Kementrian Lembaga: MK

  • Kala Mahkamah Konstitusi Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil

    Kala Mahkamah Konstitusi Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi telah melarang polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil dalam putusannya pada Kamis (13/11/2025).

    Larang tersebut dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menilai, penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di luar kepolisian.

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya melalui rilis resminya, Kamis (13/11/2025).

    Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, serta satu alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Arsul Sani.

    Perkara tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menggugat keberadaan pasal dan penjelasan tersebut karena dianggap membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus melepaskan statusnya.

    Dalam permohonannya, para pemohon menilai hal itu bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan mengancam profesionalisme birokrasi sipil.

    Para pemohon juga mencontohkan sejumlah posisi strategis yang pernah diisi oleh anggota Polri aktif, seperti di KPK, BNN, BNPT, BSSN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.

    Menurut mereka, hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesempatan bagi warga negara sipil dalam mengisi jabatan publik serta menciptakan potensi dwifungsi Polri dalam pemerintahan.

    Respons Polri

    Sementara itu, Mabes Polri masih akan mempelajari putusan MK terkait dengan larangan bagi anggota polisi aktif menduduki jabatan sipil.

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan pihaknya belum menerima salinan resmi dari putusan itu. Namun demikian, Sandi memastikan Polri bakal menghormati putusan yang dikeluarkan MK.

    “Terima kasih atas informasinya, dan kebetulan kami juga baru dengar atas putusan tersebut, tentunya Polri akan menghormati semua keputusan yang sudah dikeluarkan,” ujar Sandi di PTIK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dia menambahkan untuk saat ini Polri masih menunggu hasil resmi putusan MK. Usai salinan putusan MK itu diterima, Polri bakal menganalisis putusan MK itu sebelum akhirnya menyatakan sikap.

    “Tentunya kalau memang sudah diputuskan dan kita sudah mempelajari apa yang sudah diputuskan tersebut, Polri akan selalu menghormati putusan pengadilan yang sudah diputuskan,” imbuhnya.

    Adapun, Sandi menjelaskan bahwa penempatan anggota aktif kepolisian di Kementerian/Lembaga sudah memiliki aturannya tersendiri. 

    Berdasarkan Pasal 28 ayat (3) UU No.2/2002 tentang Polri menyatakan jabatan di luar kepolisian memerlukan izin dari Kapolri. Namun, frasa itu kini telah dihapus dalam putusan MK dengan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025.

    “Namun demikian kita sudah mendengar ataupun kita sudah melihat ada putusan hari ini, kita tinggal menunggu seperti apa konkrit putusannya sehingga kami bisa melihat dan pelajari dan apa yang harus dikerjakan oleh kepolisian,” pungkasnya.

  • Dua Gugatan Ditolak MK, Purbaya Tetap Pungut Pajak Pesangon Pekerja Kena PHK

    Dua Gugatan Ditolak MK, Purbaya Tetap Pungut Pajak Pesangon Pekerja Kena PHK

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tetap bisa memungut pajak dari uang pensiun dan pesangon pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja alias PHK setelah Mahkamah Konstitusi menolak dua gugatan uji materi.

    Peristiwa yang terbaru, MK mementahkan permohonan uji materi atas Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang diajukan oleh 12 pekerja bank dan seorang ketua serikat buruh.

    Dalam putusan Perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025, Ketua MK Suhartoyo menilai permohonan uji materi tidak jelas atau obscuur. Ketidakjelasan itu membuat Mahkamah tidak melanjutkan pemeriksaan terhadap kedudukan hukum maupun pokok perkara para pemohon. 

    “Karena permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur atau obscuur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon lebih lanjut,” ujarnya dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (13/11/2025), dikutip situs resmi MK.

    Mahkamah menilai argumentasi para pemohon mengenai frasa “tunjangan dan uang pensiun” dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh tidak sesuai dengan rumusan pasal yang sebenarnya.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan, kata Suhartoyo, frasa tersebut tidak terdapat dalam ketentuan dimaksud, melainkan terpisah menjadi kata “tunjangan” dan “uang pensiun”.

    Selain itu, Mahkamah menilai permohonan yang diajukan juga tidak konsisten. Dalam petitum pertama, pemohon mencampurkan alasan permohonan ke dalam bagian permintaan, sedangkan pada petitum kedua, pemohon meminta agar Pasal 17 ayat (1) huruf a dinyatakan konstitusional bersyarat, tetapi dalam alasan permohonan justru menyebutkan pertentangan pasal secara keseluruhan.

    Dengan demikian, MK memutuskan permohonan para pemohon yang tercatat dalam perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima.

    Sebagai informasi, Pasal 4 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa penghasilan yang menjadi objek pajak mencakup setiap tambahan kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak, termasuk gaji, upah, komisi, bonus, gratifikasi, serta uang pensiun. Adapun Pasal 17 mengatur lapisan tarif progresif PPh berdasarkan besaran penghasilan.

    Permohonan ini diajukan oleh 12 pekerja bank swasta, termasuk seorang ketua umum serikat karyawan. Mereka mempersoalkan pengenaan pajak terhadap pesangon dan manfaat pensiun yang dinilai bertentangan dengan hak konstitusional pekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

    Para pemohon berpendapat bahwa pesangon dan pensiun merupakan hak normatif dan bentuk penghargaan atas masa kerja, bukan tambahan penghasilan baru. Karena itu, mereka meminta MK menafsirkan ketentuan pajak secara konstitusional bersyarat agar tidak mencakup dana jaminan sosial seperti uang pensiun, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Tunjangan Hari Tua (THT).

    Penolakan Serupa

    Sebelumnya, permohonan serupa juga sudah sempat ditolak MK. Dalam putusan Nomor 170/PUU-XXIII/2025, Mahkamah menyatakan permohonan uji materi pajak pesangon dan pensiun tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formil dan substansi.

    Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan para pemohon yaitu Rosul Siregar dan Maksum Harahap, dua karyawan swasta, tidak cermat dalam menyusun permohonan. MK menilai adanya ketidakkonsistenan dan kekeliruan dalam menyebut norma undang-undang yang diuji, serta petitum yang tidak jelas.

    “Ketidakkonsistenan serta kekeliruan tersebut membuat permohonan tidak jelas atau kabur mengenai pasal atau ketentuan mana yang sebenarnya dimaksud untuk diuji,” ujar Arsul dalam sidang pembacaan putusan di Jakarta, Kamis (30/10/2025), seperti dikutip dari laman resmi MK.

    Mahkamah menilai petitum para pemohon juga tidak lazim karena tidak memberikan alternatif permintaan. Ketiadaan pilihan tersebut menyebabkan permohonan tidak memenuhi asas kejelasan dan kepastian hukum sebagaimana prinsip yang diatur dalam hukum acara MK.

    Sebelumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

    Keduanya berpendapat bahwa pesangon, uang pensiun, tunjangan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT) seharusnya dikecualikan dari objek pajak penghasilan karena merupakan hak sosial yang berfungsi sebagai jaminan pasca kerja.

    Hanya saja, MK menilai permohonan tersebut obscuur libel atau kabur sehingga tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Dengan demikian, pesangon, pensiun, THT, dan JHT tetap termasuk objek PPh sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menyebut setiap tambahan kemampuan ekonomis—termasuk uang pensiun dan imbalan kerja—sebagai penghasilan kena pajak.

  • Asa Karyawan Agar Pajak Pensiun Dihapus Kandas di MK

    Asa Karyawan Agar Pajak Pensiun Dihapus Kandas di MK

    Jakarta

    Asa sejumlah karyawan bank swasta agar pajak atas uang pensiun, pesangon, tabungan hari tua (THT), hingga jaminan hari tua (JHT) dihapus kandas di Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu tidak diterima MK.

    Dirangkum detikcom, Kamis (13/11/2025), gugatan itu terdaftar dengan nomor 186/PUU-XXIII/2025. Pemohon dalam perkara ini yakni Jamson Frans Gultom, Agus Suwargi, hingga Aldha Reza Rizkiansyah.

    Pemohon mengatakan pasal-pasal yang digugat menempatkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak, termasuk pesangon dan pensiun serta tarif progresif atas pesangon dan pensiun. Para pemohon menilai pesangon dan pensiun seharusnya merupakan hak normatif para pekerja setelah puluhan tahun bekerja.

    Pemohon mengatakan UU yang ada menempatkan pensiun dan pesangon seolah-olah tambahan kemampuan ekonomis. Padahal, sumber duit untuk pesangon dan pensiun itu berasal dari potongan gaji setiap bulan selama bekerja.

    “Negara masih tega mengambil bagian dari jatah atas rakyat untuk biaya hidup sampai kepada kematian, padahal karyawan/pensiunan telah dipotong langsung pajaknya puluhan tahun dan kontribusi balik secara langsung kepada pembayar pajak tidak ada,” ujar pemohon.

    Atas dasar itu, mereka meminta MK untuk:

    1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya
    2. Menyatakan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh juncto UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai bahwa uang pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT adalah tambahan kemampuan ekonomis
    3.Menyatakan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT.
    4. Memerintahkan pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas pensiun/pesangon/THT/JHT bagi seluruh rakyat Indonesia, baik pegawai pemerintah maupun pegawai swasta
    5. Memerintahkan pembentuk UU untuk menyesuaikan sistem perpajakan agar selaras dengan UUD 1945

    Atau apabila hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

    Gugatan Kandas di MK

    Dalam putusannya, MK menyatakan permohonan tersebut tidak memenuhi sistematika permohonan yang telah diatur MK. MK mengatakan ada frasa yang ditulis dalam permohonan, padahal frasa itu tak terdapat dalam pasal yang digugat, misalnya frasa ‘tunjangan dan uang pensiun’.

    “Setelah Mahkamah mencermati rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf a dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 telah ternyata tidak terdapat frasa ‘tunjangan dan uang pensiun’ sebagaimana dimaksud para Pemohon, melainkan kata ‘tunjangan’ dan frasa ‘uang pensiun’ yang masing-masing terpisah dan tidak dalam satu kesatuan frasa. Terlebih lagi, pada bagian petitum angka 1, para Pemohon menambahkan uraian kalimat alasan permohonan yang seharusnya diuraikan pada bagian posita, sehingga hal tersebut menyebabkan ketidakjelasan petitum angka 1 para Pemohon karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) huruf c UU MK dan Pasal 10 ayat (3) huruf d PMK 7/2025 bahwa petitum berisi hal-hal yang dimohonkan untuk diputus,” ujar MK.

    MK juga menyebutkan poin 2 petitum pemohon tidak jelas. MK menilai ketidakcermatan dalam penyusunan permohonan telah menyebabkan ketidakjelasan dalam permohonan itu.

    “Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur),” ujar MK.

    Atas dasar itu, MK tidak mempertimbangkan lebih lanjut permohonan itu. MK menyatakan gugatan tidak dapat diterima.

    “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Suhartoyo.

    Halaman 2 dari 3

    (whn/azh)

  • Akhir Celah Penugasan Kapolri di Jabatan Sipil

    Akhir Celah Penugasan Kapolri di Jabatan Sipil

    Akhir Celah Penugasan Kapolri di Jabatan Sipil
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    PUTUSAN
    Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2025, mengakhiri satu bab yang menggantung lama di ruang publik: bolehkah polisi aktif merangkap jabatan di luar institusi kepolisian?
    Pertanyaan yang tampak teknis ini sesungguhnya memuat pertaruhan besar: apakah reformasi sektor keamanan benar-benar dijalankan, atau pelan-pelan sedang ditarik mundur lewat celah-celah hukum.
    Melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan uji materi atas Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    MK menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    Arti praktisnya sederhana, tapi tegas: anggota Polri yang ingin menduduki jabatan di luar kepolisian, yakni jabatan sipil, wajib mengundurkan diri atau pensiun lebih dahulu dari dinas kepolisian.
    Celah penugasan Kapolri sebagai alasan untuk tetap berstatus polisi aktif sambil memegang jabatan sipil resmi ditutup.
    Ini bukan sekadar koreksi redaksional. Ini penegasan ulang arah reformasi: membatasi peran aparat bersenjata di wilayah sipil, mengembalikan jabatan sipil kepada birokrasi sipil, dan menjamin kepastian hukum bagi semua warga negara.
    Pasal 28 ayat (3) UU Polri sebenarnya cukup jelas: “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”
    Namun penjelasan pasalnya berbunyi: “Yang dimaksud dengan ‘jabatan di luar kepolisian’ adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
    Frasa terakhir inilah yang selama bertahun-tahun berubah menjadi celah. Di atas kertas, anggota Polri boleh menduduki jabatan di luar kepolisian hanya setelah mundur atau pensiun. 
    Namun dalam praktik, penjelasan itu ditafsirkan seolah-olah penugasan Kapolri dapat menjadi karpet merah bagi polisi aktif untuk tetap berseragam sekaligus duduk di jabatan sipil strategis: dari ketua KPK, kepala BNN, kepala BNPT, wakil kepala BSSN, hingga jabatan-jabatan di kementerian dan BUMN.
    Di sidang MK terungkap data yang disampaikan ahli pemohon: 4.351 anggota Polri aktif merangkap jabatan sipil.
    Angka itu bukan sekadar statistik; ia menggambarkan betapa lebar celah itu telah dimanfaatkan.
    Bagi ASN yang puluhan tahun berkarier di jalur birokrasi, ini terasa seperti perlombaan yang garis final-nya tiba-tiba dipotong oleh pintu samping.
    Mahkamah tidak sekadar mencoret frasa. MK menjelaskan mengapa penjelasan itu harus dibatalkan.
    Pertama, soal kepastian hukum yang adil. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
    Dengan adanya frasa penugasan Kapolri, norma menjadi rancu: di satu sisi mensyaratkan mundur atau pensiun, di sisi lain membuka jalur khusus melalui penugasan.
    Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, MK menegaskan bahwa rumusan “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat yang sudah jelas dan tidak memerlukan pemaknaan lain.
    Kedua, menyangkut kesetaraan kesempatan. Ketika polisi aktif bisa menduduki jabatan sipil tanpa melepaskan statusnya, ruang persaingan bagi ASN dan warga sipil lain menyempit.
    Para ahli yang dihadirkan pemohon mengingatkan bahwa ribuan polisi yang merangkap jabatan sipil telah menghilangkan kesempatan warga sipil untuk berkontribusi dalam jabatan-jabatan tersebut.
    Ketiga, soal fungsi penjelasan undang-undang. Dalam beberapa putusan sebelumnya, MK konsisten menyatakan bahwa penjelasan tidak boleh memuat norma baru yang memperluas atau mengubah makna pasal.
    Hal yang sama ditegaskan kembali di perkara ini: penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bukan sekadar memperjelas, melainkan memperlebar makna sehingga bertentangan dengan batang tubuh.
    Uji materi ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia didorong oleh praktik yang kian meluas: polisi aktif memegang jabatan sipil, sementara desain reformasi pasca-Reformasi 1998 justru ingin memisahkan tegas fungsi militer, kepolisian, dan sipil.
    TAP MPR VII/MPR/2000 secara eksplisit menegaskan, anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Dalam logika reformasi, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah “dwifungsi gaya baru” di mana aparat keamanan kembali menguasai ruang-ruang sipil.
    Namun kenyataannya, praktik penempatan polisi aktif di jabatan sipil berjalan lama dengan pembenaran “penugasan Kapolri”.
    Di hadapan MK, ahli dan pemohon menggambarkan dampaknya: potensi ganda gaji, konflik kepentingan, hingga hilangnya kesempatan ASN dan warga sipil untuk memasuki jabatan strategis.
    Pada titik ini, masalahnya tidak lagi sekadar teknis administrasi. Ia menjelma menjadi soal keadilan dan desain kekuasaan.
    Putusan MK
    menarik kembali batas yang selama ini dikaburkan. Setelah frasa penjelasan itu dibatalkan, yang berlaku hanyalah norma Pasal 28 ayat (3) UU Polri dan prinsip yang termuat dalam TAP MPR: anggota Polri baru boleh menduduki jabatan di luar kepolisian jika sudah mengundurkan diri atau pensiun.
    Artinya, polisi aktif tidak boleh lagi memegang jabatan sipil di kementerian, lembaga, maupun BUMN hanya dengan bermodal surat penugasan.
    Hal yang tersisa kemudian adalah ranah kebijakan: bagaimana pemerintah mengatur bentuk-bentuk kerja sama lintas lembaga yang masih membutuhkan keahlian kepolisian—misalnya dalam fungsi koordinasi atau penghubung—tanpa menjadikannya sebagai “jabatan sipil” yang menggeser ASN.
    Itu bukan bagian dari amar MK, tetapi konsekuensi logis yang mesti dirumuskan eksekutif dan legislatif secara transparan dan konstitusional.
    Dengan kata lain, MK telah menarik garis; tugas politik selanjutnya ada di tangan pembuat kebijakan.
    Dampak langsung putusan ini setidaknya tampak dalam empat lapis. Pertama, bagi anggota Polri sendiri. Pilihannya menjadi lebih tegas: tetap berkarier di korps dengan seluruh konsekuensinya, atau mengundurkan diri/pensiun untuk memasuki birokrasi sipil. Tidak ada lagi status ganda yang rawan konflik kepentingan.
    Kedua, bagi ASN dan birokrasi sipil. Putusan ini memberi sinyal kuat bahwa jabatan sipil harus dikembalikan kepada mekanisme meritokrasi yang berlaku bagi ASN.
    Jabatan tidak boleh menjadi “lahan perluasan” pengaruh aparat keamanan. Ini peluang untuk menata kembali sistem karier pegawai negeri yang selama ini merasa disalip penugasan.
    Ketiga, bagi pemerintah. Presiden dan para menteri tidak lagi dapat berlindung di balik penugasan Kapolri untuk menunjuk polisi aktif di jabatan sipil.
    Ruang manuver politik memang menyempit, tetapi kepastian hukum menguat. Pemerintah justru berkesempatan menunjukkan keseriusan menghormati putusan MK dan semangat reformasi.
    Keempat, bagi reformasi sektor keamanan secara keseluruhan. Putusan ini menjadi koreksi keras terhadap kecenderungan menarik aparat keamanan kembali ke panggung sipil.
    Bila dijalankan konsisten, ia akan memperkuat prinsip supremasi sipil dan membatasi penetrasi “logika keamanan” ke dalam kebijakan sipil.
    Putusan ini bisa dibaca sebagai teguran halus kepada dua pihak sekaligus. Kepada Polri, agar tidak tergoda memperluas peran di luar fungsi konstitusionalnya.
    Kepada pemerintah, agar tidak malas membangun birokrasi sipil yang kuat dan justru menggantinya dengan aparat bersenjata.
    Secara politis, ini adalah momentum untuk menata ulang relasi antara kepolisian, birokrasi, dan politik.
    Komisi atau Komite Reformasi Polri yang tengah digagas pemerintah akan tampak paradoksal jika di saat yang sama negara membiarkan polisi aktif bercokol di berbagai jabatan sipil.
    Putusan MK memberikan landasan kuat bagi agenda reformasi itu: hentikan rangkap jabatan, kembalikan Polri ke rel profesionalnya.
    Bagi publik, arah ini memberi harapan bahwa jalan mundur reformasi masih bisa diputar. Demokrasi tidak boleh diserahkan kepada logika keamanan. Negara hukum tidak boleh digerakkan oleh privilese institusional.
    Larangan rangkap jabatan bagi polisi aktif mungkin tampak seperti detail teknis perundang-undangan.
    Namun di balik detail itu, kita sedang membicarakan hal-hal yang jauh lebih besar: batas kekuasaan, keadilan bagi warga sipil, serta masa depan reformasi sektor keamanan.
    Mahkamah Konstitusi telah melakukan bagiannya: menutup celah, menegaskan kembali norma, dan mengingatkan bahwa penjelasan undang-undang bukan tempat menyelipkan ambisi kekuasaan baru.
    Kini giliran pemerintah dan Polri membuktikan: apakah putusan itu benar-benar akan dijalankan, atau sekadar dijadikan catatan di lembar negara tanpa perubahan nyata di lapangan.
    Jika negara sungguh-sungguh, kita akan melihat peta jabatan sipil yang lebih jernih, tanpa bayang-bayang seragam yang seharusnya hanya bertugas menjaga keamanan, bukan mengatur birokrasi.
    Dan ketika batas itu dijaga, bukan hanya reformasi yang diselamatkan, tetapi juga kepercayaan publik kepada institusi yang memegang kewenangan memaksa atas nama negara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menkes Curhat UU Kesehatan Digugat Terus, Persebaran Dokter Spesialis Mandek

    Menkes Curhat UU Kesehatan Digugat Terus, Persebaran Dokter Spesialis Mandek

    Jakarta

    Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan saat ini RI masih kekurangan dokter spesialis. Ia menyebut selama 80 tahun Indonesia merdeka, jumlah dokter spesialis di sejumlah wilayah belum memenuhi target.

    Hal itu disampaikan Menkes Budi dalam Rakat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, Kamis (13/11/2025). Budi Gunadi mengatakan pemerintah saat ini tengah menggencarkan hospital based dalam rangka pemerataan dokter spesialis.

    “Sampai sekarang 80 tahun merdeka belum penuh juga baru 47 (persen) yang diisi. Nah ini gimana caranya. Memang kita sekarang kan lagi bikin hospital based, kita rencana hospital based kan Pak Presiden minta 500 kalau bisa di setiap kabupaten/kota dibikin sehingga dokter spesialis itu nggak usah rebutan, orang Nias rebutan sama orang Jakarta, pasti kalah lah dia kalau dokter spesialis. Orang Nias, di Nias aja,” ujar Budi Gunadi dalam rapat di DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).

    Budi mengatakan UU Kesehatan yang mengatur soal pendidikan bagi dokter spesialis itu berulang kali digugat ke MK. Budi meminta hakim MK yang berasal dari DPR untuk membantu Kemenkes.

    “Jadi rumah sakitnya di sana, walaupun ini membuat beberapa teman-teman nggak seneng, kemudian digugat ke MK udah menang 4, ini masih digugat lagi nggak berhenti-berhenti itu digugat kita,” kata Budi Gunadi.

    Ia berharap sentra rumah sakit pendidikan untuk dokter spesialis tak hanya berpusat di Pulau Jawa saja. Budi Gunadi menargetkan RI bisa membuka sentra pendidikan dokter spesialis di 514 kabupaten atau kota.

    “Nggak mungkin kita punya center-nya bikinnya kayak sekarang 26 center hanya di Jawa aja. Nggak mungkin menang orang-orang Kalimantan, Maluku bertarung sama anak-anak Jakarta untuk jadi dokter spesialis, pasti kalah,” ucapnya.

    “Itu sebabnya kita pengin buka di RS-RS di 514 kab/kota. Jadi putar-putar daerah nggak usah saingan sama orang-orang Jakarta atau orang Brawijaya. Itu kan Pak Dokter Benny (Wamenkes) orang Ambon, mana bisa orang Ambon saingan sama orang Surabaya? pasti kalah, bapaknya siapa, anaknya siapa,” ujar Menkes Budi.

    “Biarin orang Ambon yang masuk sekolahnya di Ambon aja. Nah itu cita-cita kita dengan hospital based. Jadi ada tiga Pak wakil DPR di MK ya, tolong dibantuin supaya jangan dikalahin lah kita, masa balik lagi ke zaman dulu,” imbuhnya.

    (dwr/azh)

  • MK Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil, Harus Mundur atau Pensiun

    MK Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil, Harus Mundur atau Pensiun

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Perkara 114 2025, terhadap gugatan undang-undang nomor 2 tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, terkait kedudukan anggota polisi di jabatan sipil.

    Selengkapnya dalam program Nation Hub CNBC Indonesia, Kamis (13/11/2025).

  • MK Putuskan Anggota Polri Wajib Mundur, Ketahui Delapan Jenderal yang Kini Duduki Jabatan Sipil

    MK Putuskan Anggota Polri Wajib Mundur, Ketahui Delapan Jenderal yang Kini Duduki Jabatan Sipil

    “Frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ menimbulkan kerancuan dan memperluas norma pasal a quo, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Ridwan saat membacakan pertimbangan Mahkamah.

    Menurut MK, ketentuan tersebut juga tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi. Karena itu, permohonan para Pemohon dinyatakan beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

    “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU Polri,” tegasnya.

    Meski demikian, putusan ini turut disertai alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Arsul Sani, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim lainnya, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah.

    Permohonan uji materi ini diajukan oleh Syamsul Jahidin, seorang mahasiswa doktoral dan advokat, serta Christian Adrianus Sihite, lulusan sarjana hukum. Mereka menilai keberadaan frasa tersebut membuka celah bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa mundur atau pensiun, yang bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan meritokrasi dalam pelayanan publik.

    Para pemohon menilai praktik tersebut menciptakan dwifungsi Polri yang serupa dengan praktik masa lalu, karena polisi aktif berperan ganda dalam bidang keamanan sekaligus pemerintahan dan birokrasi.

  • MK Ubah Aturan Hak Atas Tanah di IKN yang Ditetapkan Era Jokowi, dari 190 Tahun Jadi 35 Tahun

    MK Ubah Aturan Hak Atas Tanah di IKN yang Ditetapkan Era Jokowi, dari 190 Tahun Jadi 35 Tahun

    GELORA.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang diajukan Stepanus Febyan Babaro.

    Permohonan yang dikabulkan terkait jangka waktu Hak Atas Tanah (HAT) yang termuat dalam UU IKN yang memperbolehkan perpanjangan hak guna usaha dalam dua kali siklus dengan tiap periode mancapai 95 tahun.

    Aturan awal ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang diteken Joko Widodo saat menjabat presiden.

    Pada Pasal 9 ayat 2, hak guna usaha diberikan hingga 190 tahun yang diberikan melalui dua siklus atau selama 95 tahun dalam satu siklus pertama dan 95 tahun pada siklus kedua.

    Stepanus dalam permohonannya menyatakan pemberian jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai yang lamanya 100 tahun lebih itu memperkecil kesempatan masyarakat adat di IKN dalam melestarikan ciri khas adatnya melalui tanah leluhur yang selama ini dijaga

    Apalagi, pemohon menambahkan saat ini masih banyak kasus tanah-tanah masyarakat adat dari berbagai daerah Indonesia dicaplok oleh perusahaan-perusahaan.

    “Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo, dalam amar pustusan dikutip dari laman putusan MK, Kamis (13/11).

    Dalam pertimbangannya, MK menilai pasal-pasal pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) di IKN hingga 190 tahun (dua siklus 95 tahun), bertentangan dengan prinsip penguasaan negara atas tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

    “Pemohon mempersoalkan jangka waktu pemberian hak atas tanah di wilayah IKN yang dapat diberikan kembali untuk satu siklus kedua, yang berarti jauh melebihi batas waktu sebagaimana ditentukan dalam UUPA,” kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.

    MK juga menyatakan sejumlah pasal terkait Hak Atas Tanah (HAT) di kawasan IKN itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Putusan MK ini sekaligus menegaskan pemberian hak atas tanah di IKN harus dibatasi sesuai ketentuan evaluasi, yakni:

    Hak Guna Usaha (HGU): diberikan paling lama 35 tahun, perpanjangan 25 tahun, pembaruan 35 tahun.Hak Guna Bangunan (HGB): diberikan paling lama 30 tahun, perpanjangan 20 tahun, pembaruan 30 tahun.Hak Pakai: diberikan paling lama 30 tahun, perpanjangan 20 tahun, pembaruan 30 tahun

    “Artinya, batas waktu maksimal sebagaimana dimaksud dapat diperoleh sepanjang memenuhi kriteria dan tahapan evaluasi. Prinsipnya, hak atas tanah tidak boleh diberikan secara mutlak tanpa pengawasan negara,” tandas Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. (*)

  • Litbang “Kompas”: Kepercayaan Publik Terhadap Polri Mencapai 76,2 Persen

    Litbang “Kompas”: Kepercayaan Publik Terhadap Polri Mencapai 76,2 Persen

    Litbang “Kompas”: Kepercayaan Publik Terhadap Polri Mencapai 76,2 Persen
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hasil survei Litbang
    Kompas
    pada Oktober 2025, memperlihatkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencapai 76,2 persen.
    Dikutip dari
    Kompas.id
    , Kamis (13/11/2025), sebanyak 71,5 responden menjawab percaya kepada
    Polri
    saat ditanya “Percaya atau tidakkah Anda dengan
    Kepolisian
    Republik Indonesia (Polri)?”
    Kemudian, 4,7 persen menjawab sangat percaya kepada polri. Sehingga, jumlah responden yang percaya kepada Polri mencapai 76,2 persen.
    Sementara itu, Litbang
    Kompas
     juga mencatat ada 2,4 persen responden yang tidak percaya dan 2,4 persen responden yang sangat tidak percaya kepada Polri. Sedangkan 5,3 persen responden menjawab tidak tahu.
    Kemudian, dari hasil survei yang sama memperlihatkan peningkatan pada tingkat
    kepuasan publik
    terhadap Polri yang mencapai 65,1 persen.
    Angka tersebut meningkat dibandingkan hasil survei Litbang
    Kompas
    pada September 2025, yang berada di angka 42,5 persen.
    Tak hanya itu, survei Litbang
    Kompas
    pada Oktober 2025 memperlihatkan
    citra positif
    Polri meningkat mencapai 64,4 persen.
    Angka tersebut meningkat 19,9 persen dari hasill survei pada September 2025, yang sebesar 44,5 persen.
    Peneliti Litbang
    Kompas
    , Yohanes Mega Hendarto menyebut, hasil survei Oktober tersebut memperlihatkan ada pemulihan terhadap kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
    “Setelah mengalami penurunan tajam akibat kerusuhan besar pada Agustus 2025, kepuasan publik terhadap Polri kembali menunjukkan kenaikan,” tulis Yohanes dikutip dari
    Kompas.id
    , Kamis.
    Kemudian, Yohanes menyebut, hasil survei
    Litbang Kompas
    tersebut mengonfirmasi adanya hubungan antara citra, kepuasan, dan kepercayaan publik. Sebab, ketiganya bergerak pada satu pola yang menunjukkan bahwa persepsi terhadap kinerja berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan lembaga.
    Perbaikan citra positif, kepuasan bahkan kepercayaan publik terhadap Polri dinilai terjadi karena publik melihat adanya pengelolaan komunikasi strategis pascakrisis di institusi Polri.
    Perbaikan itu ditandai dengan adanya respons terhadap desakan publik agar dilakukan reformasi menyeluruh di institusi Kepolisian pascainsiden yang menewaskan beberapa orang, termasuk pengemudi ojek
    online
    (ojol) Affan Kurniawan pada akhir Agustus 2025.
    “Publik membaca langkah ini sebagai tanda bahwa lembaga Kepolisian mau berubah dan mendengarkan kritik. Hasil survei ini sekaligus mengonfirmasi bahwa komunikasi kebijakan yang terbuka mampu mempercepat pemulihan legitimasi publik,” tandas Yohanes.
    Diketahui, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Tranformasi Reformasi Polri yang bertugas mengevaluasi seluruh aspek kinerja lembaga.
    Tim Transformasi Reformasi Polri itu dibentuk lewat Surat Perintah (Sprin) Nomor: Sprin/2749/IX/TUK.2.1./2025 yang ditandatangani pada 17 September 2025.
    Ditambah lagi, pada 7 November 2025, Presiden Prabowo Subianto melantik 10 orang sebagai Komisi Percepatan Reformasi Polri.
    Tidak main-main, komisi tersebut diketuai oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga ahli hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie. Dengan anggota, tiga mantan Kapolri, serta menteri koordinator (Menko) dan menteri di bidang hukum yang berada di bawah Kabinet Merah Putih, serta mantan Menko bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polkam) Mahfud MD.
    Berikut 10 orang yang dilantik menjadi Komisi Reformasi Polri:
    Ketua:
    Anggota:
    Survei Litbang
    Kompas
    diselenggarakan pada 9-16 Oktober 2025, terhadap 1.200 responden yang dipilih secara acak menggunakan
    metode multistage random sampling
    di 38 provinsi di Indonesia.
    Survei ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dan
    margin of error
    lebih kurang 2,83 persen.
    Survei Litbang
    Kompas
    ini juga didanai oleh Harian
    Kompas
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mabes Polri Bakal Pelajari Putusan MK yang Larang Anggota Duduki Jabatan Sipil

    Mabes Polri Bakal Pelajari Putusan MK yang Larang Anggota Duduki Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Mabes Polri merespons soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) anggota polisi aktif dilarang untuk menduduki jabatan sipil.

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan pihaknya belum menerima salinan resmi dari putusan itu. Namun demikian, Sandi memastikan Polri bakal menghormati putusan yang dikeluarkan MK.

    “Terima kasih atas informasinya, dan kebetulan kami juga baru dengar atas putusan tersebut, tentunya Polri akan menghormati semua keputusan yang sudah dikeluarkan,” ujar Sandi di PTIK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dia menambahkan untuk saat ini Polri masih menunggu hasil resmi putusan MK. Usai salinan putusan MK itu diterima, Polri bakal menganalisis putusan MK itu sebelum akhirnya menyatakan sikap.

    “Tentunya kalau memang sudah diputuskan dan kita sudah mempelajari apa yang sudah diputuskan tersebut, Polri akan selalu menghormati putusan pengadilan yang sudah diputuskan,” imbuhnya.

    Adapun, Sandi menjelaskan bahwa penempatan anggota aktif kepolisian di Kementerian/Lembaga sudah memiliki aturannya tersendiri. 

    Berdasarkan Pasal 28 ayat (3) UU No.2/2002 tentang Polri menyatakan jabatan di luar kepolisian memerlukan izin dari Kapolri. Namun, frasa itu kini telah dihapus dalam putusan MK dengan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025.

    “Namun demikian kita sudah mendengar ataupun kita sudah melihat ada putusan hari ini, kita tinggal menunggu seperti apa konkrit putusannya sehingga kami bisa melihat dan pelajari dan apa yang harus dikerjakan oleh kepolisian,” pungkasnya.

    Putusan MK

    Diberitakan sebelumnya, MK (MK) menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif.

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya.