Kementrian Lembaga: MK

  • Pemerintah Siapkan UMP 2026, Pengusaha Minta Jangan Bikin Kaget

    Pemerintah Siapkan UMP 2026, Pengusaha Minta Jangan Bikin Kaget

    Jakarta

    Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berharap penerapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 dilakukan dengan formula yang adil. Sebagai informasi, pemerintah sedang menggodok UMP 2026, yang rencananya akan diumumkan paling lambat 21 November nanti.

    Ketua Apindo Shinta Kamdani meminta agar penyesuaian UMP di tahun ini harus mempertimbangkan kondisi ekonomi yang ada di masing-masing daerah.

    Shinta menyinggung tentang kenaikan UM sebesar 6,5% untuk tahun 2025 tanpa formula yang jelas hingga mengejutkan banyak pihak, termasuk pengusaha sendiri. Dalam hal ini, terdapat sejumlah pengusaha yang keberatan karena kondisi industrinya.

    “Harapannya keputusan UMP tahun ini tidak mengagetkan, tapi benar-benar fair bagi pengusaha dan pekerja. Karena kondisi industri saat ini masih sangat beragam,” kata Shinta, ditemui usai acara Economic Outlook di Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

    Menurut Shinta, formula yang tepat diperlukan agar penetapan UMP tidak disamaratakan di seluruh daerah. Kalau tidak, bisa-bisa membuat pelaku usaha justru malah terbebani dan sulit untuk bertahan.

    Ia juga berpandangan, daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik wajar mendapatkan kenaikan upah yang lebih tinggi. Sedangkan daerah dengan daya dukung ekonomi yang masih terbatas perlu diberikan ruang penyesuaian.

    “Harapan kami kali ini ada formula yang fair, yang bisa mencerminkan berbagai elemen kontribusi di tiap daerah. Karena memang upah minimum dasarnya berbeda-beda, tidak ada upah minimum nasional yang sama untuk semua,” ujarnya.

    Shinta menambahkan, selama ini formula penghitungan UMP yang diatur melalui Undang-Undang Cipta Kerja telah memberikan arah dan kepastian bagi investor. Formula itu telah mempertimbangkan dengan kondisi tiap-tiap daerah.

    Namun Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023 membuat pemerintah harus kembali merumuskan ulang formula yang sebelumnya telah berjalan.

    Ia berharap, semua pihak, baik itu pengusaha maupun pekerja, dapat memahami kondisi ekonomi RI saat ini. Menurutnya, UMP sejatinya berfungsi sebagai jaring pengaman bagi pekerja, bukan patokan tunggal upah di semua sektor.

    (shc/hns)

  • Pesan untuk dewasa berpolitik dari putusan sidang MK DPR

    Pesan untuk dewasa berpolitik dari putusan sidang MK DPR

    Kebebasan yang terkurangi adalah konsekuensi yang harus dihadapi oleh pejabat publik dan politik

    Bondowoso (ANTARA) – Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat atau MK DPR memutuskan Surya Utama atau Uya Kuya dan Adies Kadir tidak melanggar kode etik.

    Pada putusan dari sidang mengenai dugaan pelanggaran kode etik itu, MK DPR justru menegaskan bahwa Uya Kuya telah menjadi korban dari penyebaran berita bohong alias hoaks.

    Sementara itu teradu Adies Kadir, juga ditetapkan tidak melanggar kode etik karena permasalahannya adalah soal kekeliruan pernyataan mengenai gaji dan tunjangan DPR ketika wawancara dengan media massa.

    Pada sidang itu, MK DPR juga memutuskan bahwa anggota DPR lainnya yang menjadi teradu, yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, dan Eko Hendro Purnomo, dinyatakan terbukti melanggar kode etik.

    Meskipun demikian, semua perilaku yang akhirnya membawa kelima anggota DPR itu ke meja sidang Mahkamah Kehormatan Dewan harus menjadi pelajaran bersama untuk terus dewasa dalam berpolitik dan menyikapi situasi politik.

    Bagi anggota dewan, kedewasaan itu menjadi keharusan karena setiap tindakan dan perkataan mereka pasti mendapat sorotan dari masyarakat. Semua tempat dan keadaan, kini menjadi semacam aquarium bagi anggota DPR, dan semua warga dapat melihatnya dengan jelas.

    Anggota DPR yang sebelumnya bebas bertindak dan berucap di ruang publik, kini tidak bisa lagi. Bukan hanya di ruang publik, bahkan di ruang yang sangat pribadi sekalipun, mereka tidak bisa sembarangan.

    Jika meminjam lelucon satir mengenai kerja para intelijen di masa Orde Baru, semua tempat telah menjadi bagian dari operasi intelijen untuk memantau semua orang. Bahkan, dinding dan lantai rumah pun bisa mencatat apa yang dilakukan dan diucapkan oleh seseorang. Guyonan politik ini, agaknya, relevan untuk dipegang oleh semua politikus di negeri ini, lebih-lebih mereka yang duduk di jabatan publik.

    Bedanya, yang menjadi pengawas melekat bagi anggota DPR dan pejabat publik itu adalah rakyat. Mata dan telinga rakyat, kini, terpasang di mana-mana untuk mengawasi pejabat publik dan anggota DPR.

    Sementara itu, bagi masyarakat, kedewasaan dalam menyikapi peristiwa politik juga harus selalu dikedepankan agar tidak terjebak pada perbuatan melanggar hukum dan moral, serta memancing orang lain marah, hingga akhirnya juga terjerumus dalam perbuatan melanggar hukum.

    Bahkan, sikap tidak hati-hati dalam merespons situasi politik juga berpotensi membawa seseorang harus meringkuk dalam penjara karena melanggar hukum.

    Perilaku respons cepat masyarakat terhadap peristiwa politik yang ruang ekspresinya menggunakan media sosial, kedewasaan dan kehati-hatian harus menjadi benteng utama agar tidak menjerumuskan diri dan orang lain pada pelanggaran hukum.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Buruh Jateng Tuntut Kenaikan UMP 2026 Jadi Rp 3 Juta untuk Kebutuhan Hidup Layak
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        5 November 2025

    Buruh Jateng Tuntut Kenaikan UMP 2026 Jadi Rp 3 Juta untuk Kebutuhan Hidup Layak Regional 5 November 2025

    Buruh Jateng Tuntut Kenaikan UMP 2026 Jadi Rp 3 Juta untuk Kebutuhan Hidup Layak
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com
    – Buruh yang tergabung dalam Dewan Pengupahan Jawa Tengah menuntut agar Upah Minimum Provinsi (UMP) pada tahun 2026 ditetapkan sebesar Rp 3.070.000.
    Angka ini dinilai sesuai dengan perhitungan
    Kebutuhan Hidup Layak
    (KHL), sementara UMP saat ini hanya sebesar Rp 2.169.000, yang dianggap masih jauh dari nilai layak dan tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain.
    Anggota
    Dewan Pengupahan
    , Sodikin, yang berasal dari DPD Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan (FSPKEP), menyatakan bahwa Kementerian Tenaga Kerja mengatur UMP Jawa Tengah seharusnya mencapai minimal 72 persen dari perhitungan KHL, yaitu sekitar Rp 2,8 juta.
    Namun, realitasnya UMP Jateng saat ini hanya Rp 2,1 juta.
    “Saat ini yang kami minta adalah 100 persen sesuai KHL untuk Jawa Tengah, Rp 3.070.000 UMP,” tutur Sodikin usai rapat di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah, Rabu (5/11/2025).
    Namun, pada tahun 2025, hanya dua daerah di Jawa Tengah, yaitu Semarang dan Kabupaten Demak, yang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)-nya melebihi angka ideal tersebut.
    “Ini menjadi catatan perbaikan untuk pemerintahan Luthfi-Yasin saat ini untuk mendukung kesejahteraan buruh dengan menetapkan UMP 2026 mendatang sesuai KHL,” ujar Tomo.
    Dia menambahkan bahwa jika aspirasi buruh tidak didengar dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mengubah aturan pengupahan dalam Undang-Undang Cipta Kerja tidak dijalankan, maka mereka akan mendorong upaya diskresi.
    “Dalam satu peraturan itu ada diskresi. Kita mencoba agar Gubernur membuat diskresi penetapan UMP harus sesuai KHL Jawa Tengah. Jadi, intinya kita mencoba dilobi, aksi, tapi diskresi dari pemerintah bahwa Gubernur menetapkan UMP sesuai dengan KHL Jawa Tengah,” tegasnya.
    Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan dari unsur buruh, pengusaha, dan pemerintah daerah untuk membahas penentuan arah kebijakan pengupahan tahun 2026, sekaligus menyimak paparan dari Kementerian Ketenagakerjaan terkait uji publik Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pengganti PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Daftar UMP 2026 Bila Naik 10,5%, Jakarta Nyaris Rp6 Juta

    Daftar UMP 2026 Bila Naik 10,5%, Jakarta Nyaris Rp6 Juta

    Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2026 masih terus digodok oleh pemerintah.

    Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Afriansyah Noor mengatakan pemerintah tengah membahas formula baru UMP bersama pimpinan konfederasi, federasi, dan serikat pekerja/serikat buruh tingkat perusahaan di Jakarta pada Jumat (31/10/2025).

    Menurutnya, rancangan kebijakan pengupahan untuk UMP 2026 akan lebih adaptif terhadap dinamika ekonomi nasional dan daerah agar mampu menjaga keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlangsungan usaha.

    “Formula baru ini penting untuk menjaga keseimbangan antara daya beli pekerja, keberlangsungan usaha, dan pemerataan ekonomi,” kata dia dalam keterangannya, dikutip dari Antaranews, Rabu (5/11).

    Anggota Depenas dari kalangan pengusaha, Sarman Simanjorang menyampaikan bahwa penetapan UMP harus mengacu dengan regulasi yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

    “Artinya, kenaikan UMP harus mempertimbangkan aspek kemampuan dunia usaha. Kesejahteraan buruh tetap menjadi komitmen pengusaha, tetapi kenaikan itu disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini,” ujar Sarman saat dihubungi Bisnis, Rabu (27/8/2025) lalu.

    Pada dasarnya, waktu pengumuman UMP sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.51/2023 tentang Pengupahan. Di mana penetapan UMP diumumkan melalui keputusan gubernur yang dilakukan paling lambat pada 21 November tahun berjalan.

    Tuntut Kenaikan 10,5%

    Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, pihaknya bersama Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh (KSP-PB) mengusulkan angka tersebut berdasarkan formula dari keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/2023 yang mencakup inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.

    “Kami menyatakan bahwa kenaikan UMP yang diusulkan tetap 8,5%—10,5%, argumentasinya Keputusan MK Nomor 168/2023 yang menyatakan bahwa kenaikan upah minimum harus mempertimbangkan kebutuhan hidup rakyat dengan formula inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu,” kata Said dalam konferensi pers, Senin (13/10).

    Dia memerinci, berdasarkan kalkulasi periode Oktober 2024-September 2025, angka inflasi mencapai di kisaran 3%—3,26%. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi diasumsikan tumbuh 5,2% pada periode yang sama.

    Sementara itu, indeks tertentu yang dipakai yakni 1,0% atau naik dari tahun lalu 0,9%. Kenaikan indeks seiring dengan klaim pemerintah bahwa angka kemiskinan dan pengangguran turun.

    “Tambahkan, 5,2% [asumsi pertumbuhan ekonomi] ditambah 3,26% [inflasi] maka ketemu 8,46% dibulatkan 8,5% itu jelas. Itu perintah MK, keputusan MK setara UU Cipta Kerja,” tegasnya.

    Besaran UMP 2026 Apabila Naik 10,5%

  • Nasib Pembiayaan Perumahan Usai Tapera Batal, Dana Abadi Jadi Solusi?

    Nasib Pembiayaan Perumahan Usai Tapera Batal, Dana Abadi Jadi Solusi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan penarikan iuran wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menciptakan tantangan baru bagi pemerintah. Pasalnya, pemerintah perlu memastikan ketersediaan skema pembiayaan perumahan terjangkau untuk mendukung program 3 juta rumah Presiden Prabowo Subianto.

    Dalam perkembangkan terbaru, Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) mengungkap tengah menggodok sejumlah skema baru usai putusan MK membatalkan kewajiban iuran Tapera bagi pekerja swasta.

    Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho menjelaskan salah satu skema yang tengah digodok yakni pembentukan dana abadi sektor perumahan yang bakal diwujudkan melalui konsep Contractual Saving for Housing (CSH).

    “Ini [menggodok CSH] bagian dari upaya kita untuk melakukan penataan model bisnis pascaputusan MK kemarin. Ya dimana putusan MK di situ yang menjadi substansi gugatan yang kemudian dikabulkan oleh MK terkait kewajiban bagi pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan di atas upah minimum untuk menjadi peserta Tapera,” kata Heru saat ditemui di Kantornya, Selasa (4/11/2025).

    Dia menyebut, konsep CSH itu saat ini dalam tahap pematangan. Dia mengatakan pemerintah tengah melakukan proses studi banding terkait dengan pelaksanaan konsep tersebut di sejumlah negara.

    Apabila dinilai tepat, konsep itu akan diadopsi BP Tapera untuk mempertebal portofolio dana murah yang nantinya digunakan mendukung pendananaan sektor perumahan.

    “Ya nanti kita lihat berbagai kemungkinannya. Pasti kita akan bertransformasi nanti ya memang ini yang setelah kita upayakan,” jelasnya.

    Respons Pengusaha

    Sejumlah pelaku usaha sektor properti menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan iuran Tapera, serta turut mengapresiasi rencana pemerintah yang hendak merevisi Undang-Undang Tapera.

    Bukan tanpa alasan, banyak pengembang berpandangan konsep iuran wajib Tapera dikhawatirkan justru bermasalah dan menimbulkan distorsi.

    Wakil Ketua Umum DPP Realestate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menilai konsep pengenaan iuran wajib Tapera bagi pekerja swasta tidak relevan dijalankan mengingat tidak semua masyarakat membutuhkan hunian.

    “Masalah utama Tapera menjadikan ini menjadi iuran wajib. Padahal sebagian besar warga sudah memiliki hunian. Jadi, seharusnya sifatnya harus sukarela,” kata Bambang kepada Bisnis, Rabu (5/11/2025).

    Selain itu, pada aturan sebelumnya Tapera juga mewajibkan Pengusaha turut menanggung sebagian iuran tersebut. Di mana, hal itu justru dinilai menambah beban para pelaku usaha yang ujungnya akan berdampak pada kenaikan harga produk.

    Karyawan beraktivitas di Kantor Pelayanan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Jakarta, Rabu (24/7/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

    Sejalan dengan hal itu, Bambang menilai putusan MK tersebut telah tepat. Khususnya dalam rangkaian menjaga perekonomian nasional.

    Senada, Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Endang Kawidjaja menuturkan bahwa pengenaan Tapera idealnya tidaklah wajib alias sukarela.

    Apabila konsep pengenaan iuran wajib dijalankan, konsepnya diproyeksi tidak akan berbeda jauh dengan tabungan Jaminan Hari Tua (JHT).

    “Sedangkan JHT yang merupakan program BPJS Ketenagakerjaan saja semakin hari makin membengkak,” imbuhnya.

    Terkait dengan pembentukan dana abadi, dia mengatakan usulan tersebut memang diperlukan untuk mewujudkan pengadaan hunian terjangkau bagi masyarakat. Akan tetapi, nominalnya disebut tidaklah sedikit. Sehingga, hal itu perlu menjadi perhatian pemerintah.

    “Dana abadi untuk mendukung skema Subsidi Selisih Bunga di rumah subsidi memang perlu bantuan dana abadi, tapi besar sekali dananya yang diperlukan,” pungkasnya.

    Dukungan terhadap rencana kebijakan dana abadi perumahan juga sebelumnya disampaikan oleh PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN). Kebijakan tersebut dinilai lebih cocok diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan mewajibkan iuran Tapera.

    Direktur Utama BTN, Nixon L.P. Napitupulu, menuturkan pola itu dinilai lebih kompatibel diterima oleh masyarakat umum jika dibandingkan dengan melakukan penarikan iuran sebagaimana dalam program Tapera.

    “Kita ngusulin memang mendingan polanya pakai dana abadi perumahan dibanding dengan pungutan masyarakat. Tapi, keputusannya terserah pemerintah,” kata Nixon saat ditemui di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (23/7/2024).

    Nixon menyebut, pembentukan dana abadi itu juga diperlukan di tengah kondisi ekonomi yang penuh dengan ketidakpastian. Tujuannya, dana abadi perumahan ini dapat menekan beban yang ditanggung pemerintah.

    Meski sepenuhnya menyerahkan keputusan penerapan tersebut pada pemerintah, Nixon berharap bahwa implementasi mencari sumber pendanaan baru bagi sektor perumahan tidak dilakukan melalui pungutan masyarakat.

    “Ke depannya apakah ini [Tapera] tidak akan ada pungutan lagi? Kita serahkan ke pemerintah saja, pemerintah paling tahu ini akan tetap ada pungutan atau tidak. Tapi kalau tidak ada ya kita senang-senang saja, masyarakat bebannya berkurang,” pungkasnya. 

    Berdasarkan catatan Bisnis sebelumnya, skema implementasi dana abadi perumahan itu bakal bersumber dari APBN. Nixon mengusulkan, nantinya kucuran alokasi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) perlu dibagi untuk disalurkan ke masyarakat dan untuk diinvestasikan guna mempertebal simpanan dana abadi tersebut. 

    “Dengan duit FLPP yang sama ditaruh di BP Tapera [Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat], BP Tapera lalu memutar dananya itu, katakanlah di SBN [surat berharga negara] dan dapat bunga 6%,” ujar Nixon. 

    Nantinya, imbal hasil 6% yang didapatkan dari investasi di SBN itu kemudian bisa digunakan untuk membayar selisih bunga KPR di masyarakat. Sehingga, masyarakat tetap hanya bayar 5% dari yang sebelumnya 9,5%. Menurutnya, skema dana abadi itu membutuhkan waktu 10 tahun. Namun, ke depannya beban APBN akan berkurang.

    Nixon lantas memberikan gambaran, bila skema dana abadi dijalankan 2024, maka pada 2034 sudah otomatis KPR subsidi bisa tersalurkan 500.000 hingga 600.000 rumah dalam setahun.

    Skema tersebut juga tidak hanya menyelesaikan permasalahan perumahan di segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), tapi sekaligus masyarakat berpenghasilan tanggung dengan penghasilan Rp8 juta hingga Rp15 juta.

  • Koalisi Sipil Gugat UU TNI, Ini Empat Poin yang Berpolemik

    Koalisi Sipil Gugat UU TNI, Ini Empat Poin yang Berpolemik

    Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil di Indonesia kompak menggugat UU Tentara Negara Indonesia (TNI), karena berpotensi melemahkan hak asasi manusia.

    Kelompok masyarakat menilai bahwa peran ganda yang dimiliki militer, bahkan bisa masuk ke ranah teknologi, hingga keamanan teknologi dan keamanan siber, membahayakan kebebasan berpendapatan, terutama ketika ada masyarakat yang menyampaikan pendapatnya di media sosial. Kondisi ini juga bisa menimbulkan pemerintahan yang antikritik dan pelanggaran HAM dalam menyampaikan pendapat.

    Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Selasa (04/11/2025) siang, bersama perwakilan masyarakat sipil.

    Permohonan perkara yang diajukan oleh Mochamad Adli Wafi melalui Kuasa Hukum Daniel Winarta, dengan nomor perkara 197/PUU-XXIII/2025 memperkarakan UU TNI terbaru karena dinilai tidak sesuai dengan Konstitusi UUD 1945, serta berpotensi melemahkan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), dan semangat reformasi di bidang keamanan. 

    Menurut pemohon, UU TNI yang menjadi isu hangat di awal tahun 2025 dinilai bermasalah pada empat aspek utama, yakni tugas pokok TNI, hubungan sipil-militer, usia pensiun perwira tinggi TNI, dan akuntabilitas pelanggaran hukum yang melibatkan anggota TNI.  

    Sidang terbuka yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan didampingi Ridwan Mansyur beserta Arsul Sani turut dihadiri oleh para prinsipal Annisa Yuda dari Perkumpulan Imparsial, Bayu Wardana dari Aliansi Jurnalis Indonesia, Mochamad Adli Wafi, dan Ikhsan Yosarie.

    Empat Pokok Perkara dalam UU TNI terbaru:

    1. Keterlibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

    Para pemohon menilai, dalam UU TNI terbaru mengatur TNI dalam operasi militer selain perang, khususnya membantu tugas pemerintah di daerah dan menanggulangi ancaman siber dinilai bertentangan dengan UUD 1945. 

    Aturan tersebut akan membuka TNI semakin terlibat dalam ranah keamanan sipil, seperti urusan teknis keamanan siber, dan penanganan konflik sosial seperti pemogokan dan konflik komunal yang bersimpangan dengan aturan konflik sosial dalam UU Nomor 7 Tahun 2012. Di sini, pemogokan adalah salah satu kebebasan ekspresi yang dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28E. Sedangkan konflik komunal yang terdapat dalam UU TNI terbaru dinilai pemohon tidak memiliki batasan yang jelas. Konflik sosial yang diatur dalam UU 7/2012 mengatur bantuan TNI hanya bisa dilakukan berdasarkan pengajuan dari Pemda ke Presiden.

    2. Pelanggaran Prinsip Check and Balance dari DPR RI

    UU TNI yang terbaru dinilai pemohon akan melanggar prinsip check and balance antara eksekutif (Presiden) sebagai penguasa tertinggi TNI, dan legislatif (DPR) sebagai pengontrol pembuatan kebijakan. UU TNI yang baru disebut dapat menghilangkan kontrol DPR dalam pelaksanaan OMSP, yang melanggar UUD 1945 pasal 10 dan 11.

    3. Keterlibatan Prajurit Aktif di Lembaga Sipil

    Sidang ini mempersoalkan UU TNI terbaru yang membolehkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan Sekretariatan Presiden, Kejaksaan RI, dan BNN. Ketiga jabatan tersebut berpotensi membuka kembali Dwifungsi ABRI dan menyimpang dari fungsi pertahanan negara. Terlebih, Kejaksaan diatur sebagai lembaga penegak hukum sipil yang tidak bisa diintervensi militer. Keterlibatan TNI dalam Kejaksaaan akan mengancam independensi Kejaksaan dan supremasi sipil.

    4. Penambahan Usia Pensiun Perwira Tinggi

    UU TNI yang terbaru dinilai para pemohon akan membuat diskriminasi terhadap perwira pertama dan menengah karena menyempitkan peluang jabatan strategis. Hal ini berlawanan dengan UUD 1945 pasal 27(1) dan 28D(3) yang menjunjung kesetaraan dalam hukum dan pemerintahan serta kesempatan yang sama dalam pemerintahan atau militer.

    Dalam persidangan ini, para hakim memberikan tanggapan kepada para pemohon berupa nasehat perbaikan untuk membangun kembali tuntutan yang lebih rinci dan lebih kuat argumentasinya dalam berkas permohonan.

    Hakim Saldi Isra, menyampaikan perihal yang kurang dielaborasikan. Salah satunya adalah bagian apa saja dalam undang-undang yang menyimpang dari semangat reformasi. Beliau juga menambahkan penjelasan berupa perbandingan karakteristik TNI dengan tentara negara-negara lain.

    Selain itu, majelis hakim menilai petitum permohonan, yaitu harapan para pemohon, turut mendapatkan komentar dari para hakim. Para hakim meminta untuk beberapa petitum digabungkan, dan ditambahkan beberapa berita negara yang relevan.

    Para hakim juga memperhatikan legal standing para pemohon yang dinilai belum cukup kuat. Legal standing para pemohon masih kurang tersambung, yaitu antara pasal-pasal yang ingin diuji dengan kejadian inkonstitusional, karena membuat permohonan menjadi kurang jelas. (Stefanus Bintang)

  • Koalisi Sipil Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Ungkit Korban HAM Berat Belum Dapat Keadilan

    Koalisi Sipil Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Ungkit Korban HAM Berat Belum Dapat Keadilan

    Koalisi Sipil Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Ungkit Korban HAM Berat Belum Dapat Keadilan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sejumlah koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyatakan bahwa ada hal yang lebih penting untuk dilakukan pemerintah dibanding menyematkan gelar pahlawan kepada Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto.
    Misalnya, memenuhi hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang merupakan dampak dari keputusan dan kebijakan Soeharto.
    “Saya rasa, lebih penting untuk mengedepankan keadilan bagi korban ketimbang memberikan secara simbolis gelar pahlawan untuk Soeharto,” ujar Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sekaligus anggota GEMAS, Andrie Yunus, saat ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    Andrie mengatakan, sejak awal,
    koalisi masyarakat sipil
    telah memberikan catatan dan menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
    “Sebelumnya, kami telah mengirimkan surat terbuka kepada Kementerian Kebudayaan dan kepada Fadli Zon sebagai Ketua Dewan Tanda Gelar dan Jasa. Termasuk juga, bahkan sejak namanya muncul di Kementerian Sosial, kami sudah tekankan bahwa Soeharto tidak layak diberikan gelar pahlawan,” tegas Andrie.
    Ia menjelaskan, berdasarkan catatan Komnas HAM, terdapat sembilan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kategori berat yang hingga kini tidak jelas kasusnya.
    Para korban dalam peristiwa tersebut belum mendapatkan keadilan.
    Selain itu, koalisi sipil juga menyoroti periode kepemimpinan Soeharto yang membuat militer masuk ke ranah-ranah di luar dinasnya, baik politik, bisnis, hingga jabatan-jabatan di sektor sipil.
    “Soeharto telah merusak profesionalisme tentara, dan hingga kini bahkan sempat terasa pasca undang-undang baru disahkan. Karena itu, kami menilai Soeharto telah merusak profesionalisme tentara dan tidak layak menjadi pahlawan,” kata Andrie lagi.
    Diberitakan sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengusulkan 40 nama tokoh untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon, pada Selasa (21/10/2025).
    Dari 40 nama tersebut, terdapat tiga tokoh yang menarik perhatian publik, yakni Soeharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan aktivis buruh Marsinah.
    Masuknya nama Soeharto dalam daftar usulan memunculkan perdebatan di masyarakat.
    Sejumlah pihak menilai bahwa pemerintah perlu berhati-hati menimbang usulan itu karena masih ada persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang belum terselesaikan dari masa pemerintahannya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD), mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), hingga Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), masih menghadapi berbagai tantangan.
    Isu kesetaraan gender dan minimnya kaderisasi partai terhadap politisi perempuan menjadi dua faktor utama yang menghambat peningkatan representasi perempuan di tubuh AKD.
    Situasi ini kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan itu, MK menyoroti perlunya perbaikan dalam posita dan petitum uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 2014) serta perubahan pada UU MD3 Tahun 2018 yang berkaitan dengan UUD 1945.
    Melalui perbaikan petitum, para pemohon meminta agar ditetapkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pimpinan AKD.
    Sementara dalam posita, mereka menekankan pentingnya pengarusutamaan gender, pencegahan pembangkangan konstitusi dalam pengaturan representasi perempuan, serta jaminan konstitusional atas keterwakilan tersebut.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga mengimbau agar DPR dan partai politik mencari formula yang tepat agar keputusan MK bisa dijalankan tanpa mengorbankan efektivitas kerja parlemen.
    “DPR harus mampu mensiasati keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya,” ujar dia ketika dihubungi, Senin (3/11/2025).
    Jamiluddin menilai, kunci utama keberhasilan implementasi keputusan MK ada di tangan partai politik.
    “Ke depan setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi calon legislatif. Caleg yang disiapkan juga harus dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan di setiap AKD,” ujarnya.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas menjadi hal penting. Tantangan ini menjadi PR bagi semua partai menjelang Pileg 2029,” pungkasnya.
    Sementara itu, dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambah Titi.
    Titi mengatakan ada bias gender yang memandang bahwa isu perempuan bukanlah prioritas utama. Di sisi lain, keterwakilan perempuan cenderung tak mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” ungkap dia.
    Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik di lingkungan parlemen. 
    Jamiluddin juga menilai implementasi keputusan MK tersebut tidak akan mudah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas legislator perempuan.
    “Bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka keputusan MK dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan. Sebab, jumlahnya tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” jelasnya.
    Hal serupa, lanjutnya, juga berlaku dari sisi kompetensi. Jika kemampuan para legislator perempuan hanya terkonsentrasi di bidang tertentu, distribusi merata di seluruh AKD justru berpotensi kontraproduktif.
    “Kalau kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen itu hanya akan menjadi pemaksaan. Akibatnya, mereka bisa ditempatkan di komisi yang tak sesuai dengan keahliannya,” ucap Jamiluddin.
    Ia menilai hal tersebut bisa berdampak pada menurunnya produktivitas kinerja legislator perempuan dalam menjalankan tiga fungsi utama DPR pengawasan, anggaran, dan legislasi.
    “Kalau hal itu terjadi, legislator perempuan akan sulit melaksanakan fungsinya secara maksimal,” katanya.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.

    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan, hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.
    Terpisah Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri.
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen. Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    Sementara itu, saat ini jumlah anggota DPR sebanyak 580 orang, dan keterwakilan perempuan hanya 127 orang. Sehingga secara persentase masih 21,9 persen.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fraksi Golkar tampung aspirasi musisi soal reformasi royalti musik

    Fraksi Golkar tampung aspirasi musisi soal reformasi royalti musik

    “Saya sudah menyimak dua presentasi: AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kami menyerap aspirasi dari semua stakeholder,”

    Jakarta (ANTARA) – Fraksi Partai Golkar DPR RI menerima audiensi pengurus Vibrasi Suara Indonesia (VISI) yang dipimpin Armand Maulana dan Nazril Irham (Ariel NOAH) di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.

    Dalam audiensi tersebut, para musisi dari VISI menyampaikan keresahan mereka atas tata kelola royalti dan praktik perizinan yang dinilai membebani penyanyi, bahkan berpotensi mengkriminalisasi pelaku seni.

    Ketua Fraksi Golkar Muhammad Sarmuji menilai aspirasi yang disampaikan VISI sejalan dengan banyak pihak yang menyoroti persoalan transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

    “Saya sudah menyimak dua presentasi: AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kami menyerap aspirasi dari semua stakeholder,” kata Sarmuji dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

    Sarmuji menegaskan bahwa inti persoalan ini terletak pada transparansi tata kelola LMKN. Ia menilai perlunya aturan yang lebih rasional dan berpihak pada semua pihak dalam ekosistem musik.

    Ia menilai langkah VISI yang memperhatikan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pencipta lagu, penyanyi, hingga penyelenggara konser, adalah sesuatu yang menggembirakan dan layak diformulasikan bersama Fraksi Golkar.

    Sarmuji menegaskan komitmen partainya untuk mengawal aspirasi para pencipta lagu. Menurutnya, tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit sehingga merugikan pencipta.

    Ia menegaskan agar sistem pembayaran royalti harus sederhana dan memberikan kemudahan. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya.

    Sarmuji menambahkan, dukungan Fraksi Golkar berpijak pada semangat menghadirkan sistem yang adil dan memudahkan semua pihak.

    “Sistemnya memang perlu diperbaiki, dan sistem itu harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha. Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha—pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain—mudah meminta izin menggunakan lagu dari pencipta lagu,” tegasnya.

    Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan agar keberadaan aturan tidak menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha.

    Dia berharap agar dunia usaha tidak merasa terbebani. Sistem yang sederhana dan jelas akan membuat semua pihak lebih taat sekaligus memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya.

    Sementara itu, Ketua Umum VISI Armand Maulana menjelaskan akar permasalahan yang menumpuk di dunia musik Indonesia.

    “Masalah ini bermula dari ketidaksempurnaan kerja, ketidakkompetenan, dan ketidaktransparanan LMK-LMK serta LMKN di masa lalu,” ujar vokalis grup band GIGI itu.

    Akibatnya, muncul berbagai persoalan seperti kasus Agnez Mo yang diwajibkan membayar dan meminta izin setiap kali tampil di atas panggung.

    Atas dasar itu, VISI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan praktik selama lebih dari satu dekade.

    “Performing rights itu bersifat masif, berulang, dan terjadi dalam waktu bersamaan. Jadi meminta izin langsung ke pencipta lagu setiap kali tampil itu tidak realistis dan kontraproduktif,” kata Armand.

    Menurutnya, fokus utama seharusnya bukan pada perizinan, melainkan pada tata kelola dan distribusi royalti yang adil dan transparan.

    “Sering kali seorang penyanyi diminta mendadak untuk menyanyikan lagu tertentu. Kalau tetap diwajibkan izin di muka, maka harus diberi tenggat waktu, misalnya tujuh hari setelah pertunjukan. Jangan sampai penyanyi, bahkan pelajar yang tampil di pensi, justru dikriminalisasi,” ujarnya.

    Armand menilai penekanan berlebihan pada aspek izin justru berpotensi menutupi masalah utama yakni distribusi royalti yang tidak tepat sasaran.

    “Perhatian publik dan penyelenggara akan tertuju pada aspek hukum, bukan pada bagaimana hak pencipta dan penyanyi bisa didistribusikan secara adil,” tambahnya.

    Menanggapi wacana pembentukan lembaga baru khusus untuk konser, Armand menilai langkah itu tidak akan menyelesaikan masalah.

    “Yang penting bukan membuat lembaga baru, tapi memperbaiki tata kelola dan transparansi sistem yang sudah ada,” katanya.

    Ia mengingatkan bahwa kemunculan banyak LMK baru justru bermula dari rasa ketidakadilan dan kurangnya representasi di sistem lama.

    VISI, lanjut Armand, memilih fokus pada reformasi sistem dan percepatan digitalisasi pengelolaan royalti.

    “Dengan teknologi saat ini, sangat mungkin dibuat sistem digital yang akurat dan transparan. Akar masalahnya bukan di izin, tapi di ketidaktepatan dan ketidaktransparanan distribusi royalti,” tegasnya.

    Wakil Ketua Umum VISI, Ariel NOAH, turut menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan untuk memihak satu kelompok, melainkan memperjuangkan keseimbangan hak antara pencipta, penyanyi, dan penyelenggara acara.

    “Kita ingin sistem yang adil dan transparan untuk semua pelaku musik. Kalau sistemnya jelas, semua pihak diuntungkan,” ujar Ariel.

    Fraksi Golkar berkomitmen menindaklanjuti aspirasi VISI sebagai bagian dari upaya memperkuat ekosistem musik nasional yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

    “Kami akan formulasikan aspirasi VISI dengan aspirasi AKSI untuk disampaikan ke pemerintah,” kata Sarmuji.

    Pertemuan antara Fraksi Golkar dan VISI ini menjadi momentum penting bagi pembenahan tata kelola royalti di Indonesia. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kebangkitan industri musik, sinergi antara dunia politik dan komunitas musisi menjadi kunci agar keadilan royalti tidak hanya menjadi jargon, tetapi juga kenyataan yang dirasakan semua pelaku seni.

    Pertemuan ini juga dihadiri oleh Bendahara Fraksi Sari Yuliati, serta sejumlah pimpinan komisi dari Fraksi Golkar, antara lain Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi VII Lamhot Sinaga, dan Wakil Ketua Komisi XIII Dewi Asmara. Serta Vina Panduwinata dan Sammy Simorangkir yang turut tergabung dalam VISI.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti

    Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti

    Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Sejumlah musisi yang tergabung dalam serikat musisi, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) menyuarakan keluh kesahnya soal distribusi royalti ke Fraksi Partai Golkar di DPR RI.
    Beberapa musisi dari VISI seperti Armand Maulana, Nazril Irham atau Ariel Noah, Vina Panduwinata, dan Sammy Simorangkir itu datang beraudiensi dengan Fraksi Golkar di Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/11/2025).
    Mereka menyampaikan keresahan atas tata kelola royalti dan praktik perizinan yang dinilai membebani penyanyi, bahkan berpotensi mengkriminalisasi pelaku seni.
    Ketua Fraksi Golkar M. Sarmuji menilai aspirasi yang disampaikan VISI sejalan dengan banyak pihak yang menyoroti persoalan transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
    “Saya sudah menyimak dua presentasi (dari) AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kita menyerap aspirasi dari semua stakeholder,” ujar Sarmuji dalam keterangannya.
    Sarmuji mengatakan, tidak transparannya tata kelola LMKN menjadi suatu persoalan sendiri.
    Ia pun menilai perlu ada aturan yang lebih rasional dan berpihak pada semua pihak dalam ekosistem musik.
    “Kalau ditetapkan aturan bahwa pembayaran royalti pertunjukan dilakukan seminggu setelah konser, bolehlah. Jadi tidak perlu menunggu berbulan-bulan seperti sekarang,” kata Sarmuji.
    Menurut Sarmuji, langkah VISI yang memperhatikan seluruh pemangku kepentingan seperti pencipta lagu, penyanyi, hingga penyelenggara konser layak diformulasikan bersama Fraksi Golkar.
    Di hadapan para musisi, ia juga berkomitmen partainya akan mengawal dan menindaklanjuti aspirasi VISI sebagai bagian dari upaya memperkuat ekosistem musik nasional yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
    Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini menyebut tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit, apalagi merugikan pencipta lagu.
    “Sistemnya jangan sampai mempersulit. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya,” ujarnya.
    Bagi Sarmuji, sistem soal royalti ini memang perlu diperbaiki dan harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, termasuk dunia usaha.
    Sarmuji berharap jangan sampai ada pelaku usaha yang malah merasa terbebani.
    “Tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha. Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha, pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain. Mudah meminta izin menggunakan lagu dari pencipta lagu,” imbuh dia.
    Sementara itu, Ketua Umum VISI, Armand Maulana mengatakan, fokus utama seharusnya bukan pada perizinan, melainkan pada tata kelola dan distribusi royalti yang adil dan transparan.
    Vokalis grup band Gigi itu menilai penekanan berlebihan pada aspek izin justru berpotensi menutupi masalah utama yaitu distribusi royalti yang tidak tepat sasaran.
    “Perhatian publik dan penyelenggara akan tertuju pada aspek hukum, bukan pada bagaimana hak pencipta dan penyanyi bisa didistribusikan secara adil,” tambah Armand.
    Bagi Armand, wacana pembentukan lembaga baru yang khusus untuk konser tidak akan menyelesaikan masalah.
    “Yang penting bukan membuat lembaga baru, tapi memperbaiki tata kelola dan transparansi sistem yang sudah ada,” katanya.
    Di sisi lain, VISI mendorong reformasi sistem dan percepatan digitalisasi pengelolaan royalti.
    Dengan teknologi saat ini, menurutnya, sangat mungkin dibentuk sistem digital yang akurat dan transparan.
    “Akar masalahnya bukan di izin, tapi di ketidaktepatan dan ketidaktransparanan distribusi royalti,” tegasnya.
    Armand juga mengungkap akar permasalahan ini bermula dari tidak kompeten serta tidak transparannya kerja dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan LMKN di masa lalu.
    Hal ini lantas mengakibatkan munculnya berbagai persoalan seperti kasus penyanyi, Agnez Mo yang diwajibkan membayar dan meminta izin setiap kali tampil di atas panggung.
    Oleh karenanya, VISI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan praktik selama lebih dari satu dekade.

    Performing rights
    itu bersifat masif, berulang, dan terjadi dalam waktu bersamaan. Jadi meminta izin langsung ke pencipta lagu setiap kali tampil itu tidak realistis dan kontraproduktif,” tegas Armand.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.