Kementrian Lembaga: MK

  • Ahli puji dalil kuat empat mahasiswa penggugat presidential threshold

    Ahli puji dalil kuat empat mahasiswa penggugat presidential threshold

    Yogyakarta (ANTARA) – Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Dr. Yance Arizona memuji kekuatan dalil yang disampaikan empat orang mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga sehingga membuat Mahkamah Konstitusi menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

    Yance saat dihubungi di Yogyakarta, Jumat, mengaku diminta menjadi ahli dalam gugatan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan empat orang mahasiswa itu di MK.

    “Permohonan muncul dari mereka sendiri. Di dalam perjalanannya, mereka minta saya jadi ahli. Saya lihat juga permohonannya dan keterangan ahli saya memperkuat dalil-dalil yang sudah disusun oleh empat mahasiswa itu,” ujar Yance.

    Empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga itu, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna, yang seluruhnya adalah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum.

    Menurut Yance, dalil utama yang diajukan empat mahasiswa tersebut adalah bahwa aturan ambang batas pencalonan presiden selama ini telah menciptakan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi. Aturan itu dinilai bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas yang adil, serta hanya menguntungkan partai-partai besar.

    “Dalil mereka yang paling kuat adalah meminta MK meninjau ulang bahwa presidential threshold sebagai open legal policy ternyata telah menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, bertentangan dengan moralitas dan rasionalitas yang adil,” jelas Yance.

    Menurut dia, dalil yang diajukan mahasiswa tersebut tidak hanya mencerminkan kekhawatiran terhadap kondisi demokrasi saat ini, tetapi juga menawarkan solusi untuk membuka ruang politik yang lebih inklusif.

    Sebagai ahli, Yance mengaku hanya memberikan pengayaan terhadap argumentasi yang mereka ajukan.

    “Keterangan ahli saya memberikan pengayaan, ilustrasi, perbandingan, dan secara teoretis untuk memperkuat yang mereka sampaikan di dalam permohonan di MK,” ujar dia.

    MK, lanjut Yance, kemudian mengabulkan permohonan tersebut karena pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945 juga tidak mengatur adanya ambang batas pencalonan presiden.

    “Putusan ini lahir karena ada kekhawatiran juga selama ini karena ada monopoli pencalonan presiden yang dilakukan oleh partai-partai besar sehingga jumlah kandidat kita semakin lama semakin kurang,” ucapnya.

    Ia menambahkan bahwa MK pun melihat adanya desain politik yang mengarah pada pembatasan jumlah kandidat calon presiden.

    “Bahkan MK menilai ada desain supaya kandidatnya jadi dua saja. Jangan-jangan nanti bahkan bisa ada calon tunggal,” ujar Ketua Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia UGM ini.

    Pascaputusan MK tersebut, ia berharap partai politik perlu menyiapkan kader atau kandidat terbaiknya jauh-jauh hari tanpa hambatan syarat ambang batas.

    “Mempersiapkan jauh hari kadernya untuk tampil dalam kontestasi pilpres atau mengadakan konvensi dari kader ataupun dari luar kader untuk tampil sebagai calon presiden. Itu cukup positif untuk membangun demokrasi internal di partai,” ujarnya.

    Yance memprediksi koalisi parpol yang memungkinkan muncul pada pilpres mendatang akan terbentuk secara alami karena kesamaan visi, bukan atas dasar keterpaksaan lantaran kalkulasi ambang batas.

    Ia juga meyakini putusan MK yang bersejarah itu berpeluang besar meningkatkan partisipasi publik pada Pilpres mendatang.

    “Kalau calonnya hanya dibatasi dua, apalagi itu-itu saja dari satu pilpres ke pilpres lain, orang akan enggan untuk memilih ya karena tidak sesuai dengan aspirasi mereka. Semakin banyak pasangan calon akan semakin tinggi partisipasi pemilih, logikanya begitu,” ujar Yance.

    Sebelumnya, MK memutuskan penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025)

    Pewarta: Luqman Hakim
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Cerita 4 Mahasiswa UIN Yogya Hadapi Hakim MK di Sidang Threshold

    Cerita 4 Mahasiswa UIN Yogya Hadapi Hakim MK di Sidang Threshold

    Yogyakarta, CNN Indonesia

    Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta mengaku merasa pesimis saat pertama kali menggugat Pasal 222 UU Pemilu soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK).

    Awalnya, para mahasiswa ini merasa tak yakin gugatan mereka akan dikabulkan hakim-hakim MK. 

    “Untuk optimis atau tidak, jawab jujur tidak optimis,” kata Enika Maya Oktavia, salah satu mahasiswa UIN Suka pemohon uji materi UU Pemilu, Jumat (3/1).

    Enika dan ketiga rekannya sempat merasa rendah diri melihat hasil permohonan gugatan yang mereka susun. Keempatnya merasakan pengalaman yang sangat berbeda ketika menyusun draft permohonan asli dan sewaktu melakoni praktek peradilan semu di kampus.

    “Ketika kami baca permohonan kami, kok jelek, ya. Kemudian kami masuk ke sidang pendahuluan, nah itu semua dikuliti oleh Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi,” katanya.

    “Lalu kami merasa, wah ini chance untuk ke persidangan pokok permohonan saja sepertinya sangat kecil,” sambung mahasiswi prodi Hukum Tata Negara UIN Suka semester 7 itu.

    Bahkan, ketika Enika dan ketiga rekannya berdiskusi dengan para anggota Komunitas Pemerhati Konstitusi –organisasi resmi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga– lebih banyak yang memprediksi permohonan tersebut akan ditolak.

    “Jadi, kami pribadi tidak ada chance karena ini akan mengubah peta perpolitikan di Indonesia itu sendiri,” ucapnya.

    “Tapi hamdallah, alhamdulillah kemudian lanjut,” imbuh Enika.

    Faisal Nasirul Haq, mahasiswa UIN Suka lain penggugat presidential threshold juga merasakan hal yang sama.

    Tapi, dia percaya langkahnya maju ke MK pasti akan menghadirkan sisi positif meskipun gugatannya kandas.

    “Mungkin bisa berguna bagi pemohon-pemohon berikutnya apabila kami gugur di perkara ini,” katanya.

    Yakin legal standing tak mental

    Meski diliputi rasa pesimis, Enika dan rekan-rekan teguh berpikiran bahwa legal standing atau kedudukan hukum mereka mengajukan permohonan ke MK tak akan dipermasalahkan.

    Enika bilang, sejak uji materi pertama hingga ke-32, MK tidak pernah mengabulkan permohonan pemohon untuk menghapus angka presidential threshold.

    Menurutnya, MK berpandangan, karena subjek hukum yang mempunyai hak konstitusional untuk mengusulkan peserta Pilpres adalah parpol, maka parpol pula yang memiliki legal standing untuk menguji konstitusionalitas ambang batas pencalonan.

    Dalam argumennya, Enika dan rekan-rekan menyatakan masyarakat atau pemilih seringkali dianggap bukan selaku subjek, melainkan objek dalam pelaksanaan demokrasi.

    Argumen itu merujuk pada fakta setiap legal standing dari para penggugat sebelumnya terkait pemilu, banyak yang digugurkan MK. Namun mereka berhasil melampaui argumen bahwa pemilih adalah objek. 

    “Kami menekankan bahwa pemilih itu bukan objek demokrasi, melainkan subjek demokrasi yang seharusnya pendapatnya didengarkan. 32 putusan sebelum perkara kami itu sudah membuktikan bahwa masyarakat enggan adanya presidential threshold,” jelas Enika.

    “Maka, seharusnya DPR selaku perwakilan kita di parlemen itu memahami betul keinginan masyarakat. Bukan kemudian mengabaikan aspirasi. 32 putusan itu bukan angka yang kecil. Sekali lagi untuk legal standingnya kami tekankan bahwa pemilih itu bukanlah objek demokrasi, melainkan subjek demokrasi. Sehingga, ketika kita melakukan judicial review di MK, legal standing kita seharusnya tidak dipertanyakan,” pungkasnya.

    Keputusan MK yang dibacakan dalam sidang putusan, Kamis (2/1), mengabulkan gugatan yang dilayangkan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.

    Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai proses kandidasi calon di pilpres selama ini terlalu didominasi partai politik tertentu dan akibatnya, membatasi hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif calon pemimpin mereka.

    Mahkamah juga menilai penerapan ambang batas pencalonan presiden justru membuat kecenderungan pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Padahal, pengalaman sejak pemilihan langsung menunjukkan, dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.

    (kum/wis)

    [Gambas:Video CNN]

  • MPR apresiasi MK hapus “presidential treshold” guna kualitas demokrasi

    MPR apresiasi MK hapus “presidential treshold” guna kualitas demokrasi

    MK dengan putusan terakhir yang menghapus PT dengan argumentasi konstitusi, rasio dan etika serta moralitas itu dapat menegakkan semua aturan konstitusi. Hal ini dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan hasil pemilu bukan hanya pilpres saja

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengapresiasi dan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) meski telat, guna meningkatkan kualitas demokrasi.

    Menurutnya, selain sesuai dengan aspirasi dan harapan masyarakat luas, hal itu juga sejalan dengan konstitusi yang membuka harapan akan hadirnya pilpres yang lebih demokratis dengan bisa majunya lebih banyak lagi capres dan cawapres yang berkualitas.

    “Sekalipun telat, tapi keputusan penting itu tetap diapresiasi, agar ke depan tidak terulang lagi pembelahan di tingkat Rakyat akibat dari hanya adanya kandidat capres/cawapres yang sangat terbatas akibat adanya PT 20 persen,” kata pria yang akrab disapa HNW dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

    Meski begitu, dia mengakui MK sendiri di dalam putusan ini juga seperti mengkhawatirkan adanya jumlah calon presiden yang terlalu banyak, sehingga memberikan amanat kepada DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) dengan melakukan revisi UU Pemilu.

    HNW menambahkan agar MK dengan putusan terakhir yang menghapus PT dengan argumentasi konstitusi, rasio dan etika serta moralitas itu dapat menegakkan semua aturan konstitusi.

    Hal ini dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan hasil pemilu bukan hanya pilpres saja. Untuk itu, ia juga berharap agar MK konsisten menegakkan atau memberlakukan ketentuan-ketentuan konstitusi dengan merevisi/meluruskan beberapa putusan MK lainnya.

    Dirinya mencontohkan salah satunya adalah terkait dengan masih diberlakukannya ambang batas pencalonan kepala daerah, di mana di dalam putusan terakhirnya soal pilkada, MK masih menetapkan adanya ambang batas pencalonan sekalipun sudah jauh di bawah 20 persen.

    HNW menyebutkan putusan MK mengenai pileg dan pilpres yang dilakukan secara serentak dan mulai diberlakukan pada Pileg dan Pilpres tahun 2019 juga perlu dipertimbangkan untuk dievaluasi dan dikoreksi oleh MK.

    Masalahnya, bila merujuk kepada Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) dan ketentuan lain dalam konstitusi, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan bahwa pemilu (pileg dan pilpres) dilakukan secara serentak.

    Ia mengusulkan agar poin-poin itu juga sebaiknya menjadi bahan pembahasan di DPR sebagaimana amanat dari MK untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering).

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

  • Kami Sepenuhnya Tunduk dan Patuh

    Kami Sepenuhnya Tunduk dan Patuh

    loading…

    Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Said Abdullah menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

    JAKARTA – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Said Abdullah menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

    Hal itu tertuang dalam putusan Nomor: 62/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan permohonan terhadap pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

    Said mengatakan, dengan keluarnya putusan ini maka ketentuan Pasal 222 Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang syarat pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik paling sedikit 20% kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional dalam pemilu DPR atau Presidential Threshold (PT) tidak berlaku lagi.

    “Atas putusan ini, maka kami sebagai bagian dari partai politik sepenuhnya tunduk dan patuh, sebab putusan MK bersifat final dan mengikat,” ujar Said, Jumat (3/12/2024).

    Dalam pertimbangannya, MK memerintahkan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR untuk mengatur dalam undang-undang agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak yang berpotensi merusak hakikat pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. ”MK dalam pertimbangannya meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional,” katanya.

    Namun tetap memperhatikan hal-hal seperti semua parpol boleh berhak mengusulkan capres dan cawapres dan pengusulan tersebut tidak didasarkan pada prosentase kursi DPR atau suara sah naisonal.

    “Pengusulan pasangan capres dan cawapres itu dapat dilakukan gabungan partai dengan catatan tidak menyebabkan dominasi partai atau gabungan partai yang menyebabkan terbatasnya pasangan capres dan cawapres,” ujarnya.

    MK juga memerintahkan agar pembuat undang undang melibatkan partisisipasi semua pihak termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR. “Atas pertimbangan dalam putusan amar di atas, tentu kami akan menjadikannya sebagai pedoman nanti dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu antara pemerintah dan DPR,” katanya.

  • Penghapusan `presidential threshold` sesuai amanat reformasi

    Penghapusan `presidential threshold` sesuai amanat reformasi

    Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno ANTARA/Melalusa Susthira K/am.

    MPR: Penghapusan `presidential threshold` sesuai amanat reformasi
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 03 Januari 2025 – 14:34 WIB

    Elshinta.com – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyambut positif Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold karena merupakan amanat reformasi yang selama ini konsisten diperjuangkan dalam berbagai agenda dan kebijakan politik.

    “Dalam UUD NRI 1945 sangat jelas bahwa calon presiden dan wakil presiden diusung oleh partai politik dan atau gabungan partai politik. Apa yang diputuskan MK sesungguhnya menegaskan apa yang termaktub dalam UUD NRI 1945,” kata Eddy dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (3/1).

    Dia menjelaskan sejak awal pihaknya memperjuangkan agar ruang demokrasi dibuka seluas-luasnya dengan memberikan kesempatan pada putra-putri terbaik bangsa sebagai capres dan cawapres.

    “Sudah seharusnya pemilihan presiden menjadi ruang adu ide dan gagasan putra-putri terbaik bangsa yang diajukan melalui partai politik dan tidak dihalangi oleh ambang batas,” ujarnya.

    Selain itu, Eddy mengatakan dengan semakin terbukanya kesempatan bagi putra-putri terbaik bangsa untuk maju dalam pilpres maka rakyat memiliki kesempatan untuk memilih yang terbaik diantara kandidat-kandidat terbaik.

    “Rakyat sebagai pemilih akan lebih selektif dalam memilih kandidat berbasis pada ide, gagasan dan visi misi yang disampaikan. Keputusan MK ini memberikan kedaulatan yang lebih luas untuk rakyat sebagai pemilih dalam memutuskan yang terbaik,” pungkas dia.

    Sebelumnya, MK memutuskan penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Sumber : Antara

  • MK hapus Presidential Threshold, Pengamat: Atasi monopoli elektoral

    MK hapus Presidential Threshold, Pengamat: Atasi monopoli elektoral

    ANTARA – Pengamat Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) menganggap penghapusan Presidential Threshold atau penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan keputusan yang dapat mengatasi monopoli elektoral. Kepada ANTARA, di Jakarta, Jumat (3/1), ia berpendapat keputusan ini berdampak positif bagi demokrasi, masyarakat, dan pilpres mendatang.
    (Setyanka Harviana Putri/Irfansyah Naufal Nasution/Fahrul Marwansyah/I Gusti Agung Ayu N)

  • Jokowi Tanggapi Putusan MK Soal Presidential Threshold: Kita Semua Harus Menghormati

    Jokowi Tanggapi Putusan MK Soal Presidential Threshold: Kita Semua Harus Menghormati

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.

    Dia meminta publik menghormati keputusan terkait presidential threshold atau ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    “Ya, itu kan keputusan final dan mengikat, kita semua harus menghormati apa yang diputuskan oleh MK,” katanya dilansir dari Antara, Jumat (3/1/2025).

    Jokowi mengatakan dengan keputusan tersebut maka ke depan akan ada banyak alternatif untuk calon presiden dan wakil presiden. Dia berharap nantinya keputusan tersebut segera ditindaklanjuti oleh pembuat undang-undang, yakni DPR RI.

    “Ya harapannya kan seperti itu,” katanya.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.

  • Anwar Usman Tegaskan Penghapusan Presidential Threshold Tidak Berdasar

    Anwar Usman Tegaskan Penghapusan Presidential Threshold Tidak Berdasar

    Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan untuk menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Meski demikian, keputusan ini disertai dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda dari dua hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.

    Ketua MK Suhartoyo menjelaskan bahwa dua hakim, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh, memiliki pandangan hukum yang berbeda dengan mayoritas hakim konstitusi. 

    “Terhadap hal tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Anwar Usman memiliki pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) dari mayoritas hakim konstitusi, khususnya mengenai kedudukan hukum para Pemohon,” ujar Suhartoyo dalam putusan perkara 62/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Kamis 2 Januari 2025.

    Baca juga: 5 Fakta MK Hapus Presidential Threshold 20%, Semua Parpol Bisa Usulkan Capres-Cawapres

    Lebih lanjut, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh berpendapat bahwa untuk memohon pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, pemohon harus dapat menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang mereka alami akibat berlakunya suatu undang-undang. 

    Mereka menilai, meskipun pembatasan pihak yang dapat mengajukan pengujian bukan berarti norma tersebut ‘kebal’ dari uji materi, namun karena tidak ada kerugian konstitusional yang dirasakan oleh pemohon, Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. 

    “Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard),” ujar Anwar Usman.

    Sebelumnya, MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini memberi kesempatan bagi seluruh partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus memenuhi presidential threshold yang selama ini diberlakukan.

    Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan untuk menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Meski demikian, keputusan ini disertai dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda dari dua hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.
     
    Ketua MK Suhartoyo menjelaskan bahwa dua hakim, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh, memiliki pandangan hukum yang berbeda dengan mayoritas hakim konstitusi. 
     
    “Terhadap hal tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Anwar Usman memiliki pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) dari mayoritas hakim konstitusi, khususnya mengenai kedudukan hukum para Pemohon,” ujar Suhartoyo dalam putusan perkara 62/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Kamis 2 Januari 2025.
    Baca juga: 5 Fakta MK Hapus Presidential Threshold 20%, Semua Parpol Bisa Usulkan Capres-Cawapres
     
    Lebih lanjut, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh berpendapat bahwa untuk memohon pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, pemohon harus dapat menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang mereka alami akibat berlakunya suatu undang-undang. 
     
    Mereka menilai, meskipun pembatasan pihak yang dapat mengajukan pengujian bukan berarti norma tersebut ‘kebal’ dari uji materi, namun karena tidak ada kerugian konstitusional yang dirasakan oleh pemohon, Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. 
     
    “Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard),” ujar Anwar Usman.
     
    Sebelumnya, MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini memberi kesempatan bagi seluruh partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus memenuhi presidential threshold yang selama ini diberlakukan.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DHI)

  • Gagal Hari Ini, KPK Korsel Siap Tangkap Presiden Yoon Lagi Senin Depan

    Gagal Hari Ini, KPK Korsel Siap Tangkap Presiden Yoon Lagi Senin Depan

    Jakarta, CNN Indonesia

    Kantor Investigasi Korupsi untuk Pejabat Tinggi (CIO), akan kembali berupaya menangkap Presiden yang dimakzulkan Yoon Suk Yeol pada 6 Januari atau Senin mendatang.

    CIO punya waktu hingga Senin (6/1) untuk menangkap Yoon atas dugaan pemberontakan dan penyalahgunaan kekuasaan usai deklarasi darurat militer.

    “Kami berencana untuk memutuskan langkah selanjutnya setelah peninjauan,” demikian pernyataan resmi CIO, dikutip Yonhap.

    Mereka menyesalkan perilaku tersangka yang menolak mematuhi prosedur hukum yang ditetapkan.

    Tim CIO sebetulnya sudah mengunjungi kediaman Yoon untuk menangkap dia pada hari ini, Jumat. Namun, mereka dihalangi pendukung hingga militer.

    Menurut laporan terdapat sekitar 2.700 pasukan keamanan, ribuan pendukung, dan ratusan bus yang bersiaga.

    CIO sempat bernegosiasi dengan berbagai pihak, tetapi buntu. Mereka lantas memutuskan untuk menunda penangkapan Yoon karena alasan keamanan.

    “Kami memutuskan bahwa pelaksanaan surat perintah penahanan secara praktis tidak mungkin dilakukan karena konfrontasi yang terus berlanjut, dan menangguhkan pelaksanaan karena khawatir akan keselamatan personel di lokasi yang disebabkan oleh perlawanan,” lanjut mereka.

    Surat pengadilan

    CIO hendak menangkap Yoon setelah pengadilan Seoul merilis surat penangkapan pada pekan lalu. Surat itu juga merupakan permintaan dari lembaga tersebut karena sang presiden sudah tiga kali mangkir dari panggilan.

    Yoon sedang dalam penyelidikan terkait deklarasi darurat militer pada 3 Desember lalu. Dia juga dituduh melakukan pemberontakan dan penyalahgunaan kekuasaan.

    Di luar itu, dia sedang menunggu nasib soal status presiden yang digodok Mahkamah Konstitusi untuk menentukan dari sisi hukum. Jika sah, Yoon akan lengser dari kursi presiden, tetapi jika dianggap ilegal dia kembali memegang kekuasaan.

    (isa/asa)

    [Gambas:Video CNN]

  • Mahfud MD Sebut Putusan MK Hapus Presidential Threshold Harus Ditaati, Ini Alasannya

    Mahfud MD Sebut Putusan MK Hapus Presidential Threshold Harus Ditaati, Ini Alasannya

    Mahfud MD Sebut Putusan MK Hapus Presidential Threshold Harus Ditaati, Ini Alasannya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
    Mahfud MD
    menyambut positif putusan MK nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.
    Menurut Mahfud, putusan itu harus diterima dan ditaati karena dua alasan.
    “Pertama, karena adanya dalil bahwa putusan hakim yang sudah inkracht itu mengakhiri konflik dan harus dilaksanakan,” kata Mahfud dalam keterangannya, dikutip pada Jumat (3/1/2025).
    Kedua, Mahfud menilai selama ini adanya ambang batas kerap digunakan untuk merampas hak rakyat maupun partai politik (parpol) untuk dipilih maupun memilih.
    “Oleh sebab itu, vonis MK ini merupakan vonis yang bisa menjadi landmark decision baru. Ini bagus karena MK telah melakukan judicial activism untuk membangun keseimbangan baru dalam ketatanegaraan kita,” ungkap mantan Menko Polhukam ini.
    Mahfud mengatakan bahwa permohonan penghapusan ambang batas pencalonan presiden telah banyak dilakukan oleh masyarakat.
    Akan tetapi, menurutnya, pengajuan gugatan itu telah belasan kali selalu ditolak oleh MK dengan alasan open legal policy (OPL).
    “Sekarang setelah banyak hak konstitusional yang terampas oleh threshold, maka MK baru membuat pandangan baru yang mengikat dan harus dilaksanakan. Saya salut kepada MK yang berani melakukan judicial activism yang sesuai dengan aspirasi rakyat,” pungkas Mahfud.
    Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan gugatan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold.
    Hal tersebut diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
    Dengan putusan tersebut, MK memandang bahwa partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres).
    Pasalnya, dalam putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 tentang Undang-Undang Pemilu, MK menghapus aturan terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.
    “Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar hakim MK Saldi Isra dalam pembacaan putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis.
    Hakim Konstitusi Saldi Isra juga menyebut, Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, sekaligus melanggar moralitas.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.