Kementrian Lembaga: MK

  • Mahasiswa Uji UU MD3 ke MK, Tuntut Mekanisme Pemecatan Anggota DPR oleh Rakyat

    Mahasiswa Uji UU MD3 ke MK, Tuntut Mekanisme Pemecatan Anggota DPR oleh Rakyat

    Mahasiswa Uji UU MD3 ke MK, Tuntut Mekanisme Pemecatan Anggota DPR oleh Rakyat
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Lima mahasiswa menggugat Pasal 239 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
    Kelima Pemohon dalam Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025 tersebut adalah Ikhsan Fatkhul Azis (Pemohon I), Rizki Maulana Syafei (Pemohon II), Faisal Nasirul Haq (Pemohon III), Muhammad Adnan (Pemohon IV), dan Tsalis Khoirul Fatna (Pemohon V).
    Mereka mempersoalkan mekanisme pemberhentian anggota DPR melalui Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Kelimanya pun meminta adanya mekanisme untuk rakyat bisa memberhentikan wakilnya di parlemen.
    “Permohonan a quo yang dimohonkan oleh Para Pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah. Para Pemohon tidak menginginkan ada lagi korban jiwa akibat kebuntuan kontrol terhadap DPR,” ujar Ikhsan yang hadir secara daring, dikutip Rabu (19/11/2025).
    Kehadiran Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 membuat terjadinya pengeksklusifan partai politik untuk memberhentikan anggota DPR.
    Pasalnya selama ini, partai politik kerap memberhentikan kadernya yang menjadi anggota DPR tanpa alasan jelas dan tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat.
    Sebaliknya ketika terdapat anggota DPR yang semestinya diberhentikan atas permintaan rakyat, partai politik justru tidak mengambil tindakan tersebut.
    Dalam dalilnya, Pemohon melihat tidak tersedianya mekanisme pemberhentian oleh konstituen dalam ketentuan pasal yang digugat tersebut.
    Hal tersebut membuat peran para Pemohon sebagai pemilih dalam pemilihan umum (pemilu) hanya sebatas prosedural formal, karena pemberhentian anggota DPR tidak lagi melibatkan rakyat. Padahal, suara rakyatlah yang membuat kader partai politik bisa duduk di kursi parlemen.
    Sejalan dengan implementasi kewenangan recall yang dimiliki partai politik, telah nyata terjadi praktik yang berseberangan dengan ketentuan UU MD3 dan kehendak rakyat.
    Hal tersebut terlihat dari Ahmad Sahroni, Nafa Indria Urbach, Surya Utama atau Uya Kuya, Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio, dan Adies Kadir yang dinonaktifkan setelah adanya desakan dari masyarakat.
    Menurut para Pemohon, alih-alih melakukan pemberhentian dan penggantian sesuai ketentuan UU MD3 sebagaimana tuntutan masyarakat, partai politik justru menjalankan praktik yang tidak diatur dalam UU MD3 dan justru menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat.
    Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Sidang Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025 dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
    Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan permohonan ini akan disampaikan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang terdiri dari sembilan hakim konstitusi untuk menyimpulkan apakah permohonan ini bisa diputus tanpa sidang pemeriksaan atau harus dilakukan sidang pemeriksaan untuk pembuktian lebih lanjut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Kaji Putusan MK Soal Jabatan Sipil Diisi Polisi Aktif

    KPK Kaji Putusan MK Soal Jabatan Sipil Diisi Polisi Aktif

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto buka suara mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota kepolisian aktif menduduki jabatan sipil. Setyo yang merupakan purnawirawan Polri menyebut putusan tersebut sedang dikaji secara mendalam oleh internal KPK.

    “Putusan MK sementara ini menjadi telaahan Biro Hukum KPK untuk memastikan posisinya seperti apa,” ujarnya di Jakarta, Rabu (19/11/2025).

    Selain itu, KPK juga menunggu hasil analisis Mabes Polri yang akan menjadi acuan dalam mengimplementasikan putusan tersebut. “Kita tunggu juga dari Mabes Polri dan kementerian lain yang berkaitan dengan putusan MK. Nanti hasilnya seperti apa, itu akan dijalankan,” jelas Setyo.

    Sebelumnya, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo juga menegaskan KPK tengah menganalisis secara serius dampak putusan MK terhadap struktur SDM dan kinerja lembaga. Analisis tersebut dilakukan untuk memastikan apakah ada jabatan yang terdampak langsung.

    Menurut Budi, KPK selama ini didukung banyak SDM dari institusi lain, seperti kejaksaan, kepolisian, serta kementerian dan lembaga negara. Mereka mengisi berbagai posisi strategis, tidak hanya dalam penindakan tetapi juga pendidikan, pencegahan, supervisi, hingga kesekjenan.

    “Putusan MK tentu punya implikasi karena KPK tidak hanya soal penyelidikan dan penyidikan. Ada divisi pendidikan, keuangan, pengolahan barang negara, data dan informasi, kehumasan, dan lainnya,” jelasnya.

    Budi memastikan proses analisis terus berjalan dan hasilnya akan diumumkan kepada publik setelah rampung.

  • Kepercayaan Publik Menguat, Polri Unggul dalam Survei Nasional RPI

    Kepercayaan Publik Menguat, Polri Unggul dalam Survei Nasional RPI

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Rumah Politik Indonesia (RPI) merilis hasil survei nasional terbarunya yang memotret tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja lembaga penegak hukum (LPH) di Indonesia.

    Dalam paparan yang disampaikan di Jakarta pada Rabu, 19 November 2025, Direktur RPI Fernando Emas menyebut Polri menempati posisi teratas sebagai lembaga dengan kinerja terbaik, meski selisihnya dengan Kejaksaan Agung terbilang tipis.

    Fernando menjelaskan bahwa berdasarkan temuan survei, Polri mendapat penilaian sebesar 20,5 persen, disusul Kejaksaan Agung yang mengantongi 19,9 persen. Sementara Mahkamah Agung berada di posisi ketiga dengan 18,5 persen, kemudian Komisi Yudisial 16,5 persen, KPK 12,9 persen, dan Mahkamah Konstitusi 9,5 persen.

    “Dari data survei kita bisa dapati bahwa Polri memperoleh 20.5 persen yang tipis sekali jaraknya dengan institusi Kejaksaan Agung yang mendapat 19.9 persen… Lalu responden yang tidak menjawab sebanyak 2.2 persen,” ulasnya.

    Selain kinerja, RPI juga menyoroti tingkat kepuasan publik terhadap Polri. Hasilnya, mayoritas masyarakat menyatakan puas. Fernando merinci: masyarakat yang memberikan penilaian puas mencapai 75,7 persen, sebanyak 2,4 persen menjawab tidak puas, 15,7 persen memilih netral, dan 2,1 persen responden menyatakan tidak tahu atau tidak memberikan jawaban.

    Untuk mendalami alasan di balik penilaian positif tersebut, RPI menanyakan lebih jauh kepada responden. Jawaban yang muncul beragam, namun dominan terkait struktur Polri yang dianggap mampu menjangkau wilayah secara luas.

  • Kisah Pengadilan Negeri Surabaya Kabulkan Nikah Beda Agama

    Kisah Pengadilan Negeri Surabaya Kabulkan Nikah Beda Agama

    JAKARTA – Menikah adalah prosesi sakral dan istimewa bagi banyak orang. Dua pasangan berbeda jenis kelamin berucap janji suci. Alhasil, segala macam kemudahan untuk menikah hadir kala keduanya seiman. Alias memiliki agama yang sama. Beda hal dengan mereka yang beda agama.

    Hukum di Indonesia tak menghendaki nikah beda agama kejadian. Namun, seisi Indonesia tercengang kala Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengizinkan nikah beda agama pada 2022. Pertama, demi menegakkan HAM. Kedua, supaya tak kumpul kebo.

    Kisah cinta beda agama kerap menguras pikiran. Sepasang kekasih niscaya akan menemukan kesimpulan antara berpisah atau pindah agama supaya dapat melangsungkan pernikahan. Namun, tidak dengan pasangan berinisial RA (Islam) dan EDS (Kristen).

    Alih-alih memilih berpisah atau pindah ke agama, keduanya bersikukuh melakukan pernikahan beda agama. RA dan EDS pun melangsungkan pernikahan dua kali, dengan cara Islam dan Kristen. Prosesi bahagia itu ingin dicatatkan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Surabaya.

    Hasilnya sebagaimana yang sudah-sudah: ditolak. RA dan EDS bak menolak takluk. Mereka bergerak mengajukan permohonan ke PN Surabaya supaya bisa pernikahan mereka bisa sah pada April 2020. Keinginan menikah beda agama akhirnya terjawab pada 26 April 2020.

    Majelis Hakim PN Surabaya mengabulkan permohonan keduanya. Alhasil, PN Surabaya mengizinkan kedua pasangan nikah beda agama. PN Surabaya pun perintahkan Dukcapil Surabaya untuk masukkan pernikahan keduanya ke dalam register perkawinan.

    Istimewanya, keputusan itu keluar karena hakim mempertimbangkan HAM. Artinya, setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan dengan perkawinan yang sah dan supaya tak kumpul kebo.

    Keinginan itu diterjemahkan hakim PN Surabaya dari penggalian makna UUD 1945 terkait manusia senantiasa dapat memeluk agamanya masing-masing. Dukcapil pun akhirnya mengeluarkan akta pernikahan pada 9 Juni 2022.

    “Untuk case kemarin, karena sudah mencukupi ketentuan persyaratan yang berlaku diperundang-undangan, maka itu kita proses. Karena di undang-undang disebutkan dukcapil itu diberikan tugas untuk melaksanakan apa yang menjadi penetapan hakim di pengadilan sehingga itu kita terbitkan,” ujar Kepala Dinas Dukcapil Surabaya, Agus Imam Sonhaji sebagaimana dikutip laman BBC Indonesia, 22 Juni 2020.

    Pancing Perdebatan

    Penetapan izin yang berikan PN Surabaya jadi polemik. Pro dan kontra bermunculan. Mereka yang mendukung menganggap bahwa PN Surabaya bertindak tepat karena cinta kasih tak harus ditentang. Apalagi, Indonesia menghadirkan kekebasan memeluk agama bagi tiap individu.

    Mereka yang menolak tak kalah sedikit. Penolakan paling keras muncul dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI menentang keras putusan Nomor 916/Pdt./2022/PN/Sby. MUI menyayangkan keputusan PN Surabaya yang gegabah dan mengizinkan pernikahan beda agama.

    Lembaga para ulama itu meminta PN Surabaya seharusnya menolak. Kondisi itu karena nikah beda agama dipandang bertentangan dengan aturan yang dibentuk negara. Ambil contoh dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    Pasal 2 ayat 1 berisikan pesan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Belum lagi pernikahan beda agama dipandang juga keluar dari yang digariskan oleh UUD 1945.

    Kebebasan memeluk agama dianggap MUI jangan diartikan ke arah menikah boleh beda agama. Konteksnya lebih kepada kebebasan memeluk agama dan keyakinan saja. Penolakan yang dilakukan MUI terus berlanjut kala gugatan uji materi UU Perkawinan masuk dapur Mahkamah Konstitusi (MK) sedari 26 September 2022.

    MUI lagi-lagi menegaskan nikah beda agama haram. MK melihat sendiri kasus PN Surabaya membuat suara terkait nikah beda agama kian mengemuka. MK pun segera mengambil kesimpulan pada 31 Januari 2023.

    MK menolakan legalkan nikah beda agama di Indonesia. Penolakan itu karena MK tetap beranggapan bahwa nikah harus seagama dan seiman. Barang siapa yang menikah beda agama, negara takkan legalkan pernikahannya.

    “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujar Ketua MK, Anwar Usmans sebagaimana dikutip laman detik.com, 31 Januari 2023.

  • Komisi III Sebut Banyak Penjelasan Tak Tepat soal KUHAP Baru, Apa Saja?

    Komisi III Sebut Banyak Penjelasan Tak Tepat soal KUHAP Baru, Apa Saja?

    Komisi III Sebut Banyak Penjelasan Tak Tepat soal KUHAP Baru, Apa Saja?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengeklaim sejumlah informasi yang beredar di publik terkait pasal-pasal kontroversial dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru adalah penjelasan yang tidak tepat.
    Hal tersebut dia sampaikan dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (18/11/2025), setelah mendapat informasi mengenai catatan-catatan dari kelompok masyarakat sipil setelah
    KUHAP baru
    disahkan, Selasa (17/11/2025) kemarin.
    “Sekali ya teman-teman hadir ke sini, dalam rangka kami menyampaikan klarifikasi atas lagi-lagi ini berita bohong ya. Atau sebenarnya bukan berita bohong lah, ini berita yang tidak pas, yang tidak tepat, tidak benar ya. Tapi beredar sangat masif di media massa,” ujar Habiburokhman di Gedung DPR RI.
    “Makanya kami secara khusus untuk menyampaikan klarifikasi ini melalui bantuan teman-teman awak media di DPR,” sambungnya.
    Habiburokhman kemudian membeberkan sejumlah poin yang dinilai keliru terkait pasal-pasal tertentu dalam RKUHAP.
    Berikut rangkumannya:
    Menurut Habiburokhman, penjelasan yang menyebut Pasal 5 mengizinkan penyelidik melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga penyitaan dalam tahap penyelidikan walaupun pidana belum terkonfirmasi adalah tidak benar.
    “Pernyataan tersebut tidak benar, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam pasal 5 dilakukan bukan dalam tahap penyelidikan, namun dalam tahap penyidikan,” kata dia.
    Habiburokhman menjelaskan, tindakan itu memang bisa dilakukan oleh penyelidik, tetapi tetap atas perintah penyidik, dan mekanismenya sangat ketat.
    “Memang yang bisa menangkap itu penyelidik boleh menangkap, tapi bukan dalam tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan. Dan itu atas perintah dari penyidik,” ujarnya.
    Habiburokhman menegaskan, pengaturan tersebut dibuat untuk mengatasi keterbatasan jumlah penyidik, dan syarat upaya paksa dalam KUHAP baru justru lebih ketat dibandingkan aturan lama.
    Polemik lain muncul terkait Pasal 16 yang disebut membuka peluang penggunaan metode
    undercover

    buying
    dan
    control delivery
    untuk semua tindak pidana.
    Habiburokhman menolak tegas pandangan tersebut.
    “Ini kan berarti kan koalisi pemalas, dia enggak liat
    live streaming
    kita debat khusus soal ini. Ini koalisi pemalas, tidak benar, karena sudah dilimitasi di bagian penjelasan,” katanya.
    Dia menjelaskan, teknik penyamaran tersebut hanya berlaku untuk investigasi khusus yang diatur UU, misalnya narkotika dan psikotropika, sebagaimana tertuang dalam bagian penjelasan pasal.
    “Pasal 16 enggak ada bahwa penyamaran untuk semua tindak pidana. Itu hanya untuk narkoba dan psikotropika,” ujarnya.
    Tudingan bahwa KUHAP baru membuka ruang penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan pemblokiran tanpa izin hakim dinilai tidak berdasar.
    “Hal tersebut tidak benar ya karena upaya paksa diatur secara ketat dengan izin hakim dan dengan syarat tertentu yang jauh lebih ketat daripada KUHAP lama,” kata Habiburokhman.
    Dia pun merinci beberapa ketentuan, yakni Penggeledahan harus dengan izin ketua pengadilan di Pasal 113, Penyitaan harus dengan izin ketua pengadilan di Pasal 119, dan Pemblokiran rekening harus dengan izin ketua pengadilan di Pasal 140.
    Untuk keadaan mendesak seperti tertangkap tangan atau lokasi geografis yang sulit, tindakan boleh dilakukan terlebih dahulu, tetapi wajib mendapat persetujuan hakim dalam 2×24 jam.
    Menurut Habiburokhman, pengaturan KUHAP baru “jauh lebih baik daripada KUHAP lama”.
    Kelompok masyarakat sipil juga menilai ketentuan restorative justice (RJ) di KUHAP baru berpotensi menjadi ruang pemerasan hingga intimidasi sejak tahap penyelidikan.
    Habiburokhman membantah pernyataan itu.
    “Ini jelas klaim yang tidak benar, karena mekanisme keadilan restoratif dapat diterapkan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan,” ujarnya.
    Dia menegaskan bahwa KUHAP baru memberikan batasan ketat terkait RJ.
    “Harus dilakukan tanpa adanya paksaan, intimidasi, tekanan, tipu daya, ancaman kekerasan, kekerasan, penyiksaan dan tindakan yang merendahkan kemanusiaan. Ini diatur di pasal 81,” ucap Habiburokhman.
    Menurutnya, RJ tidak mungkin menjadi alat memaksa karena seluruh proses diawasi dan pada akhirnya memerlukan penetapan pengadilan.
    Habiburokhman menjawab kritik bahwa pasal 7 dan 8 menempatkan seluruh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di bawah koordinasi Polri sehingga kepolisian disebut menjadi lembaga super power.
    Habiburokhman menilai pandangan tersebut tidak memahami landasan konstitusional.
    “Yang mengatur bahwa yang diatur di pasal 30 ayat 4 penegak hukum itu hanya Polri sebetulnya ya. Jadi kalau ada dinamika, ada penyidik tertentu di luar institusi kepolisian, tentu sangat wajar kalau harus berkoordinasi,” katanya.
    Dia menambahkan, ketentuan tersebut juga merupakan konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain Putusan MK Nomor 102/PUU-XVI/2018 dan Putusan MK Nomor 59/PUU/2021/2023.
    Habiburokhman meluruskan tuduhan bahwa KUHAP baru menambah masa penahanan terhadap penyandang disabilitas mental atau fisik berat.

    RUU KUHAP
    tidak membuat ketentuan yang memberikan perpanjangan durasi penahanan berdasarkan kondisi kesehatan. Rumusan demikian secara sadar tidak diadopsi karena bertentangan dengan prinsip dasar perlindungan hak asasi manusia,” ujarnya.
    Dia menegaskan, justru ketentuan masa penahanan bagi penyandang disabilitas lebih singkat dibanding orang tanpa disabilitas.
    Salah satu poin yang dianggap paling janggal adalah klaim bahwa Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual.
    Habiburokhman menyebut tudingan itu tidak berbasis data.
    “Coba dibuka tuh pasal 137, di KUHAP 137A, pasalnya soal apa? Mana? Enggak ada, makanya kami bingung mau mengklarifikasi ini pasalnya kami lacak enggak ada,” ujarnya.
    Dia menegaskan pasal tersebut mengatur soal pemeriksaan surat, bukan tindakan terhadap penyandang disabilitas mental.
    Sebaliknya, perlindungan terhadap penyandang disabilitas diatur secara tegas dalam Pasal 146 yang memungkinkan hakim menetapkan rehabilitasi dan perawatan, bukan pemidanaan.
    “Justru tindakan adalah rehabilitasi dan perawatan, bukan hukuman. Justru dilindungi,” tuturnya.
    Menutup penjelasan, Habiburokhman menyayangkan banyak pihak memberikan penilaian tanpa mengikuti proses pembahasan secara lengkap.
    “Sebetulnya gampang kalau mau ngecek, karena draf ini sudah ada sejak Februari 2025 di website dan kemarin kita update terus,” ujarnya.
    Di juga menyinggung minimnya pengawasan langsung dari publik di ruang rapat
    Komisi III DPR
    terhadap pembahasan RUU KUHAP.
    “Di Balkon Ruang Rapat Komisi III sepi. Enggak ada sama sekali teman-teman yang mau mengawal pembahasan KUHAP ini,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketua Reformasi Polri Jimly Beberkan Alasan Tolak Roy Suryo Cs Ikut Audiensi

    Ketua Reformasi Polri Jimly Beberkan Alasan Tolak Roy Suryo Cs Ikut Audiensi

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Percepatan Reformasi Polri menjelaskan soal alasan menolak Roy Suryo Cs dalam audiensi di STIK-PTIK, Jakarta, hari ini Rabu (19/11/2025).

    Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie mengatakan alasan pihaknya menolak Roy dkk diikutkan dalam audiensi tim Reformasi karena berstatus tersangka.

    Jimly mengungkap nama yang diajukan oleh Pakar Tata Hukum Negara, Refly Harun berbeda dengan nama yang diajukan dengan nama yang akan mendatangi audiensi.

    “Nah, tapi khusus untuk pak Refly dan kawan-kawan, nama yang datang tadi ternyata tidak sama dengan daftar surat yang diajukan kepada kami,” ujar Jimly di PTIK, Jakarta, Rabu (19/11/2025).

    Dia menceritakan, saat menemukan perbedaan itu dirinya langsung menggelar rapat tim reformasi secara internal. Dalam rapat itu, tim reformasi sepakat bahwa orang yang berstatus tersangka tidak bisa ikut dalam audiensi itu. Setelahnya, Jimly langsung menghubungi Refly agar Roy Suryo Cs tidak perlu diikutsertakan. 

    Di samping itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengakui bahwa orang yang berstatus tersangka belum terbukti bersalah. Namun, pelibatan tersangka dalam audiensi ini dinilai telah melanggar etika yang ada.

    “Kami harus menghargai menghormati proses hukum yang sudah jalan. [Memang] Belum terbukti dia salah, tapi kita juga harus memegang etika,” tutur Jimly.

    Senada dengan pernyataan Refly Harun, Jimly juga menyatakan bahwa Roy Suryo Cs juga telah diberikan dua pilihan. Bisa hadir tapi tidak bisa ikut terlibat dalam audiensi atau keluar dari ruang audiensi.

    Diberikan pilihan itu, Roy Suryo Cs memilih keluar dari ruangan. Sikap itu pun juga dilakukan oleh Refly Harun Dkk. Dalam hal ini, Jimly menyatakan bahwa dirinya menghargai sikap Refly dkk.

    “Saya sebagai ketua komisi menghargai sikap dari Refly Harun. Itu aktivis sejati mesti gitu, dia tegas. Tapi kita juga mesti menghargai juga bahwa forum ini telah sepakat yang tersangka jangan, walaupun aspirasi tetap kita dengar kita bicarakan,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, rombongan Refly Harun yang turut WO dalam audiensi ini diantaranya Roy Suryo; Rismon Sianipar; Tifauzia Tyassuma; M. Said Didu; Edy Mulyadi; Yanuar Aziz; hingga Nur Sam.

  • DPR Tinjau Ulang UU Guru-Dosen, Soroti Ketimpangan dengan Pendidikan Swasta

    DPR Tinjau Ulang UU Guru-Dosen, Soroti Ketimpangan dengan Pendidikan Swasta

    Liputan6.com, Jakarta – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar rapat dengan Kemendikdasmen dan Kemenag membahas peninjauan UU Guru dan Dosen. Baleg menyebut ada perbedaan kesejahteraan antara guru dan dosen di sekolah perguruan tinggi swasta.

    Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan mengatakan peninjauan dilakukan karena UU Guru dan Dosen ini telah berlaku kurang lebih 20 tahun.

    “Selain itu setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 tahun 2024 dan pasal 24 ayat 1 UU Guru dan Dosen, di mana menjelaskan bahwa tidak adanya perbedaan antara guru dan dosen di sekolah maupun perguruan tinggi swasta maupun negeri, termasuk di sini sekolah swasta dan negeri,” ujar di Kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/11/2025).

    “Namun demikian pada pelaksanaannya guru dan dosen di sekolah perguruan tinggi swasta mengalami perbedaan, baik dari sisi kesejahteraan serta perlindungan,” sambungnya.

    Bob menilai, kesejahteraan, kualifikasi dan hak perlindungan guru dan dosen harus diperhatikan.

    “Permasalahan mendasar yang memicu peninjauan adalah adanya kehawatiran mengenai ketidakadilan dan pengecualian lembaga pendidikan swasta madrasah dan perguruan tinggi swasta,” ujarnya.

     

  • Kenaikan Upah Minimum 2026 Tak Jelas, Siapa Dirugikan?

    Kenaikan Upah Minimum 2026 Tak Jelas, Siapa Dirugikan?

    Edy juga menyesalkan diabaikannya amanat Mahkamah Konstitusi terkait Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

    “KHL itu bukan opsi, melainkan dasar konstitusional dalam menentukan upah. Sudah ada Permenaker 18/2020 yang mengatur 64 item KHL, tetapi lagi-lagi tidak dijadikan rujukan. Jangan sampai negara sengaja menutup mata terhadap instrumen yang melindungi pekerja,” ujarnya.

    Ia menilai hilangnya peran Dewan Pengupahan Daerah dalam proses UM 2026 semakin memperlihatkan ketidakpatuhan Kemnaker terhadap putusan MK 168. Menurut Edy ini bukan hal remeh.

    Ketiadaan regulasi hingga jelang tenggat, menurut Edy, adalah bentuk pengabaian terhadap kepentingan pekerja dan dunia usaha sekaligus. Dia menekankan bahwa perusahaan membutuhkan kepastian untuk menyusun anggaran biaya tenaga kerja 2026, termasuk kalkulasi harga barang dan jasa.

    “Bagaimana perusahaan bisa merencanakan produksi dan investasi kalau aturan upah yang menjadi dasar anggarannya tidak jelas? Pemerintah tidak boleh menyulitkan sektor usaha dengan ketidakpastian seperti ini,” pungkasnya. 

  • Gus Hilmi Firdausi: Andai Jokowi Mau Tunjukkan Ijazah, Semua Tuduhan Terbantahkan

    Gus Hilmi Firdausi: Andai Jokowi Mau Tunjukkan Ijazah, Semua Tuduhan Terbantahkan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Gus Hilmi Firdausi kembali berbicara mengenai dugaan ijazah palsu Presiden ke-7, Jokowi, yang tidak menemukan titik akhir meskipun Polisi telah menetapkan delapan tersangka.

    Berkaca pada sikap tegas Hakim MK, Asrul Sani, pengasuh Pondok Pesantren Baitul Qur’an Assa’adah ini menduga ada upacara membuat perkara menjadi berlarut-larut.

    “Padahal ini hal yang sangat simpel, tapi dibuat ribet dan berlarut-larut,” ujar Gus Hilmi di trheads (19/11/2025).

    Dikatakan Gus Hilmi, jika saja Jokowi bersikap negarawan, memperlihatkan ijazahnya secara terang di hadapan publik, tidak akan ada yang menjadi korban kriminaliasi.

    “Andai beliau mau menunjukkan ijazah aslinya ke publik seperti Hakim MK Arsul Sani, semua tuduhan akan terbantahkan,” sebutnya.

    Hilmi kemudian mengutip kembali istilah Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam menghadapi setiap masalah.

    “Mengutip kata Gus Dur, gitu aja kok repot,” kuncinya

    Sebelumnya, dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Teuku Nasrullah menyebut Jokowi sebenarnya bisa menutup polemik dengan cara yang jauh lebih sederhana.

    “Padahal Jokowi bisa mempersingkat penyelesaiannya itu, duduk ketemu Roy Suryo, ini ijazah saya, periksa ke mana pun, selesai masalah ini,” kata Nasrullah.

    Sementara itu, Arsul Sani menunjukkan dokumen asli ijazah doktoralnya kepada publik usai dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Polri atas dugaan kepemilikan ijazah palsu.

    Langkah ini dilakukan untuk menjawab laporan yang diajukan Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi.

  • Patuhi Putusan MK, Hentikan Pembelokan Tafsir

    Patuhi Putusan MK, Hentikan Pembelokan Tafsir

    Patuhi Putusan MK, Hentikan Pembelokan Tafsir
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    PUTUSAN
    Mahkamah Konstitusi (MK) idealnya menjadi garis finis perdebatan, bukan garis start negosiasi politik.
    Ketika MK menghapus dasar hukum penugasan anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil, publik berharap babak baru tata kelola pemerintahan tanpa rangkap jabatan segera dimulai.
    Namun, yang terjadi justru sebaliknya: setelah putusan dibacakan, bukan kepatuhan yang mengemuka, melainkan penafsiran.
    Pemerintah menyatakan
    putusan MK
    tidak berlaku surut sehingga polisi aktif yang sudah menduduki jabatan sipil tidak perlu mundur. Tafsir ini tentu terasa nyaman bagi pejabat—tetapi jauh lebih nyaman daripada bagi konstitusi.
    Kita seperti menyaksikan negara tunduk pada hukum hanya ketika hukum tidak mengusik kenyamanan kekuasaan.
    Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 jelas dan terang: anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    MK menutup celah “penugasan Kapolri” yang selama ini dipakai untuk menempatkan anggota Polri aktif di jabatan sipil tanpa memutus status keanggotaannya. Ini bukan sekadar urusan teknis penempatan pejabat. Ini adalah pilar demokrasi.
    Birokrasi sipil seharusnya berjalan dalam logika pelayanan publik, bukan logika komando. Ketika pejabat bersenjata aktif bertugas di pejabat sipil, maka garis pembatas antara negara koersif dan negara administratif perlahan melebur. Demokrasi tidak berubah dalam sekejap, tetapi berubah perlahan—setiap kali celah dibiarkan.
    Putusan MK mengembalikan desain dasar kelembagaan: Polri adalah penegak hukum, bukan mitra politik eksekutif dalam mengelola kekuasaan administratif. Norma ini bukan sekadar batang tubuh undang-undang, tetapi etika kekuasaan dalam negara hukum.
    Polemiknya tajam ketika pemerintah menyatakan
    putusan MK tidak berlaku surut dan hanya mengikat pengangkatan polisi aktif ke jabatan sipil setelah putusan diterapkan.
    Artinya, pejabat Polri aktif yang sudah menjabat jabatan sipil boleh tetap duduk, kecuali jika Polri menarik mereka.
    Secara retoris, tafsir ini terdengar hukumiah. Namun, secara substansi, ini melahirkan paradoks: bagaimana mungkin fondasi hukum bagi rangkap jabatan dinyatakan inkonstitusional, tetapi jabatan yang berdiri di atas fondasi inkonstitusional itu dianggap sah untuk dilanjutkan?
    Bila dasar hukumnya runtuh, konsekuensinya semestinya mengikuti.
    Illegal foundation cannot create legal consequences.
    Ya, putusan MK memang berlaku
    pro futuro
    . Namun,
    pro futuro
    tidak berarti membiarkan pelanggaran norma ketika pelanggaran itu diketahui.
    Sama seperti seseorang tidak diperbolehkan terus mengendarai mobil tanpa SIM hanya karena ia sudah telanjur mengendarainya sebelum aturan ditegakkan.
    Tafsir pemerintah yang memperlunak dampak putusan MK adalah bentuk “kepatuhan nominal”—taat pada bunyi putusan, tetapi menghindari konsekuensinya.
    Jika tafsir pemerintah dibiarkan, dampak putusan MK akan mengecil jauh di bawah bobot yang seharusnya. Birokrasi sipil akan tetap dipimpin oleh personel Polri aktif tanpa kepastian batas otoritas; garis komando akan bercampur dengan garis administrasi.
    Pejabat sipil tunduk pada UU ASN, sementara pejabat Polri tunduk pada mekanisme etik internal kepolisian.
    Situasi ini menciptakan ruang abu-abu: siapa yang sesungguhnya mengawasi siapa? Model akuntabilitas menjadi kabur, sementara sentralitas kewenangan cenderung berpindah perlahan ke institusi bersenjata.
    Lebih jauh, orientasi kebijakan publik dapat melenceng secara diam-diam dari logika pelayanan menjadi logika penegakan.
    Ketika pejabat yang berangkat dari kultur koersif menduduki lingkup administratif, perspektif keamanan berpotensi mendominasi urusan yang sejatinya bertumpu pada tata kelola sipil: ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial, perizinan usaha, pendidikan, hingga kesehatan.
    Birokrasi akan mengelola masyarakat seolah-olah masyarakat adalah objek pengawasan, bukan subjek pelayanan.
    Sejarah menunjukkan bahwa demokrasi tidak merosot dalam satu kehancuran besar, melainkan dalam sejumlah kecil kelonggaran yang terasa biasa.
    Membiarkan anggota Polri aktif tetap memimpin jabatan sipil berarti menormalkan pengecualian, dan pengecualian yang dinormalkan perlahan berubah menjadi praktik.
    Jika pengecualian itu tidak dihentikan sekarang, kekuasaan koersif bisa menjelma kekuatan administratif yang sah secara praktik, meski tidak sah secara konstitusional.
    Dengan kata lain, konsekuensi tidak langsung dari tafsir pemerintah bukan hanya kelanjutan rangkap jabatan, melainkan pergeseran desain negara: dari tata kelola sipil yang sehat menjadi tata kelola yang bertumpu pada logika kepolisian.
    Dan pergeseran itu hampir selalu terjadi tanpa gejolak—karena berlangsung dengan cara yang tampak legal, tapi substansinya melemahkan prinsip negara hukum.
    Indonesia sudah memiliki pembelajaran penting dalam hubungan sipil–militer. UU TNI mengatur secara limitatif jabatan sipil yang boleh diduduki prajurit aktif, dan semangat desainnya adalah pengecilan ruang, bukan pembukaan peluang.
    Namun yang terjadi pada Polri justru sebaliknya: polanya bukan pembatasan, melainkan penormalan. Tafsir pemerintah terhadap putusan MK seakan menyiratkan: “Kita patuh, tetapi nanti dulu.”
    Inilah preseden yang berbahaya. Bila tafsir pemerintah ditegakkan, maka putusan MK tidak lagi memutus persoalan—ia hanya menunggu diinterpretasi sesuai kebutuhan kekuasaan.
    Padahal, prinsip
    final and binding
    justru diciptakan agar MK menjadi rem terakhir, bukan hiasan dalam sistem ketatanegaraan.
    Jika pemerintah ingin menunggu revisi UU Polri terlebih dahulu sebelum menarik anggota Polri dari jabatan sipil, maka untuk apa MK bersusah payah membatalkan frasa penugasan? Putusan MK dibiarkan hidup, tetapi tidak bekerja.
    Kepatuhan konstitusional ukurannya bukan sekadar “apakah negara menjalankan putusan MK”, tetapi “kapan negara menjalankannya”.
    Hukum seringkali mengganggu kenyamanan. Namun, itulah tujuan hukum: mengekang kekuasaan, bukan memanjakannya.
    Ketika pemerintah bertanya, “Kalau yang sudah menjabat bagaimana?”, konstitusi menjawab dengan sederhana: apakah jabatan itu berdiri di atas norma yang sah? Jika tidak, maka melanjutkannya adalah pilihan politik, bukan pilihan hukum.
    Demokrasi membutuhkan teladan. Ketika lembaga tertinggi penafsir konstitusi sudah mengeluarkan putusan, maka tugas cabang kekuasaan lain adalah mengeksekusi, bukan menyeleksi dampaknya.
    Kepatuhan setengah hati tidak pernah menghasilkan negara hukum; ia hanya menghasilkan negara yang memilih kapan hukum harus ditaati.
    Pada tahap ini, semua mata tertuju pada Presiden Prabowo Subianto. Tidak ada lembaga lain yang memiliki otoritas dan legitimasi untuk memerintahkan transisi jabatan secara sistemik.
    Penarikan anggota Polri aktif dari jabatan sipil dapat dilakukan secara bertahap, dengan tenggat yang jelas, tanpa menciptakan kevakuman pemerintahan.
    Komisi Percepatan Reformasi Polri dapat menjadi mesin penggerak, bukan sekadar forum diskusi. Transisi adalah jantung reformasi. Bila Komisi hanya terjebak pada penyusunan daftar lembaga mana yang boleh diisi Polri, maka reformasi akan berakhir hanya sebagai agenda teknokratis, bukan koreksi demokratis.
    Yang ditunggu publik bukan pidato, bukan konferensi pers—melainkan keputusan eksekusi. Supremasi konstitusi hanya berarti apabila negara memilih kewajiban hukum di atas kenyamanan politik.
    Putusan MK seharusnya dibaca sebagai peluang langka untuk memperbaiki desain demokrasi Indonesia, bukan sebagai beban yang harus ditangguhkan hingga tidak lagi terasa.
    Dengan menegaskan jabatan sipil hanya dapat diisi setelah anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun, MK memberikan kesempatan kepada negara untuk mengembalikan batas-batas yang selama ini dilanggar secara senyap.
    Namun tafsir pemerintah yang membiarkan pejabat yang terlanjur menjabat tetap berada di kursi kekuasaan justru mengubah kesempatan koreksi menjadi perpanjangan status quo.
    Jabatan sipil yang seharusnya diisi oleh mereka yang terikat kultur pelayanan publik tetap dipimpin oleh sosok yang mengemban identitas koersif, dan publik diminta mempercayai bahwa hal itu hanyalah persoalan administratif.
    Kesempatan yang diberikan MK sebenarnya bukan sekadar kesempatan untuk mematuhi hukum, tetapi untuk mengoreksi arah negara.
    Presiden memiliki ruang legitimasi politik untuk menunjukkan keberanian: menarik anggota Polri dari jabatan sipil secara terukur, menetapkan masa transisi yang manusiawi, dan memastikan birokrasi kembali ke tangan pejabat yang tunduk pada mekanisme akuntabilitas sipil.
    Bila kesempatan ini digunakan, negara mengambil langkah maju dalam menguatkan demokrasi. Namun, jika kesempatan ini dibiarkan berlalu, sejarah akan mencatat bahwa pemerintah memilih kemudahan politik, alih-alih kedisiplinan konstitusional.
    Yang menjadi penentu bukan isi putusan MK, melainkan respons negara atas putusan itu. Demokrasi selalu diuji pada momen ketika hukum mengusik kenyamanan kekuasaan.
    Di titik seperti inilah bangsa dapat melihat siapa yang benar-benar siap menegakkan konstitusi: mereka yang bersuara keras tentang konstitusi, atau mereka yang berani mengambil tindakan ketika hukum menuntut koreksi yang tidak populer.
    Kesempatan untuk menunjukkan keteladanan ada di depan mata, dan keberanian untuk mengambilnya akan menentukan arah republik ini—apakah melangkah maju atau kembali berjalan di tempat dengan janji reformasi yang hanya menjadi wacana tanpa tindakan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.