Kementrian Lembaga: MA

  • Mangkir Lagi, Tersangka Hermanto Oerip Gagal Diserahkan ke Jaksa

    Mangkir Lagi, Tersangka Hermanto Oerip Gagal Diserahkan ke Jaksa

    Surabaya (beritajatim.com) – Hermanto Oerip kembali mangkir dari panggilan penyidik pidana ekonomi Polrestabes Surabaya. Tersangka kasus penipuan sebesar Rp147 miliar ini pada Selasa (4/11/2025) kemarin harusnya diserahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak Surabaya.

    Kanit Pidek Polrestabes Surabaya Iptu Tony Haryanto saat dikonfirmasi membenarkan bahwa pihaknya sudah melakukan pemanggilan tahap dua. Akan tetapi Tersangka masih mengajukan saksi yang meringankan untuk diperiksa.

    “Saksi yang diajukan tersebut sudah kita mintai keterangan pada Rabu (5/10/2025) kemarin. Saat ini, kami masih sidik lebih lanjut,” ujar Iptu Tony Haryanto.

    Perlu diketahui, Hermanto Oerip adalah tersangka kasus penipuan sebesar Rp147 miliar. Dia sempat menjadi sorotan setelah video testimoninya muncul di media sosial Ditreskrimum Polda Jatim.

    Video yang berisi tentang kegiatan pelayanan publik tersebut menjadi sorotan karena dianggap kontraprofuktif dengan perilaku Hermanto Oerip yang tak patuh terhadap hukum, yakni dengan mangkir dari panggilan penyidik saat dilakukan tahap dua.

    Setelah ramai diberitakan media, dan dikonfirmasi kepada Direskrimum Polda Jatim Kombes Pol Widi Atmoko, akhirnya video tersebut dihapus.

    Dr Rachmat Kuasa hukum pelapor yakni Soewondo Basoeki menilai perkara ini banyak mendapat intervensi dari aparat penegak hukum dan juga elit politik. Sehingga pihaknya sebagai korban akan terus menuntut keadilan dan menunggu keberanian sikap tegas polisi dalam menghadapi tersangka yang tidak patut hukum.

    Dr Rochmat menambahkan, dalam perkara ini Hermanto Oerip ditetapkan tersangka sesuai LP No. STTLP/B/816/VIII/2018/SPKT/RESTABES SBY tanggal 23 Agustus 2018.

    Sempat mandek selama tujuh tahun, akhirnya pada 8 September 2025 berkas dilimpahkan Penyidik ke JPU Tanjung Perak dan pada tanggal 29 September 2025 berkas dinyatakan P-21 oleh JPU.

    Hermanto Oerip ditetapkan sebagai tersangka setelah adanya putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap No. 98 PK/Pid/2023 atas Terpidana Venansius. Yang mana dalam putusan MA tersebut disebutkan Hermanto Oerip dengan rangkaian perkataan bohong dan telah mengambil atau menggunakan dana talangan milik saksi Korban dr. Soewondo Basoeki untuk digunakan keuntungan pribadi Hermanto Oerip dan/atau intinya otak intelektual kejahatan tersebut justru dilakukan atas niat jahat (mens rea) Hermanto Oerip.

    Dr Rachmat berharap agar perkara Tersangka Hermanto Oerip tersebut dapat berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku demi keadilan dengan kepastian hukum agar tidak menjadi contoh buruk dan berkelanjutan.

    “Sehingga meskipun telah tertatih-tatih terhambat akibat intervensi oknum-oknum APH dan Elit Politisi penegakan hukum tetap diikuti dengan sabar sambil berdoa agar saatnya diberikan jalan oleh Yang Maha Kuasa serta pada saat yang tepat akan diungkap nama nama oknum tercela dimaksud agar kedepan dapat dicegah upaya tercela tidak,” ujarnya. [uci/but]

     

  • Ikahi: Perlindungan Hakim Minim, Harap Prabowo Beri Atensi

    Ikahi: Perlindungan Hakim Minim, Harap Prabowo Beri Atensi

    Ikahi: Perlindungan Hakim Minim, Harap Prabowo Beri Atensi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Umum (Ketum) Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Yasardin menyebut perlindungan hakim di Indonesia masih sangat minim.
    Hal ini ditegaskannya saat merespons kasus terbakarnya rumah Hakim Pengadilan Negeri Medan, Khamazaro Waruwu, pada Selasa (4/11/2025).
    “Nah itu jadi intinya pengamanan hakim sampai dengan saat ini sangat minim,” kata
    Yasardin
    dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
    Oleh karenanya, ia berharap Presiden
    Prabowo
    Subianto bisa memberikan atensi terkait perlindungan dan keamanan hakim.
    “Ya mudah-mudahan ke depan dengan pemerintah Bapak Prabowo, pemerintahan Bapak Prabowo ini sangat concern kepada dunia peradilan. Mudah-mudahan ini bisa terpecahkan pada saatnya nanti,” ujarnya.
    Dia mengatakan perihal keamanan hakim sudah diatur dalam Undang-Undang 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
    Namun, kenyataannya, hakim saat ini masih diamankan oleh pihak keamanan kantor apabila sedang ada di kantornya. Sementara pengamanan di rumah hakim masih tidak ada.
    “Tapi realisasinya sekarang ini, hakim hanya diamankan oleh security kantor. Kalau dia sedang berada di kantor. Kalau di rumah tidak ada sama sekali pengamanan,” ujar Yasardin.
    Menurutnya, pengamanan dari pihak Kepolisian baru ada ketika ada permintaan.
    Sebab, aparat Kepolisian juga memiliki keterbatasan jumlah dan tugas yang banyak.
    “Kecuali ada ancaman misalnya kita minta kepada kepolisian agar mengamankan. Itu baru ada pengamanan biasanya. Dan itu incidental,” ungkapnya.
    Sebagai informasi, rumah hakim Khamozaro yang terbakar pada Selasa lalu berlokasi di Komplek Taman Harapan Indah, Jalan Pasar II, Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, Sumatera Utara.
    Adapun bagian rumah yang terbakar adalah bagian kamar. Saat terbakar, rumah sedang dalam keadaan kosong sehingga tak ada korban jiwa.
    Khamozaro diketahui merupakan hakim yang beberapa kali menangani perkara korupsi di Sumatera Utara.
    Sejak akhir September 2025, ia memimpin sidang kasus korupsi proyek pembangunan jalan senilai Rp 231,8 miliar yang menyeret sejumlah pejabat di antaranya Topan Ginting, mantan Kepala Dinas PUPR Pemprov Sumut.
    Selain itu, turut terlibat eks Kepala UPTD Dinas PUPR Gunung Tua, Rasuli Efendi Siregar; Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satuan Kerja PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto; serta dua kontraktor, Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup (DNG) Akhirun Piliang dan Direktur Utama PT Rona Mora, Reyhan Dulsani.
    Kedua kontraktor itu dijadwalkan menjalani sidang tuntutan pada Rabu (3/11/2025).
    Mereka sebelumnya ditangkap dalam dua operasi tangkap tangan (OTT) terkait proyek jalan di Sumatera Utara dengan total nilai proyek yang diduga bermasalah mencapai Rp 231,8 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • AMSI Nilai Gugatan Mentan Amran ke Tempo Ciptakan Preseden Berbahaya bagi Ekosistem Pers

    AMSI Nilai Gugatan Mentan Amran ke Tempo Ciptakan Preseden Berbahaya bagi Ekosistem Pers

    Jakarta (beritajatim.com) – Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyatakan keprihatinan mendalam atas gugatan perdata senilai Rp200 miliar yang diajukan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terhadap PT Tempo Inti Media Tbk (Tempo). Gugatan tersebut terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 684/Pdt.G/2025/PN JKT SEL pada 1 Juli 2025. AMSI menilai langkah hukum itu dapat menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.

    “Meskipun kami menghormati hak setiap warga negara untuk menggunakan jalur hukum, namun gugatan bernilai fantastis ini mengindikasikan praktik SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), yaitu upaya membungkam media melalui beban finansial yang sangat berat,” ujar Ketua Bidang Advokasi dan Regulasi AMSI, Amrie Hakim.

    Sengketa antara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Tempo berawal dari laporan sampul pemberitaan bertajuk “Poles-Poles Beras Busuk” yang diunggah di akun X dan Instagram Tempo.co pada 16 Mei 2025. Perkara ini telah dimediasi oleh Dewan Pers sebagai lembaga berwenang menangani sengketa pers. Menurut AMSI, penyelesaian sengketa pemberitaan semestinya dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan melalui gugatan perdata.

    Tempo disebut telah mematuhi seluruh rekomendasi Dewan Pers, termasuk mengganti judul poster, menyampaikan permintaan maaf, serta memoderasi konten. Hak jawab dan hak koreksi juga telah dilaksanakan. Karena itu, AMSI menilai gugatan Menteri Pertanian berpotensi melanggar jaminan konstitusional kebebasan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan 28F UUD 1945, serta bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-V/2007 yang memperkuat hak istimewa pers dalam pemberitaan kepentingan publik.

    Apabila Menteri Pertanian menilai pelaksanaan putusan PPR Dewan Pers belum sepenuhnya dijalankan, AMSI menyarankan agar pengaduan kembali dilakukan melalui Dewan Pers sesuai mekanisme UU Pers. AMSI juga meminta Dewan Pers memberikan penjelasan terbuka kepada publik mengenai isi PPR agar tidak menimbulkan tafsir berbeda di antara para pihak.

    “Gugatan ini dapat menciptakan preseden berbahaya bagi ekosistem pers di Tanah Air. Jika dibiarkan, pejabat publik lain akan meniru pola ini untuk membungkam kritik, dan media akan takut memberitakan isu-isu penting yang melibatkan pejabat negara,” tegas Amrie.

    AMSI menilai nilai gugatan Rp200 miliar juga tidak proporsional. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 864K/Sip/1973 jo. No. 459K/Sip/1975, ganti rugi dalam perkara perdata harus proporsional dengan kerugian riil yang dapat dibuktikan, bukan bersifat punitif atau menghukum.

    Terkait hal ini, AMSI mendesak pemerintah dan DPR memberi perhatian serius. “Presiden Prabowo perlu mengingatkan jajaran kabinetnya untuk menghormati kebebasan pers sesuai amanat konstitusi. Di samping itu, DPR perlu menggunakan fungsi pengawasan untuk memastikan tidak ada intimidasi terhadap pers, serta melakukan evaluasi implementasi UU Pers, khususnya perlindungan terhadap praktik SLAPP,” ujar Amrie.

    AMSI mendorong agar sengketa diselesaikan melalui dialog yang konstruktif antara pihak terkait untuk membangun komunikasi yang sehat antara pemerintah dan media. “AMSI berdiri bersama Tempo dan seluruh media yang menjalankan fungsi kontrol sosial dengan integritas. Kami mendorong dialog, bukan konfrontasi, tetapi juga tidak akan diam melihat upaya intimidasi sistematis terhadap perusahaan pers,” tegas Amrie.

    AMSI memastikan akan terus memantau perkembangan perkara ini dan menyiapkan langkah advokasi lanjutan, termasuk berkoordinasi dengan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. [beq]

  • Daftar Gubernur Riau yang Terjerat Kasus Korupsi, Terbaru Abdul Wahid

    Daftar Gubernur Riau yang Terjerat Kasus Korupsi, Terbaru Abdul Wahid

    Bisnis.com, JAKARTA — Abdul Wahid kini resmi menjadi Gubernur Riau yang keempat tersandung kasus korupsi. Hal ini menambah daftar kasus rasuah yang dilakukan Kepala Daerah Provinsi Riau.

    Abdul Wahid bersama Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M.Nursalam ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (5/11/2025) terkait kasus pemerasan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.

    “Kami menyampaikan rasa keprihatinan kita bersama. Sebab, upaya penindakan atas dugaan tindak pidana korupsi ini merupakan kali keempat yang terjadi di wilayah Provinsi Riau, ” kata Wakil Ketua Johanis Tanak dalam konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Sebelum Abdul Wahid, KPK juga mencatat tiga Gubernur Riau yang melakukan tindak pidana korupsi, berikut rinciannya:

    1. Saleh Djasit 

    Saleh merupakan Gubernur Riau periode 1998-2003 yang perdana melakukan tindak pidana korupsi terkait mark-up pengadaan 20 mobil pemadam kebakaran menjadi Rp15,2 miliar. Uang tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2003.

    Proses hukum berlangsung pada tahun 2007 sampai 2008. Politikus Golkar itu terbukti merugikan negara sebesar Rp5,6 miliar. Dia divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan.

    Dia merupakan purnawirawan perwira TNI AD dengan pangkat akhir Letnan Jenderal. Dia juga pernah menjadi Danrem dan Pangkostrad.

    2. Rusli Zainal

    Rusli Zainal menjabat dua kali periode sejak 2003 hingga 2013. Kader Partai Golkar ini melakukan korupsi terkait gratifikasi untuk menerbitkan izin pemanfaatan hutan tanaman industri kepada 12 perusahaan.

    Kasus kedua adalah suap proyek pembangunan infrastruktur untuk penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Riau. Dia divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, adapun atas kedua perkara tersebut negara rugi Rp265 miliar.

    Sebelum menjadi gubernur, Rusli pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Indragiri Hilir (1991-2001) dan setelahnya menjadi Bupati hingga 2003.

    3. Annas Maamun

    Gubernur Riau periode 2014-2019 melakukan korupsi suap dan gratifikasi terkait alih fungsi lahan hutan di Provinsi Riau. Dia menerima suap dari pengusaha agar merubah kebijakan status lahan perusahaan yang tercantum dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau.

    Kasus yang terjadi pada 2014 tak lama dari dirinya dilantik sebagai Kepala Provinsi Riau. Pada tahun 2015, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta (subsider 6 bulan kurungan). Lalu, Mahkamah Agung memperberat hukuman menjadi 7 tahun penjara setelah jaksa mengajukan kasasi.

    Namun Annas memperoleh Grasi dari Presiden ke-7 Jokowi pada tahun 2019. Meski begitu, pada 2022, Annas kembali terjerat ditangkap KPK karena kasus suap anggota DPRD Riau terkait pengesahan APBD 2014-2015. Dia divonis 1 tahun penjara. 

    Annas pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Rokan Hilir periode 1999-2004 kemudian menjadi Bupati Rokan Hilir sampai 2014.

  • Trump Ingatkan MA, Pembatalan Kebijakan Tarif Bakal Jadi Bencana Ekonomi AS

    Trump Ingatkan MA, Pembatalan Kebijakan Tarif Bakal Jadi Bencana Ekonomi AS

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengingatkan bahwa keputusan Mahkamah Agung untuk membatalkan kebijakan tarif globalnya akan menjadi bencana bagi ekonomi AS.

    Komentar Trump muncul setelah para hakim Mahkamah Agung AS mempertanyakan dasar hukumnya dalam sidang terbaru.

    Dalam wawancara dengan Fox News, Trump mengatakan telah diberi tahu bahwa proses persidangan berjalan baik. Namun, dia menegaskan dunia akan jatuh ke dalam depresi jika dia tidak diberi kewenangan untuk memberlakukan tarif terhadap negara mitra dagang AS.

    “Saya pikir ini salah satu kasus terpenting, mungkin yang paling penting, dalam sejarah negara kita,” ujarnya dikutip dari Bloomberg, Kamis (6/11/2025).

    Trump juga mengklaim bahwa kebijakan tarif tersebut memungkinkan dirinya menekan China untuk membatalkan rencana pembatasan ekspor logam tanah jarang. “Itu bukan ancaman terhadap kami, tetapi terhadap seluruh dunia. Saya melakukan ini untuk dunia,” katanya.

    Sebelumnya, dalam sidang yang berlangsung hampir tiga jam, para hakim Mahkamah Agung dari berbagai spektrum ideologi mempertanyakan penggunaan undang-undang darurat oleh Trump untuk memungut puluhan miliar dolar tarif setiap bulan.

    Tiga hakim konservatif mempertanyakan dasar hukum penggunaan Undang-Undang Kewenangan Ekonomi Darurat Internasional atau International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) yang digunakan Trump untuk mengenakan tarif senilai puluhan miliar dolar per bulan.

    Ketua Mahkamah Agung John Roberts menyebut tarif itu sebagai pajak terhadap warga AS yang seharusnya menjadi wewenang Kongres. Sementara itu, Hakim Neil Gorsuch dan Amy Coney Barrett — yang juga merupakan hakim pilihan Trump — turut menyoroti keabsahan langkah tersebut.

    Apabila Mahkamah Agung memutuskan menentang Trump, pemerintah AS bisa dipaksa mengembalikan lebih dari US$100 miliar tarif impor kepada pelaku usaha, menghapus beban besar bagi importir AS, serta melemahkan instrumen utama yang selama ini digunakan Trump dalam menekan mitra dagang global.

    Kebijakan yang dipersoalkan adalah tarif “Liberation Day” yang diberlakukan sejak April, dengan besaran 10%–50% untuk sebagian besar impor tergantung asal negara. 

    Trump beralasan tarif tersebut diperlukan untuk mengatasi defisit perdagangan serta membatasi peredaran fentanyl dari Kanada, Meksiko, dan China.

    Namun, beberapa hakim mempertanyakan apakah undang-undang darurat tersebut benar-benar memberi kewenangan kepada presiden untuk menetapkan tarif.

  • “Teror” Tarif Trump Terancam Dibatalkan, Saatnya Dunia Bernapas Lega?

    “Teror” Tarif Trump Terancam Dibatalkan, Saatnya Dunia Bernapas Lega?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sejumlah hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat dari berbagai spektrum ideologi, baik konservatif maupun liberal, pada Rabu (5/11/2025) menyoroti keabsahan kebijakan tarif dagang agresif yang diberlakukan Presiden Donald Trump terhadap sebagian besar negara di dunia.

    Dalam sidang yang berlangsung lebih dari dua setengah jam, mereka mempertanyakan apakah langkah Trump melampaui kewenangan eksekutif dan melanggar hak konstitusional Kongres dalam urusan perpajakan.

    Kasus ini berpusat pada tarif timbal balik atau resiprokal yang diterapkan Trump terhadap banyak mitra dagang AS, serta tarif tambahan untuk produk dari Kanada, China, dan Meksiko yang disebut “tarif fentanil.”

    Dua pengadilan federal sebelumnya memutuskan bahwa presiden tidak memiliki dasar hukum menggunakan International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) untuk menetapkan tarif semacam itu.

    Dalam sidang, Jaksa Agung D. John Sauer – yang mewakili pemerintahan Trump – membela kebijakan tersebut dengan menyebut tarif itu sebagai “langkah regulasi” bukan pajak.

    “Ini adalah tarif regulasi, bukan tarif yang dimaksudkan untuk menghasilkan pendapatan,” kata Sauer, dilansir CNBC International. “Fakta bahwa tarif ini menghasilkan pendapatan hanyalah dampak sampingan.”

    Namun, pernyataan itu segera mendapat tanggapan tajam dari Hakim Sonia Sotomayor, salah satu dari tiga hakim liberal di Mahkamah Agung.

    “Bapak mengatakan tarif bukan pajak, tapi itulah kenyataannya,” ujarnya. “Tarif ini menghasilkan uang dari warga negara Amerika – ini jelas merupakan pendapatan.”

    Sotomayor juga mengingatkan bahwa tidak ada presiden sebelum Trump yang pernah menggunakan IEEPA untuk mengenakan tarif sejak undang-undang itu disahkan pada 1977.

    Hakim konservatif Neil Gorsuch turut menyoroti potensi penyalahgunaan kekuasaan presiden, mengingat Trump memberlakukan tarif sepihak dengan dalih keadaan darurat terkait defisit perdagangan dan penyelundupan fentanyl.

    “Bagaimana jika presiden memveto undang-undang yang ingin menarik kembali kekuasaan ini?” tanya Gorsuch.

    “Secara praktis, Kongres tidak bisa mendapatkan kembali kekuasaan ini setelah memberikannya kepada presiden. Ini seperti jalan satu arah yang perlahan menggeser kekuasaan dari wakil rakyat ke eksekutif.”

    Beberapa hakim konservatif lain – termasuk Ketua Mahkamah John Roberts, Amy Coney Barrett, Brett Kavanaugh, dan Samuel Alito – juga menekan argumen pemerintah.

    Adapun kebijakan tarif Trump dimulai dari 10% untuk banyak negara, dan bisa meningkat hingga 50% bagi India dan Brasil. Menurut Committee for a Responsible Federal Budget, jika tarif ini tetap berlaku, AS berpotensi meraup tambahan pendapatan sekitar US$3 triliun hingga tahun 2035.

    Kelompok itu melaporkan bahwa pemerintah federal telah mengumpulkan US$151 miliar dari bea masuk pada paruh kedua tahun fiskal 2025 – naik hampir 300% dibanding periode yang sama pada 2024.

    Neal Katyal, pengacara pihak penggugat yang menentang kebijakan tarif, menegaskan bahwa apapun istilah yang digunakan, tarif pada hakikatnya adalah pajak.

    “Para pendiri bangsa memberikan kekuasaan untuk memungut pajak hanya kepada Kongres,” katanya. “Kami tidak percaya IEEPA memberi wewenang kepada presiden untuk merombak arsitektur tarif dunia sesuka hati.”

    Katyal juga menyoroti bahwa dalih defisit perdagangan tidak konsisten, sebab Trump memberlakukan tarif 39% pada impor dari Swiss – negara sekutu AS – padahal AS justru mencatat surplus perdagangan dengan Swiss.

    “Tidak ada presiden lain yang pernah melakukan hal seperti itu,” katanya.

    Mahkamah Agung belum mengumumkan kapan keputusan akan dikeluarkan, tetapi pemerintahan Trump meminta proses dipercepat.

    Menteri Keuangan Scott Bessent memperingatkan dalam dokumen pengadilan bahwa jika Mahkamah memutus tarif tersebut ilegal dan menunda keputusan hingga musim panas tahun depan, AS mungkin harus mengembalikan dana lebih dari US$750 miliar kepada perusahaan dan importir yang terkena tarif.

    Bessent, yang hadir di persidangan, kemudian menulis di X bahwa argumen Sauer “kuat dan meyakinkan,” sementara para pengacara penggugat “salah memahami tujuan ekonomi dari kebijakan tarif Trump.”

    Ia menuding pihak penggugat “memperlihatkan ketidaktahuan ekonomi yang memalukan” karena menganggap embargo atau kuota tidak memengaruhi pendapatan pemerintah.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • UU TNI Digugat Lagi ke MK, Apa yang Dipersoalkan?

    UU TNI Digugat Lagi ke MK, Apa yang Dipersoalkan?

    UU TNI Digugat Lagi ke MK, Apa yang Dipersoalkan?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) digugat secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
    Gugatan bernomor 197/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh sejumlah lembaga dan koalisi masyarakat sipil, antara lain Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta.
    Bukan hanya itu, sebanyak tiga warta sipil turut mengajukan gugatan ke MK.
    Mereka adalah Ikhsan Yosarie, Mochamad Adli Wafi, dan Muhammad Kevin Setio Haryanto.
    Dalam permohonan, ada beberapa pasal yang digugat.
    Pertama, Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 dan angka 15 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
    TNI
    .
    Pasal ini mengatur tugas TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), termasuk membantu pemerintah di daerah, menangani bencana, pengamanan wilayah, hingga tugas baru terkait keamanan siber dan perlindungan warga negara di luar negeri.
    Angka 9 termaktub, tugas membantu pemerintahan di daerah, misalnya stabilisasi wilayah dan dukungan administrasi dalam kondisi tertentu.
    Angka 15 disebutkan salah satu tugas baru hasil perubahan UU?3/2025, yaitu membantu menanggulangi ancaman siber atau melindungi warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri.
    Para pemohon menyoroti sejumlah
    tugas dan kewenangan TNI
    untuk melakukan operasi militer selain dalam keadaan perang, yaitu (9) membantu tugas pemerintahan di daerah dan (10) membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber.
    Selain itu, para pemohon juga mengajukan gugatan terhadap Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
    Pasal ini mengatur tentang Pelaksanaan operasi militer selain perang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali untuk ayat (2) huruf b angka 10.
    Para pemohon juga menggugat Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
    Pasal ini berbunyi prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/ atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.
    Selain itu, para pemohon juga menggugat Pasal 53 ayat (2) huruf b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mengatur batas usia pensiun prajurit.
    Adapun Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur bahwa batas usia pensiun perwira tinggi bintang empat paling tinggi 63 tahun, yang dapat diperpanjang maksimal dua kali sesuai kebutuhan melalui Keputusan Presiden.
    Selain itu, Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyatakan: ayat (1) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan; ayat (2) selama undang-undang Peradilan Militer yang baru belum dibentuk, ketentuan tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
    Markas Besar (Mabes) Tengah Nasional Indonesia (TNI) menghormati langkah hukum Koalisi Masyarakat Sipil yang kembali menggugat beberapa pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI ke ke
    Mahkamah Konstitusi
    (MK).
    “TNI menghormati langkah hukum yang ditempuh Koalisi Masyarakat Sipil melalui Mahkamah Konstitusi,” kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Mabes TNI Mayor Jenderal (Mar) Freddy Ardianzah, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (5/11/2025).
    Kendati demikian, TNI menilai upaya tersebut justru mencerminkan ketidakpahaman terhadap hakikat, fungsi, dan peran TNI sebagaimana diatur dalam konstitusi serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004.
    “Pasal-pasal yang mereka persoalkan justru merupakan fondasi penting agar TNI dapat menjalankan tugas-tugas pertahanan secara profesional dan terkendali di bawah otoritas sipil yang sah,” tegas dia.
    Freddy meyakini bahwa TNI selalu berada dalam koridor konstitusi karena setiap langkah dan kebijakan dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku.
    Menurut dia, pelaksanaan operasi militer selain perang pun diatur secara rinci untuk memastikan keterlibatan TNI hanya didasarkan pada kepentingan nasional, bukan kepentingan politik atau kelompok tertentu.
    “TNI akan tetap fokus pada tugas pokoknya menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa, tanpa terpengaruh oleh dinamika yang justru dapat melemahkan fondasi pertahanan nasional,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • “PDIP-Jokowi rekonsiliasi” dampak penolakan Soeharto jadi Pahlawan Nasional?

    “PDIP-Jokowi rekonsiliasi” dampak penolakan Soeharto jadi Pahlawan Nasional?

    Oleh: Damai Hari Lubis

    Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik) 

    Terhadap wacana lama yang kembali tercetus terkait usulan pihak pihak, agar “mantan presiden 32 tahun almarhum Jendral bintang 5, Jendral Besar Soeharto dianugerahi Pahlawan Nasional”.

    Maka menurut penulis, kriteria dan levelitas usulan terhadap almarhum Soeharto tokoh ‘Bapak Pembangunan Indonesia’  merupakan kategori yang wajar, walau ada beberapa sisi benturan tatanan hukum ketatanegaraan yang urgensitas perlu dicermati dan dikaji secara signifikan dan ‘komprehensif.’

    Lalu, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf (Gus Ipul), berstetmen estimasi terkait wacana a quo “bakal diputuskan sebelum 10 November atau Hari Pahlawan”.

    Dan wacana ini mendapat tanggapan relatif cepat namun hati- hati dari Puan selaku Ketua DPR RI dan juga sebagai salah seorang Ketua PDIP ketimbang keengganan dirinya merespon nasib Hasto Kristiyanto, saat Sekjen PDIP dikejar kejar oleh KPK yang dari kacamata hukum, menyimpang dari rules.

    Kata Puan, ” kemarin Selasa (4/11/2025), “harus dicermati rekam jejaknya dari masa lalu sampai sekarang, di sisi lain, pemerintah juga harus melihat apakah pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto saat ini merupakan waktu yang tepat. Semua aspek terkait usulan itu harus dikaji dengan cermat”.

    http://www.cnnindonesia.com/nasional/20251104134906-32-1291723/puan

    Lalu wacana dengan dimensi ‘wajar’ ini, dibanding “ide gila Jokowi 3 periode” yang inkonstitusional, dibarengi suara penolakan keras dan lumayan bising, seorang diantaranya digaungkan oleh politisi PDIP dr. Rubka Cipta Ning, pengarang buku “Aku Bangga jadi Anak PKI.” 

    Polemik wacana ini, perlu dicermati, karena suara dukungan dan penolakan Mantan Presiden RI 32 tahun dianugerahi pahlawan, bakal menjadi titik kearah rekonsiliasi antara Megawati (PDIP) dengan Jokowi ?

    Karena “Jas Merah”,  ada peristiwa politik yang berhubungan erat dengan napak tilas tokoh besar bangsa ini almarhum Jendral Soeharto dimasa transisi kekuasaan dari orla ke orba, lalu Jokowi menerbitkan diskresi politik Jokowi dalam bentuk Keppres 17/2022 dan Inpres 2/2023 terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia, sehingga kebijakan ini telah mengundang polemik terhadap para tokoh publik bangsa, bahkan ada beberapa tokoh aktivis diantaranya Mayjend Kivlan Zen mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung, argumentatif dalil hukumnya disebabkan secara teori hirarkis hukum diskresi Jokowi dimaksud dianggap overlaping dengan ketentuan yang lebih tinggi yakni 

    TAP MPRS RI No 25 Tahun 1966.

    Dan termasuk penulis menanggapi diskresi Jokowi dimaksud melalui artikel hukum dan beberapa kali acara podcast, tepatnya di masa mantan presiden RI ke 7 itu masih dalam kendali Megawati dan dianakemaskan sanbil dipuja puji oleh PDIP.

    Maka bisa jadi Jokowi yang diusung oleh PDIP menjadi presiden selama 2 periode, dikarenakan keduanya PDIP dan Jokowi “bermazhab” yang sama. Hanya saja sejarah membuktikan kedua sekutu ‘pengusung dan diusung’ pecah kongsi gegara ada wacana Jokowi Presiden 3 periode, selain historis politik yang nampak (sebelumnya) saat itu ada indikasi kuat “Puan diminati oleh kader partai menjadi Capres di pemilu 2024-2029”.

    _Dan Projo yang baru saja mendapat nafas segar dari konsolidasi melalui kongres ketiganya (1-2 November 2025), ditengarai bakal menambah konflik bagi pihak pihak pro-kontra wacana Almarhum Jendral Besar Soeharto menjadi Pahlawan Nasional, lalu akan kah bakal menjadi “tambang emas atau setidaknya ladang gandum” bagi para aktivis projo, namun kesemua fenomena status quo dari dinamika gejolak geo politik tanah air, tendensi berdampak ‘penderitaan perekonomian rakyat” bakal lama dan semakin labirin. (*)

  • 9
                    
                        Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan
                        Nasional

    9 Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan Nasional

    Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Panitera Muda Nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan menangis saat membacakan nota pembelaan atau pledoi pribadinya.
    Wahyu memohon agar majelis hakim dapat memberikan vonis ringan karena ia punya empat anak yang masih kecil.
    Diketahui, Wahyu dituntut 12 tahun penjara karena dinilai berperan aktif dalam
    kasus suap hakim
    pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO).
    “Kiranya yang mulia dapat menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya kepada saya agar saya dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, menata kembali kehidupan, dan membesarkan anak-anak saya dengan baik,” ujar Wahyu dengan suara bergetar dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).
    Wahyu mengatakan, saat ini, ia merupakan ayah dari empat orang anak. Mereka berusia 12 tahun, 7 tahun, 2 tahun, dan 1 tahun.
    Anak Wahyu yang paling kecil masih belajar untuk mengenali wajah ayahnya. Pasalnya, ketika Wahyu ditahan Kejaksaan Agung pada April 2025 lalu, anak bungsu Wahyu ini baru berusia 4 bulan.
    Wahyu mengatakan, anak-anaknya masih kecil dan membutuhkan sosok ayah untuk mengawal proses tumbuh dan kembangnya.
    Ia mengaku, selama ini selalu berdoa agar anak-anaknya kelak bisa memahami kalau ayah mereka sedang berjuang untuk menebus dosanya.
    Sambil menangis, Wahyu memohon agar majelis hakim dapat memberikan vonis ringan agar ia bisa membesarkan anak-anaknya.
    “Kiranya yang mulia dapat menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya kepada saya agar saya dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, menata kembali kehidupan, dan membesarkan anak-anak saya dengan baik,” kata Wahyu sambil terisak.
    Dalam pledoinya, Wahyu menyinggung kalau dirinya hanya perantara, bukan pengambil keputusan untuk penanganan perkara korupsi CPO.
    “Yang mulia, di dalam perkara ini, saya hanyalah sebagai perantara, bukan pengambil keputusan dan bukan pihak yang menikmati keuntungan besar,” kata Wahyu.
    Ia mengaku tidak berani menolak pihak-pihak yang memberikan arahan kepada, termasuk Ariyanto selaku pengacara korporasi CPO.
    Namun, ia mengaku bersalah dan sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya.
    Wahyu mengaku khilaf telah melakukan tindak pidana yang mencederai citra penegakan hukum di Indonesia, terutama di lingkup pengadilan.
    “Saya sadar sepenuhnya bahwa perbuatan saya telah mencederai kehormatan lembaga peradilan, tempat saya mengabdi,” katanya.
    Wahyu mengaku menyesal telah menerima suap dan ia memohon maaf kepada Mahkamah Agung, warga pengadilan di seluruh Indonesia, masyarakat, serta keluarganya.
    Dalam kasus ini, Wahyu Gunawan dituntut 12 tahun penjara dengan dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.
    Wahyu merupakan jembatan antara pihak korporasi dengan pihak pengadilan.
    Ia diketahui lebih dahulu mengenal Ariyanto yang merupakan pengacara korporasi CPO. Pada saat yang sama, Wahyu juga mengenal dan cukup dekat dengan Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
    Karena peran aktifnya, Wahyu pun kecipratan uang suap senilai Rp 2,4 miliar.
    Tapi, jaksa menuntut agar uang suap itu dikembalikan dalam bentuk uang pengganti. Jika tidak, harta benda Wahyu akan disita untuk negara. Ia juga diancam pidana tambahan kurungan 6 tahun penjara.
    Adapun, Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Karena menerima uang suap, Arif juga dituntut untuk membayarkan uang pengganti sesuai jumlah suap yang diterimanya, senilai Rp 15,7 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Lalu, majelis hakim penerima suap yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom masing-masing dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Para hakim juga dituntut untuk membayar uang pengganti sesuai total uang suap yang diterimanya.
    Djuyamto selaku ketua majelis hakim dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Dalam kasus ini, para terdakwa diduga telah menerima suap dengan total uang mencapai Rp 40 miliar.
    Kelima terdakwa diyakini telah melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kembali Lempar Bola Panas, Beathor Suryadi Bilang Ada Bunker di Rumah Jokowi

    Kembali Lempar Bola Panas, Beathor Suryadi Bilang Ada Bunker di Rumah Jokowi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Politikus senior PDI Perjuangan, Beathor Suryadi, blak-blakan bercerita mengenai pentingnya transparansi kekayaan pejabat negara.

    Beathor menyinggung tuduhan korupsi yang kerap muncul terhadap Presiden ke-7, Jokowi, dan menantang agar pembuktian dilakukan secara terbuka.

    “Kalau kita dituduh, dituduh memfitnah Jokowi korupsi. Kita datangin rumahnya, kita bongkar, rumah itu di bawahnya ada bunker, tempat naruh uang,” kata Beathor dikutip pada Rabu (5/11/2025).

    Ia menegaskan, jika memang tidak ada praktik korupsi, maka pembuktian bisa dilakukan secara terbuka kepada publik.

    Dikatakan Beathor, hal tersebut bukan semata tuduhan, melainkan bentuk dorongan agar pejabat negara memberikan contoh keterbukaan.

    “Kita buktikan kan, kalau benar-benar Bapak tidak korupsi, saya akan buka rumah Bapak,” ucapnya.

    Beathor juga menaruh perhatiannya pada kasus-kasus besar yang melibatkan sejumlah pejabat lembaga tinggi negara.

    Ia menyinggung praktik penyimpanan uang dalam jumlah besar yang disebutnya terjadi di lingkaran kekuasaan.

    “Sekarang orang-orang Mahkamah Agung punya tank, mobil-mobil tempat barang itu apa namanya? Di dalam kontainer itu ada 920 miliar,” ungkapnya.

    Ia menilai, banyak pihak tidak bisa menyimpan uang dalam jumlah besar di bank, sehingga mencari cara lain.

    “Orang Mahkamah Agung, karena gak bisa disimpan di bank, gak bisa disimpan di rumah,” terangnya.

    Beathor kemudian mengungkapkan bahwa kasus lain yang menyeret nama sejumlah orang kaya.

    “Kita lihat lagi orang kaya, yang kemarin ketangkep Rp11 triliun. Itu kan gak bisa ditaruh di mana-mana. Maka begitu ditangkep, nyata uangnya ada,” tandasnya.