Kementrian Lembaga: MK

  • Putusan MK Larang Polisi Rangkap Jabatan Sipil, Badrodin: Eksekusinya Ada di Tangan Kapolri

    Putusan MK Larang Polisi Rangkap Jabatan Sipil, Badrodin: Eksekusinya Ada di Tangan Kapolri

    Bisnis.com, SURABAYA — Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri, Badrodin Haiti angkat suara mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tentang larangan bagi anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif.

    Badrodin menjelaskan bahwa implementasi atau pelaksanaan atas putusan yang menghapus Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002–yang menurut MK bertentangan dengan UUD 1945 tersebut menjadi kewenangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sepenuhnya

    “Ini [Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025] sangat tergantung dari pada penilaian Kapolri,” ungkap Badrodin kepada Bisnis usai diskusi publik dan penyampaian aspirasi agenda reformasi kepolisian di Universitas Airlangga, Surabaya, Kamis (27/11/2025).

    Mantan Kapolri periode 2015-2016 ini juga menegaskan bahwa putusan MK tersebut sudah sepatutnya untuk segera dilaksanakan sepenuhnya oleh instansi kepolisian. Dia menyebut, sudah banyak pakar hukum yang telah membahas mengenai putusan MK tersebut, hingga mendesak agar kepolisian aktif untuk segera menanggalkan jabatannya di institusi sipil.

    “Kalau secara hukum kan sudah ada banyak pakar-pakar yang sudah berbicara tentang keputusan MK itu, dan sudah memang bunyinya seperti itu, dan harus dilaksanakan, tetapi dilaksanakan atau tidak, bukan dari kami, tapi dari Kapolri sendiri,” tegasnya.

    Badrodin juga menerangkan, pasca Reformasi 1998 saat institusi TNI dan Polri secara resmi dipisahkan, pada tahun 2000 terbit beleid yang menyatakan bahwa polisi merupakan bagian dari sipil.

    Walau polisi sudah dinyatakan sebagai bagian dari sipil sejak 25 tahun silam, tetapi Badrodin menegaskan bahwa jajaran aparat kepolisian belum sepenuhnya menunjukkan sifat sebagai seorang “civilian police”. 

    Menurutnya, hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih kentalnya kultur militeristik yang terjadi pada tubuh kepolisian hingga saat ini. Apalagi, sebut Badrodin, budaya tersebut yang justru menghambat usaha pelayanan dan pengayoman yang dilakukan polisi kepada masyarakat. 

    “Kalau tadi ada penilaiannya bahwa polisi itu memang sudah sipil sejak tahun 2000, tetapi perilakunya yang masih belum menunjukkan civilian police. Jadi, masih kultur militernya itu masih cukup kental, sehingga ini yang seringkali menjadi problem yang dihadapi oleh masyarakat,” pungkasnya. 

    Diberitakan sebelumnya, Mabes Polri mengungkap data anggota polisi yang saat ini menduduki jabatan sipil mencapai 300 orang. 

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan ratusan orang itu menduduki jabatan manajerial di kementerian maupun lembaga. Hanya saja, Sansi tidak memerinci ratusan orang yang menjabat di luar struktur itu. 

    “Ada sekitar 300 orang yang [anggota duduki jabatan sipil],” ujar Sandi di Mabes Polri, Senin (17/11/2025).

    Dia menambahkan, ratusan orang itu berasal dari 4.132 anggota yang terdiri dari staf, ajudan, pengawal hingga pendukung di Kementerian/Lembaga terkait.

    Adapun, kata Sandi, ribuan orang ini tidak dilibatkan dalam manajerial pada struktur kementerian maupun lembaga. “Sisanya adalah jabatan-jabatan pendukung non-manajerial. Seperti yang saya sampaikan,” imbuhnya.

    Sementara itu, Sandi menegaskan bahwa selama ini penugasan anggota Polri di luar struktur merupakan permintaan dari kementerian maupun lembaga terkait. 

    Setelah permintaan itu, Kapolri menunjuk AS SDM untuk melakukan asesmen pejabat yang relevan dengan permintaan kementerian/lembaga. Selanjutnya, Kapolri mengeluarkan surat perintah terkait penugasan itu. 

    Khusus anggota Polri dengan pangkat bintang dua ke atas, maka harus diusulkan terlebih dahulu ke Presiden. Sementara, anggota Polri di bawah bintang dua maka akan diusulkan ke pejabat setingkat menteri.

    “Selama ini pelaksanaan tugas dan tanggung jawab anggota Polri yang bekerja di luar struktur didasarkan pada mekanisme yang ditentukan undang-undang. Jadi, penentuan untuk penugasan di luar struktur, itu karena adanya permintaan dari kementerian lembaga terkait,” pungkasnya.

  • Kegerahan Rakyat dan "Recall" Anggota DPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 November 2025

    Kegerahan Rakyat dan "Recall" Anggota DPR Nasional 28 November 2025

    Kegerahan Rakyat dan “Recall” Anggota DPR
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    KEGERAHAN
    publik terhadap kinerja sebagian anggota DPR sesungguhnya bukan gejala baru, tapi akumulasi frustrasi yang makin mengental seiring makin tertutupnya mekanisme koreksi terhadap para wakil rakyat.
    Demokrasi elektoral memberi ruang bagi rakyat untuk memilih, tetapi nyaris tidak memberi kanal bagi rakyat untuk menghentikan wakil yang gagal, abai, atau bahkan
    nyeleneh
    dalam menjalankan mandat.
    Di tengah defisit akuntabilitas ini, gugatan terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf d
    UU MD3
    ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi wujud kepedulian publik—khususnya generasi muda—untuk menuntut kembalinya logika dasar demokrasi: bahwa mandat berasal dari rakyat, dan seharusnya dapat dicabut oleh rakyat.
    Dalam putusannya, MK menolak permohonan tersebut dan mempertahankan bahwa kewenangan pemberhentian antarwaktu (PAW) adalah hak penuh partai politik.
    MK beralasan mekanisme
    recall
    merupakan konsekuensi logis dari sistem pemilu yang berbasis partai, sebagaimana tertuang dalam Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945.
    “Pemilih dapat mengajukan keberatan kepada partai politik bahkan dapat menyampaikan kepada partai politik untuk me-recall anggota DPR atau DPRD dimaksud,” ujar Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dalam sidang pleno (
    Kompas.com
    , 27 November 2025).
    MK menegaskan bahwa evaluasi publik atas anggota parlemen “cukup” dilakukan setiap lima tahun melalui pemilu, bukan melalui mekanisme
    recall
    oleh pemilih.
    Kendati demikian, respons hukum tersebut justru memperlebar jarak antara rakyat dan wakilnya.
    Dengan mempertahankan monopoli
    recall
    di tangan partai politik, MK secara tidak langsung menempatkan rakyat sebagai subjek pasif demokrasi—pemilih hanya aktif sekali dalam lima tahun, lalu kehilangan daya tawar ketika wakilnya bertindak di luar mandat moral dan politik yang dulu dijanjikan.
    Padahal, pengalaman empiris menunjukkan partai politik sering kali menggunakan PAW sebagai alat kontrol internal, bukan sebagai mekanisme akuntabilitas publik.
    Kegerahan rakyat terhadap perilaku anggota DPR yang
    nyeleneh
    tidak menemukan saluran konstitusional memadai, sementara gugatan seperti perkara 199/PUU-XXIII/2025 justru dipatahkan oleh tafsir yang menempatkan stabilitas prosedural di atas kedaulatan substantif.
    Persoalan
    recall
    hanyalah salah satu wajah dari ketidaksinkronan struktural yang lebih dalam dalam UU MD3.
    Sejak DPRD dipindahkan pengaturannya sepenuhnya ke dalam UU Pemerintahan Daerah, kedudukannya tidak lagi sejajar dengan DPR dan DPD sebagai lembaga perwakilan dalam satu rumpun yang sama.
    Namun, UU MD3 tetap mempertahankan struktur lama seolah tidak ada perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan.
    Akibatnya, undang-undang ini mengatur entitas yang secara yuridis sudah berada dalam rezim berbeda.
    Kekeliruan konseptual seperti ini membuat MD3 kehilangan ketepatan desain dan tidak lagi mencerminkan arsitektur politik yang berjalan.
    Inkonsistensi ini semakin tampak ketika dilihat dari fungsi dan hubungan antarlembaga. DPRD kini berada dalam tata kelola pemerintahan daerah, bukan dalam relasi legislasi nasional sebagaimana DPR dan DPD.
    Namun, MD3 tetap menyajikan seluruhnya dalam satu paket. Ketika satu institusi telah berpindah “rumah yuridis”, sementara kerangka UU-nya dibiarkan, yang muncul adalah regulasi saling tumpang tindih dan sulit dibenarkan secara sistematik.
    Undang-undangnya bicara satu hal, struktur ketatanegaraannya berjalan dengan logika lain. Kesenjangan ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai peran, fungsi, dan relasi kekuasaan antar-lembaga.
    Di tengah kekacauan desain seperti itu, tidak mengherankan jika mekanisme akuntabilitas yang lahir dari MD3 juga tidak bekerja optimal.
    Ketika fondasi regulasinya saja tidak presisi, mekanisme seperti
    recall
    mudah terjebak dalam logika organisasi politik ketimbang logika kedaulatan rakyat.
    Alih-alih memperbaiki struktur MD3 agar sesuai dengan konfigurasi kelembagaan saat ini, negara justru mempertahankan skema
    recall
    yang tersentralisasi di tangan partai politik.
    Ketidaksinkronan inilah yang mempersempit ruang rakyat untuk mengoreksi wakilnya, sementara undang-undang yang seharusnya menjadi kerangka representasi justru semakin jauh dari prinsip dasar demokrasi.
    Kegerahan rakyat terhadap
    wakil rakyat
    sebenarnya lahir dari ketimpangan yang sangat mendasar: rakyat memiliki hak memilih, tetapi hampir tidak memiliki hak untuk mengoreksi ketika wakilnya melenceng.
    Ketika perilaku anggota DPR yang abai, tidak etis, atau bahkan
    nyeleneh
    muncul ke permukaan, publik hanya bisa menyuarakan kemarahan melalui media sosial, petisi, atau aksi jalanan—tanpa satu pun mekanisme konstitusional yang benar-benar mengaitkan suara tersebut dengan keberlanjutan mandat wakil rakyat.
    Dalam suasana seperti ini, kegerahan publik berubah menjadi frustrasi yang tertahan, karena tidak ada jalur formal yang memberikan dampak langsung pada kedudukan sang wakil.
    Di sinilah gugatan terhadap UU MD3 menemukan konteks sosiologisnya. Publik tidak sedang mencari sensasi, apalagi ingin mengganggu stabilitas politik; mereka sedang menuntut agar hubungan wakil–diwakili tidak berhenti pada momen pencoblosan.
    Kegerahan rakyat yang terus berulang menunjukkan bahwa demokrasi elektoral lima tahunan tidak cukup untuk menjamin akuntabilitas.
    Ketika wakil rakyat sudah jauh dari ekspektasi konstituen, logika demokrasi mestinya memberi ruang agar rakyat bisa bertindak.
    Namun, mekanisme yang tersedia saat ini justru memaksa publik untuk bergantung pada partai politik—institusi yang tidak selalu memiliki insentif untuk merespons aspirasi akar rumput.
    Ketiadaan kanal pelampiasan yang efektif membuat kegerahan rakyat berubah menjadi krisis kepercayaan. Publik melihat bagaimana sebagian anggota DPR bertindak seenaknya, namun tidak pernah tersentuh koreksi karena recall dikunci di tangan partai politik.
    Sementara itu, imbauan bahwa rakyat “cukup” menunggu pemilu berikutnya terasa mengabaikan realitas: penyimpangan mandat terjadi hari ini, dampaknya dirasakan hari ini, tetapi mekanisme koreksinya baru boleh dilakukan lima tahun kemudian.
    Dalam kondisi seperti ini, wajar jika kegelisahan rakyat memuncak—sebab negara tidak menyediakan instrumen yang memadai untuk memastikan bahwa mandat yang diberikan dengan susah payah dapat dicabut ketika dikhianati.
    Kegerahan rakyat terhadap wakilnya sejatinya merupakan cermin dari struktur politik yang menempatkan pemilih hanya sebagai ‘sumber legitimasi awal’, tetapi tidak sebagai pengendali keberlanjutan mandat.
    Ketika rakyat tidak memiliki instrumen koreksi yang memadai, sementara perilaku wakil rakyat dapat melenceng kapan saja, relasi representasi berubah menjadi hubungan satu arah: rakyat memberikan mandat, tetapi kehilangan otoritas untuk mencabutnya.
    Dalam konfigurasi semacam ini, kekuasaan legislatif menjadi semakin terlepas dari kontrol publik karena mekanisme
    recall
    dikuasai partai politik, bukan oleh pihak yang menjadi sumber legitimasi sesungguhnya.
    Dalam kondisi tersebut, anggapan bahwa pemilu lima tahunan merupakan jalan evaluasi yang memadai justru memperlihatkan kegagalan membaca dinamika penyimpangan mandat.
    Penyimpangan tidak menunggu pergantian periode; melainkan muncul dalam kejadian sehari-hari, melalui tindakan yang merugikan publik, melanggar etika, atau menunjukkan ketidakmampuan menjalankan fungsi representasi.
    Memaksa rakyat menunggu lima tahun untuk mengoreksi perilaku demikian bukan hanya tidak logis, tetapi juga menormalisasi ketimpangan kekuasaan.
    Waktu menjadi perisai bagi wakil rakyat, sementara kegerahan rakyat tidak memiliki signifikansi hukum apa pun.
    Maka, reformasi MD3 harus mengarah pada pemulihan kontrol rakyat, bukan sekadar merapikan struktur yang sudah lama tidak sinkron.
    Mekanisme
    recall
    oleh pemilih seharusnya dipahami sebagai instrumen kedaulatan, bukan sebagai ancaman terhadap stabilitas politik.
    Tanpa kanal yang memungkinkan rakyat mencabut mandat ketika terjadi penyimpangan, demokrasi hanya berfungsi sebagai rangkaian prosedur yang menyamarkan dominasi partai politik di balik retorika perwakilan.
    Kegerahan yang terus berulang adalah indikator bahwa demokrasi elektoral sedang kehilangan substansinya, dan bahwa pembenahan menyeluruh diperlukan untuk memastikan mandat publik tidak lagi dibiarkan tergantung pada kalkulasi internal partai, melainkan kembali berada di tangan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Aturan Kenaikan UMP 2026 Dirombak, Berikut Skema Barunya!

    Aturan Kenaikan UMP 2026 Dirombak, Berikut Skema Barunya!

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah pusat memastikan akan mengubah skema penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 dengan tidak lagi menggunakan satu angka tunggal.

    Hal itu disampaikan Menteri Ketenagakerjaan (menaker) Yassierli usai mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Kamis (27/11/2025).

    Penyebabnya, Yassierli menjelaskan bahwa pendekatan satu angka sudah tidak relevan dan tidak mampu menjawab disparitas kondisi ekonomi antarwilayah.

    “Ya kan itu sudah saya sampaikan. Jadi, oke deh. Yang pertama, jadi memang satu angka itu tidak menyelesaikan masalah disparitas, makanya kita mengusulkan range dan itu beliau setujulah, tetapi range-nya berapa nanti kita update ya,” ujarnya.

    Dengan skema baru tersebut, UMP tidak lagi seragam antarprovinsi. Mengingat, dia menekankan bahwa upaya tersebut agar aturan sesuai amanat dari Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa setiap Dewan Pengupahan Daerah itu diberikan wewenang untuk mengusulkan besaran kenaikan upahnya kepada Gubernur.

    Namun, ketika ditanya apakah rentang besaran kenaikan sudah ditetapkan, dia belum bersedia membeberkan. Meski demikian, Menaker mengonfirmasi bahwa pemerintah akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) terkait upah sebelum pengumuman resmi dilakukan.

    Dia menegaskan bahwa keputusan final akan berada di tangan gubernur, mengikuti panduan yang ditetapkan pusat.

    “Iya, memang amanat dari MK begitu, jadi amanat dari MK harus mempertimbangkan kebutuhan hidup layak, harus mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, harus mempertimbangkan inflasi, dan kemudian memberikan kewenangan kepada Dewan Pengupahan Daerah secara aktif untuk mengusulkan kepada Gubernur, tunggu aja,” jelasnya.

    Mengenai apakah rentang kenaikan ditetapkan pemerintah pusat, Yassierli menjelaskan bahwa pusat hanya memberi panduan umum. “Pusat kita panduannya, detilnya nanti di Dewan Pengupahan Daerah,” katanya.

    Dia juga memberi sinyal kemungkinan perubahan formula penghitungan UMP dibanding tahun sebelumnya. Yassierli menegaskan bahwa tiap daerah tetap harus menetapkan satu angka final.

    “Setiap provinsi, kota, kabupaten kan nanti dia keluar dengan kenaikan sendiri masing-masing, kita kasih rangenya,” katanya.

    Dia meluruskan bahwa pusat tidak memberi dua angka sekaligus, melainkan satu rentang, lalu daerah menetapkan angka final.

    “Jadi, bukan, kami memberikan panduan berupa range, nanti pemerintah daerah yang menentukan sendiri sesuai dengan satu, kondisi pertumbuhan ekonomi masing-masing daerahnya, inflasinya. Kemudian kebutuhan hidup layaknya dia jauh nggak dari upah sekarang dengan itu. Nah itu yang jadi pertimbangan. Oke, clear ya?” tandas Yassierli.

  • Menaker: Pusat siapkan range kenaikan UMP, daerah tentukan angka final

    Menaker: Pusat siapkan range kenaikan UMP, daerah tentukan angka final

    Kami memberikan panduan berupa range, nanti pemerintah daerah yang menentukan sendiri sesuai dengan kondisi pertumbuhan ekonomi masing-masing daerahnya, inflasinya, kemudian kebutuhan hidup layaknya dia jauh nggak dari upah sekarang

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyatakan pemerintah pusat menyiapkan rentang (range) kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang akan menjadi pedoman nasional, namun keputusan final tetap berada di tangan pemerintah daerah.

    Menurutnya, skema penetapan UMP 2026 besarannya tidak lagi satu angka seperti tahun lalu. Konsep ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168 Tahun 2023 secara menyeluruh yang mempertimbangkan kebutuhan hidup layak, hingga pertumbuhan ekonomi dalam penetapan upah.

    “Kami memberikan panduan berupa range, nanti pemerintah daerah yang menentukan sendiri sesuai dengan kondisi pertumbuhan ekonomi masing-masing daerahnya, inflasinya, kemudian kebutuhan hidup layaknya dia jauh nggak dari upah sekarang,” kata Yassierli setelah rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis.

    Yassierli menjelaskan pendekatan satu angka nasional yang selama ini digunakan, tidak mampu mengatasi disparitas kondisi ekonomi antara daerah, karena itu format baru berupa rentang kenaikan lebih sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi.

    Namun, detail besaran rentang kenaikan UMP masih dirumuskan secara internal pemerintah. Formula baru tersebut juga akan diatur melalui revisi peraturan pemerintah (PP) yang akan segera diumumkan.

    “Tunggu saja dulu ya. Kita revisi PP, nanti sesudah itu oke, nanti kita umumkan,” papar Yassierli.

    Ia juga menegaskan bahwa Dewan Pengupahan Daerah akan memegang peran lebih aktif dalam mengusulkan besaran kenaikan upah sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah.

    “Sesuai amanat dari MK itu, bahwa setiap Dewan Pengupahan Daerah diberikan wewenang untuk mengusulkan besaran kenaikan upahnya kepada Gubernur,” ujarnya.

    Pemerintah menargetkan pengumuman besaran UMP 2026 dilakukan sebelum 31 Desember 2025 agar dapat ditetapkan mulai Januari 2026.

    Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia / Fathur Rochman
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Rakyat Boleh Protes ke Partai Politik jika Anggota DPR Tak Layak

    Rakyat Boleh Protes ke Partai Politik jika Anggota DPR Tak Layak

    Mereka menguji konstitusionalitas Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3. Dalam petitumnya, para pemohon meminta agar rakyat, dalam hal ini konstituen di daerah pemilihan, diberikan hak untuk mengusulkan pemberhentian antarwaktu anggota DPR.

    Mahkamah menilai dalil permohonan para pemohon tidak beralasan hukum. Menurut MK, keinginan para pemohon agar konstituen diberikan hak untuk memberhentikan anggota dewan tidak selaras dengan konsep demokrasi perwakilan.

    Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan hukum mengatakan, Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik.

    Oleh sebab itu, sebagai konsekuensi logisnya, mekanisme pemberhentian antarwaktu (recall) terhadap anggota DPR maupun DPRD juga harus dilakukan oleh partai politik. Mekanisme yang demikian, ucap dia, merupakan wujud pelaksanaan demokrasi perwakilan.

    “Keinginan para pemohon agar konstituen di daerah pemilihan diberi hak yang sama dengan partai politik sehingga dapat mengusulkan pemberhentian antarwaktu anggota DPR dan anggota DPRD, pada dasarnya tidak sejalan dengan demokrasi perwakilan,” katanya.

    Di samping itu, secara teknis, Mahkamah menyebut permohonan para pemohon sama saja dengan melakukan pemilihan umum ulang di daerah pemilihan yang bersangkutan. MK menilai hal itu justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

    “Karena tidak dapat dipastikan pemilih yang pernah memberikan hak pilihnya kepada anggota DPR dan anggota DPRD yang akan diberhentikan pada waktu dilaksanakan pemilihan umum,” imbuh Guntur.

  • MK Sarankan Rakyat Lapor ke Parpol atau Tak Pilih Lagi Anggota DPR yang Tak Layak

    MK Sarankan Rakyat Lapor ke Parpol atau Tak Pilih Lagi Anggota DPR yang Tak Layak

    MK Sarankan Rakyat Lapor ke Parpol atau Tak Pilih Lagi Anggota DPR yang Tak Layak
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Mahkamah Konstitusi (MK) menyarankan masyarakat mengajukan permohonan pemecatan atau pergantian anggota DPR yang kinerjanya tidak layak kepada partai politik.
    Hal ini tertuang dalam pertimbangan putusan MK untuk uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (
    UU MD3
    ) yang meminta agar rakyat dapat memecat anggota DPR.
    “Apabila pemilih menilai terdapat anggota DPR atau DPRD yang tidak layak menjadi anggota DPR atau anggota DPRD, pemilih dapat mengajukan keberatan kepada partai politik bahkan dapat menyampaikan kepada partai politik untuk me-
    recall
    anggota DPR atau anggota DPRD dimaksud,” ujar Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (27/11/2025).
    MK menilai, mekanisme pemecatan anggota parlemen harus dilakukan melalui partai politik karena pemilihan anggota parlemen juga melalui partai politik.
    “Pasal 22E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah mengatur bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sehingga konsekuensi logis dari diterapkannya mekanisme recall terhadap anggota DPR dan anggota DPRD juga harus dilakukan oleh partai politik sebagai wujud pelaksanaan demokrasi perwakilan,” lanjut Guntur.
    Selain itu, Mahkamah menilai masyarakat juga dapat berupaya agar anggota DPR atau DPRD yang kinerjanya dinilai buruk tidak lagi masuk ke parlemen lewat mekanisme pemilihan umum (pemilu).
    “Bahkan sesuai dengan regularitas waktu penyelenggaraan pemilihan, pemilih seharusnya tidak memilih kembali anggota DPR atau anggota DPRD yang dianggap bermasalah pada pemilu berikutnya,” kata hakim lagi.
    Atas pertimbangan ini, MK memutuskan untuk menolak permohonan nomor 199/PUU-XXIII/2025.
    “Mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
    Diberitakan, lima mahasiswa menggugat Pasal 239 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) ke
    Mahkamah Konstitusi
    (MK).
    Kelima Pemohon dalam Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025 tersebut adalah Ikhsan Fatkhul Azis (Pemohon I), Rizki Maulana Syafei (Pemohon II), Faisal Nasirul Haq (Pemohon III), Muhammad Adnan (Pemohon IV), dan Tsalis Khoirul Fatna (Pemohon V).
    Mereka mempersoalkan mekanisme pemberhentian anggota DPR melalui Majelis Kehormatan Dewan (MKD).
    Kelimanya pun meminta adanya mekanisme agar rakyat bisa memberhentikan wakilnya di parlemen.
    “Permohonan
    a quo
    yang dimohonkan oleh para pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah. Para pemohon tidak menginginkan ada lagi korban jiwa akibat kebuntuan kontrol terhadap DPR,” ujar Ikhsan yang hadir secara daring, dikutip Rabu (19/11/2025).
    Kehadiran Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 membuat terjadinya pengeksklusifan partai politik untuk memberhentikan anggota DPR.
    Pasalnya, selama ini, partai politik kerap memberhentikan kadernya yang menjadi anggota DPR tanpa alasan jelas dan tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bertemu Komisi Reformasi Polri, Greenpeace Mengadu Polisi Lindungi Korporasi Perusak Lingkungan

    Bertemu Komisi Reformasi Polri, Greenpeace Mengadu Polisi Lindungi Korporasi Perusak Lingkungan

    Liputan6.com, Jakarta – Country Director Greenpeace untuk Indonesia, Leonard Simanjuntak menyoroti banyaknya purnawirawan Polri yang menjadi bagian dari korporasi.

    Greenpeace menilai hal tersebut menjadi akar masalah sebab membuat polisi melindungi korporasi perusak lingkungan.

    Hal ini disampaikan Leonard saat menghadiri audiensi dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri di Kantor Kementerian Sekretariat Negara Jakarta Pusat, Rabu (26/11/2025). Selain Greepeance, ada pula sejumlah organisasi lingkungan bertemu Komisi Percepatan Reformasi Polri.

    “Soal banyaknya purnawirawan Polri yang menjadi bagian dari korporasi. Dan ini tentu saja tadi yang seperto sampaikan menjadi akar masalah dari perlindungan-perlindungan atau backing yang tidak semestinya kepada korporasi-korporasi perusak lingkungan,” ujar Leonard kepada wartawan usai pertemuan, Rabu (26/11/2025).

    Menurut dia, ada banyak kasus dimana polisi membekingi dan melindungi korporasi lingkungan yang jelas melanggar undang-undang. Leonard juga mengungkapkan soal kekerasan berlebihan yang dialami oleh aktivitas lingkungkan, termasuk saat melakukan aksi damai.

    “Kita soroti penggunaan kekerasan berlebihan di banyak-banyak tempat kepada apa, pejuang-pejuang lingkungan, bahkan kepada aksi-aksi damai yang dilakukan oleh masyarakat, masyarakat adat, komunitas lokal, aktivis, yang kemudian berhadapan dengan kekerasan yang berlebihan dari polisi,” tutur Leonard.

    Disisi lain, dia menyoroti fenomema perwira tinggi Polri di luar instansi kepolisian. Leonard mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil.

    “Karena selama ini memang membuat situasi di mana konflik kepentingan itu menjadi sangat-sangat potensial terjadi atau bahkan sudah terjadi di banyak hal,” tutur Leonard.

     

    PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SIG) memamerkan rumah contoh tipe 36 yang dibangun dalam 15 hari menggunakan semen hijau berbahan dasar limbah proyek IKN.

  • Jimly Ungkap Gagasan Reset Indonesia untuk Evaluasi Reformasi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 November 2025

    Jimly Ungkap Gagasan Reset Indonesia untuk Evaluasi Reformasi Nasional 26 November 2025

    Jimly Ungkap Gagasan Reset Indonesia untuk Evaluasi Reformasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqqie mengungkap gagasan mereset Indonesia dalam pertemuan dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) sekligus Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan.

    Jimly menyebutkan, gagasan itu muncul karena ia menilai arah ketatanegaraan dan penegakan hukum di Indonesia harus dievaluasi secara menyeluruh setelah lebih dari dua dekade reformasi bergulir.
    “Alhamdulillah ketemu pimpinan PAN, maka kami diskusikan mengenai pentingnya Indonesia ini kalau bahasa anak muda, direset. Sesudah 28 tahun sejak ’98 ya kan, reformasi, ini perlu dievaluasi ulang menyeluruh,” kata Jimly seusai pertemuan di rumah dinas Zulhas, Jalan Widya Chandra, Jakarta, Rabu (26/11/2025).
    Jimly menuturkan, evaluasi mencakup struktur parlemen, kekuasaan kehakiman, birokrasi pemerintahan, hingga seluruh aparatur penegak hukum.
    “Bagaimana (evaluasi) tentang struktur parlemennya, bagaimana kekuasaan kehakimannya, kok keadilan kok kayaknya makin menjauh dari rakyat kecil, ya kan. Begitu juga birokrasi pemerintahan,” ungkap Jimly.
    Ia menyoroti bahwa keadilan kini terasa semakin jauh dari rakyat kecil, sementara lembaga penegak hukum justru menghadapi berbagai persoalan serius.
    “Kasus-kasus (penegak hukum) tuh banyak sekali. Artinya semua lembaga penegak hukum kita sedang bermasalah sekarang,” imbuh dia.
    Jimly juga menyinggung maraknya organisasi advokat meski undang-undang mengatur hanya satu organisasi.
    Ia menilai kondisi tersebut membuat penyelesaian persoalan penegakan hukum semakin rumit.
    Jimly menilai ledakan kemarahan publik terhadap institusi negara yang terjadi pada Agustus lalu menjadi menjadi bukti bahwa saluran aspirasi rakyat sedang tersumbat.
    Jimly pun berpandangan, bukan hanya Polri yang harus dibenahi, melainkan seluruh struktur ketatanegaraan, termasuk MPR, DPR, DPD, DPRD, hingga lembaga perwakilan daerah seperti MRP di Papua dan DPRA di Aceh.
    Jimly mengatakan terdapat dua pekerjaan besar yang kini berjalan bersamaan, yakni percepatan
    reformasi Polri
    melalui komisi yang dibentuk Presiden, serta agenda perubahan kelima UUD 1945.
    “Nah, maka kita harus menata kembali sistem ketatanegaraan mulai dengan perubahan kelima ini. Gitu lho. Tapi mulai dulu dengan polisi,” pungkasnya.
    Pertemuan Jimly dan Zulhas juga dihadiri oleh Wakil Ketua Umum PAN sekaligus Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto, Waketum PAN sekaligus Wamen Transmigrasi Viva Yoga Mauladi, dan anggota DPR fraksi PAN Desy Ratnasari serta Ketua DPP PAN sekaligus Menteri Perdagangan Budi Santoso.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penilaian Mahfud MD ke MK Pasca Anwar Usman Paman Wapres Gibran Dipecat

    Penilaian Mahfud MD ke MK Pasca Anwar Usman Paman Wapres Gibran Dipecat

    FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terbaru terkait larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil. Pakar Hukum Tata Negara sekaligus mantan Ketua MK, Prof Mahfud MD menyebut putusan MK Nomor 114/2025 itu bersifat final dan berlaku seketika.

    “Putusan MK itu berlaku sejak diucapkan, sejak palu diketokkan, itu berarti sudah mengikat. Anda suka atau tidak suka itu mengikat begitu diketok,” tegas Mahfud dikutip dari Podcast Terus Terang yang ditayangkan di Youtube, dikutip pada Rabu (26/11).

    Karena itu, menurutnya, seluruh jabatan sipil yang diisi polisi aktif harus segera dikembalikan kepada pejabat sipil. Ketika Kapolri menyatakan ingin membuat pokja terlebih dahulu, Mahfud menilai hal itu tidak menjadi menghambat.

    “Kalau mau dibuat tidak memakan waktu, bisa. Gak perlu waktu seminggu untuk selesai. Ini teknis,” imbuhnya.

    Peristiwa yang dibahas ini terjadi terkait putusan MK pada 13 November 2025, serta rentetan putusan MK sejak polemik putusan Anwar Usman jelang perhelatan Pilpres.

    Mahfud menyinggung bagaimana dinamika MK berubah sejak Anwar Usman diberhentikan.

    “Sejak dia diberhentikan, MK mulai berani mengeluarkan putusan-putusan yang kembali ke zaman-zaman awal,” katanya.

    Putusan ini menjadi penting karena selama bertahun-tahun, frasa atau berdasarkan penugasan Kapolri menjadi dalih untuk menempatkan polisi aktif di berbagai jabatan sipil, bahkan sampai posisi dirjen, sekjen, deputi, dan lainnya.

    Mahfud menyebut ini sebagai “penyelundupan hukum” karena penjelasan undang-undang tidak boleh menambah norma. Ia menjelaskan keras bahwa penjelasan itu tidak boleh memuat norma baru.

  • 7
                    
                        Mahfud Kenang Saat Tokoh NU-Muhammadiyah Bersatu Gugat soal Tambang ke MK
                        Nasional

    7 Mahfud Kenang Saat Tokoh NU-Muhammadiyah Bersatu Gugat soal Tambang ke MK Nasional

    Mahfud Kenang Saat Tokoh NU-Muhammadiyah Bersatu Gugat soal Tambang ke MK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, bercerita kembali ketika para tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bersatu menggugat Undang-Undang pengelolaan Minyak dan Gas Nomor 22 Tahun 2001 ke MK.
    Hal ini diungkapkan Mahfud dalam acara podcast Terus Terang di kanal Youtube pribadinya @MahfudMDOfficial, diunggah Selasa (25/11/2025).
    Dalam podcast tersebut, dia teringat tokoh NU Kyai Hasyim Muzadi yang juga pernah menjadi Ketua Umum
    PBNU
    menjadi pemohon perkara uji materi UU
    Migas
    tersebut, bersama tokoh Islam lainnya, termasuk Professor Din Syamsuddin, yang pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP)
    Muhammadiyah
    .
    “Mereka datang ke kantor saya (mengeluhkan) ‘Pak, pengelolaan tambang Migas ini Pak, korupsi di mana-mana, saya sudah lapor ke DPR enggak didengar, saya minta tolong
    MK
    yang memutus’,” kata Mahfud menirukan para pemohon perkara dengan nomor 36/PUU-X/2012.
    Kedua tokoh organisasi terbesar umat Islam di Indonesia itu kompak datang dan disatukan oleh bentuk ketidakadilan pengelolaan migas yang saat itu dipegang oleh BP Migas.
    Sehingga saat itu, MK yang diketuai oleh
    Mahfud MD
    memutuskan membubarkan BP Migas karena ada beragam bukti pengelolaan tambang di Indonesia penuh dengan korupsi.
    “Antara pengatur dan pelaksana di lapangan itu sama. Yang mengevaluasi sama, korupsinya banyak sekali, sehingga BP Migas saya bubarkan,” ucapnya.
    Dalam ikhtisar putusan MK nomor 36/PUU-X/2012 dijelaskan, ada 42 pemohon dalam perkara tersebut yang merupakan tokoh dan organisasi yang terafiliasi dengan umat Islam.
    Pemohon pertama disebutkan adalah PP Muhammadiyah, kemudian ada juga Hizbut Tahrir Indonesia, Pusat Persatuan Umat Slam, Pusat Syarikat Islam Indonesia, dan Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam.
    Sedangkan perwakilan NU diwakili perseorangan dari Kyai Achmad Hasyim Mizadi. Terlihat juga beberapa tokoh seperti Ali Mochtar Ngabalin, A.M Fatwa, Hendri Yosodiningrat, hingga Eggi Sudjana.
    Mahfud bicara mengenai persatuan umat Islam yang menggugat UU Migas dalam konteks perpecahan di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) beberapa hari ini.
    Dia mengatakan, sebagai NU Kultural yang tak lagi tergabung dalam struktur organisasi tetap merasa peduli dengan wajah teras NU tersebut.
    Diketahui, belakangan beredar surat risalah rapat harian pengurus Rais Syuriyah PBNU yang meminta agar Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mundur dari jabatannya.
    Alasan yang tertera dalam surat itu memang jelas, berkaitan dengan pelaksanaan Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN) NU dan kehadiran pemateri yang terafiliasi zionisme Israel.
    Namun sumber
    Kompas.com
    menyebut, alasan itu hanyalah permukaan, karena Gus Yahya sebelum menjabat sebagai Ketua PBNU pun sudah dikenal memiliki hubungan dengan petinggi Israel.
    Sumber tersebut meyakini, hubungan Gus Yahya dengan petinggi Israel tak ada bedanya dengan Kyai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang mencoba pendekatan berbeda untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
    Sebab itu, isu pengunduran diri lebih kuat dipicu oleh isu lain yang diyakini sebagai isu tambang.
    Mahfud MD juga meyakini demikian. Dia menyebut, isu tambang menjadi pemantik percobaan pelengseran Gus Yahya.
    “Apalagi isunya kan soal tambang, ya. Ada juga soal itu. Saya sudah bicara ke dalam, asal muasalnya soal pengelolaan tambang,” kata Mahfud dalam acara yang sama.
    Mahfud mengatakan, ada dualisme pengelolaan izin tambang yang diberikan pemerintah kepada PBNU sehingga Ketua Umum PBNU Gus Yahya tak lagi sejalan dengan Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf alias Gus Ipul.
     
    Meskipun tak lagi terkait dengan NU Struktural, Mahfud berharap wajah depan ormas Islam terbesar di Indonesia ini bisa diselamatkan.
    Kompleksitas masalah internal NU ini dinilai bisa berbahaya dan memberikan guncangan besar di kalangan umat Islam.
    Pada ujungnya, negara akan merasakan gesekan yang terjadi dan akan menjadi kerugian besar.
    “Saya tidak tahu siapa yang salah siapa yang benar, tapi menurut saya sebaiknya diselesaikan,” kata Mahfud.
    Hal senada juga disampaikan A’wan PBNU Kyai Abdul Muhaimin.
    Dia mengatakan, tak seharusnya forum NU menyelesaikan masalah dengan alot dan gaduh di muka publik seperti saat ini.
    Seharusnya, masalah internal PBNU bisa diselesaikan dengan cara yang seperti sering dikatakan Presiden Keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
    “Saya kira di kalangan NU itu kan biasa gegeran (berdebat) tapi nanti kan hasilnya
    ger-geran
    (tertawa bersama), itu kan kata Gus Dur,” imbuhnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.