Kementrian Lembaga: MK

  • AS Setujui Penjualan Torpedo Rp 1,2 Triliun ke Arab Saudi

    AS Setujui Penjualan Torpedo Rp 1,2 Triliun ke Arab Saudi

    Washington DC

    Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) telah menyetujui kemungkinan penjualan puluhan unit torpedo buatannya kepada Arab Saudi. Nilai penjualan senjata militer buatan Washington ini mencapai US$ 78,5 juta (Rp 1,2 triliun).

    Pentagon atau Departemen Pentagon, seperti dilansir Al Arabiya, Sabtu (4/1/2025), menyebut persenjataan yang akan dijual kepada Riyadh ini merupakan jenis Torpedo Ringan MK 54 MOD 0. Disebutkan bahwa ada 20 unit torpedo jenis tersebut yang akan dijual kepada Saudi.

    “Penjualan yang diajukan ini akan meningkatkan kemampuan Arab Saudi untuk mencegah ancaman saat ini dan ancaman masa depan dengan meningkatkan kemampuan perang anti-kapal selam,” sebut Pentagon dalam pernyataannya.

    Menteri Pertahanan (Menhan) AS Lloyd Austin telah berulang kali menegaskan kembali komitmen Washington terhadap pertahanan Riyadh kepada Menhan Saudi Pangeran Khalid bin Salman dan berterima kasih atas upaya Saudi dalam mendorong ketenangan di kawasan Timur Tengah.

    Para jenderal militer terkemuka AS dan Saudi telah membahas kekhawatiran keamanan dan stabilitas di Timur Tengah dalam percakapan telepon bulan lalu.

    Pentagon dalam pernyataannya mengatakan Pemimpin Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal CQ Brown, dan Kepala Staf Umum Saudi, Jenderal Fayyad Al-Ruwaili, berbicara tentang pentingnya meredakan ketegangan secara damai di kawasan tersebut.

    “Kedua jenderal itu berbicara tentang cara-cara untuk meningkatkan kekuatan hubungan bilateral antara militer AS dan Arab Saudi, termasuk peningkatan kapasitas, pelatihan dan latihan militer,” tutur juru bicara Kepala Staf Gabungan AS, Jereal Dorsey, membahas isi percakapan telepon pada Desember lalu.

    Lihat juga video: Rekaman Penyelamatan Bangkai Kapal Selam Titan Dirilis

    (nvc/idh)

  • PKB Buka Peluang Usung Kader Jadi Capres Usai Putusan MK – Page 3

    PKB Buka Peluang Usung Kader Jadi Capres Usai Putusan MK – Page 3

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis 2 Januari 2025.

    MK berpendapat, kata Suhartoyo, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Menurut MK, kata dia, Pasal 222 yang mengatur terkait persyaratan ambang batas pencalonan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol dengan minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tegas Suhartoyo.

    Sebagai informasi, putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Diketahui, uji materi itu akhirnya dikabulkan MK setelah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.

  • Untung Rugi Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Ketum Golkar: Kami Baca Dulu

    Untung Rugi Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Ketum Golkar: Kami Baca Dulu

  • MK Hapus Presidential Threshold, Parpol Harus Berani Calonkan Kader Menantang Prabowo Pilpres 2029 – Halaman all

    MK Hapus Presidential Threshold, Parpol Harus Berani Calonkan Kader Menantang Prabowo Pilpres 2029 – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio (Hensa) meminta partai politik untuk berani mencalonkan kader terbaiknya dalam Pilpres 2029. 

    Hal ini merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden dari 20 persen menjadi nol persen.

    “Menurut saya, dengan keputusan MK nol persen untuk pencalonan presiden, maka partai-partai politik yang layak dipertahankan oleh masyarakat adalah memang partai politik yang berani mengajukan kadernya di Pilpres 2029,” kata Hensa, Sabtu (4/1/2025).

    Hensa mendorong partai politik untuk mempersiapkan kader terbaik mereka sejak saat ini, termasuk memberikan investasi elektoral yang diperlukan agar dapat bersaing. 

    Menurutnya, investasi elektoral menjadi salah satu syarat penting untuk seorang calon presiden, meskipun tidak semua kader partai memilikinya.

    “Mulai saat ini para parpol harus groom (menyiapkan) kader-kader terbaiknya dari sekarang, berikanlah mereka investasi-investasi elektoral supaya di 2029 nanti bisa jadi calon presiden yang bisa menantang Prabowo,” ujar Hensa.

    Hensa menilai, keberanian partai politik untuk mengajukan calon dalam kontestasi Pilpres merupakan wujud demokrasi yang sehat. 

    Dia mengingatkan bahwa ketakutan akan kekalahan tidak seharusnya menjadi alasan bagi partai untuk tidak mencalonkan kader.

    “Jangan sampai kemudian banyak partai politik yang tidak punya calon dengan alasan sebetulnya mereka punya kader tetapi tidak berani saja mencalonkan diri kadernya, mencalonkan kadernya karena takut kalah atau karena takut tidak kebagian kekuasaan,” tegas Hensa.

    Hensa juga menyuarakan agar masyarakat mulai mengevaluasi keberadaan partai politik yang tidak berani mencalonkan kadernya. 

    Menurutnya, partai politik memiliki tanggung jawab kepada publik karena mendapat dukungan dana dari negara.

    “Kalau ternyata mereka tidak berani mendorong kader-kadernya sebagai calon pemimpin nasional, lebih baik kita doain saja supaya partai politik itu bubar,” ucap Hensa.

    MK Hapus Presidential Threshold

    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.

    Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selain itu, MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

    Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

    MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan Pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

    Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

    Selain itu setelah mempelajari arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 paslon.

    Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya 2 paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

    Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

    Kecenderungan calon tunggal juga telah dilihat MK dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bertendensi ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong. Artinya mempertahankan ambang batas presiden, berpotensi menghalangi pelaksanaan Pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.

    “Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

    Berkenaan dengan itu MK juga mengusulkan kepada pembentuk undang-undang dalam revisi UU Pemilu dapat merekayasa konstitusional. Meliputi:

    Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

    Pengusulan paslon oleh parpol atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

    Dalam mengusulan paslon presiden dan wakil presiden, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi parpol atau gabungan parpol sehingga menyebabkan terbatasnya paslon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

    Parpol peserta pemilu yang tidak mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya

    Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

    “Telah ternyata ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil,” kata Saldi.

  • Mengapa Begitu Sulit Menangkap Presiden Korsel yang Dimakzulkan?

    Mengapa Begitu Sulit Menangkap Presiden Korsel yang Dimakzulkan?

    Seoul

    Lebih dari 100 petugas polisi dipersenjatai dengan surat perintah penangkapan, namun pihak berwenang Korea Selatan gagal menangkap Presiden Yoon Suk Yeol yang dimakzulkan setelah kebuntuan selama enam jam di luar rumahnya.

    Selama itulah konfrontasi dengan tim keamanan Yoon berlangsung saat mereka membentuk barikade manusia dan menggunakan kendaraan untuk menghalangi tim yang melakukan penangkapan, menurut media lokal.

    Ini hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam politik Korea Selatan.

    Perintah darurat militer yang dikeluarkan Yoon yang mengejutkan namun berumur pendek diikuti dengan pemungutan suara pemakzulan terhadapnya.

    Investigasi kriminal yang ditujukan terhadap Yoon disambut dengan penolakannya untuk hadir dalam pemeriksaan dan, awal pekan ini, surat perintah penangkapan terhadap Yoon dikeluarkan.

    Pemimpin sayap kanan ini masih memiliki basis dukungan yang kuat. Ribuan pendukungnya berada di luar rumahnya pada Jumat (03/01) pagi untuk menentang penangkapannya.

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Yoon kini menjadi pemimpin yang dimakzulkan oleh parlemen, diskors dari jabatannya dan sedang menunggu putusan Mahkamah Konstitusi yang akan memecatnya dari jabatan presiden secara resmi.

    Lalu mengapa begitu sulit bagi polisi untuk menangkapnya?

    Orang-orang yang menjaga presiden

    Meskipun wewenang Yoon sebagai presiden telah dicopot setelah parlemen memutuskan untuk memakzulkannya dia masih berhak mendapatkan pengamanan.

    Orang-orang tersebut memainkan peran kunci dalam menghalangi penangkapan pada Jumat (03/01).

    Badan Keamanan Kepresidenan (PSS) bisa saja bertindak karena kesetiaan kepada Yoon atau karena “pemahaman yang salah mengenai peran hukum dan konstitusional mereka”, kata Mason Richey, seorang profesor di Hankuk University of Foreign Studies di Seoul.

    Petugas polisi mengeluarkan pendukung Presiden Korea Selatan yang dimakzulkan Yoon Suk Yeol dari luar kediaman resminya di Seoul (Getty Images)

    Mengingat Yoon telah diberhentikan sementara, PSS semestinya mengikuti arahan dari penjabat Presiden Choi Sang-mok.

    “Mereka kemungkinan tidak diinstruksikan oleh penjabat Presiden Choi untuk mundur, atau mereka menolak perintahnya,” kata Richey.

    Beberapa pakar meyakini bahwa petugas keamanan menunjukkan “kesetiaan tanpa syarat” kepada Yoon, bukan kepada siapa yang menjabat sebagai presiden.

    Faktanya, ketua PSS Park Jong-joon ditunjuk oleh Yoon pada September lalu.

    Baca juga:

    “Mungkin saja Yoon telah menyemai organisasi tersebut dengan loyalis garis keras sebagai persiapan menghadapi kemungkinan ini,” kata pengacara yang berbasis di AS dan pakar Korea Christopher Jumin Lee.

    Dan pendahulu Park adalah mantan menteri pertahanan Kim Yong-hyun, yang dituduh menasihati Yoon untuk memberlakukan darurat militer.

    Dia saat ini ditahan untuk diinterogasi sebagai bagian dari penyelidikan kriminal terhadap Yoon.

    Para pengkritik Presiden Yoon berhadapan dengan polisi setelah pihak berwenang batal menangkap sang presiden (Reuters)

    Risiko eskalasi

    Solusi “paling sederhana”, kata Lee, adalah penjabat presiden Choi memerintahkan PSS mundur untuk sementara waktu.

    “Jika dia tidak mau melakukannya, itu mungkin menjadi alasan bagi pemakzulannya oleh Majelis Nasional,” tambahnya.

    Choi, yang menjabat sebagai Menteri Keuangan, mengambil alih kepemimpinan negara tersebut setelah parlemen memutuskan memakzulkan pengganti pertama Yoon, Perdana Menteri Han Duck-soo.

    Presiden Korea Selatan yang dimakzulkan, Yoon Suk-yeol (Getty Images)

    Kebuntuan politik ini juga mencerminkan polarisasi dalam politik Korea Selatan antara pihak yang mendukung Yoon, dan keputusannya untuk memberlakukan darurat militer, serta pihak yang menentangnya.

    Dan perbedaannya tidak berhenti sampai disitu saja.

    Mayoritas warga Korea Selatan setuju bahwa pengumuman darurat militer yang dilakukan Yoon pada 3 Desember silam adalah salah dan dia harus bertanggung jawab, kata Duyeon Kim, seorang peneliti senior di Center for a New American Security.

    Baca juga:

    Kendati begitu, menurut Kim, mereka tidak sepakat mengenai pertanggungjawaban atas aksi itu.

    “Para aktor yang terlibat tidak sepakat mengenai proses, prosedur, dan dasar hukum mereka, sehingga menambah ketidakpastian politik saat ini,” jelasnya.

    Ketidakpastian tersebut juga menciptakan ketegangan seperti yang terjadi pada Jumat di dalam dan di luar kediaman presiden Yoon, tempat para pendukungnya berkemah selama berhari-hari, yang berujung pada bentrokan dengan polisi.

    Beberapa pendukung Yoon menggunakan slogan yang digunakan Presiden Trump: Stop The Steal (Getty Images)

    Penegakan hukum bisa kembali dilakukan dengan lebih banyak pengerahan pasukan dan menggunakan kekerasan, tetapi hal itu akan “sangat berbahaya,” kata Mason.

    PSS juga mempunyai persenjataan lengkap, sehingga petugas yang menangkap akan berusaha menghindari eskalasi.

    “Apa yang terjadi jika polisi datang dengan surat perintah tambahan yang menyerukan penangkapan personel PSS, [PSS] juga menentang surat perintah tersebut dan kemudian mengacungkan senjata?” kata Lee.

    Polisi kini mengatakan mereka sedang menyelidiki direktur PSS dan wakilnya karena menghalangi mereka sehingga mungkin ada lebih banyak tuduhan dan surat perintah penangkapan yang akan datang.

    Tantangan bagi badan antikorupsi Korsel

    Dampak dari perintah darurat militer yang dikeluarkan Yoon juga menjadi tantangan bagi badan antikorupsi Korsel (CIO) yang menyelidikinya.

    Badan yang baru beroperasi selama empat tahun ini dibentuk sebagai respons atas kemarahan publik terhadap mantan presiden Park Geun-hye.

    Park dimakzulkan, dicopot dari jabatannya dan kemudian dipenjara karena skandal korupsi.

    Meskipun presiden Korea Selatan pernah dipenjara sebelumnya, Yoon adalah orang pertama yang ditahan sebelum ia mengundurkan diri.

    Park Geun-hye dimakzulkan, dicopot dari jabatannya dan kemudian dipenjara karena skandal korupsi (Getty Images)

    Penyelidik memiliki waktu hingga 6 Januari untuk menangkap Yoon sebelum surat perintah penangkapannya berakhir.

    Mereka mungkin akan mencoba menangkap Yoon lagi pada akhir pekan, meskipun akhir pekan ini bisa menimbulkan tantangan yang lebih besar jika jumlah pendukungnya bertambah.

    CIO juga dapat mengajukan surat perintah baru dan mencoba menahannya lagi.

    Mengingat seberapa jauh Korea Selatan kini telah terjerumus dalam krisis politik yang belum pernah terjadi sebelumnya, ketidakpastian kemungkinan akan terus berlanjut.

    Laporan tambahan oleh Ewe Koh

    Lihat juga video: Drama Upaya Penangkapan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol

    (nvc/nvc)

  • Syarat Capres Tanpa Threshold Bakal Dibahas Lewat Revisi UU Pemilu

    Syarat Capres Tanpa Threshold Bakal Dibahas Lewat Revisi UU Pemilu

    Jakarta, CNN Indonesia

    Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah siap membahas Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

    “Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR,” ucap Yusril.

    “Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat pemilu dan masyarakat tentu akan dilibatkan dalam pembahasan itu nantinya,” sambungnya.

    Sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 1945, terang Yusril, putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Dengan demikian, semua pihak termasuk pemerintah terikat dengan putusan MK tanpa dapat melakukan upaya hukum apa pun.

    Dalam keterangan tertulisnya itu, Yusril menyatakan pemerintah menyadari permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir dikabulkan.

    Kata dia, pemerintah melihat ada perubahan sikap MK terhadap konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu dibanding putusan-putusan sebelumnya.

    “Namun, apa pun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis,” ucap Yusril.

    “MK berwenang menguji norma Undang-Undang dan berwenang pula menyatakannya bertentangan dengan UUD ’45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” lanjut dia.

    MK sebelumnya mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan oleh empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoriul Fatna.

    MK menilai Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal itu dinilai melanggar hak politik dan kedaulatan rakyat serta melanggar moralitas.

    Dengan putusan tersebut, setiap partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu mendatang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa ambang batas lagi.

    Guna mencegah menjamurnya pasangan calon, MK merekomendasikan lima poin yang termuat dalam rekayasa konstitusional atau constitutional engineering.

    Putusan tersebut tidak bulat. Pasalnya, dua hakim konstitusi Anwar Usman dan Danie Yusmic P. Foekh memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion.

    (ryn/gil)

    [Gambas:Video CNN]

  • Dede Yusuf Jamin Syarat Capres Bakal Diperketat Usai PT 20% Dihapus MK

    Dede Yusuf Jamin Syarat Capres Bakal Diperketat Usai PT 20% Dihapus MK

    Jakarta

    Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf mengatakan pihaknya siap membahas rekayasa konstitusional agar calon presiden-wakil presiden tak terlalu banyak usai presidential threshold (PT) 20% dihapus. Dia menjamin DPR melibatkan berbagai unsur.

    “Ya ini memang dari kemarin sudah kami sampaikan bahwa rekayasa konstitusional ataupun ‘constitutional engineering’. Itu tentu harus melibatkan berbagai stakeholder, dari perwakilan masyarakat, akademisi, dari civil society, dari government dan tidak kalah pentingnya adalah dari partai politik,” kata Dede kepada wartawan, Jumat (3/1/2025).

    Dia mengatakan partai politik merupakan peserta Pemilu yang dapat mengusung capres-cawapres. Sehingga, menurutnya, pendapat parpol sangat penting untuk menyusun aturan terkait syarat capres-cawapres.

    “Karena bagaimanapun juga pesertanya adalah bagian daripada partai politik itu sendiri, sehingga kita juga harus mengedepankan masukan-masukan dari partai-partai politik,” ujarnya.

    Politikus Demokrat ini menyebut pihaknya akan mengkaji kemungkinan jumlah minimal dan maksimal pasangan capres-cawapres. Dia mengatakan pembentuk undang-undang harus memikirkan efektivitas dan urusan anggaran untuk Pemilu.

    “Soal nanti berapa banyaknya calon apakah ada minimalnya atau maksimalnya tentu kita harus cari mana yang lebih efektif dan efisien tentunya. Baik dari sisi anggaran negara ataupun efektivitasnya,” ucapnya.

    “Persyaratan calon pun juga harus kita perketat tidak serta-merta orang yang punya duit triliunan langsung bisa ikutan begitu saja, jadi harus ada track record pengalaman dan prestasi-prestasi lainnya terutama di bidang politik dan pemerintahan dan konkretnya nanti kita akan rumuskan pada saat kita melakukan revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilpres ini,” ujarnya.

    Pernyataan MK

    Sebelumnya, MK mengusulkan adanya rekayasa konstitusional oleh DPR dan pemerintah saat merevisi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Hal itu dilakukan untuk mencegah potensi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak usai dihapusnya ambang batas syarat pengusulan calon presiden.

    Saldi mengatakan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional semua partai politik peserta pemilu. Namun, dalam revisi UU Pemilu nantinya, diharapkan dapat mengatur mekanisme pencegahan lonjakan jumlah pasangan calon berlebihan, sehingga pemilu tetap efektif.

    “Dalam revisi UU 7/2017, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat,” ujar Saldi.

    (maa/haf)

  • Peluang Maju Pilpres 2029 setelah Presidential Threshold Dihapus, Cak Imin: Trauma Kalah

    Peluang Maju Pilpres 2029 setelah Presidential Threshold Dihapus, Cak Imin: Trauma Kalah

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, menanggapi peluangnya maju pada Pilpres 2029 setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

    Cak Imin enggan memastikan langkah politiknya di masa depan. Sambil bergurau, ia menyebut pengalaman kalah di Pilpres 2024 masih membekas.

    “Nanti maju (Pilpres 2029) enggak tahu, masih panjang. Trauma kalah. Belum tahu rasanya kalah sih,” ujar Cak Imin di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (3/1/2025).

    Muhaimin Iskandar sebelumnya mencalonkan diri sebagai cawapres mendampingi Anies Baswedan pada Pilpres 2024. Pasangan Anies-Cak Imin, yang diusung oleh Koalisi Perubahan (PKB, Partai Nasdem, dan PKS), harus mengakui keunggulan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dari Koalisi Indonesia Maju.

    Pasangan Prabowo-Gibran kemudian ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024-2029.

    Terkait putusan MK, Cak Imin mengakui penghapusan presidential threshold membuka peluang bagi PKB untuk mencalonkan kadernya sendiri pada Pilpres 2029. Namun, ia juga menekankan terlalu banyak calon presiden justru tidak realistis.

    “Jalan menuju Pilpres 2029 masih panjang. Saat ini belum saatnya PKB membahas soal pencalonan,” tegas Cak Imin.

    Cak Imin menyerahkan implementasi putusan MK tersebut kepada DPR melalui revisi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu).

    “Kalau keputusan MK, siapa pun harus tunduk. Problemnya adalah ada satu bab dari keputusan itu yang harus dikembalikan kepada pembuat UU. Nanti ya tergantung fraksi-fraksi di DPR,” paparnya.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menghapus presidential threshold sebesar 20% kursi DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan final dan mengikat ini merupakan hasil sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis (2/1/2025).

    Dalam amar putusannya, Ketua MK Suhartoyo menyatakan norma Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

  • Presidential Threshold Dihapus, Bagaimana Kuantitas & Kualitas Capres?

    Presidential Threshold Dihapus, Bagaimana Kuantitas & Kualitas Capres?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pengamat dan peneliti berharap pembuat undang-undang yakni pemerintah bersama DPR memerhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

    Sebelumnya MK mengabulkan permohonan empat mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta–Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna–menguji materi tentang presidential threshold, Pasal 222 UU Pemilu. Dalam putusan 62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan pasal presidential threshold inkonstitusional, Kamis (2/1).

    Menurut pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, pembentuk undang-undang harus mengatur lebih lanjut di revisi UU pemiu agar partai politik tak asal-asalan mengusulkan paslon peserta pilpres. Salah satunya, kata dia, undang-undang itu harus menekankan kepada setiap partai politik untuk menerapkan sistem rekrutmen dan seleksi yang ketat buat menentukan calon yang diusung di pilpres.

    “Parpol harus memastikan bahwa calon yang diusung lahir dari proses rekrutmen yang demokratis. Misalnya calon diputuskan melalui pemilihan atau keputusan internal partai yang dilakukan secara inklusif dan demokratis. Apalagi sekadar diputuskan oleh elite-elite partai secara eksklusif. calon yang diusulkan bukan sebatas karena punya popularitas dan isi tas saja,” katanya kepada CNNIndonesia.com via aplikasi pesan, Jumat (3/1).

    “Hal itu bisa dilakukan apakah dengan model primary election atau pemilu pendirian di masing-masing partai yang harus diikuti oleh kader partai untuk bisa dicalonkan partai di pilpres,” imbuhnya.

    Lebih lanjut, dia mengatakan syarat yang ada di undang-undang pemilu saat ini atau eksisting sudah cukup. Hal yang paling penting katanya adalah kemampuan kepemimpinan dan kematangan politik yang diuji melalui proses bersama partai politik tempatnya bernaung. 

    “Saya lebih setuju jika calon harus memenuhi persyaratan harus berstatus sebagai kader partai politik minimal 5 (lima) tahun sebelum dibukanya pendaftaran pasangan calon oleh KPU. Hal itu mencegah kutu loncat atau petualang politik yang sekadar aji mumpung, namun tanpa ditopang oleh pengalaman dan kapasitas politik yang memadai,” tuturnya merespons pertanyaan risiko membludaknya bakal calon peserta yang diajukan parpol untuk pilpres.

    Selain itu, dalam unggahannya di akun X, menurut Titi, jika mencermati Putusan MK No.62/PUU-XXII/2024 dengan menyeluruh, MK juga menghendaki agar tidak ada “‘aksi borong partai’ untuk kepentingan dominasi pencalonan pilpres. Pasalnya, kata dia, semangat putusan MK ini adalah keragaman pilihan bagi pemilih.

    “Karena itu, pembentuk UU harus merumuskan formula agar keragaman pilihan itu bisa diwujudkan. Apakah misalnya dengan memberlakukan ambang batas maksimal pembentukan koalisi pencalonan oleh gabungan partai politik peserta pemilu atau formula lain lebih tepat,” ujarnya di unggahan yang CNNIndonesia.com telah diizinkan untuk mengutipnya.

    [Gambas:Twitter]

    Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai putusan MK yang diketuk awal 2025 ini menunjukkan harapan baru untuk perbaikan sistem demokrasi dan negara hukum. Menurut YLBHI, selama satu dekade terakhir, demokrasi dan negara hukum terus mengalami regresi dan pembusukan, putusan ini diharapkan mampu mengikis dominasi oligarki yang selama ini merusak sistem politik dan Pemilu Presiden serta membelenggu demokrasi hukum dan ekonomi.

    “Putusan ini tidak membongkar sepenuhnya problem politik yang tidak berpihak pada kewargaan dan demokrasi yang substantif. Meskipun demikian, putusan penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini, mestinya dapat menjadi pintu masuk untuk memperbaiki sistem kepartaian maupun politik indonesia menuju sistem demokrasi dan politik yang lebih partisipatif dan demokratis sesuai mandat konstitusi,” demikian siaran pers YLBHI.

    YLBHI menyatakan sebelum putusan yang dimohonkan empat mahasiswa UIN Suka, sebelumnya, terdapat 36 permohonan yang diajukan ke MK terkait pasal presidential threshold. Namun, semuanya tak pernah dikabulkan MK dengan berbagai dalih termasuk kedudukan hukum (legal standing). YLBHI menduga ada cengkeraman oligarki dan politik penguasa yang tak menghendaki demokratisasi berjalan dengan baik. Walhasil, sambungnya, tidak memberikan Independensi kepada hakim MK dalam memeriksa dan mengadili permohonan penghapusan praktik presidential threshold.

    “Saat ini yang perlu diwaspadai adalah perubahan berbagai undang-undang terkait politik dan kepemiluan. kita masih ingat, bagaimana partai-partai politik di DPR secara serampangan menafsir Putusan MK seenaknya, seperti yang pernah terjadi pada Undang-Undang Pilkada yang lalu,” katanya.

    MK pun mendesak DPR dan pemerintah mematuhi putusan MK itu, dan segera merevisi regulasi terkait sistem politik yang sejalan dengan nafas dalam putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 ini untuk memperkuat perlindungan hak politik dan kedaulatan rakyat dalam demokrasi dan negara hukum Indonesia.

    YLBHI pun menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawal Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024.

    Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB, Indrajaya mengusulkan agar proses pendaftaran partai politik kini harus diperketat. Menurut dia, hal itu penting agar jumlah pasangan calon presiden tetap dibatasi.

    Menurut Indra, pembatasan juga bisa dilakukan misalnya dengan memberikan aturan lewat revisi Pemilu agar partai yang bisa mengusung calon presiden adalah partai yang lolos parlemen.

    “Bisa juga misalkan ada konvensi internal atau antar partai, dan pembatasan pilpres satu putaran atau dua putaran seperti di Pilkada DKI,” kata Indra, Jumat.

    Keputusan MK tentang penghapusan presidential threshold itu dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang putusan, Kamis (2/1).

    MK mengabulkan gugatan yang dilayangkan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.

    Dengan putusan itu, setiap partai politik memungkinkan untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.

    Namun, untuk mencegah jumlah pasangan calon presiden yang terlalu banyak, MK merekomendasikan rekayasa konstitusional, salah satunya meminta agar partai bergabung dalam koalisi selama gabungan koalisi itu tak mendominasi.

    (kid/gil)

    [Gambas:Video CNN]

  • Putusan MK Hapus Presidential Threshold Berpotensi Memperparah Polarisasi – Halaman all

    Putusan MK Hapus Presidential Threshold Berpotensi Memperparah Polarisasi – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan progresif dengan membatalkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. 

    Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menyambut baik langkah ini, namun menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap implikasi dari keputusan tersebut.

    Karyono mengatakan, putusan MK memberikan hak yang sama bagi seluruh partai politik peserta Pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

    “Sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan untuk memilih figur capres dan cawapres,” kata Karyono, saat dihubungi, Sabtu (4/1/2025).

    Namun, dia meminta agar putusan tersebut dicermati terutama implikasi pengaturan pelaksanaan dan kontestasi Pilpres ke depan.

    Karyono mengingatkan, dihapusnya ambang batas pencalonan presiden dapat membuka peluang munculnya banyak kandidat, sebanding dengan jumlah partai politik peserta Pemilu. 

    Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan kompetisi tidak sehat dan memperparah polarisasi di masyarakat.

    Karyono menjelaskan, MK sendiri dalam amar putusannya sudah mengantisipasi potensi munculnya banyak calon. 

    “MK meminta lembaga pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusi (constitution engineering) termasuk di dalamnya harus memperhitungkan agar calon presiden dan wakil presiden tidak terlalu banyak, supaya tidak mengganggu hakikat pemilihan langsung oleh rakyat untuk menghasilkan Pemilu yang demokratis dan berintegritas,” tegasnya.

    Selain itu, Karyono menyoroti tantangan berat dalam pelaksanaan Pemilu jika banyak kandidat bersaing. 

    Beban kerja penyelenggara Pemilu dapat meningkat signifikan, mengulang tragedi Pemilu 2019 ketika banyak petugas Pemilu meninggal dunia akibat kelelahan.

    Karyono juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap budaya politik transaksional yang kerap terjadi dalam Pemilu. 

    Dia menyebut praktik seperti politik uang, intimidasi, kampanye hitam, dan manipulasi suara sebagai ancaman serius bagi kualitas Pemilu dan integritas calon terpilih.

    “Oleh karena itu, jika kondisi tersebut masih belum diperbaiki, maka banyaknya calon presiden alternatif belum tentu menghasilkan Pemilu dan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas,” jelas Karyono.

    Dengan banyaknya calon presiden, Karyono memperkirakan peluang terjadinya Pilpres dua putaran semakin besar. 

    Hal ini, menurutnya, akan berdampak pada meningkatnya biaya Pemilu dan memperkuat budaya politik transaksional saat proses koalisi berlangsung.

    “Terbukanya partai politik peserta Pemilu dalam mengajukan pasangan calon tetap masih terbuka peluang koalisi. Tetapi hasrat koalisi di awal awal berpotensi berkurang karena parpol merasa bisa mengusung paslon sendiri. Kemungkinan hasrat koalisi akan meningkat jika terjadi dua putaran,” ucap Karyono.

    Karyono menambahkan, pendidikan politik bagi masyarakat juga perlu ditingkatkan untuk mengatasi rendahnya pemahaman politik di akar rumput. 

    Hal ini penting agar masyarakat mampu berpartisipasi dalam pemilu secara sadar dan bertanggung jawab.