Kementrian Lembaga: MK

  • Rahayu Saraswati: Kalau mau ubah kebijakan harus masuk politik

    Rahayu Saraswati: Kalau mau ubah kebijakan harus masuk politik

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengatakan bahwa seseorang harus masuk ke dunia politik untuk bisa membuat perubahan kebijakan.

    “Kalau misalkan mau untuk sistem yang ada itu berubah, kebijakannya mewakili masyarakat, dan konteks masyarakat saja itu luas banget. Jadi, kalau mau untuk ada yang bisa membuat kebijakan itu sesuai dengan keinginan, harus ada yang mau masuk ke politik,” kata Rahayu dalam diskusi Vanita Naraya bertajuk “Politik Parlemen dan Pemajuan Kepentingan Kelompok Rentan” di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu.

    Dia mengatakan apabila seseorang mau berkontribusi pada kesetaraan gender, inklusivitas dan isu lainnya tidak harus terjun ke dunia politik. Kendati demikian, apabila seseorang mau mengubah kebijakan tetap harus masuk politik.

    Selain itu, dia menegaskan untuk bisa berada di DPR harus maju lewat pemilihan legislatif (pemilu) yang diadakan setiap lima tahun sekali.

    “Untuk bisa maju pileg harus punya apa? Partai karena tidak mungkin bisa maju independen sesuai dengan undang-undang kita,” ujarnya.

    Menurut Rahayu, apabila masyarakat tidak setuju dengan sistem yang ada dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

    “Harus masuk ke DPR supaya undang-undangnya diubah. Mau mengubah sebuah kebijakan, sistem, ya harus masuk dulu ke dalam sistem itu dan harus punya power to make the difference,” jelas Rahayu.

    Dia mengatakan selama yang mau masuk politik itu bukan berdasarkan isu yang mau diperjuangkan, tetapi hanya untuk mendapatkan kekuasaan untuk dirinya sendiri, bukan berarti untuk mendapatkan kekuasaan adalah hal buruk.

    “Kalau dia mau mendapatkan kekuasaan, ambisinya itu adalah untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Tidak buruk, bagus. Ambisi itu harus kita dorong,” tambahnya.

    Dia pun meminta masyarakat tidak marah kepada politisi yang berusaha melakukan yang terbaik yang mereka bisa dalam sistem yang berlaku.

    “Jangan terus istilahnya don’t hate the players, hate the game,” tambahnya.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Yoon Suk Yeol Dibebaskan: Reaksi Partai dan Implikasinya – Halaman all

    Yoon Suk Yeol Dibebaskan: Reaksi Partai dan Implikasinya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM  – Pada hari Jumat, 7 Februari 2025, Presiden Korea Selatan yang telah dimakzulkan, Yoon Suk Yeol, dibebaskan dari penjara setelah pengadilan membatalkan surat perintah penangkapannya.

    Berita ini mengguncang jagat politik Korea Selatan yang tengah dilanda berbagai kontroversi.

    Mengapa Pengadilan Membatalkan Penangkapan Yoon?

    Pengadilan Distrik Pusat Seoul menyatakan bahwa pembatalan penangkapan Yoon didasarkan pada waktu dakwaan yang diajukan setelah masa penahanannya berakhir.

    Pengadilan mempertanyakan keabsahan penyelidikan yang dilakukan oleh Kantor Investigasi Korupsi untuk Pejabat Tinggi terkait tuduhan pemberontakan yang dialamatkan kepada Yoon.

    Dokumen pengadilan menyebutkan, “Wajar untuk menyimpulkan bahwa dakwaan diajukan setelah masa penahanan terdakwa berakhir.” Ini menunjukkan adanya kejanggalan dalam proses hukum yang menimpa Yoon.

    Pengadilan menegaskan pentingnya kejelasan prosedural dan menghilangkan keraguan mengenai legalitas proses investigasi.

    Mereka menganggap bahwa keputusan untuk membatalkan penahanan adalah langkah yang tepat dalam konteks hukum yang ada.

    Reaksi dari Partai Politik Setelah Pembebasan

    Kantor kepresidenan menyambut baik keputusan tersebut dan menegaskan bahwa mereka menantikan Yoon untuk segera kembali menjalankan tugasnya.

    Kwon Youngse, pemimpin sementara Partai Kekuatan Rakyat (PKR) yang berkuasa, juga memberikan sambutan positif terhadap keputusan pengadilan.

    Dia menyatakan, “Kami menyambut baik bersama dengan rakyat bahwa pengadilan membuat keputusan yang bijaksana sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan hati nurani.” Kwon berharap Mahkamah Konstitusi juga akan membuat putusan yang adil.

    Bagaimana dengan Oposisi?

    Namun, tidak semua partai politik merespon dengan positif.

    Partai Demokrat, oposisi utama, menunjukkan kemarahan atas pembebasan Yoon dan meminta jaksa untuk segera mengajukan banding.

    Ketua DP, Lee Jaemyung, menegaskan bahwa meskipun ada kesalahan dalam perhitungan jaksa, itu tidak meniadakan fakta bahwa Yoon telah melanggar konstitusi.

    Sebelum penangkapan, Yoon Suk Yeol terlibat dalam deklarasi militer yang disertai pengerahan pasukan, yang mengakibatkan kerusuhan di gedung parlemen.

    Penyidik Korea Selatan menuduhnya melakukan pemberontakan.

    Meski status darurat militer telah dicabut, Yoon harus menghadapi penyelidikan lebih lanjut dari Lembaga Tinggi Investigasi Korupsi dan Kejaksaan Korea Selatan.

    Apa Yang Menjadi Penyebab Ketegangan?

    Ketegangan ini berakar dari perselisihan antara Yoon dan parlemen yang dikuasai oleh oposisi mengenai anggaran dan sejumlah tindakan lain.

    Majelis Nasional Korea Selatan menganggap deklarasi Yoon sebagai tindakan ilegal dan tidak konstitusional.

    Dalam hal ini, pemimpin Partai Kekuatan Rakyat juga menyatakan bahwa tindakan Yoon merupakan langkah yang salah.

    Apa Arti Pembebasan Ini untuk Masa Depan Politik Korea Selatan?

    Pembebasan Yoon Suk Yeol menimbulkan banyak pertanyaan mengenai masa depan politik di Korea Selatan.

    Apakah Yoon akan kembali berkuasa dengan dukungan dari para pendukungnya, ataukah ketegangan politik akan semakin meningkat di tengah protes dan penolakan dari partai oposisi?

    Hasil dari situasi ini akan sangat menentukan arah kebijakan dan stabilitas politik di negara tersebut ke depannya.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Gugatan “Class Action” Lawan Pertamina: Tak Cukup Minta Maaf, Rakyat Kebagian Busuknya

    Gugatan “Class Action” Lawan Pertamina: Tak Cukup Minta Maaf, Rakyat Kebagian Busuknya

    Gugatan “Class Action” Lawan Pertamina: Tak Cukup Minta Maaf, Rakyat Kebagian Busuknya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melayangkan gugatan
    class action
     terhadap Pertamina menyusul adanya dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax.
    LBH Jakarta menyoroti bahwa hingga kini belum ada pemeriksaan menyeluruh terhadap dugaan pengoplosan BBM di periode 2018-2023, meskipun Kejaksaan Agung menyatakan bahwa praktik itu memang terjadi dalam rentang waktu tersebut.
    Atas dasar itu, LBH Jakarta mendesak agar pemeriksaan dilakukan oleh tim independen yang terdiri dari pakar, ahli, serta perwakilan masyarakat.
    Jika tim independen tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada pengoplosan BBM, maka kasus ini bisa dianggap selesai.
    “Kami membuka posko pengaduan ini bukan untuk mencari sensasi, tapi mencari kebenaran dan keadilan. Kalau memang tidak ada pengoplosan dan hasilnya transparan, ya sudah,
    case closed
    ,” ujar Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan dikutip dari program
    Gaspol! Kompas.com
    , Kamis (6/3/2025).
    Selama tujuh hari membuka posko pengaduan, LBH Jakarta menerima total 619 laporan dari berbagai daerah di Indonesia.
    Fadhil mengatakan, gugatan
    class action
    yang akan mereka ajukan tidak fokus untuk mencari kemenangan, tetapi untuk keadilan.
    “Langkah hukum yang kita ajukan ini kan enggak cari menang ya, tapi berorientasi pada keadilan,” ujar Fadhil. 
    Fadhil mengatakan, keadilan bisa datang dalam berbagai bentuk. Terkadang, bentuknya bukan dicapai di depan meja hijau.
    Seperti yang terjadi pada awal tahun 2000 lalu. Saat itu, LBH Jakarta baru pertama kali mengajukan gugatan warga untuk membela sejumlah buruh migran yang dideportasi massal dari Malaysia.
    Usai dideportasi, para buruh ditempatkan sementara di Nunukan, Kalimantan Utara.
    Dia menegaskan, dalam gugatan kali ini, LBH Jakarta berusaha mendorong hal yang sama, yaitu mengedukasi masyarakat agar tidak mau lagi dibohongi atau dicurangi korporasi besar, bahkan oleh kebijakan pemerintah.
    “Warga jadi tahu, mereka ini enggak lawan tembok, tapi melawan satu entitas yang bisa digugat juga. Jadi itu, kami mau mendorong edukasi publik,” lanjut dia.
    Fadhil pun menilai, permintaan maaf dari PT Pertamina (Persero) tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh isu
    Pertamax oplosan
    .
    Menurut dia, permintaan maaf itu seharusnya disertai pemulihan kerugian masyarakat yang merupakan konsumen Pertamina.
    “Minta maaf sebagai sikap positif ya sah-sah saja kan, kita maafkan, tapi sebagai pemulihan kerugian, kayaknya belum cukup,” ujar Fadhil.
    Fadhil berpandangan, Pertamina terhitung lambat dalam menangani kegelisahan masyarakat setelah isu Pertamax oplosan ramai dibicarakan.
    “Masyarakat ini kan sejak pecah peristiwa ini enggak tahu mau mengadu ke mana, baru-baru saja Pertamina konferensi pers kemudian bilang, ‘Kami bikin tim
    crisis center,
    ini nomor saya’,” ujar dia.
    Menurut Fadhil, LBH Jakarta sejak awal sudah mendorong agar Pertamina tidak hanya membantah isu yang beredar, tetapi harus membuat tim independen untuk mengusut dugaan yang beredar di masyarakat.
    Namun, pernyataan dan sikap dari Pertamina dinilai memiliki pesan yang sama. 
    Adapun sebelumnya, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka atas kasus dugaan
    korupsi Pertamina
    , di mana enam di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau subholding Pertamina.
    Keenamnya yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin (SDS); VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono (AP); Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya (MK); dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne (EC).
    Sedangkan, tiga broker yang menjadi tersangka yakni MKAR selaku
    beneficial owner
    PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Atas perbuatan sembilan tersangka ini, negara disebut mengalami kerugian paling tidak senilai Rp 193,7 triliun.
    Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Drama Terbaru Presiden Korsel, Perintah Penangkapan Dibatalkan

    Drama Terbaru Presiden Korsel, Perintah Penangkapan Dibatalkan

    Seoul

    ‘Drama politik’ Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, berlanjut. Setelah dia ditangkap karena polemik darurat militer, kini dia dibebaskan setelah ditahan sejak Januari lalu.

    Desember 2024 lalu, Yoon Suk Yeol tiba-tiba saja menetapkan darurat militer yang berusia semalam. Pemerintahan sipil ditangguhkan. Tentara masuk gedung parlemen.

    Kekacauan nasional yang ditimbulkan keputusan kontroversial Yoon menjadi panjang urusannya. Korsel menjadi tegang.

    Singkat cerita, penegak hukum Korsel berusaha menangkap Yoon, pria usia 64 tahun itu. Yoon menolak. Usai ketegangan antara tim keamanan dan para penyidik lembaga penegak hukum, Yoon akhirnya ditangkap pada 15 Januari lalu.

    Selain terjerat kasus pidana, Yoon juga menghadapi sidang pemakzulan di Mahkamah Konstitusi. Sidang pemakzulan ini merupakan kelanjutan atas keputusan bulat parlemen Korsel memakzulkan Yoon terkait langkahnya menetapkan darurat militer itu.

    ADVERTISEMENT

    `;
    var mgScript = document.createElement(“script”);
    mgScript.innerHTML = `(function(w,q){w[q]=w[q]||[];w[q].push([“_mgc.load”])})(window,”_mgq”);`;
    adSlot.appendChild(mgScript);
    },
    function loadCreativeA() {

    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;
    adSlot.innerHTML = “;

    if (typeof googletag !== “undefined” && googletag.apiReady) {
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    } else {
    var gptScript = document.createElement(“script”);
    gptScript.src = “https://securepubads.g.doubleclick.net/tag/js/gpt.js”;
    gptScript.async = true;
    gptScript.onload = function () {
    window.googletag = window.googletag || { cmd: [] };
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.defineSlot(‘/4905536/detik_desktop/news/static_detail’, [[400, 250], [1, 1], [300, 250]], ‘div-gpt-ad-1708418866690-0’)
    .addService(googletag.pubads());
    googletag.enableServices();
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    };
    document.body.appendChild(gptScript);
    }
    }
    ];

    var currentAdIndex = 0;
    var refreshInterval = null;
    var visibilityStartTime = null;
    var viewTimeThreshold = 30000;

    function refreshAd() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;
    currentAdIndex = (currentAdIndex + 1) % ads.length;
    adSlot.innerHTML = “”;
    ads[currentAdIndex]();
    }

    var observer = new IntersectionObserver(function (entries) {
    entries.forEach(function (entry) {
    if (entry.intersectionRatio > 0.1) {
    if (!visibilityStartTime) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    requestAnimationFrame(checkVisibility);
    }
    } else {
    visibilityStartTime = null;
    if (refreshInterval) {
    clearInterval(refreshInterval);
    refreshInterval = null;
    }
    }
    });
    }, { threshold: 0.1 });

    function checkVisibility() {
    if (visibilityStartTime && (new Date().getTime() – visibilityStartTime >= viewTimeThreshold)) {
    refreshAd();
    if (!refreshInterval) {
    refreshInterval = setInterval(refreshAd, 30000);
    }
    } else {
    requestAnimationFrame(checkVisibility);
    }
    }

    document.addEventListener(“DOMContentLoaded”, function () {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) {
    console.error(“❌ Elemen #ad-slot tidak ditemukan!”);
    return;
    }
    ads[currentAdIndex]();
    observer.observe(adSlot);
    });

    var mutationObserver = new MutationObserver(function (mutations) {
    mutations.forEach(function (mutation) {
    if (mutation.type === “childList”) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    requestAnimationFrame(checkVisibility);
    }
    });
    });

    mutationObserver.observe(document.getElementById(“ad-slot”), { childList: true, subtree: true });

    Persidangan di Mahkamah Konstitusi ini akan menentukan apakah pemakzulannya diperkuat dan Yoon diberhentikan secara resmi dari jabatannya, atau dia akan dikembalikan pada jabatannya sebagai Presiden Korsel.

    Halaman selanjutnya, Yoon dibebaskan:

    Perintah Penangkapan Dibatalkan

    Yoon Suk Yeol (via REUTERS/JEON HEON-KYUN/POOL)

    Pengadilan Korsel membatalkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Yoon Suk Yeol, yang berstatus nonaktif usai dimakzulkan parlemen. Putusan pengadilan ini memungkinkan pembebasan Yoon dari tahanan.

    Putusan pengadilan ini, seperti dilansir AFP, Jumat (7/3/2025), menanggapi pengajuan tim pengacara Yoon yang meminta pengadilan membatalkan surat perintah penangkapan terhadap kliennya, yang dilaksanakan bulan lalu.

    Dalam argumennya, tim pengacara Yoon menyebut penahanan kliennya tidak sah karena jaksa penuntut menunggu terlalu lama untuk mendakwanya.

    “Wajar untuk menyimpulkan bahwa dakwaan diajukan setelah masa penahanan terdakwa berakhir,” sebut dokumen Pengadilan Distrik Pusat Seoul.

    “Untuk memastikan kejelasan prosedural dan menghilangkan keraguan mengenai legalitas proses investigasi, akan tepat untuk mengeluarkan keputusan untuk membatalkan penahanan,” imbuh dokumen pengadilan tersebut.

    Yoon yang mantan jaksa ini menjerumuskan Korsel ke dalam kekacauan pada Desember lalu, dengan secara tiba-tiba menetapkan darurat militer yang menangguhkan pemerintahan sipil untuk sementara dan mengirimkan tentara ke gedung parlemen.

    Dia didakwa melakukan pemberontakan atas penetapan darurat militer yang berlangsung singkat tersebut.

    Halaman selanjutnya, menunggu putusan:

    Menunggu Putusan MK

    Pendukung Presiden Korsel Yoon Suk Yeol Menanti Putusan Akhir Pemakzulan. (AP/Ahn Young-joon)

    MK Korsel akan memutuskan apakah Yoon Suk Yeol akan dimakzulkan dari jabatan kepresidenan atau dia kembali lagi menjabat sebagai presiden. Putusan untuk sidang pemakzulan di Mahkamah Konstitusi Korsel ini diperkirakan akan disampaikan pada pertengahan Maret, atau kira-kira tidak lama lagi.

    Beberapa Presiden Korsel sebelumnya yang juga dimakzulkan, Park Geun Hye dan Roh Moo Hyun harus menunggu masing-masing 11 hari dan 14 hari untuk mengetahui nasib mereka.

    Jika Yoon secara resmi dicopot dari jabatannya, maka Korsel harus menggelar pemilihan presiden (pilpres) terbaru dalam waktu 60 hari.

    Dalam kasus pidana, Yoon terancam hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Persidangan kasus pidana ini baru dimulai pekan lalu. Yoon juga merupakan presiden pertama dalam sejarah Korea Selatan yang menghadapi sidang seperti ini.

    Halaman 2 dari 3

    (dnu/fas)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Soal Sumber Dana PSU Pilkada, Anggota Komisi II DPR Dorong Pemerintah Pusat dan Daerah Gotong Royong – Halaman all

    Soal Sumber Dana PSU Pilkada, Anggota Komisi II DPR Dorong Pemerintah Pusat dan Daerah Gotong Royong – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Azis Subekti, mendorong pemerintah pusat dan daerah bergotong royong untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Pilkada 2024.

    Azis menegaskan, PSU merupakan perintah Mahkamah Konstitusi (MK) yang wajib dilaksanakan.

    “Dan penyelenggara wajib mencari terobosan pos pembiayaan yang efisien dan tidak aji mumpung,” kata Azis kepada Tribunnews.com pada Jumat (7/3/2025).

    Terkait pembiayaan PSU, dia meminta agar disesuaikan dengan kondisi keuangan masing-masing daerah.

    “Soal dari mana anggarannya sesuai dengan situasi dan kondisi tiap daerah, kami mencari jalan penyelesaiannya,” ucap Azis.

    Komisi II DPR dijadwalkan menggelar rapat dengar pendapat pada Senin (10/3/2025) dengan Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) guna memastikan kesiapan PSU secara menyeluruh.

    Sementara itu, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, meminta pemerintah daerah mengalokasikan dana yang tidak penting untuk PSU. 

    “Kita kan sama kita korek daerah, banyak daerah yang enggak efisien daerah itu. SPJ-nya. Saya minta kurangin, untuk hal-hal yang enggak perlu, makan minum yang sampai miliar-miliaran untuk PSU,” kata Tito di Istana Negara, Jakarta, Jumat.

    Tito menambahkan, pemerintah mengupayakan agar pembiayaan PSU tidak sepenuhnya bergantung pada APBN maupun APBD provinsi. 

    Dia mencontohkan Papua yang sebelumnya mengajukan bantuan APBN, tetapi akhirnya menyatakan mampu membiayai PSU melalui APBD.

    “Ada beberapa kabupaten tidak mampu, kalau dia tidak mampu kita lihat dulu, kalau dia udah nyerah dari APBD provinsi mem-backup,” ungkap Azis.

  • Aduan Kasus Penyaluran KUR Bank Jatim Lemah, Kajari Bondowoso: Tidak Ditemukan Kerugian Keuangan Negara

    Aduan Kasus Penyaluran KUR Bank Jatim Lemah, Kajari Bondowoso: Tidak Ditemukan Kerugian Keuangan Negara

    Bondowoso (beritajatim.com) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Bondowoso tengah mendalami dugaan pencatutan nama dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Bank Jatim tahun 2024.

    Meski begitu, hingga kini tidak ditemukan unsur kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut.

    Kepala Kejari Bondowoso, Dzakiyul Fikri, mengungkapkan bahwa pihaknya menerima laporan dari enam pelapor yang merasa nama mereka digunakan tanpa sepengetahuan dalam pencairan dana KUR.

    Namun, berdasarkan dokumen yang diperoleh, pinjaman tersebut telah dilunasi.

    “Kami tetap menghargai setiap laporan dari masyarakat dan menindaklanjutinya sesuai prosedur. Setelah menerima laporan, kami melakukan pengumpulan bahan keterangan serta data-data yang relevan,” ujarnya kepada BeritaJatim.com, Jumat (7/3/2025).

    Untuk mendalami dugaan tersebut, Kejari Bondowoso telah membentuk tim khusus guna mengumpulkan data dan mengklarifikasi pihak-pihak terkait. Pihak Kejari juga telah mengundang perwakilan Bank Jatim serta para pelapor untuk dimintai keterangan.

    Dzakiyul Fikri menegaskan bahwa dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi, harus ada bukti nyata mengenai kerugian negara atau adanya aturan yang dilanggar.

    Ia juga merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa unsur korupsi harus didasarkan pada kerugian keuangan negara yang nyata dan bukan sekadar potensi.

    Sementara Pimpinan Cabang Bank Jatim Bondowoso, Bambang Eko Budi Prakoso dikonfirmasi terpisah, membenarkan pihaknya telah dimintai keterangan.

    “Semuanya sudah kami sampaikan pada Kejaksaan,” kata Bambang Eko dikonfirmasi BeritaJatim.com, Jumat (7/3/2025) sore.

    Pihaknya juga menyebut bahwa semua tanggungan kredit dari 6 debitur telah dilunasi. Masing-masing per orang Rp 100 juta atau total Rp 600 juta. “Sudah dilunasi semua 100 persen,” terangnya. (awi/ted)

  • Urgensi Perda Masyarakat Hukum Adat

    Urgensi Perda Masyarakat Hukum Adat

    Urgensi Perda Masyarakat Hukum Adat
    Dosen, Penulis dan Peneliti Universitas Dharma Andalas, Padang
    HUKUM
    nasional dan hukum adat seringkali dianggap sebagai dua sistem hukum yang berbeda, bahkan bertentangan. Padahal, hukum adat merupakan bagian dari sistem hukum Indonesia yang diakui oleh konstitusi.
    Harmonisasi hukum nasional dan hukum adat menjadi penting untuk menciptakan sistem hukum yang komprehensif dan berkeadilan.
    Peraturan daerah (Perda) MHA dapat menjadi jembatan untuk mengharmonisasikan kedua sistem hukum tersebut.
    Perda dapat memuat ketentuan mengenai pengakuan terhadap hukum adat sebagai sumber hukum yang sah di samping hukum nasional.
    Perda dapat mengatur mengenai penerapan hukum adat dalam penyelesaian sengketa adat, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasional dan hak asasi manusia.
    Perda juga dapat mengatur mengenai mekanisme koordinasi antara lembaga adat dengan lembaga pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di wilayah adat.
    Harmonisasi hukum nasional dan hukum adat bukan berarti menghilangkan atau mengganti hukum adat dengan hukum nasional.
    Harmonisasi berarti mencari titik temu dan keselarasan antara kedua sistem hukum tersebut, sehingga tercipta sistem hukum yang lebih adil, responsif, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
    Dalam proses harmonisasi, penting untuk menghormati kearifan lokal dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam hukum adat.
    Dengan mengharmonisasikan hukum nasional dan hukum adat, kita dapat menciptakan sistem hukum yang lebih inklusif dan partisipatif.
    MHA dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembentukan dan penegakan hukum, sehingga hukum yang berlaku benar-benar mencerminkan aspirasi dan kepentingan mereka.
    Harmonisasi hukum juga dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum, karena hukum yang diakui dan dihormati oleh masyarakat akan lebih mudah untuk ditegakkan.
    Sejalan dengan gambaran tersebut, anggota DPD RI dapil DKI Jakarta, Fahira Idris, baru-baru ini mengimbau agar semua daerah di Indonesia memiliki peraturan daerah (perda) tentang masyarakat hukum adat.
    Pernyataan ini tentu menarik untuk dikaji lebih dalam dari sudut pandang hukum, mengingat masyarakat hukum adat merupakan entitas yang diakui secara konstitusional dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
    Dalam implementasinya, pengakuan tersebut sering kali terbentur oleh regulasi yang belum seragam di tingkat daerah.
    Secara yuridis, keberadaan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati sepanjang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
    Namun, masalah yang sering muncul adalah ketiadaan instrumen hukum daerah yang dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak-hak mereka, terutama terkait tanah ulayat, kearifan lokal, serta kelembagaan adat.
    Sejumlah daerah memang telah memiliki perda yang mengatur masyarakat hukum adat, seperti di Sumatera Barat dengan Perda tentang Nagari dan di Kalimantan dengan pengakuan hak-hak masyarakat Dayak.
    Namun, tidak semua daerah memiliki regulasi serupa. Imbauan Fahira Idris agar setiap daerah menerbitkan perda terkait masyarakat hukum adat patut diapresiasi, tetapi perlu dikaji lebih lanjut mengenai implementasi dan tantangan yang akan dihadapi.
    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 telah memberikan dampak signifikan terhadap pengakuan hak-hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) atas
    hutan adat
    .
    Putusan MK tersebut menyatakan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara, melainkan hutan yang berada di wilayah adat dan dikelola oleh MHA sesuai dengan hukum adat mereka.
    Putusan MK ini membuka jalan bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak MHA atas hutan adat, tapi implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan.
    Perda MHA dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengimplementasikan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012.
    Perda dapat memuat ketentuan mengenai mekanisme pengakuan dan penetapan hutan adat, termasuk proses inventarisasi, verifikasi, dan pemetaan partisipatif yang melibatkan MHA secara aktif.
    Dengan adanya Perda, proses pengakuan hutan adat dapat dilakukan secara lebih cepat, transparan, dan akuntabel.
    Selain itu, Perda juga dapat mengatur mengenai pengelolaan hutan adat oleh MHA. Perda dapat memberikan kewenangan kepada MHA untuk mengelola hutan adat sesuai dengan hukum adat mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Perda juga dapat mengatur mengenai mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan hutan adat, sehingga hutan adat dapat dikelola secara lestari dan berkelanjutan.
    Implementasi Putusan MK terkait hutan adat bukan hanya memberikan manfaat bagi MHA, tetapi juga bagi negara dan masyarakat luas.
    Hutan adat
    memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup, menyediakan sumber air bersih, dan mengurangi risiko bencana alam.
    Dengan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak MHA atas hutan adat, kita turut berkontribusi pada pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan yang berkelanjutan.
    Urgensi Perda Masyarakat Hukum Adat (MHA) sangatlah jelas dan mendesak. Perda MHA bukan hanya sekadar pengakuan simbolis, tetapi merupakan instrumen hukum yang vital untuk melindungi hak-hak konstitusional MHA, mencegah konflik agraria dan kerusakan lingkungan, memberdayakan ekonomi dan sosial budaya MHA, menegaskan identitas dan kepastian hukum MHA, mengharmonisasikan hukum nasional dan hukum adat, serta mengimplementasikan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hutan adat.
    Dengan adanya Perda MHA, diharapkan keberadaan MHA dapat diakui, dihormati, dan dilindungi secara efektif, sehingga mereka dapat terus berkontribusi pada pembangunan bangsa yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan.
    Setidaknya ada tiga tantangan utama yang harus diperhatikan dalam penyusunan perda ini. Pertama, identifikasi dan verifikasi masyarakat hukum adat.
    Tidak semua kelompok yang mengklaim sebagai masyarakat hukum adat dapat langsung diakui dalam perda.
    Diperlukan mekanisme verifikasi yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan status hukum adat untuk kepentingan tertentu.
    Kedua, harmonisasi dengan peraturan nasional. Perda harus selaras dengan UU yang lebih tinggi, seperti UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan berbagai regulasi sektoral lainnya.
    Tanpa harmonisasi yang jelas, perda berpotensi menimbulkan konflik hukum dengan kebijakan nasional.
    Ketiga, kapasitas pemerintah daerah. Tidak semua pemerintah daerah memiliki kapasitas dan pemahaman yang cukup dalam merancang perda yang berpihak pada masyarakat hukum adat.
    Diperlukan pendampingan dan sinergi antara akademisi, praktisi hukum, serta perwakilan
    masyarakat adat
    .
    Sebagai langkah konkret, pemerintah pusat perlu menerbitkan pedoman umum penyusunan perda masyarakat hukum adat agar tidak terjadi disparitas antarwilayah.
    Partisipasi aktif masyarakat adat dalam proses perumusan perda harus menjadi prinsip utama agar perda yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan mereka.
    Dengan demikian, imbauan Fahira Idris tidak hanya menjadi wacana politik, tetapi dapat diimplementasikan secara nyata untuk memperkuat posisi masyarakat hukum adat dalam sistem hukum nasional.
    Keberadaan perda yang mengakui hak-hak mereka bukan sekadar formalitas, tetapi sebagai instrumen perlindungan dan pemberdayaan yang nyata bagi komunitas adat di seluruh Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PHK Hantam 3 Ribu Pekerja di Tangerang, UMR Naik Bikin Pabrik Sepatu Nike Pindah ke Cirebon Jabar – Halaman all

    PHK Hantam 3 Ribu Pekerja di Tangerang, UMR Naik Bikin Pabrik Sepatu Nike Pindah ke Cirebon Jabar – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) masih melanda sejumlah pabrik di berbagai daerah, satu di antaranya Kabupaten Tangerang, Banten.

    Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Tangerang mencatat, sejak awal tahun 2025 sudah ada 3 ribu pekerja terkena PHK.

    Kadisnaker Kabupaten Tangerang, Rudi Hartono menyebut PHK massal itu diduga terjadi karena dampak pelemahan ekonomi global terhadap sejumlah Industri di Kabupaten Tangerang.

    “Tahun 2025 ada kurang lebih 3.000-an, paling banyak dari PT Victory Cingluh Indonesia,” ucap Rudi, dikutip dari Tribuntangerang.com, Jumat (7/3/2025). 

    Ia menyebut, PHK besar-besaran masih terus menghantam Industri padat karya di Kabupaten Tangerang. Terlebih, industri yang umumnya berorientasi terhadap eskpor. 

    “Itu memang dampak secara global, memang tidak seimbang antara produksi dan permintaan. Kalau tidak seimbang mau engga mau perusahaan akan melakukan efisiensi. Itu yang dilakukan pasti akan terjadi,” ungkapnya. 

    Lebih lanjut, Rudi mengatakan dari hampir 4 juta penduduk Kabupaten Tangerang, saat ini terdapat 2,5 juta angkatan kerja dengan jumlah pengangguran 0,06 persen. 

    “Pemda menyiapkan pelatihan-pelatihan kerja dan pemenuhan hak-hak pekerja apakah itu pesangon, jaminan kehilangan pekerjaan, jaminan hari tua itu kita usahakan supaya terpenuhi,” pungkasnya.

    Pindah ke Cirebon

    PT Victory Chingluh Indonesia yang merupakan produsen brand sepatu Nike melakukan PHK terhadap 2.393 karyawan.

    Gelombang PHK ini menjadi kesekian kalinya usai sebelumnya perusahaan juga melakukan pemecatan terhadap 5.000 karyawan pada Mei 2020.

    Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif, menyampaikan PHK tersebut terjadi sejak Desember 2024 dan penyebab utamanya karena relokasi pabrik milik perusahaan.

    “Victory Chingluh Indonesia yang memproduksi sepatu olahraga merek Nike relokasi ke pabrik baru di Cirebon Jabar, karena UMR naik di atas 6 persen. Pegawainya ditawari PHK sukarela sebanyak 2.393 orang atau bekerja di pabrik relokasi,” kata Febri.

    Febri memastikan fasilitas produksi Victory Chingluh Indonesia di Tangerang masih tetap beroperasi, dengan jumlah karyawan 900 orang.

    Sedangkan untuk jumlah keseluruhan karyawan perusahaan saat ini masih lebih dari 15.000 orang di Indonesia.

    “Per 3 Maret 2025 karyawan Chingluh Indonesia yang bekerja 15.840 orang,” imbuh Febri. 

    Bentuk Satgas Khusus

    Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea menyebut, selain Victory Ching Luh, PT Adis Dimension Footwear juga melakukan PHK.

    “Saya sudah mendapatkan laporan dari pimpinan SPSI tingkat perusahaan dan terus melaporkan perkembangan perundingan antara serikat pekerja dan perusahaan,” kata Andi Gani.

    Andi Gani yang juga Presiden Konfederasi Buruh ASEAN ini meminta Pemerintah untuk bergerak cepat menangani masalah PHK yang kondisinya semakin mengkhawatirkan. 

    Dirinya meminta Pemerintah secepatnya membentuk Satuan Tugas khusus masalah PHK yang terdiri dari lintas kementerian karena masalah PHK bukan hanya domain Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). 

    Adapun, langkah KSPSI saat ini berupaya terus melakukan komunikasi dengan seluruh pimpinan KSPSI tingkat perusahaan yang bergerak di industri sepatu tersebut. 

    Misalnya, terkait hak-hak buruh yang di PHK tersebut terpenuhi. Apalagi, jika dapat memberikan informasi lowongan pekerjaan untuk anggota KSPSI yang terkena PHK. 

    “Sudah ada beberapa perusahaan industri sepatu bersedia menerima anggota KSPSI yang terkena PHK karena mereka dikenal sudah berpengalaman dan punya produktivitas tinggi,” ujarnya. 

    Penasihat Kapolri ini juga mengingatkan kepada para Pengusaha untuk menaati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait prosedur PHK. Terutama mengenai kewajiban untuk melakukan perundingan bipartit dan dilakukan secara musyawarah 

    “Jika tidak ada kesepakatan bisa dilanjutkan ke pengadilan hubungan industrial yang harus berkekuatan hukum tetap,” ucapnya. 

  • Formappi: Gugatan di MK soal KTP caleg harus sesuai dapil masuk akal

    Formappi: Gugatan di MK soal KTP caleg harus sesuai dapil masuk akal

    Emosinya sebagai akamsi (putra daerah) akan lebih terasa ketimbang wakil rakyat dari tempat lain yang ditunjuk partai

    Jakarta (ANTARA) – Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan calon anggota legislatif (caleg) yang harus berdomisili atau ber-KTP sesuai dengan daerah pemilihan (dapil) masuk akal terkait dengan konteks kaderisasi partai politik.

    Jika partai politik membangun kaderisasi hingga tingkat paling rendah, menurut dia, seharusnya yang dipercaya untuk menjadi caleg adalah kader partai yang berasal dari tempat pencalonan.

    “Idealnya sih caleg seharusnya datang dari tempat rakyat yang ingin diwakilinya. Peran wakil rakyat yang harus memperjuangkan aspirasi warga di dapil akan jauh lebih bermakna jika yang berjuang adalah orang yang menyelami lahir dan batin persoalan warga di dapil,” kata Lucius saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

    Selama ini, kata dia, ada kecenderungan bahwa penentuan caleg yang didaftarkan untuk ikut ke dalam pemilu anggota legislatif (pileg) merupakan kewenangan dewan pimpinan pusat (DPP) partai politik. Dengan begitu, caleg yang diusung untuk berbagai dapil di Tanah Air merupakan kader yang berdomisili di Jakarta.

    Fenomena tersebut dia nilai tidak adil bagi caleg atau kader dari daerah yang mungkin sudah matang untuk dicalonkan, tetapi yang bersangkutan tak punya akses untuk dipilih oleh DPP.

    Menurut dia, hubungan antara rakyat dan wakilnya memang akan lebih intim jika yang menjadi wakil itu benar-benar dikenal dan terlibat dalam persoalan dan perjuangan warga di dapil.

    “Emosinya sebagai akamsi (putra daerah) akan lebih terasa ketimbang wakil rakyat dari tempat lain yang ditunjuk partai,” kata dia.

    Untuk itu, kata dia, perlu ditegaskan terkait bagaimana upaya memprioritaskan kader sesuai dengan domisili dapil dalam pencalonan anggota legislatif. Namun, hal itu juga tidak bisa menjadi suatu keharusan karena ada hal lainnya mengenai administratif.

    “Enggak bisa juga langsung menjadikannya sebuah keharusan karena dalam banyak hal ada banyak akamsi yang domisilinya di tempat lain karena alasan pekerjaan. Jadi akamsi enggak bisa hanya diukur dari alamat domisili saja,” kata dia.

    Berdasarkan informasi yang tertera dalam laman resmi MK, sebelumnya aliansi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang, Jawa Tengah, merasa resah dengan besarnya persentase calon anggota legislatif (DPR/DPRD) yang berdomisili bukan di wilayah daerah pemilihannya (dapil).

    Hal ini terlihat dari daftar calon tetap periode 2019—2024 yang ada pada laman KPU per 28 September 2018, terdapat 3.387 atau 59,53 persen caleg yang berdomisili bukan di wilayah dapilnya.

    Untuk itu, para mahasiswa itu mengajukan uji Pasal 240 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi.

    Pada sidang pendahuluan Perkara Nomor 7/PUU-XXIII/2025 dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan dua hakim konstitusi: Ridwan Mansyur dan Arsul Sani, pada hari Rabu (5/3).

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Bawaslu Sulsel Soroti Titik Rawan PSU Palopo, Tegaskan Pemilih Baru Tidak Berhak Mencoblos

    Bawaslu Sulsel Soroti Titik Rawan PSU Palopo, Tegaskan Pemilih Baru Tidak Berhak Mencoblos

    FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Komisioner Bawaslu Sulawesi Selatan, Saiful Jihad, menyoroti potensi kerawanan dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Kota Palopo yang dijadwalkan pada 24 Mei 2025. 

    Ia menegaskan bahwa hanya pemilih yang telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Khusus (DPK), dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) pada pemungutan suara Wali Kota Palopo 27 November 2024 yang berhak memberikan suara dalam PSU nanti.  

    “Dengan demikian, tidak ada pemilih baru selain mereka yang sudah masuk dalam daftar tersebut,” ujar Saiful Jihad.  

    Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan masalah karena dalam rentang waktu 28 November 2024 hingga 24 Mei 2025, ada warga Palopo yang baru memiliki KTP atau pensiunan TNI/Polri yang kini sudah menjadi warga sipil. Mereka dipastikan tidak bisa ikut memilih dalam PSU mendatang.  

    Jika ada warga yang tidak terdaftar tetapi tetap diberikan kesempatan mencoblos oleh petugas TPS, hal ini bisa memicu PSU ulang di TPS tersebut atau bahkan berujung pada gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

    Selain itu, situasi ini juga berpotensi menimbulkan ketegangan di TPS saat hari pemungutan suara.  

    “Oleh karena itu, kita harus memastikan bahwa hanya pemilih yang sah sesuai putusan MK yang bisa menyalurkan hak suaranya,” tegasnya.  

    Ia juga mengajak semua pihak, termasuk penyelenggara pemilu, peserta, tim sukses, masyarakat, serta media, untuk turut menyosialisasikan aturan ini.