Kementrian Lembaga: MK

  • Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan

    Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan

    Putusan Progresif MK: Dari Larangan Rangkap Jabatan Wamen dan Polri, hingga Keterwakilan Perempuan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memberikan putusan progresif dalam sidang uji materi beberapa undang-undang.
    Putusan terbaru itu diucapkan pada 13 November 2025, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025) terhadap Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (
    Polri
    ).
    Putusan itu menegaskan, anggota Polri tak bisa lagi merangkap jabatan, sebagai penegak hukum sekaligus menduduki jabatan sipil seperti yang sering dilakukan belakangan ini.
    Putusan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 itu menegaskan, frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat mutlak jika anggota Polri mau cawe-cawe duduk pada jabatan sipil.
    Rumusan tersebut adalah rumusan norma yang
    expressis verbis
    yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain.
    Sementara itu, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan terhadap norma dimaksud.
    Terlebih, adanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002.
    Menurut hakim konstitusi Ridwan mansyur, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian; dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
    “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” jelas Ridwan.

    Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti mengatakan, putusan
    progresif
    ini menjadi hal yang menggembirakan masyarakat secara luas.
    Dia melihat putusan-putusan ini semakin terlihat progresivitasnya dan tak terlepas dari titik nadir MK saat mengeluarkan putusan 90/2023 yang mengubah batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
    “Akibat putusan 90 MK itu berada di titik nadir, dan dengan putusan-putusan progresif ini mereka berusaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik,” kata Susi saat ditemui di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025) malam.
    Saat ini yang perlu dilakukan MK adalah bagaimana progresivitas ini bisa tetap dipertahankan.
    Salah satu caranya adalah tenaga ahli di MK yang sangat bagus dan memberikan perspektif terkait jalan lurus yang pernah dicetak MK.
    Hakim memang memiliki independensi, tetapi hakim juga bisa berdiskusi terkait dengan diskursus yang sedang digugat di MK.
    “Jadi di MK sendiri harus dibangun sebuah lingkungan yang memastikan progresivitas itu tetap terpelihara,” katanya.
    “Dan jangan lupa bahwa mereka itu dinilai loh oleh masyarakat. Progresifitas itu tetap diharapkan gitu. Nanti kalau Anda nggak progresif lagi, di ini lagi sama masyarakat,” tuturnya.
    Masyarakat juga berperan penting agar para hakim bisa tetap mempertahankan putusan yang progresif.
    Catatan
    Kompas.com
    ,
    putusan MK
    yang melarang anggota Polri aktif duduk di jabatan sipil bukan satu-satunya putusan progresif yang diputus sepanjang tahun 2025.
    Berikut beberapa putusan progresif yang diputus MK:
    Putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Juni 2025 itu menyatakan, keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
    Putusan MK ini juga menyatakan bahwa pemilu lokal dilaksanakan dalam rentang waktu antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-DPD.
    Putusan tersebut disambut gembira oleh para penyelenggara pemilu seperti Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merasakan lelahnya pemilu serentak lokal dan nasional.
    Tetapi berbeda sikap dengan elit partai politik yang merasa keberatan atas putusan tersebut, karena biaya logistik yang bisa lebih besar setelah pemisahan pemilu tersebut.
    Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra bahkan menyebut putusan MK berpotensi melanggar konstitusi.
    Karena dalam konstitusi disebutkan pemilu dari tingkat nasional dan lokal harus terselenggara lima tahun sekali. Putusan MK ini akan berakibat pada penundaan pemilu selama 2 tahun untuk Pilkada.
    Putusan lainnya adalah putusan nomor 96/PUU-XXII/2024 terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).
    MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya yang dibacakan pada 29 September 2025.
    Pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra saat itu menyebut, Tapera menimbulkan persoalan khususnya untuk para pekerja.
    Pasalnya, beleid itu diikuti dengan unsur pemaksaan dengan meletakkan kata wajib sebagai peserta Tapera, sehingga secara konseptual, tidak sesuai dengan karakteristik hakikat tabungan yang sesungguhnya karena tidak lagi terdapat kehendak yang bebas.
    Padahal Tapera bukan termasuk dalam kategori pungutan lain yang bersifat memaksa layaknya pajak dan pungutan resmi lainnya.
    “Oleh karena itu, Mahkamah menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana didalilkan Pemohon,” kata Saldi.
    Putusan ini juga memberikan kesempatan kepada BP Tapera untuk mengatur uang nasabah yang sudah terlanjur menyetor, seperti para aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri.
    Putusan lainnya yakni perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang berkaitan dengan rangkap jabatan wakil menteri khususnya sebagai komisioner di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
    Hakim MK Enny Nurbaningsih menyebutkan, dalil pemohon yang meminta agar para wakil menteri fokus mengurus kementerian dinilai sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
    Atas hal tersebut, MK menilai perlu agar para wakil menteri dilarang merangkap jabatan agar fokus mengurus kementerian.
    “Dalam batas penalaran yang wajar, peraturan perundang-undangan dimaksud salah satunya adalah UU 39/2008. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah menegaskan dalam amar Putusan
    a quo
    mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri termasuk sebagai komisaris, sebagaimana halnya menteri agar fokus pada penanganan urusan kementerian,” kata Enny.
    Putusan yang dibacakan pada 28 Agustus 2025 itu menyebut wakil menteri juga memerlukan konsentrasi waktu untuk menjalankan jabatannya sebagai komisaris.
    “Terlebih, pengaturan larangan rangkap jabatan karena berkaitan pula dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih, bebas dari konflik kepentingan, serta pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik,” kata Enny.
    Atas dasar hal tersebut, MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon dan melarang wamen rangkap jabatan.
    Putusan yang tak kalah progresif adalah perhatian MK terhadap komposisi perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
    Putusan nomor 169/PUU-XXII/2024 ini dibacakan pada Kamis, 30 Oktober 2025 dengan penggugat adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan Titi Anggraini
    Dalam putusan ini, MK menyatakan agar setiap (AKD) mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan setiap pimpinan alat kelengkapan dewan harus memiliki keterwakilan perempuan.
    Dalam putusan tersebut, MK menilai kebijakan afirmatif untuk kelompok perempuan menjadi kesepakatan nasional untuk memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia yang lebih komperhensif.
    Karena faktanya, meskipun perbandingan jumlah penduduk antara perempuan dan laki-laki relatif berimbang, namun perempuan jauh tertinggal dibandingkan dengan laki-laki pada hampir semua penyelenggara negara.
    Fakta tersebut membuat negara harus memberikan perlakuan khusus untuk kelompok perempuan. Dasar tersebut menjadi alasan, jumlah perempuan yang berimbang pada sistem politik juga harus tercermin pada semua alat kelengkapan anggota lembaga perwakilan, termasuk AKD.
    Dua putusan lainnya adalah putusan terkait dengan hak atas tanah dalam gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) nomor perkara 181/PUU-XXII/2024, dan Hak Atas Tanah (HAT) di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur (Kaltim) melalui putusan perkara 185/PUU-XXII/2024.
    Pada perkara 181, MK mengabulkan agar masyarakat tak perlu izin pemerintah untuk menggarap lahan hutan untuk berkebun.
    Dalam pertimbangan hukumnya, putusan yang dibacakan pada 17 Oktober 2025 itu menyebut larangan setiap orang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat dikecualikan bagi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
    Terakhir terkait dengan hak atas tanah di IKN lewat putusan 185. Ketentuan soal Hak Atas Tanah (HAT) di IKN diatur dalam Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahu 2023 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).
    Putusan ini mengatur, agar HAT tak lagi bisa diperpanjang menjadi 190 tahun.
    Artinya, batasan waktu HGB paling lama kini mencapai 80 tahun, yang dapat diperoleh sepanjang memenuhi persyaratan selama memenuhi kriteria dan tahapan evaluasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nasib KY Setelah Dua Dekade dengan Kewenangan yang Semakin Minim

    Nasib KY Setelah Dua Dekade dengan Kewenangan yang Semakin Minim

    Nasib KY Setelah Dua Dekade dengan Kewenangan yang Semakin Minim
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Dua dekade lalu, lahir sebuah lembaga sebagai kehendak politik yang dituangkan dalam amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
    Lembaga ini termasuk dalam cita-cita
    reformasi
    sebagai orientasi
    checks and balances
    dalam sistem kekuatan kehakiman.
    Lembaga itu dinamakan
    Komisi Yudisial
    .
    Dalam buku Risalah KY yang diterbitkan oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia tahun 2013, KY digambarkan sebagai wujud pemikiran kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol sebagai wujud akuntabilitas.
    Independensi dan akuntabilitas menjadi dua sisi mata uang.
    Dalam konteks kebebasan
    hakim
    , harus ada perimbangan dengan pasangannya, yakni akuntabilitas.
    KY berada dalam latar belakang tersebut.
    Namun, setelah 20 tahun berdiri, apakah makna tersebut telah bergeser?
    Di mana peran KY dan bagaimana lembaga yang prematur ini bertahan dari gempuran dinamika politik di era reformasi?
    Ketua Komisi Yudisial RI, Amzulian Rifai, mengatakan bahwa refleksi dua dekade menjaga integritas hakim penuh dengan tantangan, salah satu tantangannya adalah
    kepercayaan publik
    .
    “Salah satu kekuatan negara-negara maju, di Australia misalnya, itu adalah
    trust
    publik. Itu bisa direfleksikan, antara lain, kalau dunia peradilan, adalah berapa banyak suatu kasus itu misalnya yang dikasasikan, berapa banyak tunggakan perkara,” kata Amzulian dalam acara Sinergitas KY dan Media Massa, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025) malam.
    Dia memberikan contoh bahwa Australia telah sukses menggelar perkara sampai hampir nol.
    Pada survei pertengahan tahun 2025, yang mempertanyakan kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga negara, jika kita perhatikan, lembaga negara Mahkamah Agung berada di urutan kelima, jika saya tidak salah, di bawah lembaga TNI, Presiden, dan antara lain, Kejaksaan Agung serta KPK.
    Hal ini cukup miris, karena Indonesia digembar-gemborkan sebagai negara hukum.
    Seharusnya, kata Amzulian, Mahkamah Agung berada di posisi pertama.
    “Tapi faktanya tidak demikian,” ucapnya.
    Di sini KY mengambil peran untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga peradilan secara keseluruhan.
    KY memiliki tugas mengawasi perilaku hakim, menyeleksi calon hakim agung, hingga memberikan rekomendasi jika terbukti ada hakim yang melanggar etik.
    Amzulian pun mengakui lembaga yang ia pimpin masih banyak kekurangan, terutama di mata publik.
    “Saya cukup banyak, bukan hanya membaca media, tetapi juga berkeliling di banyak tempat di perguruan tinggi, itu umumnya mereka masih agak kecewa dengan eksistensi Komisi Yudisial. Walaupun sebenarnya kekecewaan itu hampir kepada seluruh lembaga negara,” tutur dia.
    Kendati demikian, Amzulian mengungkapkan ada banyak tugas yang KY kerjakan untuk memperbaiki wajah penegakan peradilan di Indonesia selama dua dekade berdirinya lembaga tersebut.
    Misalnya, hampir semua laporan masyarakat ditindaklanjuti oleh KY.
    Setiap minggu diadakan sidang pleno untuk memutuskan satu laporan masyarakat.
    Memang, sebagian besar laporan masyarakat harus berakhir tanpa ditindaklanjuti dengan alasan bukti yang lemah, teknis yudisial, dan bukan
    kewenangan KY
    , tetapi ada beberapa juga yang berlanjut.
    “Salah satunya memandang hakim itu tidak adil karena berbicara kepada salah satu pihak. Itu lebih keras, sedangkan kepada pihak lain itu lemah-lembut. Dinilainya itu memihak salah satu pihak. Bagaimana kami menindaklanjuti?” imbuh dia.
    Selain tindak lanjut pemeriksaan etik hakim dari laporan masyarakat dan pemberitaan media massa, KY juga mengerjakan mandatnya sebagai lembaga yang menyeleksi calon hakim agung secara ketat.
    Amzulian menjamin, langkah seleksi ini bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
    Meskipun konsekuensinya, hasil seleksi mereka kadang seluruhnya ditolak saat fit and proper test di DPR-RI.
    “Jadi itulah tugas-tugas konstitusional kami, walaupun tentu saja tidak akan pernah puas masyarakat dengan apa yang kami lakukan. Dan ternyata, masyarakat ada yang tidak tahu apa yang dilakukan oleh KY,” ujar Amzulian.
    Meski terkesan tak bertaji saat ini, KY sesungguhnya pernah sakti saat awal pendiriannya, bisa memberikan pengawasan tak hanya untuk hakim tingkat rendah, tetapi juga sampai ke level Hakim Konstitusi.
    Mereka juga punya kewenangan menjadi panitia seleksi untuk calon hakim tingkat pertama, seperti hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, hingga hakim pengadilan tata usaha negara.
    KY juga pernah memiliki kewenangan untuk memiliki perwakilan pada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
    Namun, kewenangan itu seiring waktu dipreteli lewat putusan MK.
    Kewenangan yang pertama dicabut adalah pengawasan terhadap hakim MK dan hakim agung.
    Pengkebirian ini dilakukan lewat putusan MK nomor 005/PUU-IV/2006 yang diucapkan pada 16 Agustus 2006 oleh Jimly Asshiddiqie selaku ketua MK pada saat itu.
    Putusan itu menyebut, hakim MK tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY, sedangkan pengawasan hakim agung dikembalikan kembali kepada Mahkamah Agung.
    Kemudian, dalam putusan I/PUU-XII/2014, MK kembali mengkebiri pengawasan KY.
    Putusan ini menyebutkan KY tidak lagi bisa menempatkan orang sebagai organ pelengkap dalam Majelis Kehormatan MK (MKMK).
    Terakhir, pada putusan 43/PUU-XIII/2025, MK mencabut kewenangan KY terkait seleksi calon hakim tingkat pertama.
    MK mendalilkan, KY tak memiliki mandat tersebut dalam UUD 1945 dan sistem peradilan satu atap adalah kewenangan dari Mahkamah Agung.
    Namun, setelah dua dekade KY berdiri, wajah peradilan di Indonesia tak sepenuhnya mendapat kepercayaan publik.
    Oleh sebab itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti, menilai KY harus memiliki peran yang lebih besar.
    KY tak boleh lagi hanya diberikan wewenang yang prematur, mengawasi dan memberikan rekomendasi sanksi, atau sekadar jadi pansel calon hakim agung.
    Susi kemudian mengutip ucapan dari Presiden Latvia, Egils Levits, dalam acara 10 tahun Judicial Council di negara tersebut.
    Egils menyebut KY Latvia harus memainkan peran lebih besar dan memberikan fokus pemecahan masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh siapapun selain lembaga peradilan itu sendiri.
    Dengan cara itu, KY Latvia bisa menjadi instrumen kepercayaan publik untuk melihat kembali lembaga peradilan yang bersih dan bisa dipercaya.

    It does also become a trust instrument
    , jadi KY itu akan menjadi instrumen kepercayaan,” imbuh dia.
    Susi mengatakan, harapan Presiden Latvia ini juga senada dengan kepercayaan mayoritas masyarakat di Indonesia.
    Sebab itu, DPR juga harus memikirkan bagaimana KY bisa lagi menjadi sakti dan bertaji, salah satu caranya dengan merevisi undang-undang KY.
    Saat ini, kata Susi, ada proses revisi UU Jabatan Hakim yang menjadi prioritas pembahasan DPR.
    Menurut dia, sudah selayaknya pembahasan terkait UU tersebut juga berlangsung secara paralel dengan UU KY.
    “Harusnya pembahasannya itu adalah paralel, karena pasti itu ada kaitan antara Jabatan Hakim dan KY, termasuk juga penegakan kehormatan dan integritas hakim,” kata Susi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kompolnas Nilai Polisi Masih Bisa Ditugaskan di Luar Struktur: Asal Berkaitan

    Kompolnas Nilai Polisi Masih Bisa Ditugaskan di Luar Struktur: Asal Berkaitan

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan anggota aktif masih bisa menjabat di luar struktur kepolisian meski sudah diputus Mahkamah Konstitusi (MK).

    Komisioner Kompolnas, Choirul Anam berpandangan putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 hanya mengikat pada frasa atau kalimat yang mendasarkan tidak penugasan dari Kapolri.

    Dengan demikian, kata Anam, selagi penugasan itu masih ada kaitannya dengan tugas pokok kepolisian, maka masih boleh dijabat anggota aktif.

    “Kalimat yang lain masih berlaku, artinya yang memaknai bahwa penugasan di luar struktur itu, makna penugasan di luar struktur itu adalah yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepolisian. Kalau masih ada sangkut pautnya dengan kepolisian itu artinya boleh,” ujar Anam saat dihubungi, Minggu (16/11/2025).

    Di samping itu, Anam juga menyinggung soal dissenting opinion yang diungkap oleh Hakim MK Arsul Sani yang memperbolehkan penugasan anggota jika masih ada keterkaitan dengan tupoksi kepolisian.

    “Bahkan beliau [Arsul] juga mencontohkan lembaga-lembaga yang memang tupoksinya itu sangat lekat dengan kepolisian,” imbuhnya.

    Adapun, Anam menilai putusan MK ini telah memberikan batasan yang jelas mana saja lembaga/kementerian yang bisa diisi anggota kepolisian. 

    Dengan demikian, putusan ini bisa sejalan dengan dengan undang-undang aparatur sipil negara (ASN) yang direspon Polri melalui Perpol.

    “Oleh karenanya pasca putusan MK ini, ya maknanya boleh dengan batasan. Dan batasanya ada pentingnya memang me-listing lembaga yang memang erat sekali hubungan dengan kepolisian,” pungkasnya.

    Sebelumnya, MK menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif.

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).

  • Choirul Anam Sebut Polsi Masih Bisa Duduki Jabatan Sipil, Said Didu: Kompolnas Digaji Negara untuk Membodohi Rakyat?

    Choirul Anam Sebut Polsi Masih Bisa Duduki Jabatan Sipil, Said Didu: Kompolnas Digaji Negara untuk Membodohi Rakyat?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Aktivis sosial, Muhammad Said Didu, merespons pernyataan Komisioner Kompolnas, Mohammad Choirul Anam, yang menyebut anggota Polri masih bisa menduduki jabatan sipil meski putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah melarangnya.

    Said Didu tidak menutupi kekesalannya. Ia menyemprot pernyataan Anam dan menyebutnya berpotensi menyesatkan publik dan merusak tatanan hukum yang telah digariskan.

    “Bangsa kita rusak karena pejabat seperti ini, membodohi rakyat,” ujar Said di X @msaid_didu, Minggu (16/11/2025).

    Ia menegaskan, putusan MK bersifat final dan mengikat. Karena itu, menurutnya, tafsir yang diberikan Kompolnas dinilai menabrak aturan yang sudah jelas.

    “Putusan MK tuh melarang polisi aktif bekerja di luar jabatan kepolisian, termasuk ASN,” lanjutnya.

    Said Didu bilang, jika ada anggota Polri yang ingin beralih menjadi pejabat sipil, caranya bukan dengan tetap berstatus polisi aktif, melainkan harus meninggalkan jabatan kepolisian terlebih dahulu. “Kalau mau silakan mundur sebagai polisi,” ujarnya.

    Pria kelahiran Kabupaten Pinrang ini juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Aparatur Sipil Negara sudah mengatur syarat yang harus dipenuhi oleh setiap calon ASN.

    Karena itu, menurutnya, tidak boleh ada pengecualian bagi anggota Polri aktif.

    “UU ASN mengatur persyaratan jadi ASN. Kalau polisi aktif dilarang maka tidak boleh,” tegasnya.

    Tidak berhenti di situ, ia bahkan mempertanyakan fungsi lembaga Kompolnas yang menurutnya tidak semestinya mengeluarkan pernyataan yang justru membingungkan masyarakat.

  • MKMK Persilakan Hakim Arsul Sani Bicara Polemik Ijazah di Media

    MKMK Persilakan Hakim Arsul Sani Bicara Polemik Ijazah di Media

    Jakarta

    Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna, mempersilakan Hakim MK Arsul Sani untuk memberi hak jawab kepada media menindaklanjuti tudingan ijazah palsu yang belakangan dilaporkan oleh Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi ke Bareskrim. Palguna mengatakan pernyataan Arsul Sani ke media diperbolehkan sesuai UU pers.

    “Ya, silakan. Sesuai dengan UU Pers,” kata Palguna saat dihubungi, Minggu (16/11/2025).

    Palguna mengatakan Hakim Arsul bisa menyampaikan hak jawab yang menyangkut ranah personal. Ia mengingatkan sepanjang berkaitan dengan pemberitaan itu dan tidak di luar konteks, maka pernyataan Arsul Sani valid.

    “Itu hak beliau untuk menggunakan hak jawab karena beritanya sudah menyangkut personal beliau. Jadi, sepanjang menyangkut soal berita itu, silakan. Yang dilarang jika beliau berkomentar hal-hal di luar itu,” tambahnya.

    Sebelumnya, Hakim MK Arsul Sani menyatakan enggan berpolemik terkait tudingan ijazah palsu tersebut. Dia hanya menyebut perihal itu juga kini ditangani oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)

    Laporan Dugaan Ijazah Palsu ke Bareskrim

    Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi diketahui mengadukan Hakim Konstitusi Arsul Sani ke Bareskrim Polri. Pengaduan itu terkait legalitas ijazah program doktor Arsul Sani yang diduga palsu.

    Menurut Betran, jabatan Hakim MK menuntut integritas akademik, dan gelar doktor menjadi syarat utama. Karena itu kebenarannya harus dibuktikan guna mempertahankan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi.

    “Maka apabila salah satu hakim yang kemudian memiliki ijazah palsu atau menggunakan ijazah palsu untuk mendapatkan jabatan sebagai hakim MK, maka ini adalah salah satu bentuk ataupun tindakan yang mencederai konstitusi itu sendiri. Jadi, itu yang menjadi alasan kami untuk datang dan mau membuat laporan kepolisian,” ucapnya.

    Betran mengaku turut menyerahkan sejumlah bukti pemberitaan untuk menguatkan laporannya. Dia menyebut universitas tempat Arsul Sani menempuh program doktor kini tengah diselidiki oleh otoritas antikorupsi Polandia.

    “Bukti yang kami dapatkan atau yang kami terima, salah satunya itu adalah pemberitaan, pemberitaan terkait dengan penyelidikan salah satu Komisi Pemberantasan Korupsi yang ada di Polandia yang coba untuk melakukan pemeriksaan terkait dengan legalitas kampus, yang mana kampus tersebut itu merupakan kampus yang di mana salah satu hakim berkuliah mendapatkan titel S3 di tahun 2023,” jelas dia.

    (dwr/gbr)

  • Kompolnas Sebut Polri Tetap Bisa Duduki Jabatan Sipil, Choirul Anam Beri Alasan Ini

    Kompolnas Sebut Polri Tetap Bisa Duduki Jabatan Sipil, Choirul Anam Beri Alasan Ini

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan anggota polri untuk mengundurkan diri atau pensiun jika mendudukan jabatan sipil, tampaknya masih akan menimbulkan perdebatan.

    Pasalnya, masih ada pihak yang menilai bahwa anggota polri tetap bisa menduduki jabatan sipil, asalkan jabatan yang diembang tersebut masih memiliki keterkaitan dengan tugas kepolisian.

    Pernyataan itu bahkan disampaikan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) saat merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memerintahkan anggota kepolisian menduduki jabatan sipil untuk mengundurkan diri atau pensiun.

    Kompolnas menyatakan bahwa anggota Polri tetap bisa menduduki jabatan sipil yang kaitannya erat dengan tugas kepolisian.

    “Ya kalau mencermati putusan konstitusi yg dinyatakan tidak berlaku, tidak mengikat, itu ya frasa atau kalimat ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’, kalimat yang lain masih berlaku,” kata Komisioner Kompolnas, Mohammad Choirul Anam dilansir JawaPos.com, Minggu (16/11).

    “Ya kalau mencermati putusan konstitusi yang dinyatakan tidak berlaku, tidak mengikat, itu ya frasa atau kalimat ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri, kalimat yang lain masih berlaku,” sambungnya.

    Dia menyebut, polri memang seharusnya mengundurkan diri jika jabatan sipil yang diemban tidak ada kaitannya dengan tugas kepolisian. Hanya saja kata dia, terdapat lembaga yang berkaitan erat dengan tugas kepolisian, seperti BNN dan BNPT.

    “Kalimat yang berlaku itu artinya, memaknai penugasan di luar struktur itu adalah yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepolisian. Kalau masih ada sangkut pautnya dengan kepolisian itu artinya boleh,” tegasnya.

  • Daftar Polisi Aktif yang Punya Jabatan di Luar Struktur Polri

    Daftar Polisi Aktif yang Punya Jabatan di Luar Struktur Polri

    Bisnis.com, JAKARTA — Polisi aktif dinilai sudah tidak boleh menduduki jabatan sipil usai adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.114/PUU-XXIII/2025.

    Dalam putusan MK itu, telah menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Pasal itu menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujar Hakim MK Ridwan Mansyur dalam sidang,

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    Sementara itu, Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho memastikan pihaknya bakal menghormati putusan MK itu. Namun, untuk saat ini putusan itu masih dipelajari.

    “Tentunya kalau memang sudah diputuskan dan kita sudah mempelajari apa yang sudah diputuskan tersebut, Polri akan selalu menghormati putusan pengadilan yang sudah diputuskan,” ujar Sandi saat ditemui di PTIK, Kamis (13/11/2025).

    Lantas, siapa saja polisi aktif yang menjabat posisi di luar struktur? Berikut daftar yang telah dirangkum Bisnis:

    Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Suyudi Aryo Seto
    Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Komjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho
    Komisaris di PT Mineral Industri Indonesia atau MIND ID, Komjen Fadil Imran
    Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Komjen Albertus Rachmad Wibowo
    Sekjen Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Komjen M. Iqbal 
    Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Eddy Hartono 
    Irjen Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Komjen I Ketut Suardana 
    Sekretaris Utama Lemhanas RI, Komjen R. Z Panca Putra 
    Sekjen Kemenkumham, Komjen Pol Nico Afinta
    Sekjen Kemendagri, Komjen Polisi Tomsi Tohir
    Irjen Kementerian UMKM, Irjen Raden Argo Yuwono 
    Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan, Irjen Pol. Djoko Poerwanto
    Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Brigjen Sony Sanjaya 
    Pelaksana tugas Direktur Jenderal Imigrasi di Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Brigjen Yuldi Yusman  
    Staf Ahli di Kementerian Kehutanan, Brigjen Rahmadi
    Staf Ahli Menteri Dalam Negeri, Brigjen Edi Mardianto 
    Dirjen Pengawasan Ruang Digital di Komdigi, Brigjen Alexander Sabar,
    Tenaga Ahli di Kementerian Pemuda dan Olahraga, Brigjen Raden Slamet Santoso 
    Ketua Badan Tim Nasional (BTN) PSSI, Kombes Sumardji
    Kementerian Haji dan Umrah, Kombes Jamaludin

  • MK Batalkan Hak Tanah Investor IKN 190 Tahun, Menteri ATR/BPN Buka Suara

    MK Batalkan Hak Tanah Investor IKN 190 Tahun, Menteri ATR/BPN Buka Suara

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas waktu penggunaan Hak Atas Tanah (HAT) dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) bertentangan dengan UUD 1945.

    Untuk diketahui sebelumnya, UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN mengatur pemberian Hak Atas Tanah kepada investor sebanyak dua kali siklus dengan total mencapai 190 tahun.

    Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengaku menghormati segala bentuk keputusan MK mengenai aturan tersebut.

    Dia menjelaskan keputusan tersebut akan menjadi landasan penting dalam memperkuat kepastian hukum, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Penajam Paser Utara (PPU).

    “Kami menghormati dan siap melaksanakan sepenuhnya putusan MK. Ini adalah landasan penting untuk memperkuat kepastian hukum, transparansi, dan tata kelola pertanahan yang lebih baik dalam pembangunan IKN,” jelas Nusron dalam keterangannya, Minggu (16/11/2025).

    Pada saat yang sama, Nusron juga menilai ketetapan ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 mengenai prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam.

    Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa putusan MK menjadi momentum untuk memperkuat fungsi sosial tanah, terutama perlindungan terhadap masyarakat lokal dan adat. Dia berpandangan, keseimbangan antara pembangunan dan keadilan sosial menjadi prinsip utama yang terus dijaga pemerintah.

    “Presiden Prabowo memberi perhatian besar pada perlindungan masyarakat lokal dalam pembangunan IKN. Dengan putusan ini, negara semakin kuat dalam memastikan kepastian hukum sekaligus keadilan sosial,” tambahnya.

    Sebagai informasi, MK menetapkan untuk membatalkan Pemberian HAT lahan IKN Selama 190 tahun dalam putusan yang dibacakan pada Kamis (13/11/2025). 

    MK menyatakan sejumlah ketentuan Pasal 16A UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai batas waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak.

    Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan amar Putusan Nomor 185/PUU-XXII/2024 menyampaikan ketentuan yang dinilai bertentangan dengan konstitusi.

    Pasalnya, dalam UU Nomor 3/2022 tentang IKN pemerintah akan memberikan HAT dalam bentuk hak guna usaha, diberikan hak, paling lama 35 tahun, perpanjangan hak paling lama 25 tahun, dan pembaruan hak paling lama 35  tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi dan dapat diperpanjang lagi selama dua kali siklus.

    Suhartoyo juga membacakan dua amar serupa untuk HGB (Hak Guna Bangunan) dan HP (Hak Pengelolaan), masing-masing dengan jangka waktu maksimal 30 tahun untuk pemberian, 20 tahun untuk perpanjangan, dan 30 tahun untuk pembaruan. Dia kemudian menegaskan aturan tersebut turut bertentangan dengan konstitusi.

    “Menyatakan Penjelasan Pasal 16A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 […] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” jelasnya.

  • MK Selamatkan Sebagian Wajah Bopeng NKRI

    MK Selamatkan Sebagian Wajah Bopeng NKRI

    GELORA.CO – Mahkamah Konsitusi (MK) saat ini patut diapresiasi dan diacungi jempol atas putusannya soal dwi fungsi Polri dan memangkas lamanya waktu bagi investor di Ibukota Nusantara (IKN) dari 160 tahun menjadi 35 tahun.

    “Terus terang dua putusan MK yang dipimpin Hakim Suhartoyo ini cukup menggembirakan bagi publik,” kata Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi kepada RMOL, Minggu, 16 November 2025.

    Karena kata Muslim, sejak 10 tahun kekuasaan dipegang Joko Widodo alias Jokowi, dan MK dipimpin ipar Jokowi, yakni Paman Usman, MK dicibir seperti Mahkamah Kalkulator atau Mahkamah Keluarga, bahkan dianggap Mahkamah Kasur.

    “Tetapi semuanya itu berbalik di saat Paman Usman ditendang oleh rakyat dari singgasana penguasa palu maut yang merusak dan menghancurkan konstitusi. Kini Doktor Suhartoyo telah memimpin MK ke jalan yang diridhoi oleh rakyat. Karena selama ini putusan MK melukai dan menciderai rakyat,” terang Muslim.

    Misalnya kata Muslim, putusan MK soal Omnibus Law dan IKN sangat menzalimi rakyat dan negara. Bahkan, kaum buruh demo berjilid-jilid menentang Omnibus Law, tetapi MK tidak bergeming karena palu hakim MK ditentukan sang Paman Usman.

    “Cidera konstitusi seperti meloloskan anak kecil (bocil) yang belum cukup umur, tetapi melanggeng bebas menjadi cawapres. Padahal putusan itu menciderai konstitusi, dan si bocil pun dianggap sebagai anak haram konstitusi,” turur Muslim.

    Akan tetapi hari ini kata Muslim, ketokan palu MK yang mengembalikan Polri ke barak dan menghentikan dwi fungsi Polri cukup melegakan. Demikian pula putusan terhadap panjang waktu bagi investor asing kuasai tanah IKN dari 160 tahun menjadi 35 tahun yang membuat keresahan publik.

    “Selain dari prestasi besar MK hari ini, ada satu lagi PR bagi rakyat soal gonjang-ganjing ijazah Jokowi yang diduga palsu. Rakyat mengadukan ke Polisi, para pengadu malah mau dikriminalkan. Hal itu membuat frustrasi para penggugat di berbagai daerah saat menggugat ke pengadilan. Seolah tembok pengadilan di berbagai daerah itu menghadapi tembok dan palu para hakim digembok yang kokoh untuk menolak gugatan soal ijazah Jokowi,” jelas Muslim.

    Untuk itu, Muslim berharap agar MK juga mampu mengakhiri gonjang-ganjing ijazah palsu yang tidak produktif, termasuk ketidakjelasan pendidikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

    “Dengan demikian wajah-wajah bopeng NKRI mulai dari kerusakan konstitusi, anak haram konstitusi, kerusakan hukum dan demokrasi, dan kedaulatan rakyat secara pelan tetapi pasti terpoles meski belum semua,” ungkapnya.

    “MK sudah harus tampil untuk selesaikan kasus ijazah Jokowi maupun Gibran. Dan ini menjadi pekerjaan rumah yang seharusnya sudah segera dijawab oleh para Hakim MK yang mulai berani bela kebenaran dan keadilan,” pungkas Muslim. 

  • Anggota DPR: Kalau Negara Ikuti Aturan, Tak Ada Polisi Aktif Boleh Duduki Jabatan Sipil

    Anggota DPR: Kalau Negara Ikuti Aturan, Tak Ada Polisi Aktif Boleh Duduki Jabatan Sipil

    Anggota DPR: Kalau Negara Ikuti Aturan, Tak Ada Polisi Aktif Boleh Duduki Jabatan Sipil
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Fraksi PDI-P DPR RI TB Hasanuddin mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan polisi aktif menduduki jabatan sipil, hanya mempertegas aturan yang telah tertuang di Undang-Undang Polri.
    Atas dasar itu, pemerintah semestinya ejak awal harus sudah mematuhi ketentuan tersebut dengan tidak menempatkan anggota
    Polri
    aktif di jabatan sipil.
    “Putusan MK hanya mengulang dan mempertegas apa yang sudah ada dalam UU Kepolisian. Artinya, pemerintah sejak awal wajib menaati larangan tersebut,” ujar Hasanuddin, Minggu (16/11/2025).
    “Namun kenyataannya, pemerintah tidak menjalankan ketentuan Pasal 28 UU 2/2002,” sambungnya.
    Anggota Komisi I DPR RI itu menerangkan bahwa Pasal 28 ayat 3 pada UU Nomor 2 2002 tentang Polri, mengatur
    polisi
    dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
    Di bagian penjelasan Pasal 28 Ayat 3, lanjut Hasanuddin, tertulis bahwa maksud kata jabatan di luar kepolisian adalah tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.
    “Frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ itulah yang dinyatakan MK bertentangan dengan UUD Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Hasanuddin.
    “Sebetulnya tanpa putusan MK pun, kalau negara mengikuti aturan yang dibuatnya sendiri, tidak ada anggota Polri aktif yang boleh menjabat di ranah sipil. Hal ini sangat tegas diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002,” sambungnya.
    Atas dasar itu, Hasanuddin berpandangan bahwa putusan MK terbaru ini sudah seharusnya dijalankan oleh pemerintah. Sebab, dengan adanya putusan tersebut tidak lagi ditafsirkan secara bebas.
    “Ini soal kepatuhan terhadap hukum. Kalau undang-undang sudah tegas, ya harus dipatuhi. Putusan MK menegaskan kembali bahwa aturan itu wajib dijalankan dan tidak bisa ditafsirkan secara bebas,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh lagi menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, termasuk jika penugasan itu berdasarkan arahan atau perintah Kapolri semata.
    Putusan itu dibacakan dalam sidang pleno dengan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
    “Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam pembacaan putusan.
    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menegaskan, frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” merupakan syarat mutlak bagi anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil.
    Menurut MK, rumusan tersebut sudah jelas dan tidak memerlukan penafsiran tambahan karena bersifat expressis verbis atau disebut secara tegas dalam norma hukum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.