Kementrian Lembaga: MA

  • Mahkamah Agung India Perintahkan Penangkapan Ribuan Anjing Liar

    Mahkamah Agung India Perintahkan Penangkapan Ribuan Anjing Liar

    Jakarta

    Perintah penangkapan anjing liar oleh Mahkamah Agung India diputuskan untuk merespon sekitar 2000 kasus gigitan anjing harian dan penularan rabies yang terjadi di ibu kota New Delhi.

    Selama enam hingga delapan minggu ke depan, sebanyak 5000 anjing liar terutama di daerah pemukiman padat, sekolah, area publik dan komersil seperti taman dan pasar-pasar tradisional akan ditangkap dan dipindahkan ke tempat penampungan. Mereka dilarang untuk dilepaskan kembali ke lingkungan asal.

    Sekitar 60.000 ribu anjing berkeliaran di jalanan ibu kota India berdasarkan data pada tahun 2013, kini jumlahnya diperkirakan mencapai satu juta ekor.

    Meski sebagian besar anjing yang berkeliaran di jalanan New Delhi cendrung jiinak dan tidak berbahaya, pengadilan menilai jumlah insiden gigitan anjing liar “sangat mengkhawatirkan.” “Bayi dan anak-anak kecil tidak boleh menjadi korban anjing liar dalam keadaan apa pun,” menurut putusan pengadilan.

    Kapil Mishra, seorang pejabat pemerintah Delhi, menyambut baik putusan tersebut dan mengatakan hal itu merupakan langkah menuju pembebasan New Delhi “dari ketakutan akan rabies dan hewan liar.”

    Selain perintah penangkapan, pengadilan juga menginstruksikan pembentukan layanan hotline 24 jam untuk pelaporan gigitan anjing. Otoritas di penjuru negeri kini ditugaskan mendata lokasi-lokasi di mana vaksin antirabies tersedia.

    Rencananya, sebanyak 12 tempat penampungan anjing liar akan didirikan di tiap zona administratif Delhi. Namun sejauh ini belum ada tempat penampungan yang sudah beroperasi penuh.

    Kritik keras dari ahli dan para aktivis hewan

    “Di mana ada tempat untuk menampung ribuan anjing?” Tanya ahli biologi konservasi Bahar Dutt, dalam postingannya di X, menyebut perintah pengadilan tertinggi sebagai “langkah yang tidak praktis dan tidak ilmiah.”

    “Fokus seharusnya pada solusi yang manusiawi untuk anjing jalanan di Delhi seperti vaksinasi massal dan sterilisasi, bukan sekedar menyingkirkan mereka,” tulis Vidit Sharma, pendiri organisasi kesejahteraan hewan Save A Stray di media sosial.

    Dua hari menyusul keputusan MA, sekitar empat puluh pegiat hewan melakukan demonstrasi di India Gate, New Delhi menolak penangkapan, sterilisasi, dan meletakkan anjing di tempat penampungan yang tidak manusiawi sebagai solusi.

    Puluhan orang yang terlibat dalam demonstrasi akibatnya ditangkap dan diamankan kepolisian.

    Para pegiat turut memperingatkan, betapa pemindahan anjing liar dari lingkungannya akan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem. Ruang kosong yang biasanya ditempati anjing-anjing tersebut berpotensi digantikan oleh hewan lainnya.

    Sebaliknya mereka mendesak pemerintah menerapkan aturan ketat pengendalian kelahiran hewan (animal birth control rules) lewat sterilisasi dan vaksinasi sebelum melepaskan anjing-anjing tersebut kembali ke lingkungan.

    Mahkamah Agung India turut menegaskan bahwa tiap individu serta organisasi yang menghalangi penangkapan anjing akan dikenakan hukuman atas tindakan penghinaan pengadilan.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Sorta Caroline
    Editor: Rizki Nugraha

    Tonton juga video “Pro Kontra Putusan Mahkamah Agung India Terkait Anjing Liar” di sini:

    (ita/ita)

  • Ma’ruf Amin Sebut Prabowo Punya Utang Janji Bentuk Badan Ekonomi Syariah

    Ma’ruf Amin Sebut Prabowo Punya Utang Janji Bentuk Badan Ekonomi Syariah

    Jakarta

    Wakil Presiden RI periode 2019-2024 Ma’ruf Amin mengungkapkan janji Presiden Prabowo Subianto yang akan membentuk Badan Ekonomi Syariah. Janji tersebut belum terealisasi hingga saat ini, meski Prabowo sudah 10 bulan menjabat.

    “Saya sebenarnya lagi nunggu berita dari Bu Sri (Menteri Keuangan Sri Mulyani) ini tentang badan. Pak Prabowo bilang kepada saya, ‘Saya masih punya utang sama Pak Kiai tentang Badan Ekonomi Syariah ini’,” kata Ma’ruf Amin dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, Rabu (13/8/2025).

    Ma’ruf Amin menyebut tujuan pembentukan Badan Ekonomi Syariah adalah untuk mengemban fungsi penggerak lintas sektor yang tidak hanya terbatas pada industri keuangan syariah, tetapi juga mencakup sektor industri halal hingga kewirausahaan berbasis pesantren dan komunitas.

    “Supaya ada yang menavigasi jalannya semua ini, melalui Badan Ekonomi Syariah itu,” ucapnya.

    Dengan adanya Badan Ekonomi Syariah, Ma’ruf Amin yakin Indonesia bisa menduduki peringkat pertama sebagai ekonomi syariah terbesar di dunia. Saat ini, Indonesia berada di peringkat ketiga berdasarkan State of the Global Islamic Economy (SGIE) Report 2024/2025.

    “Kalau nggak salah dari nomor 15, kemudian nomor 8, kemudian nomor 5, sekarang nomor 3. Jadi kalau kita ke nomor 1, itu dari 3 ke 1 kan dekat. Kalau dari 15 sampai nomor 3 itu kan jauh, itu kita bisa kejar dalam tempo 10 tahun. Kalau nomor 3 ke 1 itu cuma dua lompatan, saya kira 1-2 tahun harus bisa kita lalui untuk menjadi nomor 1 di dunia,” ujar Ma’ruf Amin.

    Selain Badan Ekonomi Syariah, Ma’ruf Amin menyebut Indonesia akan memiliki Undang-Undang (UU) khusus yang mengatur tentang pengembangan ekonomi syariah. Regulasi ini dinilai penting untuk memperkuat ekosistem syariah di Indonesia, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim dan potensinya sangat besar.

    “Kemarin saya bicara dengan Ketua Komisi XI DPR RI, kata Pak Misbakhun, DPR akan menginisiasi UU ini. Jadi saya kira tinggal… tinggal apa ya? Tinggal tok saja kalau begitu,” pungkasnya.

    (aid/rrd)

  • Otorita IKN Lelang 24 Proyek Senilai Rp 18,47 T, Gedung DPR hingga MA

    Otorita IKN Lelang 24 Proyek Senilai Rp 18,47 T, Gedung DPR hingga MA

    Jakarta

    Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) melelang sebanyak 24 proyek pembangunan, pengawasan dan manajemen senilai Rp 18,47 triliun sebagai bagian dari pembangunan Nusantara Tahap II. Proyek-proyek yang dilelang mayoritas merupakan bagian dari infrastruktur kawasan legislatif dan yudikatif.

    Dikutip dari Sistem Informasi Pengadaan Nasional INAPROC, Rabu (13/8/2025), informasi lelang proyek-proyek tersebut mulai unggah sejak 31 Juli 2025. Waktu dibukanya lelang beragam, di mana pembukaannya mulai pada bulan Agustus ini. Sedangkan pengumuman lelang dan penandatanganan kontrak dijadwalkan pada akhir Oktober 2025.

    Dari 24 proyek pembangunan dan pengawasan tersebut, proyek dengan nilai lelang paling tinggi ialah konstruksi gedung dan kawasan DPR II senilai Rp 2,2 triliun. Sedangkan nilai terendahnya ialah untuk untuk supervisi pembangunan embung KIPP 1C senilai Rp 14,5 miliar.

    Dalam periode lelang kali ini, setidaknya terdapat 13 proyek pembangunan senilai Rp 18,13 triliun. Sementara sisanya sekitar Rp 340 miliar merupakan proyek pengawasan dan manajemen.

    Ketigabelas proyek tersebut terdiri atas tujuh pembangunan gedung senilai Rp 13,1 triliun, tiga paket jalan kawasan kompleks senilai Rp 4,08 triliun, dua pembangunan embung senilai Rp 595 miliar, dan satu proyek pembangunan kolam retensi Rp 355 miliar.

    Secara keseluruhan, proyek pembangunan hingga manajemen yang dilelangkan di kawasan yudikatif sendiri nilainya mencapai sekitar Rp 5,3 triliun. Sedangkan total anggaran kawasan legislatif yang dilelang bulan ini mencapai sekitar Rp 10,94 triliun.

    Setidaknya ada tiga paket pekerjaan pembangunan di kawasan yudikatif senilai Rp 5,2 triliun. Paket tersebut terdiri atas pembangunan gedung Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Masjid IKN, dan Plaza Keadilan senilai Rp 3,3 triliun. Lalu ada juga satu pembangunan jalan senilai Rp 1,9 triliun.

    Sedangkan untuk kawasan legislatif, setidaknya ada enam paket pekerjaan pembangunan senilai Rp 10,78 triliun. Paket tersebut terdiri atas pembangunan lima gedung yakni gedung DPR I, DPR II, DPD, Sidang Paripurna, dan MPR senilai Rp 9,8 triliun. Lalu ada juga pembangunan jalan kawasan kompleks senilai Rp 982,1 miliar.

    (acd/acd)

  • Kata Tom Lembong soal Manisnya Abolisi Tak Dirasa Terdakwa Kasus Gula

    Kata Tom Lembong soal Manisnya Abolisi Tak Dirasa Terdakwa Kasus Gula

    Jakarta

    Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong telah bebas dari penjara usai mendapat abolisi dari Presiden Prabowo Subianto. Tom pun buka suara terkait nasib berbeda yang dialami terdakwa lain di kasus ini.

    Sebagai informasi, Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung pada Oktober 2024. Selain Tom, Kejagung juga menetapkan Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) sebagai tersangka saat itu.

    Kejagung kemudian melakukan pengembangan kasus dan menetapkan sembilan orang sebagai tersangka baru dalam kasus tersebut. Mereka ialah:

    1. Tonny Wijaya NG (TWN) selaku Direktur Utama PT Angels Products (PT AP) tahun 2015-2016;
    2. Wisnu Hendraningrat (WN) selaku Presiden Direktur PT Andalan Furnindo (PT AF) tahun 2011-2024;
    3. Hansen Setiawan (HS) selaku Direktur Utama PT Sentra Usahatama Jaya (PT SUJ) tahun 2016;
    4. Indra Suryaningrat (IS) selaku Direktur Utama PT Medan Sugar Industry (PT MSI) tahun 2016;
    5. Then Surianto Eka Prasetyo (TSEP) selaku Direktur Utama PT Makassar Tene (PT MT) tahun 2016;
    6. Hendrogianto Antonio Tiwon (HAT) selaku Direktur PT Duta Sugar Internasional (PT DSI);
    7. Ali Sanjaya B (ASB) selaku Direktur Utama PT Kebun Tebu Mas (PT KTM);
    8. Hans Falita Hutama (HFH) selaku Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur (PT BMM);
    9. Eka Sapanca (ES) selaku Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama (PT PDSU) tahun 2016.

    Tom Lembong Diadili dan Divonis Bersalah

    Proses hukum kemudian berjalan hingga ke meja hijau. Tom Lembong didakwa melakukan korupsi terkait impor gula yang disebut jaksa merugikan negara Rp 578 miliar.

    Setelah melalui proses persidangan, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta dalam kasus korupsi impor gula. Hakim menyatakan perbuatan Tom menyebabkan kerugian negara Rp 194 miliar yang menurut hakim merupakan keuntungan yang seharusnya didapatkan PT PPI selaku BUMN.

    Hakim menyatakan Tom Lembong tak menikmati hasil korupsi tersebut. Hakim tak membebankan uang pengganti terhadap Tom Lembong. Vonis itu langsung dilawan Tom Lembong dengan mengajukan banding.

    Permohonan banding Tom Lembong didaftarkan lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa (22/7/2025). Masib Tom Lembong berubah mendadak pada Kamis (31/7/2025). Pemerintah dan DPR sepakat memberikan abolisi bagi Tom Lembong.

    Pemberian abolisi oleh Presiden Prabowo membuat proses peradilan terhadap Tom Lembong, yang telah mengajukan banding, dihentikan. Tom pun bebas dari Rutan Cipinang pada Jumat (1/8).

    “Saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Bapak Prabowo Subianto atas pemberian abolisi,” ucap Tom Lembong.

    Kejagung Lanjutan Proses Hukum Terdakwa Lain

    Kejagung menegaskan proses hukum terhadap terdakwa lain dalam kasus ini tetap dilanjutkan. Kejagung mengatakan abolisi Tom Lembong tidak membuat terdakwa lain otomatis bebas.

    “Perlu digarisbawahi bahwa pemberian abolisi dari Presiden terhadap saudara Tom Lembong ini kan sifatnya personal. Bagi kami proses hukum terhadap yang lain tetap berjalan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna kepada wartawan, Rabu (6/8/2025).

    Anang mengatakan pemberian abolisi merupakan hak Presiden. Dia menjelaskan abolisi tidak menghapus perkara korupsi impor gula.

    “Artinya, hanya berlaku personal terhadap abolisinya. Dan abolisi juga memang sudah benar, itu kan hak Presiden, dalam hal ini hak prerogatif yang dijamin oleh undang-undang. Oh nggak-nggak (menghapus perkara). Hanya proses hukum terhadap yang bersangkutan, personal. Terhadap yang lainnya tetap berlanjut proses hukum,” ujarnya.

    Sebagai informasi, Charles Sitorus juga telah divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 750 juta dalam kasus yang sama. Charles telah mengajukan banding atas vonis itu. Sementara, terdakwa lainnya masih menjalani proses persidangan.

    Respons Tom Lembong soal Beda Nasib

    Tom Lembong tidak banyak bicara soal beda nasib dengan terdakwa lain dalam kasus impor gula. Kata Tom Lembong, belum waktunya dia mengomentari perihal itu.

    “Itu rasanya belum waktunya saya mengomentari,” kata Tom kepada wartawan di kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (12/8/2025).

    Dia mengaku ingin memberi ruang kepada pihak terkait untuk mengomentari hal itu. Tom kini sibuk membuat laporan terkait proses hukum yang sempat dijalaninya ke Mahkamah Agung, Komisi Yudisial hingga Ombudsman.

    “Eloknya, etikanya, mungkin saya mau beri ruang dulu kepada pemerintah, kepada pejabat yang terkait untuk mengomentari hal itu, pada saat ini ya,” tutur Tom.

    Tom mengaku ingin cepat move on dari kasus korupsi sempat membuatnya menjadi tahanan. Dia juga mengaku ingin ada perbaikan dalam sistem penegakan hukum.

    “Saya berharap bahwa langkah korektif yang diambil oleh eksekutif pemerintah dan legislatif pemerintah secara gabungan melalui amnesti dan abolisi bisa menggeser dari ranah politik. Sebuah perkara yang seharusnya dijalankan secara profesional sesuai prosedur, sesuai hukum. Bukan sesuai hitungan politik atau motivasi politik,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 4

    (haf/haf)

  • India Geger Harta Warisan Miliuner Rp 58,6 T, Ibu & Istri Berebut

    India Geger Harta Warisan Miliuner Rp 58,6 T, Ibu & Istri Berebut

    Jakarta,CNBC Indonesia – Perebutan harta terjadi di keluarga kaya India, pemilik perusahaan komponen mobil terkemuka Sona Comstar. Ibu dan istri sampai terlibat konflik.

    Hal ini terjadi setelah crazy rich Sunjay Kapur (53), meninggal dunia pada 12 Juni lalu saat bermain polo di Surrey, Inggris. Mengutip BBC News Selasa (12/8/2025), masalah suksesi telah menjadikan Kapur dan keluarganya subjek spekulasi media. 

    Perlu diketahui, ibu Kapur, Rani Kapur, merupakan mantan pimpinan Sona Comstar. Pada 24 Juli, Rani Kapur mengirim surat kepada dewan direksi Sona Comstar, mempertanyakan kematian putranya dan penunjukan yang dilakukan oleh perusahaan setelah itu.

    Dalam surat itu, ia ia menuduh bahwa kematian Kapur terjadi dalam “keadaan yang sangat mencurigakan dan tidak dapat dijelaskan”. Padahal kantor koroner di Surrey sudah menutup penyelidikan.

    Rani Kapur pun mengatakan dirinya telah dipaksa menandatangani dokumen-dokumen penting di bawah tekanan. Ini terjadi baik mental maupun emosional akibat kematian putranya.

    “Sangat disayangkan bahwa saat keluarga dan saya masih dalam masa berkabung, beberapa orang memilih ini sebagai waktu yang tepat untuk merebut kendali dan mengambil alih warisan keluarga,” tulisnya.

    Ia juga meminta dewan direksi Sona Comstar untuk menunda rapat umum tahunan (AGM), yang dijadwalkan pada 25 Juli, untuk memutuskan direktur baru yang akan menjadi perwakilan keluarga. Ia menentang rapat AGM yang tiba-tiba menunjuk istri Sunjay, Priya, sebagai direktur non-eksekutif.

    Dalam suratnya, Rani Kapur mengklaim ia adalah satu-satunya penerima manfaat dari warisan mendiang suaminya dalam surat wasiat yang ditinggalkan pada tahun 2015 yang mencakup saham mayoritas di Sona Group, termasuk Sona Comstar. Perusahaan itu sendiri memiliki nilai US$3,6 miliar (Rp58,6 triliun).

    Sementara itu, manajemen perusahaan telah dengan tegas membantah klaim Rani Kapur. Mereka mengatakan bahwa ia tidak memiliki “peran, baik langsung maupun tidak langsung, di Sona Comstar sejak setidaknya tahun 2019”.

    Dewan direksi juga mengatakan tidak ada paksaan untuk tunduk pada pemberitahuannya dan bahwa AGM dilakukan “sepenuhnya sesuai dengan hukum”. Perusahaan telah mengeluarkan pemberitahuan hukum kepada Rani Kapur, memintanya untuk berhenti menyebarkan pernyataan “palsu, jahat, dan merusak”.

    Sebenarnya, pemegang saham publik- termasuk bank, reksadana, dan lembaga keuangan- memiliki 71,98% Sona Comstar, yang terdaftar di bursa India sebagai Sona BLW. Sisa 28,02% dipegang oleh promotor melalui perusahaan bernama Aureus Investments Pvt Ltd.

    Menurut pengajuan perusahaan, Sunjay Kapur adalah satu-satunya penerima manfaat dari RK Family Trust. Ia mengendalikan saham promotor di Sona Comstar melalui Aureus Investments.

    “Melihat struktur perusahaan, saat ini, Rani Kapur tidak terdaftar sebagai pemegang saham sehingga tidak memiliki hak suara. Tetapi ada masalah RK Family Trust dan investasi Aureus. Kita tidak bisa benar-benar tahu apakah Rani memiliki kepentingan langsung di sana sampai perjanjiannya dipublikasikan,” kata Tushar Kumar, seorang litigator perusahaan di Mahkamah Agung India.

    Perusahaan Keluarga di India dan Perseteruan Waris

    Sekitar 90% perusahaan yang terdaftar di India dikendalikan oleh keluarga. Namun, menurut PwC, hanya 63% yang memiliki rencana suksesi formal.

    Hal ini karena struktur seringkali dipenuhi dengan perseteruan suksesi pahit. Mukesh Ambani, orang terkaya di Asia misalnya.

    Ia pernah terlibat dalam perebutan kekuasaan yang sangat terbuka dengan adik laki-lakinya atas kerajaan Reliance yang luas setelah ayah mereka, Dhirubhai Ambani, meninggal pada tahun 2002 tanpa meninggalkan surat wasiat. Ibunya, Kokilaben, yang menjadi penengah perdamaian bertahun-tahun kemudian.

    Baru-baru ini, perselisihan keluarga meletus di Raymond Group, perusahaan tekstil paling terkenal di India, dan di antara Lodha bersaudara, yang perusahaannya membangun menara Trump di Mumbai.

    Selain itu, Keluarga Bajaj, salah satu konglomerat terbesar di negara itu, menghadapi pertikaian internal mengenai suksesi hingga pengadilan turun tangan pada tahun 2000-an untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

    Tahun lalu, salah satu rumah bisnis tertua di India, Godrej Group yang bergerak dari kunci hingga real estat, mengumumkan perpisahan bisnis multi-miliar dolarnya yang tidak biasa damai. Kavil Ramachandran dari Indian School of Business mengatakan sebagian besar bisnis keluarga di India beroperasi dengan “ambiguitas signifikan tentang hal-hal spesifik”.

    “Salah satunya adalah siapa yang memiliki berapa banyak dan siapa yang mewarisi dan kapan,” tambahnya.

    Para ahli mengatakan keterlibatan keluarga tanpa meritokrasi dan tidak adanya perjanjian formal memperumit masalah.

    “Setelah kematian patriark (atau bahkan sebelumnya), perselisihan muncul, baik mengenai kepemilikan maupun manajemen, dan terlalu banyak hal yang telah terjadi sehingga masalah tidak dapat diselesaikan secara damai,” kata Ketan Dalal, yang merupakan konsultan bisnis keluarga India tentang struktur kepemilikan.

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Tak Akan Laporkan Hakim ke Polisi, Tom Lembong: Rasanya Tidak Tepat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        12 Agustus 2025

    Tak Akan Laporkan Hakim ke Polisi, Tom Lembong: Rasanya Tidak Tepat Nasional 12 Agustus 2025

    Tak Akan Laporkan Hakim ke Polisi, Tom Lembong: Rasanya Tidak Tepat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Perdagangan (Mendag) era pemerintahan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong memastikan, tidak akan melaporkan majelis hakim yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepadanya ke polisi.
    Diketahui, Tom Lembong sempat dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, dalam kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) tahun 2015-2016.
    Hingga akhirnya, pada 1 Agustus 2025, Tom Lembong dibebaskan karena mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.
    Tom Lembong menilai, tindakan melaporkan hakim ke polisi bukanlah langkah hukum yang tepat.
    “Misalnya, kita tidak mempolisikan hakim. Itu rasanya sangat tidak tepat, ya, kalau umpanya kita sampai mempolisikan hakim, rasanya sangat-sangat tidak tepat,” kata Tom Lembong saat ditemui di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (12/8/2025).
    Menurut dia, langkah yang tepat adalah melaporkan hakim kepada lembaga yang menaunginya, yakni Mahkamah Agung (MA), serta lembaga yang bertugas mengawasi hakim yaitu Komisi Yudisial (KY).
    Untuk itu, Tom mengungkapkan, sudah melakukan kedua langkah tersebut, yakni melaporkan tiga hakim yang menyidangkan perkaranya ke Badan Penngawas (Baswas) MA dan KY.
    “Tapi kan kita melaporkan hakim kepada atasannya, ke MA yang salah satu tugas dan fungsinya adalah soal pengawasan. Kami melaporkan hakim ke Komisi Yudisial yang memang ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim dan proses-proses peradilan,” ujarnya.
    Tom Lembong juga menjelaskan bahwa dia akan mengikuti peraturan yang berlaku terkait pelaporan-pelaporan yang dilakukannya.
    “Kami sejauh mungkin menjalankan pelaporan itu sesuai jalurnya. Jadi, kami tidak serta-merta melaporkan yang kami laporkan kepada aparat yang tidak sesuai undang-undang peraturan ketentuan,” katanya.
    Atas dasar itu, Tom Lembong dan kuasa hukumnya juga melaporkan dugaan malaadministrasi dalam proses audit perhitungan kerugian negara dalam kasus importasi gula yang dilakukan auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ke Ombudsman RI.
    Sebagaimana diberitakan, usai bebas dari penjara karena mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto, Tom Lembong mengadukan majelis hakim yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara ke Mahkamah Agung (MA) pada 4 Agustus 2025.
    Kemudian, Tom Lembong melaporkan tiga majelis hakim yang memutus perkaranya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu ke Komisi Yudisial (KY) pada Senin, 11 Agustus 2025.
    Ketiga hakim yang dilaporkan Tom Lembong itu adalah:
    Tom mengatakan, pelaporannya ke KY sebagai bentuk komitmen dan keseriusan untuk menggugah nurani para pejabat Komisi Yudisial untuk perbaikan sistem peradilan.
    “Ya supaya bersama sama kita bisa memanfaatkan momentum dari abolisi ini untuk mendorong perbaikan yang dapat kita dorong. Sayang kan kalau momentum ini tidak dimanfaatkan untuk kebaikan bersama ya,” kata Tom saat tiba di Gedung KY, Jakarta Pusat, saat itu.
    Kemudian, Tom memastikan bahwa tidak ada niat destruktif dalam laporannya terhadap hakim yang memvonisnya ke KY.
    “Kami menyampaikan bahwa tujuan kami dalam mengajukan laporan termasuk para hakim Komisi Yudisial itu 100 persen motivasi kami adalah konstruktif. Tidak ada 0,1 persen pun niat destruktif,” ujarnya.
    Tom juga menegaskan bahwa tidak ada niatnya untuk merusak karir seseorang, kelompok, atau institusi dalam laporan tersebut.
    Selanjutnya, Tom melaporkan tim auditor BPKP ke Ombudsman RI atas dugaan malaadministasi dalam proses perhitungan kerugian negara dalam kasus importasi gula di Kemendag tahun 2015-2016.
    Hingga akhirnya, pada Selasa (12/8/2025), Tom Lembong didampingi kuasa hukumnya, mendatangi kantor Ombudsman untuk melakukan audiensi terkait pelaporannya.
    Pasalnya, Tom menilai, hasil audit BPKP itu membuat dirinya dibawa sampai ke persidangan dan sempat divonis 4,5 tahun penjara.
    Diketahui, Tom Lembong bebas usai mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto pada 1 Agustus 2025.
    Pantauan
    Kompas.com
    , Tom Lembong keluar dari Rutan Cipinang, Jakarta Timur, sekitar pukul 22.06 WIB.
    Tom Lembong terlihat langsung disambut oleh sang istri dan juga didampingi oleh Anies Baswedan dan sejumlah kuasa hukumnya.
    Sebelumnya, Tom Lembong diputus bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan dijatuhi hukuman pidana 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 miliar subsidair enam bulan kurungan.
    Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Tom Lembong terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait kebijakan importasi Gula di Kemendag, sebagaimana dakwaan primair jaksa penuntut umum, yakni Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Hanya saja, dalam putusannya, majelis hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti karena Tom Lembong dinilai menikmati hasil tindak pidana korupsi dari kebijakan importasi gula di Kemendag tahun 2015-2016.
    “Kepada terdakwa tidak dikenakan ketentuan Pasal 18 Ayat 1 Huruf b UU Tipikor karena faktanya terdakwa tidak memeroleh harta benda dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa,” kata hakim anggota Alfis Setiawan dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada 18 Juli 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Beda Vonis Suami Sandra Dewi dan Pendiri Sriwijaya Air pada Kasus Korupsi Timah

    Beda Vonis Suami Sandra Dewi dan Pendiri Sriwijaya Air pada Kasus Korupsi Timah

    Bisnis.com, JAKARTA – Nasib suami dari pesohor Sandra Dewi, Harvey Moeis dengan pendiri maskapai Sriwijaya Air, Hendry Lie sedikit berbeda pada kasus korupsi tata niaga timah.

    Pasalnya, Hendry Lie tetap divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar pada sidang banding di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.

    Berdasarkan sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, majelis hakim PT Jakarta telah menjatuhkan hukuman pidana yang sama dengan pengadilan tingkat pertama.

    “Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 14 tahun dan denda sebesar Rp1.000.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” dalam amar putusan banding oleh PT Jakarta, dikutip Senin (11/8/2025).

    Selain pidana badan, Majelis Hakim PT Jakarta juga menetapkan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti Rp1,05 triliun untuk Beneficial Ownership PT Tinindo Inter Nusa itu.

    Adapun, apabila Hendry Lie tak bisa membayar uang pengganti itu selama satu bulan setelah berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh jaksa untuk dilelang.

    Sementara itu, jika harta benda Hendry Lie masih tidak menutupi uang pengganti maka kewajiban itu bakal diganti dengan pidana penjara selama delapan tahun dengan dikurangi masa tahanan sebelumnya.

    “Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp1.052.577.589.599,19,” tambah hakim.

    Selain itu, hakim juga menyatakan sejumlah aset tanah dan bangunan di Badung, Bali agar dirampas negara untuk diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti atas perkara Hendry Lie.

    Beda Vonis Harvey Moeis

    Sementara itu, vonis berbeda dijatuhkan kepada Harvey Moeis. Majelis hakim PT Jakarta justru memperberat vonis terdakwa kasus korupsi timah Harvey Moeis selama 20 tahun penjara.

    Ketua Majelis Hakim, Teguh Harianto menyampaikan suami Sandra Dewi itu telah sah dan terbukti bersalah melakukan korupsi dengan terdakwa lainnya.

    “Menjatuhkan pidana kepada HM selama 20 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 8 bulan kurungan,” ujarnya di PT Jakarta, Kamis (13/2/2025).

    Selain pidana badan, hakim juga membebankan uang pengganti Rp420 miliar dengan subsider 10 tahun penjara terhadap Harvey.

    Adapun, Teguh menyatakan bahwa hal yang memberatkan hukuman itu lantaran Harvey tidak mendukung program pemberantasan tipikor. 

    Selain itu, perbuatan Harvey juga dinilai telah menyakiti rakyat Indonesia di tengah kesulitan ekonomi. Sementara itu, hakim menekankan tidak ada hal yang meringankan pada putusan tersebut.

    “Hal meringankan tidak ada,” pungkasnya.

    Di sisi lain, Mahkamah Agung (MA) juga menolak kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum maupun terdakwa kasus korupsi timah, Harvey Moeis. 

    Langkah itu ditempuh Harvey lantaran tidak terima dengan putusan PT Jakarta atas vonis yang dijatuhkan kepada dirinya.

    Sidang putusan kasasi Harvey dibacakan pada Rabu (25/6/2025). Putusan kasasi tersebut menegaskan bahwa Harvey tetap dihukum penjara selama 20 tahun penjara.

    “Amar putusan, JPU tolak, terdakwa tolak,” demikian dikutip dari laman resmi MA, Senin (30/6/2025).

  • Tak Kunjung Dieksekusi, Silfester Matutina Ajukan PK di Kasus Fitnah JK

    Tak Kunjung Dieksekusi, Silfester Matutina Ajukan PK di Kasus Fitnah JK

    GELORA.CO – Di tengah sorotan karena tidak kunjung dieksekusi, relawan Jokowi yang juga Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) Silfester Matutina mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) terkait kasus fitnah kepada Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, dimana Silfester sudah diputus bersalah pada 2019 lalu.

    Dalam kasus fitnah itu, Silfester Matutina divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan sudah berkekuatan hukum tetap.

    Namun selama 6 tahun, Silfester tidak juga dieksekusi kejaksaan dan hal ini kembali diungkap ke publik oleh Roy Suryo Cs.

    Kini, diketahui Silfester sudah mengajukan PK dan sidang perdananya akan digelar 20 Agustus 2025.

    “Betul, sudah mendaftarkan PK,” ujar Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rio Barten, dilansir dari laman VOI, Senin (11/8/2025).

    “Telah dijadwalkan Sidang pemeriksaan PK pada tanggal 20 Agustus 2025,” tambah Rio.

    Diketahui Silfester Matutina  resmi mengajukan permohonan PK pada 5 Agustus 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan itupun telah diterima.

    Permohonan peninjauan kembali (PK) diajukan ke Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, biasanya Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama, meskipun permohonan tersebut ditujukan kepada Mahkamah Agung.

    Jadi, prosesnya dimulai dengan mengajukan permohonan ke pengadilan yang sama yang menangani perkara tersebut pada tingkat pertama, dan kemudian pengadilan tersebut akan meneruskannya ke Mahkamah Agung untuk diproses lebih lanjut. 

    Sementara itu Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna menyatakan bahwa pengajuan PK tidak mengganggu atau menunda proses eksekusi penahanan terhadap pelaku tindak pidana yang sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap.

    “Pada prinsipnya PK tak menunda proses eksekusi,” ujar Anang, Senin.

    Terkait proses eksekusi, kata Anang akan dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, secepatnya.

    “Terkait Silfester kan ini sudah inkrah perkaranya dan menjadi kewenangan daripada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selaku jaksa eksekutornya,” kata Anang.

    Dalam laman resmi Mahkamah Agung (MA), Silfester Matutina divonis 1 tahun 6 bulan atas kasus pidana umum pada 2019 yakni fitnah dan pencemaran nama baik terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, 

    Putusan Mahkamah Agung Nomor 287 K/Pid/2019 dibacakan pada 20 Mei 2019, dengan Hakim Ketua H Andi Abu Ayyub Saleh, Hakim Anggota H Eddy Army dan Gazalba Saleh.

     

    Dalam Putusan MA ini disebutkan Silfester dikenakan dakwaan pertama Pasal 311 Ayat 1 KUHP dan dakwaan kedua Pasal 310 Ayat 1 KUHP.

    Namun, hingga kini atau sejak putusan itu dibacakan 6 tahun lalu, pihak Kejaaksaan tak kunjung melakukan eksekusi penahanan terhadap Silfester Matutina.

    Mahfud Sebut Kejaksaan Melindungi

    Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan sekalipun Jusuf Kalla sudah memaafkan, karena kasus ini inkrah maka Silfester tetap mesti menjalani hukuman.

    “Damai itu urusan pribadi. Kalau orang terpidana itu musuhnya bukan orang yang menjadi korban. Tetapi musuh orang terpidana itu adalah negara,” kata Mahfud.

    Menurut Mahfud negara itu diwakili oleh kejaksaan.

    “Jadi kalau ditanyakan siapa yang melindungi? Saya menyalahkan kejaksaan gitu. Siapa menyuruh kejaksaan? Ya, kita tidak tahu kan gitu kan. Pasti harus diasumsikan kejaksaan ini tahu,” kata Mahfud,

    Mahfud mengaku memiliki data tahun 2025, dimana sejumlah orang yang hendak menghindari hukuman ditangkap kejaksaan.

    “Masa ini yang riwa-riwi di depan hidung kita gak ditangkap. Kan Kejaksaan tuh punya tim tabur namanya tim tangkap buronan atau tim tangkap orang kabur. Tim ini yang nangkap orang-orang ini tadi. Nah, oleh sebab itu kejaksaan harus segera melakukan eksekusi atas ini ya,” kata Mahfud.

    Sebenarnya, menurut Mahfud eksekusi harus langsung dijemput tanpa  usah dipanggil lagi.

    “Orang ini sudah 6 tahun lolos gitu kan,” kata Mahfud.

    Mahfud menjelaskan akan menyatakan secara formal bahwa Silfester tidak ditangkap karena kejaksaan melindungi.

    “Melindungi dalam bentuk apa? Lalai. Kalau betul-betul melindungi secara sengaja pasti ada yang menyuruh. Kemungkinannya ada atasan yang membacking, kemungkinannya suap. Apalagi coba? Nah, untuk mengusut ini logika umum. Kejaksaan dong harus bertanggung jawab kepada publik,” ujarMahfud.

    Menurut Mahfud untuk dirunut siapa pihak yang membuat Silfester tidak dieksekusi bisa ditelusuri,

    “Siapa pejabatnya, kenapa ini tidak segera dieksekusi gitu? Nanti akan ketemu itu siapa yang memesan. Apakah ini pemain politik atau pemimpin pemerintahan, menteri atau apa,” kata Mahfud.

    “Itu harus diusut, karena ini bahaya kalau ini dibiarkan. Orang boleh bertanya seperti Anda bertanya tadi loh. Pak Mahfud, Anda kok diam saja pada saat Anda di situ (jabat Menko Polhukam)?” katanya.

    “Loh kasus ini gak muncul. Kalau saya sudah tahu saat itu, muncul ya, saya pasti berteriak agar segera dieksekusi. Menteri kok gak tahu? Ya gak tahu. Itu kan bukan urusan Menko, untuk tahu semua urusan yang ada dari Sabang sampai Merauke,” kata Mahfud.

    Menurutnya urusan Menko Polhukam adalah yang muncul dan menjadi problem pelaksanaan di lapangan.

    “Urusan Menko itu hanya muncul dan menjadi problem pelaksanaan di lapangan, konflik sehingga dikoordinasikan. Kalau ini gak ada. Tiba-tiba muncul sekarang, sesudah terjadi pergantian politik,” kata Mahfud.

    Mahfud mengatakan seorang Menko itu tidak harus tahu semuanya.

    “Kecuali ada laporan di saat itu atau muncul sebagai isu yang panas di tengah-tengah masyarakat. Baru seorang Menko itu mengkoordinasikan agar semua jalan,” ujar Mahfud.

    Menurut Mahfud, Silfester tidak perlu lagi dipanggil melainkan langsung dijemput paksa. 

    “Tangkap dulu, atau jebloskan dulu ini eksekusi si Matutina ini,” katanya.

     Kemudian, kata Mahfud, Kejaksaan Agung harus mengadakan penyelidikan ke dalam dan menjelaskan kepada publik.

  • Aset Eks Bupati Klungkung Dilelang, Kejagung Kembalikan Rp 6 M ke Kas Negara

    Aset Eks Bupati Klungkung Dilelang, Kejagung Kembalikan Rp 6 M ke Kas Negara

    Jakarta

    Badan Pemulihan Aset (BPA) Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil melelang barang rampasan negara dari perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas nama terpidana I Wayan Candra, mantan Bupati Klungkung periode 2003-2008. Aset yang terjual nilainya mencapai Rp 6 miliar dan dikembalikan ke kas negara.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna menyebut proses lelang ini berhasil dilakukan berkat dukungan Kejaksaan Negeri (Kejari) Klungkung melalui perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Denpasar.

    Pelaksanaan lelang dilakukan tanpa kehadiran peserta secara fisik, melalui sistem penawaran elektronik e-Auction (open bidding) pada laman https://lelang.go.id, dengan batas waktu penawaran sesuai jadwal server untuk sesi pertama dan kedua.

    Aset yang dirampas untuk negara berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2964 K/Pid.Sus/2015 tanggal 7 Maret 2016, yang menyatakan bahwa Terpidana I Wayan Candra, selaku Bupati Klungkung periode 2003-2008 terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

    Adapun objek lelang yang berhasil laku terjual yakni:
    -Satu bidang tanah kosong seluas 9.450 m², SHM No. 00677, berlokasi di Desa Bunga Mekar, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali, terjual senilai Rp 3.500.386.500.

    “Total penjualan terhadap aset tersebut yakni Rp6.038.386.500. Seluruh hasil lelang akan disetorkan ke kas negara,” ujar Anang dalam keterangannya, Senin (11/8/2025).

    -Satu bidang tanah kosong luas 14.200 m², SHM Nomor 00579, berlokasi di Dusun Pasekan, Desa Dawan Kaler, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali.

    -Satu bidang tanah sawah luas 850 m², SHM Nomor 00779, berlokasi di Dusun Tojan Klud, Desa Tojan, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali.

    -Satu bidang tanah kosong luas 10.000 m², SHM Nomor 00438, berlokasi di Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali.

    -Satu bidang tanah luas 85 m², SHM Nomor 00781, berlokasi di Perumahan Puri Kuta Damai, Gang V No. 37, Kelurahan Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

    Kepala Badan Pemulihan Aset Kejagung Amir Yanto menegaskan bahwa percepatan penyelesaian barang rampasan negara merupakan langkah strategis dalam rangka pemulihan keuangan negara dan optimalisasi penerimaan negara.

    (eva/dhn)

  • Humor Tom Lembong di Balik Kasus Gula, Ibu-ibu Jadi Tau Mens Rea

    Humor Tom Lembong di Balik Kasus Gula, Ibu-ibu Jadi Tau Mens Rea

    Bisnis.com, JAKARTA — Eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong menyampaikan hikmah dari kasus korupsi impor gula yang menyeretnya.

    Dia mengatakan berkat kasusnya itu, kini ibu rumah tangga mengetahui arti salah satu kata dari istilah hukum latin yakni mens rea atau niat jahat.

    “Berkat perkara ini se-Indonesia tahu apa itu mens rea. Ibu rumah tangga di daerah pun juga tahu apa itu mens rea,” ujar Tom di kantor Komisi Yudisial (KY), Jakarta, Senin (11/8/2025).

    Dengan demikian, menurut Tom Lembong, proses hukum yang menyeret dirinya itu bisa menjadi momentum untuk mengedukasi masyarakat soal sistem hukum.

    Di samping itu, Tom juga menyatakan bahwa momentum positif ini akan terus dijaga melalui pelaporan terhadap majelis hakim yang menangani kasusnya di persidangan. 

    Apalagi, kasus impor gula Tom Lembong ini sudah mendapatkan atensi dari Presiden Prabowo Subianto melalui pemberian abolisi.

    “Kita bisa memanfaatkan momentum dari abolisi ini untuk mendorong perbaikan yang dapat kita dorong. Sayang kan kalau momentum ini tidak dimanfaatkan untuk kebaikan bersama ya. Peluang untuk membenahi,” imbuhnya.

    Lebih jauh, Tom juga menekankan bahwa dirinya tidak memiliki niat untuk mengganggu atau mengusik siapapun atas pelaporannya ini. Pasalnya, laporan hakim ke MA maupun ke KY bersifat konstruktif, bukan destruktif.

    “Kami menyampaikan bahwa tujuan kami dalam mengajukan laporan termasuk para hakim Komisi Yudisial itu 100% motivasi kami adalah konstruktif. Tidak ada 0,1% pun niat destruktif,” pungkas Tom.

    Baru-baru ini, Eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong tiba di Komisi Yudisial (KY) untuk menghadiri agenda audiensi. Tom menyampaikan, agenda ke KY merupakan bentuk tindak lanjut dari laporan sebelumnya terkait dugaan pelanggaran majelis hakim yang menangani perkara impor gula Tom Lembong.

    “Menindaklanjuti laporan kami ke Komisi Yudisial. Mengenai ke kekhawatiran proses sidang terutama perilaku para hakim ya majelis hakim,” ujar Tom di KY, Jakarta, Senin (11/8/2025).

    Dia menambahkan, pemberian abolisi yang diberikan Presiden Prabowo Subianto harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Sebab, momentum ini bisa menjadi kesempatan untuk mendorong serangkaian proses hukum di Indonesia menjadi lebih baik.

    “Ya supaya bersama sama kita bisa memanfaatkan momentum dari abolisi ini untuk mendorong perbaikan yang dapat kita dorong. Sayang kan kalau momentum ini tidak dimanfaatkan untuk kebaikan bersama,” pungkasnya.