Soal Rp 1 Triliun Zarof Ricar, Pengamat: Sangat Mungkin Uang dan Emas itu Titipan Para Hakim
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mendesak
Kejaksaan Agung
untuk menyelidiki asal-usul uang senilai triliunan rupiah dan emas batangan yang ditemukan di rumah mantan pejabat Mahkamah Agung (MA),
Zarof Ricar
(ZR).
Fickar berpendapat bahwa uang dan emas tersebut kemungkinan besar bukan hanya milik Zarof, melainkan titipan dari pihak lain.
“Kejaksaan Agung harus membongkar karena sangat mustahil uang dan batangan emas yang ada di rumah ZR itu miliknya sendiri. Sangat mungkin itu juga titipan yang belum diambil oleh hakim atau siapapun pejabat publik,” ungkap Fickar saat dihubungi pada Kamis (19/12/2024).
Ia mencurigai bahwa uang dan emas tersebut sengaja dititipkan kepada Zarof untuk menghindari sistem pelacakan oleh audit keuangan, mengingat kewajiban pejabat untuk melaporkan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN).
Fickar menambahkan bahwa barang-barang tersebut baru akan diambil ketika memasuki masa pensiun.
“Kejaksaan Agung harus melacak ini, mengingat akses ZR yang luas di kalangan para hakim karena kedudukannya dulu sebagai Kapusdiklat MA yang berhubungan dengan semua hakim. Jadi sangat mungkin uang dan emas itu titipan para hakim,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya Kejaksaan Agung untuk berani membongkar praktik serupa, termasuk di kalangan jaksa yang nakal.
Sebelumnya, Zarof Ricar ditangkap oleh penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung pada Kamis (24/10/2024) terkait
dugaan suap
dalam pengurusan kasasi Ronald Tannur di Bali.
Dalam penggeledahan di rumahnya di bilangan Senayan, Jakarta Pusat, penyidik menyita uang hampir Rp 1 triliun, termasuk 74.494.427 dollar Singapura, 1.897.362 dollar Amerika Serikat, 71.200 euro, 483.320 dollar Hong Kong, dan Rp 5.725.075.000, yang diduga berasal dari pengurusan perkara.
Ricar diduga menyiapkan uang suap sebesar Rp 5 miliar untuk hakim agung yang menangani kasasi Ronald Tannur.
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menyatakan bahwa uang suap tersebut disiapkan oleh pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat, sebagai fee untuk mengkondisikan putusan perkara pidana yang menjerat kliennya.
Sebagai pihak yang menjembatani pengurusan perkara, Ricar diduga menerima fee sebesar Rp 1 miliar dari Lisa Rahmat.
“Sesuai catatan LR (Lisa Rahmat) yang diberikan kepada ZR (Zarof Ricar), (Rp 5 miliar itu) untuk hakim agung atas nama S, A, dan S lagi yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur,” ujar Abdul dalam konferensi pers pada Jumat (25/10/2024) malam.
Kasus ini merupakan pengembangan dari penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas kepada Ronald Tannur, yaitu Erintuah Damanik (ED) selaku Hakim Ketua, serta Mangapul (M) dan Heru Hanindyo (HH) sebagai Hakim Anggota.
Juru Bicara Mahkamah Agung Yanto menyatakan bahwa pihaknya tidak akan mentolerir dan melindungi hakim agung yang terbukti menerima suap dalam pengurusan perkara.
Mahkamah Agung memberikan dukungan penuh kepada Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas kasus ini.
“Ya kalau memang ada bukti, silakan saja. Kita enggak pernah mentolerir,” tegas Yanto saat dihubungi
Kompas.com.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: MA
-
/data/photo/2024/10/25/671b98cd1051d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Soal Rp 1 Triliun Zarof Ricar, Pengamat: Sangat Mungkin Uang dan Emas itu Titipan Para Hakim
-

Mahkamah Agung AS Bakal Gelar Sidang Penundaan UU Pelarangan TikTok
Jakarta, CNN Indonesia —
Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk mendengar permohonan dari TikTok dan perusahaan induknya yang berbasis di China, ByteDance, untuk melakukan sidang penundaan undang-undang yang akan melarang operasi TikTok di negara tersebut.
Keputusan untuk menggelar sidang pembelaan TikTok ini disampaikan pada Rabu (18/12). Sidang ini memberi harapan bagi TikTok yang dipaksa lepas dari Bytedance paling lambat pada 19 Januari atau menghadapi larangan atas dasar keamanan nasional.
Melansir Reuters, para hakim tidak langsung mengikuti permintaan dari TikTok dan ByteDance serta beberapa penggunanya yang ingin UU tersebut dibatalkan. Para hakim memilih untuk mendengarkan argumen tentang masalah ini pada 10 Januari 2025.
Pihak TikTok mengajukan banding atas putusan pengadilan yang lebih rendah yang menguatkan undang-undang tersebut. TikTok saat ini digunakan oleh yang sekitar 170 juta orang Amerika.
Sebelumnya, Kongres meloloskan undang-undang ini pada April dan Presiden Joe Biden kemudian menandatanganinya menjadi undang-undang.
Departemen Kehakiman telah mengatakan bahwa sebagai perusahaan China, TikTok menimbulkan “ancaman keamanan nasional dengan kedalaman dan skala yang sangat besar” karena aksesnya ke sejumlah besar data pengguna AS, mulai dari lokasi hingga pesan pribadi, dan kemampuannya untuk secara diam-diam memanipulasi konten yang dilihat oleh orang Amerika di aplikasi tersebut.
Merespons tudingan tersebut, TikTok mengatakan bahwa mereka tidak menimbulkan ancaman langsung terhadap keamanan AS.
Pada 16 Desember, TikTok dan ByteDance lantas meminta Mahkamah Agung untuk menunda sementara undang-undang tersebut, yang menurut mereka melanggar perlindungan kebebasan berbicara di bawah Amandemen Pertama Konstitusi AS.
Dalam pengajuannya ke Mahkamah Agung, TikTok dan ByteDance mengatakan bahwa “jika orang Amerika, yang telah diberitahu tentang dugaan risiko manipulasi konten ‘terselubung’, memilih untuk terus melihat konten di TikTok dengan mata terbuka lebar, Amandemen Pertama mempercayakan kepada mereka untuk menentukan pilihan tersebut, bebas dari sensor pemerintah.”
Pada Rabu (18/12), TikTok mengatakan bahwa mereka senang pengadilan mau mendengar pembelaan mereka dan akan menangani masalah ini.
“Kami yakin pengadilan akan memutuskan bahwa larangan TikTok tidak konstitusional sehingga lebih dari 170 juta orang Amerika yang menggunakan platform kami dapat terus menggunakan hak-hak kebebasan berbicara mereka,” kata perusahaan itu.
Menurut mereka, penutupan selama satu bulan saja akan menyebabkan TikTok kehilangan sekitar sepertiga dari pengguna di Amerika Serikat dan merusak kemampuannya untuk menarik pengiklan dan merekrut para pembuat konten serta karyawan.
(lom/dmi)
[Gambas:Video CNN]
-

MA Tolak Kasasi Sritex (SRIL), Status Pailit Inkrah!
Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias Sritex terkait putusan pailit Pengadilan Niaga Semarang yang sebelumnya diajukan oleh PT Indo Bharat Rayon.
Sidang putusan kasasi Sritex berlangsung pada Rabu kemarin, (18/12/2024). Pembacaan putusan kasasi Sritex dibacakan oleh Kedua Majelis Hakim Agung Hamdi dan dua anggota yakni Hakim Agung Nani Indrawati dan Lucas Prakoso.
“Amar putusan: tolak,” demikian bunyi putusan yang dikutip dari laman resmi Mahkamah Agung.
Dalam catatan Bisnis, permohonan kasasi itu diajukan oleh SRIL dan tiga entitas anak usahanya antara lain, PT Bitratex Industries, PT Primayudha Mandirijaya, dan PT Sinar Pantja Djaja.
Adapun emiten tekstil, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) telah resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang lewat putusan PN Semarang atas perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Pembacaan putusan kepailitan Sritex dan perusahaan lainnya itu dilakukan pada Senin (21/10/2024) di PN niaga Semarang.
Dikutip dari situs resmi SIPP PN Semarang, Kamis (24/10/2024), pemohon yaitu PT Indo Bharat Rayon mengajukan pembatalan perdamaian dengan pihak termohon lantaran lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran.
Adapun, pihak termohon tak hanya Sritex, tetapi juga anak perusahaan lainnya yaitu, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Dalam perkara ini, PT Indobharat meminta PN Niaga untuk membatalkan putusan PN Semarang No. 12/Pdt.Sus PKPU/2021.PN.Niaga.Smg pada 25 Januari 2022 terkait Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi).
“Menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Sinar Pantja Djaja, PT Biratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya,” tulis pernyataan dalam putusan terbaru.
PN Niaga Semarang juga telah menyatakan bahwa para termohon telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada Pemohon berdasarkan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022.
-

TikTok Berjuang Pertahankan 170 Juta Pengguna AS, Sidang Pembelaan Digelar 2025
Bisnis.com, JAKARTA Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) bakal mendengarkan banding dari TikTok terkait Undang-Undang Perlindungan Warga Amerika dari Aplikasi yang Dikendalikan Musuh Asing (PFACAA). Perjuangan TikTok mempertahankan pasar 170 juta pengguna dimulai tahun depan.
Adapun, dalam UU tersebut mewajibkan perusahaan tersebut untuk beralih ke kepemilikan lokal atau menutup operasinya paling lambat 19 Januari 2024.
Melansir dari The Register, Kamis (19/12/2024) keputusan ini menandai langkah penting dalam proses hukum yang sudah berlangsung, dengan TikTok dan pemiliknya, ByteDance.
Mahkamah Agung akan menggelar sesi pendengaran lisan pada 10 Januari 2024. Sebelum itu, kedua belah pihak diminta untuk mengajukan ringkasan kasus masing-masing.
TikTok berharap Mahkamah Agung akan memutuskan bahwa larangan yang diberlakukan oleh PFACAA tidak sah, sehingga lebih dari 170 juta pengguna di AS dapat terus mengakses platform tersebut tanpa pembatasan.
Meskipun Mahkamah Agung tidak berkewajiban untuk mendengarkan banding, keputusan ini dapat memiliki dampak signifikan terhadap industri teknologi dan kebijakan keamanan nasional AS.
Apalagi, pemerintahan Biden dapat memilih untuk memperpanjang tenggat waktu hingga 90 hari, meskipun tidak ada indikasi bahwa mereka akan melakukannya.
Selain itu, transisi pemerintahan yang akan datang pada Januari 2024, dengan pelantikan Donald Trump sebagai presiden, juga dapat mempengaruhi kebijakan terkait TikTok di masa depan.
Namun, menurut The Register sampai saat ini belum ada perusahaan AS yang menunjukkan minat untuk mengakuisisi TikTok. Dengan tenggat waktu yang semakin dekat, nasib TikTok di AS kini berada di tangan Mahkamah Agung.
Pemerintahan Biden memperkenalkan PFACAA dengan alasan bahwa TikTok yang dimiliki oleh perusahaan China dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional dan privasi pengguna AS.
Meskipun TikTok telah berusaha menjamin bahwa data penggunanya disimpan di AS, pengawasan yang diberikan oleh ByteDance di China terhadap data pribadi warga AS masih menjadi perhatian.
Pada bulan Desember 2023, Pengadilan Banding AS untuk Distrik Columbia memutuskan bahwa PFACAA dapat diterapkan atas dasar keamanan nasional. TikTok yang tidak setuju dengan keputusan ini, mengajukan banding terakhir ke Mahkamah Agung, yang kini berencana untuk memeriksa konstitusionalitas undang-undang tersebut.





