Kementrian Lembaga: MK

  • MK Tolak Gugatan MAKI Soal Pembentukan Pansel Capim KPK

    MK Tolak Gugatan MAKI Soal Pembentukan Pansel Capim KPK

    Jakarta

    Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan oleh Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mengenai pembentukan panitia seleksi (pansel) calon pimpinan KPK dan dewan pengawas (dewas). MK menilai dalil Pemohon tidak berasalan menurut hukum.

    “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan 160/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    Dalam pertimbangannya, MK menilai akan terjadi kekosongan jabatan KPK dan Dewas, jika proses seleksi tersebut dikaitkan dengan waktu pelantikan Presiden dan DPR. MK menyatakan pelantikan pimpinan KPK dan Dewas pun tidak akan bisa dilaksanakan tepat 20 Desember 2024.

    “Jika proses seleksi yang di dalamnya terdapat proses pengajuan calon Pimpinan KPK dan calon Dewan Pengawas KPK dilakukan oleh DPR dan Presiden dalam periode yang sama dengan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK, maka proses seleksi baru akan dimulai setelah tanggal 20 Oktober 2024,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.

    “Dengan sekuens waktu sebagaimana diuraikan di atas, dalam batas penalaran yang wajar, panitia seleksi tidak akan menghasilkan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK yang bisa dilantik pada sekitar pertengahan Desember 2024. Jika logika Pemohon tersebut diikuti, dapat dipastikan akan terjadi kekosongan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK dalam beberapa waktu,” sambungnya.

    Saldi menyampaikan jika permohonan Boyamin dikabulkan maka itu akan menimbulkan pemaknaan yang sempit terhadap penerapan pasal 30 ayat 1 dan 2 UU KPK. Kata dia, aturan itu menjadi sulit dan bahkan tidak dapat diterapkan secara adaptif.

    “Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata kata ‘Presiden’ dalam Pasal 30 ayat (1) dan kata ‘pemerintah’ dalam Pasal 30 ayat (2) UU KPK adalah tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan tidak bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dinyatakan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang didalikan Pemohon,” imbuhnya.

    Sebelumnya, Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan permohonan judicial review terkait panitia seleksi (pansel) calon pimpinan dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). MAKI menilai pembentukan pansel capim dan cadewas KPK merupakan wewenang Presiden Prabowo Subianto.

    “Sebagaimana surat tanda terima, hari ini saya Boyamin telah mendaftarkan permohonan uji materi atau gugatan judicial review untuk memaknai Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana di sana mengatur presiden menyerahkan hasil pansel kepada DPR,” kata Boyamin.

    “Nah, ini saya memaknai siapa presiden gitu. Nah kalau versi saya, presidennya adalah Presiden Prabowo dan ketika Pak Jokowi membentuk pansel dan menyerahkan kepada DPR, itu tidak sah atau tidak berwenang lagi, karena apa berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112 yang dimohonkan Pak Nurul Ghufron itu kan presiden hanya memilih sekali,” sambungnya.

    (amw/dnu)

  • MK Tolak Permohonan Alexander Marwata agar Pimpinan KPK Boleh Bertemu Pihak Berperkara

    MK Tolak Permohonan Alexander Marwata agar Pimpinan KPK Boleh Bertemu Pihak Berperkara

    MK Tolak Permohonan Alexander Marwata agar Pimpinan KPK Boleh Bertemu Pihak Berperkara
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (MK) menolak permohonan mantan pimpinan
    Komisi Pemberantasan Korupsi
    (KPK)
    Alexander Marwata
    dalam gugatan perkara nomor 158/PUU-XXII/2024.
    Permohonan Alex dalam perkara tersebut meminta agar pimpinan KPK tak lagi dilarang bertemu pihak berperkara seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
    “Menolak permohonan pemohon 1 untuk seluruhnya,” tulis salinan putusan perkara tersebut yang dibacakan Kamis (2/1/2025).
    Dalam pertimbangannya, MK berpendapat KPK tak bisa disamakan dengan lembaga penegak hukum lainnya.
    Meskipun disebut sama sebagai lembaga penegak hukum, KPK dinilai memiliki karakter yang berbeda dan memiliki etika profesi masing-masing.
    “Larangan yang diberlakukan lebih ketat tidak dapat dipisahkan dari sifat kelembagaannya yang diberi kewenangan yang lebih khusus dan luar biasa, jika dibandingkan dengan lembaga hukum lainnya,” tulis salinan putusan.
    Oleh karena itu, dalil Alex yang meminta agar pimpinan KPK boleh melenggang bertemu pihak berperkara tidak dibenarkan, termasuk alasan diskriminasi terhadap pimpinan KPK.
    Menurut MK, diskriminasi dapat dikatakan terjadi apabila setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan, langsung atau tidak langsung, didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, hingga keyakinan politik.
    Sementara, perbedaan larangan kepada aparat penegak hukum untuk bertemu pihak berperkara bukanlah sebuah diskriminasi.
    “Berdasarkan kutipan (bentuk diskriminasi) pertimbangan hukum di atas, dapat diartikan adanya perbedaan larangan bagi pimpinan KPK dengan aparat penegak hukum lainnya merupakan keniscayaan. Perbedaan larangan terhadap pimpinan lembaga tersebut tergantung pada karakteristik, tugas pokok, dan fungsi masing-masing lembaga,” tulis putusan tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Video: MK Hapus Presidential Threshold, Partai Bisa Usulkan Capres

    Video: MK Hapus Presidential Threshold, Partai Bisa Usulkan Capres

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan bersejarah dengan menghapus aturan ambang batas presidensial atau Presidential Threshold yang selama ini membatasi partai politik dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selengkapnya dalam program Nation Hub CNBC Indonesia, Rabu (02/01/2025).

  • Partai Ummat: “Presidential threshold” dihapus sinyal baik demokrasi

    Partai Ummat: “Presidential threshold” dihapus sinyal baik demokrasi

    Jakarta (ANTARA) – Partai Ummat menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagai sinyal baik bagi demokrasi di tanah air sebab partisipasi politik rakyat akan meningkat.

    “Ini adalah sinyal baik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, seakan mengembalikan cahaya demokrasi pada era pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto ini,” kata Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

    Partai Ummat menilai putusan MK yang mengabulkan gugatan uji materi Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 itu merupakan pengejawantahan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya, serta pemulihan hak konstitusional rakyat dalam pemilu.

    “Rakyat diberikan alternatif yang bervariasi dengan hadirnya para putra terbaik bangsa untuk dapat ikut berkontestasi. Tidak lagi calon-calon yang sudah ditentukan oleh sebagian pihak yang selama ini sering disebut sebagai oligarki,” ujarnya.

    Untuk itu, Ridho mengatakan Partai Ummat menyambut baik atas dikabulkannya permohonan uji ambang batas pencalonan presiden, sebagaimana yang pernah diajukan pula oleh partainya ke MK.

    “Kami menyambut baik dan bergembira atas keputusan MK hari ini, yang sebenarnya pernah kami ajukan pada tahun 2022 dengan tuntutan yang sama, tetapi saat itu ditolak MK. Alhamdulillah tahun ini disetujui,” ucapnya.

    Dia pun menambahkan partainya mendorong DPR RI segera merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sesuai putusan MK tersebut.

    “Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana putusan MK ini menjadi dasar bagi DPR RI agar segera melakukan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 atau UU Pemilu agar seluruh unsur bisa bersiap mengantisipasinya,” tuturnya.

    Partai Ummat berharap revisi yang dilakukan DPR RI terhadap UU Pemilu nantinya mendukung kehidupan demokrasi Indonesia yang semakin baik.

    “Seperti pemilu dengan menggunakan e-voting berbasis blockchain yang pernah kami ajukan kepada Komisi Pemilihan Umum, tetapi terbentur undang-undang,” katanya.

    Sebelumnya, MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, PDIP Siap Bahas Rekayasa Konstitusional

    MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, PDIP Siap Bahas Rekayasa Konstitusional

    Jakarta (beritajatim.com) – Ketua DPP PDIP Said Abdullah menegaskan bahwa partainya tunduk dan patuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Hal ini disampaikan menyusul keluarnya Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan pengujian Pasal 222 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

    “Dengan keluarnya putusan ini, ketentuan mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR tidak berlaku lagi. Kami sepenuhnya tunduk pada putusan ini karena bersifat final dan mengikat,” ujar Said Abdullah dalam keterangannya, Kamis (2/1/2025).

    Said menjelaskan bahwa MK juga memberikan pertimbangan penting terkait pengaturan jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden. MK memerintahkan pemerintah dan DPR untuk membuat rekayasa konstitusional yang tetap memperhatikan hak semua partai politik untuk mengajukan pasangan calon. Hal ini bertujuan agar jumlah pasangan calon tidak terlalu banyak, yang dapat mengganggu esensi pemilu langsung oleh rakyat.

    Menurut Said, rekayasa konstitusional ini harus dilakukan secara inklusif, melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR. “Kami akan menjadikan pertimbangan MK ini sebagai pedoman dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu antara pemerintah dan DPR,” katanya.

    Said Abdullah juga menyoroti pentingnya dukungan politik yang kuat di DPR bagi pasangan presiden dan wakil presiden terpilih. Ia menjelaskan bahwa semangat DPR dalam menetapkan Pasal 222 Undang-Undang Pemilu adalah untuk memastikan keberlanjutan agenda kebijakan, anggaran, dan legislasi melalui dukungan mayoritas di parlemen.

    “Dengan putusan MK ini, kami akan mengatur mekanisme kerjasama atau koalisi partai dalam pengajuan pasangan calon, tanpa mengurangi hak setiap partai untuk mengusulkan calon. Tujuannya adalah agar presiden dan wakil presiden terpilih tetap memiliki dukungan politik yang kuat di DPR,” tegas Said.

    Lebih lanjut, Said menyoroti perlunya pengaturan syarat kualitatif bagi bakal calon presiden dan wakil presiden. Menurutnya, rekayasa konstitusional harus mencakup pengujian aspek kepemimpinan, pengalaman publik, pengetahuan tentang kenegaraan, dan rekam jejak integritas calon.

    “Pengujian ini dapat dilakukan oleh unsur perwakilan lembaga negara dan tokoh masyarakat. Ini akan menjadi bagian dari syarat sahnya penetapan calon presiden dan wakil presiden oleh KPU,” ujar Said.

    Dengan demikian, Said menegaskan bahwa PDIP siap menjalankan mekanisme yang diperintahkan oleh MK untuk menjaga kualitas demokrasi dan memastikan pemilu tetap berjalan sesuai dengan semangat konstitusi. [beq]

  • Respons Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Said Abdullah: PDI-P Tunduk dan Patuh

    Respons Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Said Abdullah: PDI-P Tunduk dan Patuh

    Respons Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Said Abdullah: PDI-P Tunduk dan Patuh
    Tim Redaksi
    KOMPAS.co
    m —  Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
    PDI-P
    ) Jawa Timur
    Said Abdullah
    menegaskan bahwa PDI-P sepenuhnya tunduk dan patuh terhadap Putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024.
    “Sebagai bagian dari partai politik, kami sepenuhnya tunduk dan patuh terhadap putusan MK karena putusan ini bersifat final dan mengikat,” ucapnya yang juga menjabat sebagai Ketua Ketua Badan Anggaran (Banggar)
    DPR
    RI dalam siaran pers, Kamis (2/1/2025).
    Pernyataan tersebut disampaikan Said sebagai tanggapan atas Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang baru saja mengabulkan pengujian pasal 222 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
    Putusan tersebut membatalkan ketentuan Presidential Threshold, yang mewajibkan partai politik atau gabungan partai politik memenuhi syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden (wapres).
    Dalam pertimbangan putusan tersebut, Said menjelaskan bahwa MK juga meminta agar pembentuk UU, yaitu pemerintah dan DPR untuk mengatur agar jumlah pasangan calon presiden (
    capres
    ) dan wakil presiden (
    cawapres
    ) tidak terlalu banyak.
    Aturan itu dimaksudkan agar pemilu presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan langsung oleh rakyat tetap menjaga esensi dan kualitasnya.
    “Dalam pertimbangannya, MK meminta agar pembentuk UU melakukan rekayasa konstitusional, namun dengan beberapa catatan penting,” imbuh Said.
    Putusan MK itu, lanjut dia, menegaskan bahwa semua partai politik berhak untuk mengusulkan pasangan capres dan cawapres, dan pengusulan tersebut tidak boleh didasarkan pada persentase kursi DPR atau suara sah nasional.
    Namun, MK mengatur bahwa pengusulan pasangan capres dan cawapres dapat dilakukan melalui gabungan partai, dengan syarat tidak menimbulkan dominasi dari satu partai atau gabungan partai yang dapat membatasi jumlah pasangan capres dan cawapres yang diajukan.
    Selain itu, MK juga memerintahkan agar pembentuk UU melibatkan partisipasi dari berbagai pihak, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR.
    “Menyikapi hal ini, kami akan menjadikan pertimbangan dari putusan MK sebagai pedoman dalam pembahasan
    revisi UU Pemilu
    yang nantinya akan dilakukan antara pemerintah dan DPR,” jelas Said.
    Pada kesempatan tersebut, Said menekankan bahwa semangat dari pembahasan Pasal 222 dalam UU Pemilu adalah untuk memperkuat dukungan politik di DPR terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terpilih.
    “Dengan dukungan yang kuat dari DPR, maka program kebijakan, anggaran, dan legislasi yang diajukan oleh presiden dan wakil presiden terpilih akan berjalan lancar,” ucapnya.
    Dengan terbitnya putusan tersebut, Said menegaskan bahwa pihaknya akan segera melaksanakan perekayasaan konstitusional yang diperintahkan oleh MK.
    Langkah
    pertama
    yang akan diambil adalah membangun kerja sama atau koalisi antarpartai politik dalam pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
    “Melalui pengaturan mekanisme kerja sama antarpartai, hak setiap partai untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden tetap terjaga,” ucap Said.
    Ia menilai bahwa dengan cara tersebut, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terpilih akan memperoleh dukungan politik yang kuat dari DPR.
    Said menyampaikan bahwa PDI-P akan mengikuti petunjuk MK dengan melakukan perekayasaan konstitusional yang mengatur syarat calon presiden dan wapres, tidak hanya berdasarkan aspek kuantitatif, tetapi juga aspek kualitatif.
    “Kami akan memastikan bahwa calon-calon tersebut memenuhi kriteria kepemimpinan yang baik, memiliki pengalaman di bidang publik, pemahaman mendalam tentang kenegaraan, serta rekam jejak integritas yang jelas,” imbuhnya.
    Hal tersebut, lanjut Said, dilakukan agar hak setiap partai dalam mengusulkan pasangan capres dan cawapres tidak hanya terbatas pada prosedur, tetapi juga pada standar kualitas yang tinggi.
    Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa pihaknya juga akan melibatkan perwakilan lembaga negara serta tokoh masyarakat untuk menguji aspek-aspek kualitatif tersebut, agar proses penetapan calon presiden dan wapres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat berjalan sesuai dengan mekanisme yang sah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan MK Soal Penghapusan Ambang Batas Capres Mesti Disambut Bahagia, Fajlurrahman Jurdi Ungkap 6 Alasannya

    Putusan MK Soal Penghapusan Ambang Batas Capres Mesti Disambut Bahagia, Fajlurrahman Jurdi Ungkap 6 Alasannya

    FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Ambang batas pencalonan presiden 20 persen kini dihapuskan. Itu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang dilayangkan Enika Maya Oktavia dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 terkait presidential threshold 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

    Menanggapi hal itu, dosen dan peneliti bidang Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas), Fajlurrahman Jurdi, menilai, putusan tersebut mesti disambut bahagia.

    “Ada beberapa alasan kenapa kita harus menerima dengan bahagia putusan ini,” katanya, Kamis (2/1/2024).

    Menurutnya, putusan itu kini membuka peluang kepada seluruh partai mengusung calonnya di Pemilihan Presiden (Pilpres). Hal tersebut dinilainya positif.

    “Pertama, peluang setiap partai untuk mengajukan pasangan calon Presiden-Wapres terbuka. Sehingga tidak ada lagi monopoli koalisi partai besar dalam pengajuan pasangan calon presiden-wapres,” ucapnya.

    Ia menjelaskan, akses yang setara itu berimbas pada rakyat. Karena preferensi pilihan di Pilpres akan banyak.

    “Kedua, rakyat punya banyak preferensi pilihan ketika calon presiden-wapres dapat diajukan oleh setiap partai politik. Rakyat tidak lagi disuguhkan calon hasil koalisi oligarkis, tetapi dapat muncul banyak alternatif,” jelasnya.

    Ketiga, ia mengatakan pada dasarnya demokrasi menjamin kesetaraan setiap orang untuk memilih dan dipilih. Tetapi, melalui ambang batas itu, hanya kelompok oligarki tertentu yang dapat dipilih.

    “Ini tidak ada kesetaraan, sebab kandidasi sudah ditentukan lebih dahulu oleh koalisi partai politik,” tambahnya.

  • Pertimbangan Hakim MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden

    Pertimbangan Hakim MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pasal 222 Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) inkonstitusional. Pasal itu mengatur soal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). 

    Pada sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025), MK mengabulkan uji materi terhadap pasal tersebut sebagaimana yang dimohonkan oleh pemohon perkara No.62/PUU-XXII-2024. 

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025). 

    Dalam amar putusannya, MK juga menyatakan pasal tersebut tidak berkekuatan hukum mengikat. 

    Sementara itu, dalam pertimbangannya, para hakim konstitusi menilai bahwa pasal 222 UU Pemilu tidak sejakan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai Undang-undang Dasar (UUD) 1945. 

    Tepatnya, pasal 222 dinilai tidak sesuai dengan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. 

    “Sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.

    Adapun, terdapat dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat atau dissenting opinion, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.

    Pemohon dari perkara No.62/PUU-XXII/2024 adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna. Semuanya adalah mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Komunitas Pemerhati Konstitusi.

    Sebagaimana diketahui, norma yang diujikan adalah Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

  • Said Abdullah Nilai Putusan MK Hapus Ambang Batas Jadi Peluang Parpol

    Said Abdullah Nilai Putusan MK Hapus Ambang Batas Jadi Peluang Parpol

    Jakarta, CNN Indonesia

    Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan putusan No. 62/PUU-XXII/2024, yang mengabulkan permohonan terhadap pengujian pasal 222 Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

    Ketua DPP PDI Perjuangan, Said Abdullah, memaparkan dengan keluarnya putusan ini, ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional tidak berlaku lagi. Oleh karena itu, partai politik kini memiliki peluang lebih besar untuk mengusung calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres).

    “Atas putusan ini, maka kami sebagai bagian dari partai politik sepenuhnya tunduk dan patuh, sebab Putusan MK bersifat final dan mengikat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (2/1).

    Ia melanjutkan, dalam pertimbangannya MK juga memerintahkan pembentuk undang undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR, untuk mengatur dalam undang undang agar tidak muncul pasangan capres dan cawapres dengan jumlah yang terlalu banyak. Hal ini berpotensi merusak hakikat pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

    Maka dari itu, MK dalam pertimbangannya meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional. Namun rekayasa tersebut diharapkan tetap memperhatikan beberapa hal penting.

    Salah satunya adalah semua parpol boleh berhak mengusulkan capres dan cawapres, dan pengusulan tersebut tidak didasarkan pada prosentase kursi DPR atau suara sah naisonal. Pengusulan pasangan itu dapat dilakukan gabungan partai dengan catatan tidak menyebabkan dominasi partai atau gabungan partai yang menyebabkan terbatasnya pasangan capres dan cawapres.

    Dalam membuat perekayasaan konstitusional tersebut, MK juga memerintahkan agar pembuat undang undang melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR.

    “Atas pertimbangan dalam putusan amar di atas, tentu kami akan menjadikannya sebagai pedoman nanti dalam pembahasan revisi undang undang pemilu antara pemerintah dan DPR,” imbuh Said.

    Ia pun menggarisbawahi bahwa semangat utama dari pengaturan ambang batas pencalonan sebelumnya adalah untuk memastikan dukungan politik yang kuat di DPR bagi pasangan presiden dan wakil presiden terpilih. Dukungan ini penting agar agenda kebijakan, anggaran, dan legislasi pemerintahan dapat berjalan lancar.

    Dengan putusan MK, penguatan dukungan politik tersebut kini dapat dilakukan melalui mekanisme kerja sama atau koalisi antarpartai. Kerja sama ini, menurut Said, akan dirancang tanpa mengurangi hak setiap partai untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    “Dengan mengatur mekanisme kerja sama partai, dengan tanpa mengurangi hak setiap partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden, maka presiden dan wakil presiden terpilih tetap akan memiliki dukungan politik yang kuat di DPR,” jelasnya.

    Selain aspek teknis, MK juga menekankan pentingnya memperhatikan kualifikasi calon pemimpin. Ia pun mendukung usulan agar calon presiden dan wakil presiden memenuhi kriteria kepemimpinan, pengalaman publik, pengetahuan kenegaraan, serta integritas.

    Evaluasi terhadap kriteria ini dapat melibatkan unsur perwakilan lembaga negara dan tokoh masyarakat, sehingga proses seleksi calon menjadi lebih komprehensif.

    “Pengujian syarat aspek aspek yang bersifat kualitatif terhadap bakal calon presiden dan wakil presiden dapat di lakukan oleh unsur dari perwakilan lembaga lembaga negara, dan perwakilan tokoh masyarakat sebagai bagian syarat sahnya penetapan calon presiden dan wakil presiden oleh KPU,” pungkas Said.

    Pengaturan ini diharapkan mampu menjamin bahwa setiap calon yang diajukan oleh partai politik tidak hanya memiliki legitimasi politik, tetapi juga kualitas personal yang mumpuni untuk memimpin bangsa. Dengan demikian, aspirasi rakyat dapat diwujudkan melalui kepemimpinan yang kompeten dan berintegritas.

    (rir/rir)

  • Golkar Terkejut MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Padahal 27 Gugatan Sebelumnya Ditolak – Halaman all

    Golkar Terkejut MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Padahal 27 Gugatan Sebelumnya Ditolak – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar, Muhammad Sarmuji mengaku pihaknya terkejut Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.

    Padahal, kata Sarmuji, MK sudah menolak puluhan gugatan yang pernah didaftarkan sejumlah kelompok terkait presidential threshold.

    Dia mencatat sudah ada 27 gugatan yang pernah digugat ke MK.

    “Keputusan MK sangat mengejutkan mengingat putusan MK terhadap 27 sebelumnya selalu menolak,” ujar Sarmuji saat dikonfirmasi, Kamis (2/1/2025).

    Dijelaskan Sarmuji, dalil MK sebelumnya tetap sama mengenai penolakan perubahan ambang batas pengusungan presiden.

    Dia pun mengaku tidak paham alasan gugatan tersebut kini dikabulkan MK.

    “Dalam 27 kali putusannya cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama yaitu maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif,” ucapnya.

    Sebagai informasi, MK menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu. 

    Putusan MK terkait penghapusan ambang batas ini merupakan permohonan dari perkara 62, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan sejumlah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    MK menyatakan syarat pengusulan pasangan calon atau paslon presiden dan wakil presiden dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selain itu, MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

    Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

    MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan Pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

    Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

    Selain itu, setelah mempelajari arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.

    Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

    Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

    Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong.

    Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan Pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.

    “Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

    Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:

    Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

    Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

    Dalam mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

    Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya

    Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

    “Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil,” kata Saldi.