Kementrian Lembaga: MK

  • Respon Putusan MK, Kapolri Tarik Anggota Aktif dari Jabatan Sipil

    Respon Putusan MK, Kapolri Tarik Anggota Aktif dari Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Mabes Polri menjelaskan kans anggota kepolisian yang menjabat di luar struktur ditarik dari jabatan sipil usai putusan MK.

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan keputusan penarikan itu dilakukan setelah Kapolri mendapatkan laporan dari tim kelompok kerja (pokja).

    “Ya untuk masalah keputusan nanti Bapak Kapolri akan mendapatkan laporan khusus dari tim pokja tersebut tentang apa yang akan dikerjakan oleh polri,” ujar Sandi di Mabes Polri, dikutip Selasa (18/11/2025).

    Dia menambahkan, tim pokja bakal ditugaskan berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk menyamakan persepsi soal putusan MK nomor 114/PUU-XXIII/2025 agar tidak multitafsir.

    Pihak yang dilibatkan yaitu Kemenpan RB, Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Kemenkum, Kemenkeu hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara, pokja Mabes Polri yang dilibatkan berasal dari tim As SDM dan Divisi Hukum.

    “Bahwa tim Pokja membuat kajian percepatan tadi bisa menjadi landasan kita dengan berkolaborasi, berkonsultasi, dan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait,” imbuhnya.

    Adapun, Sandi menekankan bahwa kepolisian pasti akan menghormati apapun keputusan MK sesuai dengan amanat undang-undang yang ada.

    “Yang pasti, bahwa Kepolisian sangat mengapresiasi dan menghormati putusan dari MK dan akan menindaklanjuti keputusan MK tersebut,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, MK telah memutuskan untuk menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

    Hal itu tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025). Adapun, putusan ini kemudian menimbulkan persepsi soal anggota Polri tidak bisa menduduki jabatan sipil.

  • KemenPANRB undang Polri evaluasi penempatan polisi di jabatan sipil

    KemenPANRB undang Polri evaluasi penempatan polisi di jabatan sipil

    Kompetensinya kepolisian tentunya untuk di bidang pengamanan, apakah sesuai dengan itu? Misalnya seperti di BNN. BNN kan memang kaitannya dengan masalah pengamanan mungkin itu bisa, contohnya seperti itu

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB) segera mengundang Polri untuk evaluasi dan membahas tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait polisi aktif tidak boleh mengisi jabatan sipil.

    “Kami nanti akan undang Polri,” kata Menteri PANRB Rini Widyantini di Kantor KemenPANRB, Jakarta, Selasa.

    Rini mengatakan jajarannya telah mengantongi data-data soal anggota Polri aktif yang saat ini menduduki jabatan sipil di berbagai institusi pemerintahan.

    Ia mengatakan dirinya dan Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo akan segera mengevaluasi soal apakah jabatan sipil tersebut memang harus ditempati oleh seseorang dengan kompetensi kepolisian.

    “Saya dengan Kapolri mesti mempelajari dalam hal apa saja dia bisa diisi, karena memang ada beberapa jabatan-jabatan yang memang kita harus evaluasi, apakah memang itu kompetensinya bisa diisi oleh Polri atau tidak, memang harus dilakukan evaluasi seperti itu,” ujarnya.

    Rini mengatakan saat ini fokus KemenPANRB adalah memastikan anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil sesuai dengan kompetensinya. Ia mengatakan kompetensi utama Polri adalah di bidang pengamanan, sehingga anggota Polri bisa saja menduduki jabatan di instansi sipil yang bergerak di bidang pengamanan, karena memang yang paling penting itu memastikan bahwa sesuai dengan kompetensinya.

    “Kompetensinya kepolisian tentunya untuk di bidang pengamanan, apakah sesuai dengan itu? Misalnya seperti di BNN. BNN kan memang kaitannya dengan masalah pengamanan mungkin itu bisa, contohnya seperti itu,” tuturnya.

    Sebelumnya, MK menegaskan anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    MK melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menghapus ketentuan yang selama ini menjadi celah bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil tanpa melepas status keanggotaannya terlebih dahulu.

    “Menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.

    MK dalam hal ini mengabulkan permohonan advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite untuk seluruhnya. Adapun para pemohon menguji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan secara substansial, Pasal 28 ayat (3) UU Polri sejatinya menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

    Artinya, kata Ridwan, jika dipahami dan dimaknai secara saksama, “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar kepolisian.

    Namun, Mahkamah menelaah, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri ternyata sama sekali tidak memperjelas norma batang tubuh sehingga terjadi ketidakjelasan.

    “Perumusan yang demikian berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian,” ucap Ridwan.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pengamat Soroti Perbedaan Sikap Polisi-DPR terkait Isu Ijazah Jokowi dan Asrul Sani

    Pengamat Soroti Perbedaan Sikap Polisi-DPR terkait Isu Ijazah Jokowi dan Asrul Sani

    GELORA.CO -Perbedaan respons antara DPR dan pihak kepolisian terkait isu ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani menjadi sorotan publik.

    Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi, menyoroti perbedaan itu. Menurutnya, sejak pelaporan dugaan ijazah palsu Arsul Sani di Bareskrim Mabes Polri, prosesnya berjalan aktif. Para pelapor diterima oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, dan Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal mendorong MKD untuk memeriksa Ketua dan anggota Komisi III yang meloloskan Arsul Sani sebagai Hakim MK. 

    “Pertanyaan ini penting untuk dicermati,” ujar Muslim kepada RMOL, Selasa, 18 November 2025.

    Muslim menyebut respons ini berbeda dibandingkan dengan dugaan ijazah palsu Jokowi. Laporan yang dilayangkan Roy Suryo dan kawan-kawan di kepolisian dihentikan, sementara DPR tidak mengambil langkah apa pun. Bahkan, pelapor justru sempat menjadi tersangka dari laporan yang dibuat oleh Jokowi.

    Meski begitu, Muslim memberikan apresiasi kepada Arsul Sani yang tetap tenang dan menjawab tudingan dengan sikap profesional. 

    “DPR terlihat sangat serius mengusut Arsul Sani, tetapi hal yang sama tidak terjadi pada Jokowi,” katanya.

    Selain itu, Muslim menyinggung buku “Jokowi’s White Paper” karya Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa, yang telah beredar luas di masyarakat, bahkan sampai ke luar negeri. Namun, hingga kini belum ada panggilan resmi ke DPR untuk memaparkan isi buku tersebut.

    Muslim menyimpulkan, perbedaan perlakuan ini menimbulkan pertanyaan terkait prinsip Equality Before The Law. 

    “Dalam dua kasus ini, antara Arsul Sani dan Jokowi, terlihat ada perlakuan berbeda. Satu ditangani secara aktif, sementara yang lain belum,” pungkasnya. 

  • KPK Masih Telaah Implikasi Putusan MK soal Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

    KPK Masih Telaah Implikasi Putusan MK soal Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai anggota polisi dilarang mengisi jabatan sipil.

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyampaikan pihaknya masih menelaah implikasi putusan tersebut terhadap jabatan anggota kepolisian di KPK.

    “Pasca putusan itu tim biro hukum KPK langsung melakukan analisis untuk mempelajari terkait dengan implikasi dari putusan itu tehadap KPK dengan jabatan-jabatan yang ada di KPK,” kata Budi dalam keterangannya, Selasa (18/11/2025).

    Sampai saat ini, kata Budi, proses analisis masih terus berlangsung di mana hasilnya akan disampaikan ke Publik. Sebab, sumber daya manusia di KPK terdiri dari berbagai instansi. 

    Dia menyebutkan, pegawai KPK berasal dari instansi mengisi bidang pengolahan data, pencegahan korupsi, pengolahan barang milik negara, hingga kehumasan tata usaha.

    “Selain dari insan-insan komisi, KPK mendapatkan dukungan sumber daya manusia dari institusi lain, dari kejaksaan, dari kepolisian, kementerian [dan] lembaga,” ujar Budi.

    Budi juga merespons terkait Ketua KPK Setyo Budiyanto yang sebelumnya diberitakan masih aktif sebagai anggota Polisi.

    Budi menjelaskan bahwa Setyo sudah purnawirawan atau tidak aktif di struktural Polri sehingga Setyo secara penuh bekerja di ruang lingkup Komisi Pemberantasan Korupsi.

    “Setyo Budianto juga per 1 Juli 2025 juga sudah masuk menjadi purnawirawan atau purna tugas, artinya putusan MK tidak ada implikasi terhadap status dari ketua KPK,” tegas Budi.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian selama masih berstatus aktif.

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

  • DPR Gelar Paripurna Hari Ini, RUU KUHAP Bakal Disahkan?

    DPR Gelar Paripurna Hari Ini, RUU KUHAP Bakal Disahkan?

    Bisnis.com, JAKARTA – DPR akan menggelar rapat paripurna ke-8 masa persidangan II tahun 2025-2026, Selasa (18/11/2025). Namun, apakah Revisi Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) akan disahkan hari ini?

    RUU KUHAP telah disepakati oleh Komisi III untuk dibawa ke tingkat II atau rapat paripurna terdekat. Kesepakatan ini diambil saat rapat pleno RUU KUHAP antara Komisi III DPR RI dan Pemerintah yang digelar pada Kamis (13/11/2025). 

    Keputusan untuk dibawa ke tingkat II setelah 8 fraksi di Komisi III menyepakati RUU tersebut. 

    Kemarin, Senin (17/11/2025), Wakil DPR Cucun Ahmad Syamsurijal menyampaikan RUU KUHAP dijadwalkan masuk paripurna masa persidangan II.

    “Kan Sudah tingkat 1 sudah ada jadwal. Tadi kan sudah rapim besok dijadwalkan,” kata Cucun, Senin (17/11/2025).

    Selain itu, dari dokumen yanng diterima Bisnis Nomor B/16945/PW.11.01/11/2025, RUU KUHAP akan dibahas di Paripurna hari ini.

    “Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana,” bunyi salah satu isi acara Paripurna.

    Meskipun RUU KUHAP dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Cucun menegaskan hal itu tidak akan berdampak pada pengesahan RUU KUHAP di sidang paripurna.

    Namun, laporan tetap dibahas dalam rapat pimpinan di MKD. Menurut Cucun, masyarakat tetap bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

    “Ya kan kalau pembahasan sudah TK 1 mekanisme itu tidak bisa terganggu dengan ini. Nanti mekanismenya kan ada, kalau memang enggak setuju dengan isinya bisa melalui judicial review,” ujar Cucun.

  • Telaah Dua Putusan Kontroversial MK, dari IKN hingga Rangkap Jabatan Polri

    Telaah Dua Putusan Kontroversial MK, dari IKN hingga Rangkap Jabatan Polri

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi akhir-akhir mengeluarkan dua putusan yang sangat kontroversial di Indonesia yakni terkait IKN dan rangkap jabatan Polri.

    Prinsip yang dipegang oleh MK merilis dua putusan baru adalah taat pada UUD 1945, patuh terhadap konstitusi negara, hingga memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang selama ini sering sekali terpinggirkan. Sebab, UUD 1945 adalah pedoman tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintah.

    Adapun putusan pertama yakni MK menghapus hak 190 tahun atas hak guna usaha (HGU) di IKN, karena menentang UUD 1945. MK menilai bahwa UU IKN yang diteken oleh Presiden RI ke-7 Joko Widodo, khususnya pasal 16A telah melanggar UUD 1945.

    Kini, majelis hakim merilis mekanisme penggunaan Hak Atas Tanah (HAT), agar penggunaan tanah di IKN sesuai dengan konstitusi negara. Pembaruan ini juga bisa untuk menjaga hak-hak masyarakat adat yang berada di Kalimantan.

    Kali ini, MK memberikan tafsir baru atas pengaturan jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP). Tafsir yang dikeluarkan MK terkait IKN ini menegaskan bahwa mekanisme penggunaan HAT harus mengikuti tahapan pemberian, perpanjangan, dan pembaruan, bukan diberikan sekaligus dalam dua siklus sebagaimana frasa yang tercantum dalam UU IKN.

    Ketua MK Suhartoyo menyatakan dalam sidang pembacaan bahwa amar Putusan Nomor 185/PUU-XXII/2024 bertentangan dengan konstitusi. Dia juga mengatur bahwa HGU diberikan waktu paling lama menjadi 35 tahun, perpanjangan hak paling lama 25 tahun, dan pembaruan hak paling lama 35 tahun, sesuai dengan kriteria dan tahapan evaluasi.

    Suhartoyo juga membacakan dua amar serupa untuk HGB dan HP, masing-masing dengan jangka waktu maksimal 30 tahun untuk pemberian, 20 tahun untuk perpanjangan, dan 30 tahun untuk pembaruan.

    Ambiguitas 190 Tahun dan Respon Kepala BPN

    UU IKN yang menyebutkan bahwa angka 190 tahun, menimbulkan makna yang ambigu, sehingga bisa disalahartikan oleh pihak-pihak lain.

    Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut. Menurut dia, ketentuan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 menimbulkan ambiguitas karena menyebutkan HGU diberikan melalui satu siklus dan dapat diberikan kembali untuk satu siklus kedua, yang jika dijumlahkan mencapai 190 tahun.

    “Sehingga hal demikian menimbulkan norma yang ambigu yang berpeluang disalahartikan,” ujarnya. 

    Kendati begitu, Enny menegaskan MK tetap mengakui mekanisme tiga tahapan yakni pemberian, perpanjangan, dan pembaruan yang selama ini menjadi praktik pertanahan nasional dan telah ditegaskan dalam putusan MK sebelumnya.

    Dia mengungkapkan bahwa pemberian HAT sekaligus dalam dua siklus tidak sesuai dengan prinsip evaluasi berkala yang wajib dilakukan negara. Karena itu, frasa tentang “siklus pertama” dan “siklus kedua” harus dibatalkan.

    “Artinya, batasan waktu paling lama 95 tahun dimaksud dapat diperoleh sepanjang memenuhi persyaratan selama memenuhi kriteria dan tahapan evaluasi,” ujarnya.

    Dalam kesempatan terpisah, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengaku menghormati segala bentuk keputusan MK mengenai aturan tersebut.

    Menurutnya, keputusan ini bisa menjadi landasan penting dalam memperkuat kepastian hukum, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Penajam Paser Utara (PPU).

    “Kami menghormati dan siap melaksanakan sepenuhnya putusan MK. Ini adalah landasan penting untuk memperkuat kepastian hukum, transparansi, dan tata kelola pertanahan yang lebih baik dalam pembangunan IKN,” jelas Nusron dalam keterangannya, Minggu (16/11/2025).

    Pada saat yang sama, Nusron juga menilai ketetapan ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 mengenai prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam.

    Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa putusan MK menjadi momentum untuk memperkuat fungsi sosial tanah, terutama perlindungan terhadap masyarakat lokal dan adat. Dia berpandangan, keseimbangan antara pembangunan dan keadilan sosial menjadi prinsip utama yang terus dijaga pemerintah.

    “Presiden Prabowo memberi perhatian besar pada perlindungan masyarakat lokal dalam pembangunan IKN. Dengan putusan ini, negara semakin kuat dalam memastikan kepastian hukum sekaligus keadilan sosial,” tambahnya.

    Sebagai informasi, MK menetapkan untuk membatalkan Pemberian HAT lahan IKN Selama 190 tahun dalam putusan yang dibacakan pada Kamis (13/11/2025). 

    Respon Putusan MK, Polri Bentuk Tim Pokja 

    Baru-baru ini, MK telah memutuskan untuk menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

    Hal itu tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025). Adapun, putusan ini kemudian menimbulkan persepsi soal anggota Polri tidak bisa menduduki jabatan sipil.

    Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 

    Meskipun MK berupaya untuk mengikuti UUD 1945, Polri kini malah menindaklanjuti putusan tersebut dengan membuat Pokja. Tim Pokja akan terlebih dahulu untuk menyamakan persepsi terkait putusan MK dengan sejumlah pihak itu agar tidak multitafsir.

    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membentuk kelompok kerja untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal anggota Polri duduk di jabatan sipil.

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan Kapolri Sigit telah menggelar rapat dengan pejabat utama untuk membahas putusan itu. Hasilnya, Sigit telah memutuskan untuk membuat tim pokja untuk menindaklanjuti putusan MK.

    “Bapak Kapolri berdasarkan hasil putusan rapat tersebut bahwa Polri akan membentuk tim Pokja yang bisa membuat kajian cepat terkait dengan putusan MK tersebut,” ujar Sandi di Mabes Polri, Senin (17/11/2025).

    Pokja itu, kata Sandi, bakal berkoordinasi dengan pihak terkait seperti Kemenpan RB, Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Kemenkum, Kemenkeu hingga Mahkamah Konstitusi (MK).

    “Sehingga tidak menjadi multitafsir harapannya ke depannya. Karena hal ini juga menyangkut adanya beberapa hal yang berkaitan dengan kementerian lembaga lainnya,” imbuhnya.

    Adapun, Sandi menekankan bahwa kepolisian pasti akan menghormati apapun keputusan MK sesuai dengan amanat undang-undang yang ada.

    “Yang pasti, bahwa Kepolisian sangat mengapresiasi dan menghormati putusan dari MK dan akan menindaklanjuti keputusan MK tersebut,” pungkasnya.

  • Polemik Dugaan Ijazah Palsu Hakim MK, Anggota DPR Dilaporkan ke MKD

    Polemik Dugaan Ijazah Palsu Hakim MK, Anggota DPR Dilaporkan ke MKD

    Bisnis.com, JAKARTA – Hakim Makhamah Konstitusi Arsul Sani, kini menjadi viral karena adanya dugaan ijazah palsu yang digunakan dalam fit and proper test hakim MK.

    Dugaan ijazah palsu milik Arsul Sani ini menjadi polemik di Indonesia. Adapun Aliansi Masyarakat Pemantau Konstitusi (AMPK) telah melaporkan Komisi III ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

    Anggota AMPK, Muhammad Rizal menduga Komisi III lalai dalam proses fit and proper test hakim MK. Adapun pelaporan tidak merujuk secara perorangan. Berdasarkan informasi yang dihimpun, hakim MK yang diduga terseret polemik ini adalah Arsul Sani. 

    “Kehadiran kami di MKD pada siang hari ini adalah berkaitan dengan pelaporan terhadap Komisi III. Berkaitan dengan kami menduga adanya kelalaian dalam proses fit and proper test hakim MK,” katanya kepada jurnalis di Kompleks Parlemen, Senin (17/11/2025).

    Dia berharap MKD memanggil Komisi III secara kelembagaan untuk dimintai pertanggungjawaban terkait dugaan ijazah palsu tersebut. 

    Koordinator AMPK, Betran Sulani mengatakan dugaan ijazah palsu berasal dari salah satu laporan media di Polandia. Ijazah yang diduga palsu adalah ijazah S3.

    “Kita melampirkan beberapa media-media, bahkan media Polandia juga kita sudah lampirkan dan aksi-aksi mahasiswa yang beberapa kali melaksanakan aksi di MK,” ujarnya.

    Pihaknya juga sudah melaporkan ke Bareskrim Polri agar pihak kepolisian turut mengusut dugaan ijazah palsu.

    “Kami juga melaporkan ke Bareskrim Polri terkait dengan hal yang sama agar supaya pihak kepolisian dapat menjalankan tugasnya dan masyarakat juga bisa mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya dari hasil yang ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian,” pungkas Betran.

    Respon Komisi III DPR RI

    Komisi III DPR RI menerima tujuh nama calon anggota Komisi Yudisial (KY) dari Panitia Seleksi (Pansel) yang dibentuk oleh Presiden Prabowo. Penyerahan dilakukan saat rapat dengar pendapat (RDP) di DPR, Senin (17/11/2025).

    Hasil pemilihan panitia seleksi melalui surat nomor B-61/PANSEL-KY/10/2025 tanggal 2 Oktober 2025. Setelah penjelasan Pansel, Ketua Komisi III Habiburokhman menyoroti mekanisme Pansel dalam memverifikasi keaslian ijazah dari para calon anggota KY.

    “In ikan syarat sarjana ini minimal ya, apakah ada mekanisme pengecekan ijazah calon-calon ini, dalam konteks keaslian ijazahnya juga termasuk kampusnya, kampusnya ada enggak gitu loh. Mungkin aja ada dokumennya bener ternyata kampusnya tidak ada. Gitu. Ada mekanisme seperti itu nggak, Pak?” kata politikus Gerindra itu.

    Dia menjelaskan urgensi pertanyaan tersebut dilatarbelakangi pelaporan ijazah hakim Mahkamah Konstitusi, Arsul Sani yang diduga palsu. Akibatnya, Komisi III yang kala itu menguji Arsul Sani terseret dalam polemik ini.

    “Karena kami baca ini, baca dokumen satu memang kita tidak ada kemampuan secara forensik menilai asli atau nggak, tapi pasti asli kalau dokumennya,” ujarnya.

    Terlebih, calon anggota Komisi Yudisial yang diajukan berlatar belakang pendidikan S1 hingga S3 sehingga perlu ketelitian memverifikasi keaslian ijazah.

    Dalam kesempatan yang sama, Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Komisi Yudisial Dhahana Putra menegaskan pihaknya telah memeriksa keaslian ijazah sesuai prosedur dengan bukti foto copy ijazah yang mendapatkan legalisir terbaru.

    “Perlu kami sampaikan sebagai syarat formil, dari masing-masing calon itu menyampaikan dokumen ijazah yang sudah dilegalisir terbaru. Itu jadi suatu dokumen yang kita gunakan untuk proses lebih lanjut,” kata Dhahana.

  • Menghentikan Dwifungsi Polri, Mengembalikan Meritokrasi

    Menghentikan Dwifungsi Polri, Mengembalikan Meritokrasi

    Menghentikan Dwifungsi Polri, Mengembalikan Meritokrasi
    Direktur Eksekutif Migrant Watch
    MAHKAMAH
    Konstitusi (MK) kembali mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai lembaga yang berani meruntuhkan persoalan laten yang selama ini merusak kesehatan sistem kenegaraan Indonesia: rangkap jabatan dalam birokrasi.
    Setelah sebelumnya membatalkan praktik rangkap jabatan wakil menteri yang merangkap komisaris BUMN, kini MK menghentikan salah satu bentuk rangkap jabatan paling serius dan paling mengakar: penguasaan ruang sipil oleh polisi aktif.
    Praktik rangkap jabatan oleh anggota Polri melalui skema “penugasan”—yang selama ini dianggap sah secara administratif dan kian meluas pada era Joko Widodo—akhirnya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi.
    MK menegaskan bahwa siapa pun anggota Polri yang ingin menduduki jabatan di luar institusinya harus mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu, dan tidak boleh lagi mengandalkan penugasan internal kepolisian.
    Temuan adanya 4.351 anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil menunjukkan betapa dalam distorsi tata kelola negara kita.
    Angka ini bukan sekadar penyimpangan kecil, tetapi menggambarkan fenomena struktural yang telah menciptakan ketimpangan serius dalam pasar kerja publik.
    Secara hukum, Polri memang dikategorikan sebagai lembaga sipil sejak dipisahkan dari TNI pada era reformasi. Namun, status ini hanya menyentuh karakter institusional, bukan fungsi kekuasaan.
    Dalam teori administrasi publik, lembaga pemegang kewenangan koersif—seperti penyidikan, penangkapan, dan penggunaan kekuatan—harus dibatasi aksesnya terhadap jabatan sipil guna menjaga netralitas pemerintahan dan mencegah dominasi kelompok keamanan dalam administrasi negara.
    Polri adalah lembaga sipil, tetapi anggotanya bukan ASN. Mereka berada dalam struktur komando tersendiri, tunduk pada kode etik internal kepolisian, dan menjalankan fungsi penegakan hukum yang bersifat koersif.
    Karena itu, ketika anggota Polri aktif mengisi jabatan sipil melalui mekanisme penugasan, muncul inkonsistensi sistem kepegawaian, tumpang tindih otoritas, dan terkikisnya prinsip netralitas birokrasi.
    Dalam kajian
    civil–police relations
    , penempatan aparat aktif pada jabatan sipil menyebabkan perembesan kekuasaan koersif ke dalam struktur administratif negara.
    MK menangkap substansi persoalan ini dengan sangat tepat: jabatan sipil harus diisi oleh aparatur sipil dalam sistem kepegawaian sipil, bukan oleh aparat penegak hukum yang masih berada dalam garis komando lembaganya.
    Koreksi konstitusional ini dituangkan secara tegas dalam
    Putusan MK
    Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang dibacakan pada 13 November 2025, dalam pengujian Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
    MK menyatakan bahwa penempatan anggota Polri aktif pada jabatan sipil tidak memiliki dasar konstitusional dan bertentangan dengan prinsip negara hukum.
    Konsekuensinya, praktik yang belakangan dikenal sebagai Dwifungsi Kepolisian—yang pengaruhnya justru semakin menguat selama beberapa tahun terakhir—harus dihentikan sepenuhnya.
    Putusan ini menegaskan bahwa seluruh jabatan sipil harus kembali diisi melalui jalur rekrutmen meritokratis, tanpa campur tangan institusi penegak hukum yang masih aktif menjalankan fungsi koersif.
    Putusan MK ini bersifat final dan mengikat, dan wajib segera diadopsi dalam tata kelola birokrasi nasional.
    Lebih dari sekadar pembatalan norma, putusan ini merupakan koreksi mendalam atas distorsi panjang dalam manajemen jabatan publik—distorsi yang selama bertahun-tahun menggerus keadilan, profesionalisme, dan kesetaraan kesempatan bagi warga negara.
    Ruang eksklusif dalam birokrasi Indonesia tidak hanya terjadi di tubuh Polri; ia telah mengakar dalam berbagai institusi negara.
    Selama puluhan tahun, Indonesia menghadapi kondisi yang dalam literatur administrasi publik dikenal sebagai
    institutional capture
    —suatu keadaan ketika jabatan publik dikuasai oleh kelompok institusional tertentu sehingga akses kompetisi tertutup bagi masyarakat sipil.
    Rangkap jabatan merupakan salah satu bentuk bahaya laten tersebut. Ia dibiarkan menggerogoti fondasi negara secara perlahan, menutup ruang bagi talenta sipil, dan menghambat proses regenerasi birokrasi.
    Akses terhadap jabatan publik tidak pernah sepenuhnya terbuka; ia dipagari oleh jaringan institusional, diperkuat oleh pola patronase, serta dilestarikan oleh korporatisme profesi yang membatasi tumbuhnya kompetensi dari luar lingkaran kekuasaan.
    Pada masa Orde Baru, Indonesia menyaksikan dominasi militer melalui Dwifungsi ABRI, di mana ruang sipil dikuasai oleh struktur militer. Reformasi 1998 meruntuhkan struktur tersebut sebagai syarat fundamental menuju demokratisasi.
    Namun ironisnya, setelah dominasi TNI dibongkar, praktik serupa justru bergeser ke tubuh kepolisian. Sekarang melalui dalih “penugasan”, anggota Polri aktif mulai mengisi berbagai jabatan sipil.
    Dalam senyap, bangkitlah “Dwifungsi gaya baru”, yang mengaburkan batas antara fungsi penegakan hukum dan administrasi pemerintahan.
    Dampaknya sangat nyata: ribuan peluang jabatan bagi ASN dan profesional sipil tertutup oleh skema yang seharusnya tidak pernah eksis dalam sistem birokrasi modern.
    Fenomena eksklusivitas ini tidak hanya terjadi di kepolisian—meskipun Polri merupakan institusi dengan skala rangkap jabatan terbesar.
    Pola serupa terlihat dalam tubuh Kejaksaan, yang cenderung beroperasi sebagai korps tertutup, serta di berbagai kementerian dan lembaga yang mempromosikan “orang dalam” tanpa membuka seleksi yang kompetitif dan transparan.
    Namun, temuan bahwa
    4.351 anggota Polri aktif
    menduduki jabatan sipil menegaskan bahwa masalah tersebut telah mencapai tingkat yang paling masif dan paling struktural di institusi kepolisian.
    Ini bukan deviasi kecil, tetapi tanda jelas dari kegagalan sistemik dalam tata kelola jabatan publik.
    Fenomena ini bukan sekadar persoalan hukum administrasi. Ia merupakan krisis ketenagakerjaan publik modern.
    Dalam teori manajemen sumber daya manusia sektor publik, pengisian jabatan sipil seharusnya mengikuti prinsip-prinsip dasar: keterbukaan seluas-luasnya, kompetisi yang adil, kesetaraan kesempatan, dan perlindungan terhadap setiap bentuk monopoli dalam perekrutan.
    Namun, penugasan anggota Polri aktif ke posisi sipil justru melanggar seluruh prinsip tersebut. Mekanisme ini merusak seleksi terbuka, menghilangkan proses uji kompetensi yang objektif, dan mencederai prinsip
    meritokrasi
    yang seharusnya menjadi fondasi pengisian jabatan publik.
    Rangkap jabatan pada akhirnya menciptakan ruang peluang jabatan yang tertutup, di mana akses terhadap posisi strategis hanya tersedia bagi kelompok tertentu dan tidak terbuka bagi publik luas.
    Kondisi ini menghasilkan ketidakseimbangan serius dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebab pengisian jabatan tidak lagi bertumpu pada prinsip keterbukaan, objektivitas, dan kesetaraan hak warga negara.
    Praktik semacam ini melemahkan profesionalisme birokrasi secara sistematis. Ketika kandidat-kandidat kompeten dari kalangan sipil terhalang untuk berkompetisi, proses regenerasi dan pengembangan talenta nasional menjadi macet.
    Akibatnya, kualitas kelembagaan dan efektivitas pelayanan publik terancam menurun.
    Lebih jauh, pembatasan akses terhadap jabatan publik ini merusak asas keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh negara.
    Jabatan publik adalah amanat konstitusional yang wajib diisi melalui mekanisme transparan, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan.
    Ketika jabatan tersebut didominasi oleh pihak tertentu melalui mekanisme non-meritokratis, hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang setara turut dilanggar.
    Dengan demikian, rangkap jabatan bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia merupakan persoalan fundamental yang berdampak langsung pada kualitas demokrasi, integritas kelembagaan, serta kemampuan negara memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh rakyatnya.
    Tantangan ke depan jauh lebih besar daripada sekadar menerima putusan Mahkamah Konstitusi sebagai kemenangan normatif.
    Persoalan utamanya kini adalah memastikan agar reruntuhan ruang eksklusif birokrasi tidak kembali dibangun melalui celah regulasi, rekayasa administratif, atau kompromi politik yang kerap muncul setelah praktik dinyatakan inkonstitusional.
    Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam hal ini: ketika satu pintu penyimpangan ditutup oleh hukum, pintu lain sering dibuka oleh siasat birokrasi. Karena itu, implementasi putusan MK membutuhkan pengawasan publik yang intensif dan konsisten.
    Pembukaan ruang sipil setelah dihentikannya rangkap jabatan anggota Polri aktif merupakan momen penting dalam memperbaiki tata kelola negara. Ini bukan hanya persoalan kepatuhan pada konstitusi, tetapi juga pemulihan kesempatan kerja yang adil bagi warga negara.
    Jabatan publik yang selama ini terblokir oleh skema penugasan institusional kini kembali terbuka bagi ASN, profesional muda, dan talenta dari berbagai daerah.
    Temuan 4.351 jabatan sipil yang sebelumnya ditempati anggota Polri aktif menunjukkan betapa besar jumlah peluang yang selama ini tertutup dan dampak pemerataannya bagi generasi muda Indonesia.
    Dalam konteks negara yang masih menghadapi ketimpangan antardaerah, pembukaan kembali jalur meritokratis ini merupakan langkah penting untuk memastikan setiap warga negara memiliki peluang yang setara dalam jabatan publik.
    Rekrutmen pejabat negara dapat kembali bertumpu pada kompetensi, bukan pada kedekatan institusional yang selama ini menciptakan hambatan struktural.
    Prinsip dasar bernegara harus ditegakkan, bahwa jabatan publik adalah amanat rakyat, dan tidak boleh dibiarkan berubah menjadi hak istimewa bagi kelompok tertentu ataupun institusi tertentu yang memanfaatkan posisi strukturalnya dalam negara.
    Meski demikian, sejarah administrasi publik Indonesia mengajarkan bahwa setiap koreksi besar selalu diikuti upaya penyiasatan.
    Pola-pola baru dapat muncul, seperti perubahan bentuk penugasan menjadi jabatan non-struktural—penasihat teknis, pejabat penghubung, atau staf khusus—yang meski tidak disebut jabatan sipil, tetap memiliki pengaruh strategis.
    Kemungkinan lain adalah munculnya gelombang pensiun cepat agar eks anggota Polri tetap dapat mengisi jabatan sipil tanpa melalui seleksi terbuka.
    Bahkan lembaga semi-sipil seperti BUMN, BLU (Badan Layanan Umum), atau badan ad hoc bisa menjadi saluran baru untuk mempertahankan dominasi struktural yang sebelumnya ditopang oleh mekanisme penugasan.
    Jika pola-pola tersebut dibiarkan, semangat putusan MK dapat digerogoti dari dalam. Reformasi tinggal menjadi formalitas administratif, sementara substansi ketidakadilan tetap berlangsung.
    Karena itu, implementasi putusan MK sering berujung pada permainan “kucing-kucingan” antara regulator dan pihak yang ingin mempertahankan status quo. Secara administratif tampak patuh, tetapi secara substansial tetap melanggar.
    Untuk menghindari hal ini, diperlukan pengawasan kuat dari lembaga kepegawaian, Ombudsman, DPR, akademisi, media, dan masyarakat sipil.
    Reformasi birokrasi adalah proses panjang yang harus dijaga. Negara yang kuat dibangun bukan melalui dominasi satu institusi, tetapi oleh aparatur sipil yang kompeten, netral, dan berintegritas.
    Jabatan publik tidak boleh didominasi oleh lembaga pemegang kewenangan koersif, karena hal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi modern dan berpotensi menciptakan subordinasi ruang sipil pada kekuatan penegak hukum.
    Penegakan putusan MK adalah langkah penting untuk memastikan bahwa jabatan publik dikembalikan pada jalur yang benar—jalur meritokrasi, transparansi, dan keadilan.
    Dengan dihapusnya rangkap jabatan dan dibukanya kembali ruang sipil secara adil, Indonesia tidak hanya memperbaiki kualitas birokrasi, tetapi juga menciptakan peluang besar bagi anak bangsa untuk berkarier dalam struktur negara.
    Talenta dari berbagai daerah kini memiliki kesempatan yang lebih besar untuk tampil, berkembang, dan mengambil posisi kepemimpinan tanpa menghadapi tembok struktural seperti sebelumnya.
    Hal ini menandai dimulainya regenerasi birokrasi yang lebih sehat, lebih berintegritas, dan lebih inklusif.
    Esensi reformasi adalah mengembalikan keadilan sebagai prinsip utama dalam tata kelola negara. Negara yang sehat adalah negara yang menjamin kesempatan setara bagi seluruh warganya untuk berkontribusi, bukan negara yang mempertahankan kenyamanan sekelompok kecil pemilik kekuasaan.
    Implementasi putusan MK harus menjadi tonggak untuk membawa Indonesia menuju birokrasi yang lebih terbuka, lebih meritokratis, dan lebih adil bagi seluruh anak bangsa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
    Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
    melalui donasi.
    Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama
    akun kamu.

  • Bos Pertamina Respons Revisi UU Migas, Sampaikan 4 Usulan

    Bos Pertamina Respons Revisi UU Migas, Sampaikan 4 Usulan

    Jakarta

    Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) kembali dibahas DPR. Dalam rapat bersama Komisi VII DPR, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menyampaikan empat usulan strategis terhadap RUU Migas.

    Simon menjelaskan di sektor hulu migas masih membutuhkan adanya penguatan regulasi khususnya yang berkaitan dengan investasi. Dengan penguatan regulasi ini ujungnya akan meningkatkan investasi yang akan berdampak terhadap peningkatan produksi migas RI.

    Simon menjelaskan kondisi saat ini ada kesenjangan antara produksi dan konsumsi energi, dimana konsumsi energi RI terus tumbuh. Namun di sisi lain produksi migas cenderung turun yang mengakibatkan akhirnya RI harus mengimpor energi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.

    Simon mengatakan investasi di hulu migas sebagai motor penggerak produksi migas terus menurun. Menurutnya kondisi ini membutuhkan dorongan regulasi yang kuat. Hal ini bisa dilakukan melalui revisi uu migas.

    “Tanpa dukungan regulasi yang kuat, daya tarif investasi akan terus melemah dan tentunya ketahanan energi akan terancam. Dengan demikian, menurut aspirasi kami, RUU migas adalah solusi strategis yang tadi kami catat sebagai solusi yang bisa memberikan hasil cepat, hasil terbaik cepat dan tentunya selamat,” katanya dalam RDP dengan Komisi XII DPR, Senin (17/11/2025).

    Dalam RUU Migas ini, Simon menyoroti, pertama, soal kelembagaan hulu migas sesuai pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang mengusulkan adanya negara dapat membentuk atau menunjuk badan usaha milik negara yang diberikan konsesi untuk mengelola migas yang akan melakukan kontrak kerja sama dengan badan usaha.

    Kedua, perencanaan hulu hilir migas dalam bentuk Rencana Umum Migas Nasional (RUMGN) dan Rencana Umum Migas (RUMG) sebagai payung hukum investasi. Hal ini mengikuti adanya RUPTL di sektor ketenagalistrikan.

    Ketiga, adalah kepastian fiskal dan perpajakan yang menyesuaikan dengan keekonomian wilayah kerja khususnya untuk deep water, enhanced oil recovery, non-conventional, untuk lapangan tua, inisiatif dekarbonisasi serta penerapan konsep refinancing.

    Keempat, pembentukan petroleum fund yang dikelola oleh BUMN Migas untuk kepentingan migas antara lain eksplorasi, infrastruktur, dekarbonisasi dan lain-lain.

    “Berikut yang kami maksudkan adalah beberapa aspirasi dari kami dan tentunya kami juga mohon dukungan serta masukan dari pimpinan serta anggota Komisi 12 yang kami yakin akan bersama-sama akan terus memberikan dedikasi terbaik untuk mendorong pertumbuhan sektor energi nasional,” terang Simon.

    (hns/hns)

  • Komisi III Dilaporkan ke MKD Imbas Polemik Dugaan Ijazah Palsu Hakim MK

    Komisi III Dilaporkan ke MKD Imbas Polemik Dugaan Ijazah Palsu Hakim MK

    Bisnis.com, JAKARTA — Aliansi Masyarakat Pemantau Konstitusi (AMPK) melaporkan Komisi III ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pelaporan tersebut buntut dari dugaan ijazah palsu milik hakim Mahkamah Konstitusi.

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, hakim MK yang diduga terseret polemik ini adalah Arsul Sani.

    Anggota AMPK, Muhammad Rizal menduga Komisi III lalai dalam proses fit and proper test hakim MK. Adapun pelaporan tidak merujuk secara perorangan.

    “Kehadiran kami di MKD pada siang hari ini adalah berkaitan dengan pelaporan terhadap Komisi III. Berkaitan dengan kami menduga adanya kelalaian dalam proses fit and proper test hakim MK,” katanya kepada jurnalis di Kompleks Parlemen, Senin (17/11/2025).

    Dia berharap MKD memanggil Komisi III secara kelembagaan untuk dimintai pertanggungjawaban terkait dugaan ijazah palsu tersebut.

    Koordinator AMPK, Betran Sulani mengatakan dugaan ijazah palsu berasal dari salah satu laporan media di Polandia. Ijazah yang diduga palsu adalah ijazah S3.

    “Kita melampirkan beberapa media-media, bahkan media Polandia juga kita sudah lampirkan dan aksi-aksi mahasiswa yang beberapa kali melaksanakan aksi di MK,” ujarnya.

    Pihaknya juga sudah melaporkan ke Bareskrim Polri agar pihak kepolisian turut mengusut dugaan ijazah palsu.

    “Kami juga melaporkan ke Bareskrim Polri terkait dengan hal yang sama agar supaya pihak kepolisian dapat menjalankan tugasnya dan masyarakat juga bisa mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya dari hasil yang ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian,” pungkas Betran.