi jumlah pimpinan AKD lalu dari totalnya itu 30 persen perempuan atau seperti apa,” ujarnya.

    “Lalu bagaimana penempatannya di masing-masing AKD? Jangan nanti menumpuk di AKD tertentu sementara di AKD yang lain kurang,” tambahnya.

    “Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon IV untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan perkara nomor 169/PUU-XXII/2024 dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis (30/10).

    (azh/idn)

  • Puan: Setengah Penduduk Indonesia Perempuan, Saatnya Parlemen Lebih Inklusif

    Puan: Setengah Penduduk Indonesia Perempuan, Saatnya Parlemen Lebih Inklusif

    Puan menyebut putusan tersebut sebagai langkah maju dalam memperkuat partisipasi politik perempuan di Indonesia. Menurutnya, keputusan MK sejalan dengan prinsip keadilan dan semangat afirmasi gender yang selama ini menjadi perhatian dunia.

    “Memang faktanya bahwa setengah dari penduduk bangsa Indonesia adalah kaum perempuan,” tutur Puan yang juga perempuan pertama sebagai Ketua DPR RI itu.

    Ia menilai kebijakan afirmatif di parlemen merupakan upaya untuk memastikan keterwakilan yang lebih adil serta membuka ruang bagi perempuan untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan strategis di lembaga legislatif.

    Lebih lanjut, Puan memaparkan bahwa keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024–2029 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, yakni sekitar 21,9 persen atau 127 dari total 580 anggota DPR.

    “Kemajuan ini patut diapresiasi, walau masih jauh dari target ideal minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia,” ujarnya.

    Meski begitu, Puan menegaskan capaian tersebut tidak boleh membuat parlemen berpuas diri. Keputusan MK, menurutnya, harus menjadi momentum memperkuat representasi perempuan, bukan hanya dari segi jumlah, tetapi juga pada posisi strategis di setiap AKD.