Kementrian Lembaga: Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

  • Kasus Ibu Setrika Anak Kandung, Hj Andari: Kedepankan Pendekatan Restoratif

    Kasus Ibu Setrika Anak Kandung, Hj Andari: Kedepankan Pendekatan Restoratif

    Pamekasan (beritajatim.com) – Kasus seorang ibu berinisial SE (30) tega menganiaya anak kandungnya sendiri yang berusia 7 tahun dengan cara menyetrika pada bagian tangan dan kaki di Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung, menjadi atensi publik, termasuk anggota DPR RI Dapil Jatim XI Madura, Hj Ansari.

    Kasus penganiayaan yang terjadi pada 18 Oktober 2025, akhirnya terbongkar setelah ayah kandung korban berinisial SI melapor ke polisi, di mana kasus yang menimpa anak laki-laki berusia 7 tahun tersebut ditangani serius oleh Unit PPA Polresta Pangkalpinang.

    Dari kasus tersebut, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI mendorong perlunya penyelesaian secara tepat dengan mengedepankan hukum restoratif. “Tentu kami sangat sedih mendengar kasus yang terjadi di Pangkal Pinang, terlebih pelaku merupakan orang yang seharusnya menjadi pelindung terdekat,” kata Hj Ansari di Pamekasan, Jum’at (7/11/2025).

    “Namun faktanya justru seorang ibu yang seharusnya menjadi pelindung justru bisa melakukan kekerasan dengan cara seperti itu, dan tentunya kami sangat prihatin karena kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia, trennya terus meningkat,” ungkapnya.

    Dalam kasus tersebut, pendekatan keadilan restoratif bisa menjadi opsi terbaik karena tidak melepaskan aspek hukum dan pada saat yang sama, sekaligus menjaga nilai-nilai kemanusiaan. “Ibu kandung sebagai pelaku tetap harus mendapat hukuman karena melakukan kekerasan, namun proses memulihkan korban dan membangun kembali hubungan keluarga agar lebih aman juga penting,” imbuhnya.

    “Namun kekerasan dalam rumah tangga tidak selalu berdiri sendiri, artinya ada banyak faktor yang melatarbelakangi, seperti ekonomi, sosial, budaya hingga relasi suami istri. Karena itu, regulasi seperti Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak harus diterapkan secara tepat,” tegasnya.

    Politisi perempuan yang juga tercatat sebagai anggota Komisi VIII DPR RI, juga menilai pendekatan keadilan restoratif sebagai opsi konkrit. “Dengan restoratif, ibu mengakui akan kesalahan yang diperbuat, serta bertanggung jawab dan ada kesediaan memperbaikinya demi masa depan anak. Sehingga perlu mediasi dengan melibatkan psikolog dan proses hukum tetap memperhatikan asas kepentingan terbaik untuk anak atau best interest of the child,” jelasnya.

    “Secara umum kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali terjadi tanpa diawali niat jahat dari pelaku, tapi terkadang dipicu akumulasi stres, trauma, sosial dan konflik peran. Sehingga pemahaman akan undang-undang yang memberikan perlindungan juga harus dipahamkan secara lebih mengakar kepada masyarakat,” imbuhnya.

    Tidak hanya itu, Pihkanya juga menyatakan jika kasus tersebut dapat menjadi alarm pemahaman orang tua di Indonesia terhadap jaminan perlindungan anak masih belum kuat. “Untuk itu pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA perlu meningkatkan sosialisasi terkait regulasi dan membuat langkah pencegahan secara lebih strategis,” pungkasnya. [pin/kun]

  • Haji 2026 Didesain Lebih Nyaman untuk Jamaah Perempuan, Ini Langkah Kemenhaj

    Haji 2026 Didesain Lebih Nyaman untuk Jamaah Perempuan, Ini Langkah Kemenhaj

    Jakarta (beritajatim.com)– Penyelenggaraan ibadah haji tahun 2026 bakal membawa perubahan penting, terutama bagi jamaah perempuan. Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) menegaskan komitmennya untuk menambah jumlah pembimbing ibadah (bimbad) perempuan agar pelayanan di Tanah Suci semakin inklusif dan berperspektif gender.

    Menteri Haji dan Umrah, Mochamad Irfan Yusuf, mengatakan peran pembimbing perempuan sangat vital untuk memastikan jamaah wanita mendapat pendampingan yang sesuai dengan kebutuhan ibadah mereka.

    “Kehadiran pembimbing perempuan tidak hanya soal kuota, tetapi juga soal kenyamanan dan perlindungan jamaah wanita agar mereka bisa beribadah dengan tenang dan sesuai tuntunan,” ujar Irfan dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI di Jakarta kemarin melansir portal resmi Nahdlatul Ulama Kamis (7/11/2025).

    Irfan menjelaskan, kehadiran pembimbing perempuan akan memperkuat aspek perlindungan jamaah wanita di berbagai titik pelayanan, mulai dari pemondokan, transportasi, hingga bimbingan rohani. Pendekatan yang sensitif terhadap kebutuhan perempuan diyakini akan meningkatkan kualitas ibadah haji secara keseluruhan.

    “Ini bagian dari visi Kemenhaj untuk menghadirkan penyelenggaraan haji yang ramah jamaah dan berkeadilan bagi seluruh calon haji Indonesia,” ujarnya.

    Untuk mewujudkannya, Kemenhaj tengah menyiapkan pelatihan dan sertifikasi berkelanjutan bagi para pembimbing ibadah. Program pelatihan tersebut mencakup penguatan kompetensi fiqih haji, pedagogi, manajemen kelompok jamaah, serta kemampuan komunikasi yang efektif.

    “Dengan pembimbing yang lebih profesional dan terlatih, pelaksanaan haji 2026 diharapkan berjalan lebih tertib, inklusif, dan berorientasi pada kepuasan jamaah,” tambah Irfan.

    Selain menyiapkan pembimbing, Kemenhaj juga telah menyusun rencana perjalanan ibadah haji 1447 H/2026 M, termasuk jadwal operasional jamaah.

    “Insya Allah, keberangkatan pertama jamaah ke asrama haji dimulai pada 21 April 2026 atau 4 Dzulqa’dah 1447 Hijriyah,” ungkap Juru Bicara Kemenhaj, Ichsan Marsha.

    Sebelumnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) juga menyerukan pentingnya keterlibatan pembimbing perempuan dari berbagai daerah.

    “Pendekatan bahasa, budaya, dan kesehatan reproduksi perempuan perlu dipahami secara khusus. Karena itu, kehadiran pembimbing perempuan dari tiap provinsi sangat dibutuhkan,” tegas Menteri PPPA, Arifatul Choiri Fauzi.

    Arifatul menambahkan, isu kesehatan reproduksi seperti menstruasi atau istihadhah sering kali menjadi kendala dalam pelaksanaan ibadah bagi jamaah perempuan. Dengan adanya pembimbing wanita, persoalan tersebut bisa ditangani secara tepat dan nyaman.

    Langkah kolaboratif antara Kemenhaj dan Kementerian PPPA ini diharapkan menjadi tonggak baru penyelenggaraan haji yang lebih ramah perempuan dan inklusif bagi seluruh jamaah Indonesia. [aje]

  • DPR Apresiasi Kemensos di Bawah Gus Ipul: Cepat Tanggap Tangani Ribuan Bencana

    DPR Apresiasi Kemensos di Bawah Gus Ipul: Cepat Tanggap Tangani Ribuan Bencana

    Jakarta (beritajatim.com) – Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal mengapresiasi langkah cepat dan tanggap Kementerian Sosial (Kemensos) dalam menangani berbagai bencana yang terjadi di Indonesia.

    Apresiasi itu disampaikan Cucun saat Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Evaluasi Pelaksanaan Program Kerja dan Anggaran Tahun 2025 serta Rencana Kerja Tahun 2026 Bidang Kebencanaan.

    Rapat digelar Tim Pengawas DPR RI terhadap Pelaksanaan Penanganan Bencana di Ruang Rapat Badan Anggaran DPR RI, Gedung Nusantara II, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

    “Terima kasih Pak Mensos. Selama ini kita mengapresiasi tanggap dan aksi cepat dari Kemensos setiap ada accident, setiap ada bencana. Kita memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya,” kata Cucun.

    Dalam rapat tersebut, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) memaparkan capaian dan kinerja Kemensos dalam penanganan bencana. Ia menyebutkan, sepanjang satu dekade terakhir (2014–2024) terjadi 38.506 kejadian bencana di Indonesia. Rata-rata alokasi anggaran bencana melalui Kemensos mencapai Rp442,25 miliar per tahun.

    “Kita sudah memberikan bantuan kepada korban bencana dalam bentuk logistik kedaruratan, sebanyak 478.225 jiwa. Kami juga memberikan santunan korban yang meninggal sebanyak 425 jiwa untuk bencana alam maupun bencana non malam. Kemudian santunan lain yang menyasar 9.447 jiwa. Kami juga memberikan bantuan kepada korban bencana non-alam ada 1.078 jiwa,” jelas Gus Ipul.

    Untuk kesiapsiagaan pra-bencana, Kemensos memiliki 1.254 Kampung Siaga Bencana dan 783 Lumbung Sosial yang tersebar di 35 provinsi, 826 kecamatan, dan 211 kabupaten/kota. Lumbung sosial tersebut berisi logistik yang dibutuhkan saat bencana terjadi.

    Selain kesiapan logistik, Kemensos juga memperkuat sumber daya kebencanaan meliputi mitra kerja, alat evakuasi, logistik dan gudang logistik, sistem komunikasi, kendaraan siaga bencana, dan sumber daya manusia kebencanaan. Saat ini, Kemensos memiliki 38.400 personel Taruna Siaga Bencana (Tagana), 951 Pelopor Perdamaian, dan para Pendamping Sosial.

    “Dalam tahun 2025 ini kita melibatkan 11.216 orang Tagana yang turun dan dikerahkan pada saat masa kedaruratan atau bencana,” kata Gus Ipul.

    Menanggapi pemaparan itu, Cucun menegaskan DPR memberikan apresiasi atas langkah Kemensos dalam memperkuat penanggulangan bencana. Ia juga membuka ruang bagi Kemensos untuk mengajukan penyesuaian anggaran apabila dibutuhkan demi kepentingan rakyat.

    “Kalau misalkan nanti anggaran penyesuaian-penyesuaian diperlukan untuk rakyat, silakan tinggal datang ke DPR dan di rapat-rapat kabinet. Yang penting kalau anggaran dibutuhkan rakyat, Pak Mensos harus sudah siap hadir di tengah-tengah rakyat,” tegasnya.

    Rapat tersebut juga dihadiri sejumlah anggota DPR RI di antaranya Maman Imanul Haq (Fraksi PKB), Sigit Purnomo (Fraksi PAN), Obon Tabroni (Fraksi Gerindra), M. Husni (Fraksi Gerindra), dan Sri Wulan (Fraksi NasDem).

    Selain itu hadir Menteri Agama Nasaruddin Umar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi, Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani, dan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Noor Achmad.

    Turut hadir pula Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Veronica Tan, Wakil Menteri ATR/BPN Ossy Dermawan, Sekretaris Utama BNPB Rustian, serta Sekretaris Utama Basarnas Abdul Haris Achadi.

    Pejabat dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PPN/Bappenas, dan Markas Besar TNI-Polri juga hadir dalam rapat tersebut. [tok/ian]

  • Menteri PPPA soal Peristiwa Agustus: Anak Ditipu Ajakan Nonton Konser dan Bola

    Menteri PPPA soal Peristiwa Agustus: Anak Ditipu Ajakan Nonton Konser dan Bola

    Menteri PPPA soal Peristiwa Agustus: Anak Ditipu Ajakan Nonton Konser dan Bola
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan temuan mengejutkan terkait keterlibatan anak dalam aksi demonstrasi yang berujung ricuh di sejumlah daerah pada Agustus lalu, yakni anak-anak diperdaya dengan ajakan nonton konser dan sepak bola.
    “Ada beberapa anak-anak di Jawa Tengah, misalkan, mereka diajak, disediakan kendaraan untuk hadir di satu tempat yang informasinya adalah untuk hadir di acara konser musik dan ada pertandingan sepak bola. Ternyata anak-anak ini diturunkan di masa yang sedang melakukan demonstrasi,” kata Arifah di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) Bareskrim Polri bertema “Sinergi Antar Lembaga untuk Terlindunginya Hak-hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Selasa (4/11/2025).
    Arifah mengatakan, dari hasil kunjungannya ke sejumlah daerah seperti Cirebon dan Surabaya, banyak anak yang ikut dalam aksi demonstrasi karena rasa ingin tahu yang tinggi dan ajakan teman atau pengaruh media sosial.
    “Karena anak umur sekolah rata-rata SMP, SMA, ini kan rasa ingin tahunya sangat tinggi karena dalam masa pencarian jati diri. Jadi mereka ingin tahu demonstrasi itu seperti apa. Ternyata ketika sampai di sana, ada hal-hal yang di luar dugaan,” ungkap dia.
    Ia menuturkan, banyak orang tua merasa kaget dan terpukul ketika mengetahui anaknya berhadapan dengan hukum akibat ikut dalam aksi tersebut.
    “Saya melihat wajah-wajah orang tua yang syok karena anaknya harus berhadapan dengan hukum. Begitu juga dengan si anak yang merasa tidak tahu bahwa apa yang dilakukan ini dampaknya sangat negatif,” katanya.
    Meski begitu, ia memastikan bahwa pemerintah bersama Polri dan lembaga terkait tetap mengedepankan prinsip perlindungan anak dalam proses hukum.
    “Anak-anak yang masih dalam proses hukum ada beberapa ini tetap mendapatkan hak untuk pendidikannya. Jadi mereka tetap bersekolah secara
    online
    ,” tutur Arifah.

    Kolaborasi lintas lembaga, lanjut dia, menjadi kunci agar penegakan hukum terhadap anak tidak mengabaikan hak-hak dasarnya.
    Ia juga berharap forum FGD ini menghasilkan langkah konkret untuk mencegah keterlibatan anak dalam aksi-aksi serupa di masa mendatang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 322 Anak Terlibat Demo Ricuh, Kebanyakan Karena Ikut-Ikutan dan Tak Paham Hukum

    322 Anak Terlibat Demo Ricuh, Kebanyakan Karena Ikut-Ikutan dan Tak Paham Hukum

    Liputan6.com, Jakarta – Polri mencatat sebanyak 332 anak terlibat kasus demo ricuh beberapa waktu lalu. Data anak-anak terlibat kerusuhan saat emo itu dihimpun dari 11 polda di seluruh Indonesia.

    “Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO Bareskrim Polri hingga tanggal 3 November 2025 mencatat terdapat 332 anak yang terlibat dalam kasus kerusuhan pada aksi unjuk rasa di 11 polda di seluruh Indonesia,” kataWakil Kepala Bareskrim Polri Irjen Nunung Syaifuddin membacakan sambutan dari Kabareskrim menyampaikan hal itu dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Sinergi Antar Lembaga untuk Perlindungan Hak Anak-Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, pada Selasa (4/11/2025).

    Acara ini dihadiri Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA), Komnas HAM, KPAI, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.

    Nunung menyebut, Polda Jawa Timur menempati posisi tertinggi dengan total 144 anak, disusul Jawa Tengah 77 anak, kemudian Jawa Barat 34 anak, dan Polda Metro Jaya 36 anak, serta sisanya tersebar di DIY, NTB, Lampung, Kalbar, Sulsel, Bali, dan Sumsel.

    “Dari total 332 anak tersebut, 160 anak telah menjalani diversi, 37 anak ditangani dengan pendekatan restoratif justice, 28 anak berada pada tahap 1, berkas tahap 1, kemudian 73 anak berada pada tahap 2, sementara 34 anak sudah P21,” ujar dia.

    Dia membeberkan, lebih dari 90 persen anak yang terlibat merupakan pelajar SMP hingga SMK, bahkan ada yang masih mengikuti program kejar paket.

  • Menteri PPPA: Pernikahan Usia Anak Cikal Bakal Kekerasan pada Anak dan Perempuan

    Menteri PPPA: Pernikahan Usia Anak Cikal Bakal Kekerasan pada Anak dan Perempuan

    Menteri PPPA: Pernikahan Usia Anak Cikal Bakal Kekerasan pada Anak dan Perempuan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan, pernikahan pada usia anak menjadi pemicu terjadinya kekerasan pada anak dan perempuan.
    “Pernikahan usia anak menjadi salah satu penyebab tingginya angka kekerasan pada anak dan perempuan karena pernikahan ini menjadi cikal bakal adanya kekerasan,” ujar Arifah di Kantor KemenPPPA, Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Menurut Arifah, usia ibu yang belum matang dapat memicu anak stunting karena kondisi tubuh masih dalam masa pertumbuhan dan belum memiliki pengalaman.
     
    “Karena usianya belum matang, sudah melahirkan, anak kurang baik, kurang gizi, stunting, karena masih usia anak, dia harus mengasuh anak, jadi anak ngasih anak, belum memiliki ilmu pengasuhan anak,” ucap dia.
    Bukan cuma itu, pernikahan usia anak juga mengurangi kesempatan untuk melanjutkan sekolah maupun peluang pekerjaan.
    “Kesempatan pendidikan sempit sehingga kesempatan mendapat pekerjaan untuk meningkatkan ekonomi keluarga juga terhambat,” tutur dia.
    Kendati demikian, Arifah menuturkan, di beberapa daerah masih ada tradisi yang mengizinkan pernikahan usia anak (dini) sebagai bagian dari adat dan budaya.
    Untuk diketahui, selama satu tahun ini, Kementerian PPPA mencatat peningkatan pelaporan dan pencatatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
    Hingga 20 Oktober 2025, tercatat 25.627 kasus kekerasan dengan korban sebanyak 27.325 orang.
    Untuk menghadapi itu, Kementerian PPPA telah membentuk 39 Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
    Dengan perkembangan tersebut, hingga Oktober 2025, 34 provinsi dan 389 kabupaten/kota atau 73 persen dari 552 daerah di Indonesia telah memiliki UPTD PPA.
    Kementerian PPPA memastikan akan mengedepankan proses hukum agar para pelaku kekerasan seksual pada anak dan perempuan mendapat hukuman setimpal.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menteri PPPA: Hambatan Terbesar UMKM Perempuan karena Status KTP Ibu Rumah Tangga

    Menteri PPPA: Hambatan Terbesar UMKM Perempuan karena Status KTP Ibu Rumah Tangga

    Menteri PPPA: Hambatan Terbesar UMKM Perempuan karena Status KTP Ibu Rumah Tangga
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi menyoroti kendala yang sering dihadapi para pelaku usaha mikro perempuan, terutama ibu rumah tangga, dalam mengakses permodalan dari lembaga keuangan.
    Menurut Arifah, hambatan terbesar bagi pelaku UMKM perempuan adalah status pekerjaan yang tercantum di Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai ibu rumah tangga, sehingga dianggap tidak memiliki penghasilan tetap.
    “Hambatan terbesar untuk UMKM perempuan adalah karena di kartu identitas KTP perempuan itu sebagai ibu rumah tangga,” ujar Arifah di kantor Kemenko PM, Jakarta, Senin (27/10/2025).
    “Jadi ketika dia mengajukan untuk peminjaman modal itu terkendala karena dia dianggap tidak punya penghasilan,” lanjutnya.
    Arifah mengatakan, pihaknya tengah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta beberapa kementerian lain untuk mencari solusi agar status identitas di KTP tidak menjadi penghalang akses permodalan bagi perempuan.
    “Ini sedang kita coba koordinasikan dengan Kemendagri dan beberapa kementerian bagaimana supaya identitas itu bukan sebagai ibu rumah tangga, sehingga akses untuk peminjaman modal ke bank dan sebagainya bisa diberi kesempatan,” jelasnya.
    Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menegaskan bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan memiliki dampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
    Salah satunya melalui program Permodalan Nasional Madani (PNM).
    Menurutnya, fokus utama pemberdayaan perempuan saat ini adalah pada aspek ekonomi, terutama melalui penguatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
    “Pemberdayaan ekonomi perempuan ini menyangkut aspek pemberdayaan UMKM, di mana UMKM memiliki peran sangat strategis karena berkontribusi sekitar 60 persen terhadap PDB,” jelasnya.
    Cak Imin menekankan, dari total pelaku UMKM di Indonesia, sekitar 60 persen merupakan perempuan, sehingga peningkatan kapasitas ekonomi perempuan akan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi nasional.
    “Beberapa hal yang kita lakukan antara lain mensupport jenis usaha, produk-produk yang tumbuh di masyarakat, termasuk melalui PNM (Permodalan Nasional Madani) yang memiliki berbagai program dasar untuk pemberdayaan perempuan,” tegasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPAI Sebut Vonis Ringan Oknum TNI Penganiaya Pelajar SMP Tak Sebanding

    KPAI Sebut Vonis Ringan Oknum TNI Penganiaya Pelajar SMP Tak Sebanding

    Deli Serdang

    Peradilan Militer menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada Sertu Riza Pahlivi dalam kasus penganiayaan terhadap seorang pelajar SMP di Medan berinisial MHS (15). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyorot vonis 10 bulan penjara untuk Sertu Riza itu.

    “Dari proses yang lama dan putusan tidak sebanding dengan yang dialami korban,” ujar Komisioner KPAI Diyah Puspitarini ketika dihubungi, Senin (27/10/2025).

    Menurut Diyah, hukuman untuk Sertu Riza ini tergolong vonis ringan. Hal ini menjadi sorotan karena korban sampai meninggal dunia.

    “Ya (vonis ringan), anak korban sampai meninggal dunia. Meskipun mereka menyangkal bukan karena tendangan ya,” tutur Diyah.

    Diyah menuturkan pihaknya meminta kasus ini juga diproses pidana umum. “Sejak awal KPAI meminta agar tidak hanya sidang etik tapi juga pidana,” kata Diyah.

    Diberitakan sebelumnya, pelajar kelas III SMP negeri di Medan berinisial MHS meninggal setelah dianiaya oknum TNI. Dari keterangan keluarga, saat kejadian korban tengah menyaksikan tawuran yang sering terjadi di Kabupaten Deli Serdang, Sumut.

    Sertu Riza Pahlivi kemudian divonis 10 bulan penjara. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa. Jaksa sebelumnya menuntut hukuman kepada Riza 1 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara.

    Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengatakan hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak harus memberikan efek jera. Ia meminta Sertu Riza juga diadili di Peradilan Umum.

    “Kementerian PPPA menghormati seluruh proses hukum yang tengah berjalan, termasuk kewenangan peradilan militer. Namun kami mendorong agar seluruh aparat penegak hukum, baik di peradilan umum maupun militer, menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap proses dan putusan. Terlebih, berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelanggaran hukum pidana umum semestinya diproses di peradilan umum, bukan peradilan militer,” kata Arifah.

    Halaman 2 dari 2

    (isa/imk)

  • Menteri PPPA Sesalkan Vonis Ringan Anggota TNI di Deli Serdang

    Menteri PPPA Sesalkan Vonis Ringan Anggota TNI di Deli Serdang

    Menteri PPPA Sesalkan Vonis Ringan Anggota TNI di Deli Serdang
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyesalkan vonis 10 bulan untuk Sertu Riza Pahlivi dalam kasus tewasnya pelajar berinisial MHS di Deli Serdang karena semestinya peradilannya ditempuh di peradilan umum, bukan militer.
    “Kami mendorong agar seluruh aparat penegak hukum, baik di peradilan umum maupun militer, menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap proses dan putusan. Terlebih, berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelanggaran hukum pidana umum semestinya diproses di peradilan umum, bukan peradilan militer,” kata Arifah Fauzi di Jakarta, dilansir
    ANTARA
    , Minggu (26/10/2025).
    Dia menegaskan, kekerasan terhadap anak adalah kejahatan yang harus diusut sampai menghadirkan keadilan.
    “Setiap bentuk kekerasan terhadap anak adalah tindak pidana yang tidak dapat ditoleransi dan harus diproses secara transparan, adil, dan memberikan efek jera yang setimpal,” kata Arifah.
    Pihaknya menegaskan tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan terhadap anak.
    “Negara wajib hadir memastikan keadilan dan perlindungan terbaik bagi setiap anak Indonesia,” kata Menteri Arifatul Choiri Fauzi.
    Namun demikian, Arifah menghormati vonis pengadilan militer yang sudah diketok itu.
    Kasus ini bermula pada 24 Mei 2024, ketika MHS (15) dan temannya berada di lokasi tawuran di Jl Pelican, Deli Serdang.
    Saat aparat membubarkan tawuran, MHS diduga ditangkap dan dianiaya oleh oknum Babinsa hingga mengalami luka berat dan berujung meninggal dunia, meskipun korban tidak terlibat dalam tawuran tersebut.
    Ibu korban kemudian melaporkan kasus ini ke Detasemen Polisi Militer I/5.
    Setelah lebih dari satu tahun proses hukum berjalan, pengadilan militer menjatuhkan vonis kepada pelaku dengan hukuman pidana penjara selama 10 bulan dan pembayaran restitusi sebesar Rp12.777.100.
    Hukuman pidana ini lebih ringan dari ancaman hukuman yang diatur dalam Pasal 76C Jo. Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yaitu 15 tahun penjara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wali Kota Kediri dan Menteri PPPA Ajak Lirboyo Jadi Teladan Pesantren Ramah Anak di Hari Santri 2025

    Wali Kota Kediri dan Menteri PPPA Ajak Lirboyo Jadi Teladan Pesantren Ramah Anak di Hari Santri 2025

    Kediri (beritajatim.com) – Wali Kota Kediri Vinanda Prameswati mendampingi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi dalam Seminar Pesantren Ramah Anak yang diikuti para santriwati Pondok Pesantren Lirboyo, Jumat (24/10/2025). Kegiatan ini digelar dalam rangka Hari Santri Nasional 2025 dengan tema “Dari Pesantren untuk Anak: Membangun Lingkungan Aman dan Bermartabat.”

    Wali Kota Kediri menegaskan bahwa pondok pesantren memiliki peran besar dalam membentuk karakter generasi beriman dan berilmu, sekaligus menghadapi tantangan baru di era digital, terutama dalam hal keamanan dan perlindungan anak. Berdasarkan data DP3AP2KB Kota Kediri, pada tahun 2025 tercatat 42 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, meningkat dari 33 kasus di tahun sebelumnya.

    “Kenaikan ini menjadi perhatian kita semua. Namun kami juga mengapresiasi keberanian para pelapor yang memanfaatkan kanal pengaduan seperti Call Center PPA Kota Kediri. Ini menunjukkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu perlindungan anak,” ujar Mbak Wali Vinanda Prameswati.

    Ia menambahkan bahwa upaya melindungi anak di lingkungan pesantren merupakan tanggung jawab bersama. Pemerintah Kota Kediri siap berkolaborasi dengan pondok pesantren untuk mewujudkan ekosistem pendidikan yang aman, inklusif, dan bermartabat bagi para santri.

    “Kami ingin setiap santri dan santriwati dapat belajar dengan tenang, tumbuh percaya diri, dan dibimbing dengan kasih sayang. Anak yang tumbuh di lingkungan aman akan menjadi generasi kuat, berilmu, dan berakhlak mulia,” tegasnya.

    Sementara itu, Menteri PPPA Arifah Fauzi menilai pesantren memiliki peran strategis dalam menyiapkan generasi unggul menuju Indonesia Emas 2045. Menurutnya, pemerintah berkomitmen mendorong terbentuknya pesantren ramah anak sebagai bagian dari ekosistem perlindungan anak nasional.

    “Kolaborasi dengan pesantren menjadi langkah penting agar setiap anak terlindungi dan mendapatkan haknya atas pendidikan yang aman serta bermartabat,” tutur Menteri Arifah.

    Ia memaparkan, hasil survei nasional menunjukkan 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dan 1 dari 2 anak pernah menjadi korban kekerasan, dengan kasus terbanyak terjadi di lingkungan rumah tangga. Lima faktor utama penyebabnya meliputi masalah ekonomi, pola asuh, pengaruh media sosial, lingkungan, dan pernikahan usia anak.

    “Penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak bisa dilakukan sendiri. Diperlukan kerja sama lintas sektor, termasuk dengan pesantren, agar pencegahan bisa dilakukan sejak dini,” tegasnya.

    Dalam kesempatan tersebut, Pondok Pesantren Lirboyo menerima bantuan satu ton ikan laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, serta beasiswa pendidikan untuk santri berprestasi dari Baznas dan PT Grab Indonesia.

    Kegiatan ini juga dihadiri Pengasuh Ponpes Lirboyo KH. Abdullah Kafabihi Mahrus, Wakil Wali Kota Kediri KH. Qowimuddin, Ketua TP PKK Faiqoh Azizah Muhammad Qowimuddin Thoha, jajaran Kementerian PPPA, serta tokoh pesantren dan OPD Kota Kediri. Seminar berlangsung hangat dan partisipatif, menegaskan komitmen bersama untuk menjadikan pesantren sebagai lingkungan aman dan berdaya bagi anak-anak Indonesia. [nm/ian]