Kementrian Lembaga: LPS

  • Orang Miskin di RI Sulit Naik Kelas Meski Sudah Kerja Keras, Ini Buktinya

    Orang Miskin di RI Sulit Naik Kelas Meski Sudah Kerja Keras, Ini Buktinya

    Jakarta

    Ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah yang membelit banyak masyarakat di Indonesia, memunculkan anggapan yang kaya makin kaya dan yang miskin malah makin miskin.

    Namun kenapa orang miskin susah jadi orang kaya? Apakah kerja keras saja tidak cukup?

    Direktur Eksekutif, CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan sulitnya orang miskin untuk naik kelas di Indonesia dapat terlihat dari social mobility index (indeks mobilitas sosial) masyarakat.

    Untuk diketahui, social mobility index adalah ukuran yang menilai sejauh mana seseorang atau suatu kelompok dapat mengubah status sosialnya, seperti pendapatan, pekerjaan, atau pendidikan, dibandingkan dengan orang tuanya.

    Dalam hal ini, menurutnya tingkat perbaikan status masyarakat miskin di Indonesia masih lebih rendah dari negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina. Menunjukkan bagaimana peluang orang miskin di Tanah Air masih lebih kecil jika dibandingkan negara lain.

    “Data menunjukkan bahwa mobilitas sosial di Indonesia rendah, Social Mobility Index menempatkan Indonesia di urutan ke-67 lebih rendah dibanding Vietnam, Thailand, Filipina. Artinya kerja keras tidak menjamin status sosial akan naik,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (2/12/2025).

    Bahkan menurutnya, saat ini memiliki pekerjaan saja tak cukup untuk membuat orang miskin kemudian bisa langsung naik kelas menjadi setidaknya kelas menengah atau menengah ke bawah.

    Sebab mayoritas pekerjaan yang digeluti orang miskin bersifat informal yang tidak bisa memberikan kesejahteraan cukup untuk kemudian mereka bisa naik kelas. Atau kalau tidak pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan sebatas cukup untuk keperluan hidup sehari-hari.

    Dengan kondisi seperti ini, tak heran jika Bhima kemudian beranggapan bahwa ungkapan rajin pangkal kaya benar adanya. Karena si miskin akan tetap miskin, dan si kaya akan tetap kaya.

    “Orang miskin, mendapat pekerjaan, tidak langsung bisa jadi kelas menengah. Cuma mitos rajin kerja pangkal kaya. Ada masalah struktural yang buat orang miskin melahirkan kemiskinan baru,” tegas Bhima.

    Hal senada juga disampaikan oleh Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad yang menilai orang miskin di Indonesia sulit untuk naik kelas. Menurutnya terdapat hambatan struktural yang membuat orang miskin akan tetap miskin, misalkan saja terkait tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat kelas bawah.

    “Ada lingkaran setan kemiskinan. Pendidikan rendah akan menyebabkan lapangan pekerjaan dengan pendapatan yang rendah serta pendapatan rendah akan mengeluarkan biaya pendidikan rendah,” ucap Tauhid.

    Sementara itu, si kaya akan semakin kaya karena mereka dari awal memiliki sumber daya cukup untuk menempuh pendidikan yang baik, membuat mereka bisa mendapat pekerjaan dengan pendapatan yang tinggi juga.

    Menciptakan kesenjangan sosial antara si miskin dengan si kaya yang dapat dengan mudah terlihat dari dua indikator, yakni jumlah tabungan atau simpanan dana di bank dan gini rasio.

    Terkait jumlah tabungan atau simpanan, menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pertumbuhan tabungan masyarakat atau individu yang kurang dari Rp 100 juta mengalami perlambatan. Sementara yang memiliki tabungan di atas Rp 5 miliar justru cenderung mengalami laju peningkatan signifikan.

    Kemudian terkait data yang menjadi indikator ketimpangan pendapatan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa gini rasio nasional berada di angka 0,375. Dalam hal ini terdapat tujuh provinsi dengan angka gini rasio lebih tinggi dari rata-rata nasional, dengan angka tertinggi adalah Jakarta dengan nilai 0,441.

    Gini rasio berada di antara 0-1. Jika mendekati 0, artinya setiap orang atau kelompok menerima pendapatan yang sama dengan yang lainnya. Jika mendekati 1, artinya pendapatan itu hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok saja dan lainnya tidak sama sekali.

    “Artinya kesenjangan pendapatan kita itu masih relatif tinggi. Saya kira faktanya itu, dua indikator kesenjangan. Saya kira dua itu sih yang paling kuat ya data menunjukkan ketimpangan antar pendapatan,” jelasnya.

    (igo/eds)

  • Purbaya Tak Main-main Soal Pembekuan Bea Cukai: Betul-betul Beku!

    Purbaya Tak Main-main Soal Pembekuan Bea Cukai: Betul-betul Beku!

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa secara terbuka memastikan akan membekukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) apabila tidak berhasil membenahi diri selama satu tahun ke depan. 

    Purbaya mengaku diberikan target oleh Presiden Prabowo Subianto untuk membenahi salah satu unit Kemenkeu itu dalam satu tahun ke depan. Apabila gagal, maka ada peluang Bea Cukai bakal dibekukan seperti pada pemerintahan Presiden ke-2 Soeharto, di mana tugasnya diserahkan ke perusahaan Swiss, SGS. 

    “Bebas. Nanti kami lihat seperti apa. Kalau memang enggak bisa perform ya kami bekukan dan betul-betul beku. Artinya, 16.000 pekerja Bea Cukai kami rumahkan, tetapi saya minta waktu ke Presiden untuk memperbaiki Bea Cukai,” ujarnya kepada wartawan usai menghadiri Rapimnas Kadin 2025, Jakarta, Senin (1/12/2025). 

    Namun demikian, Purbaya menyebut tidak semua petugas Bea Cukai bermasalah. Dia melihat masih ada petugas di sana yang bisa dibentuk dan memperbaiki diri. 

    “Sebaiknya kami perbaiki diri dulu sendiri selama setahun, daripada kami langsung tutup tanpa warning kan jelek. Jadi dikasih kesempatan untuk memperbaiki diri,” lanjut mantan Deputi di Kemenko Maritim dan Investasi itu. 

    Keluhan Pengusaha

    Sebelumnya, saat masih dalam sesi tanya jawab rapimnas Kadin yang dihadiri olehnya, Purbaya mendapatkan keluhan dari pengusaha konstruksi baja.

    Pengusaha meminta agar Bea Cukai memperketat pengawasan terhadap impor konstruksi baja, padahal produksi di dalam negeri juga tinggi. 

    Keluhan itu disampaikan kepada Purbaya oleh Ketua Umum Indonesia Society of Steel Construction (ISSC) Budi Harta Winata, pada rapat pimpinan nasional (rapimnas) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Senin (1/12/2025). 

    Budi menyampaikan bahwa dia bersama sekitar 1.000 orang sebelumnya telah menggelar aksi di depan kantor pusat Bea Cukai, Rawamangun, Jakarta Timur, Oktober 2025 lalu. Dia menceritakan bahwa gempuran impor konstruksi baja ke Indonesia itu menyebabkan perusahaan-perusahaan konstruksi dalam negeri harus merumahkan karyawannya. 

    Pemilik PT Artha Mas Graha Andalan itu mengatakan, perusahaannya harus melakukan efisiensi pekerja dari awalnnya 1.000 orang juru las menjadi tinggal 70 orang saja.

    Budi mengakui bahwa harusnya permasalahan ini bukan disampaikan ke Purbaya selaku Menkeu. Namun, mengingat Bea Cukai berada di bawah kewenangannya, maka dia meminta agar pengawasan keluar masuk barang di pelabuhan bisa diperketat. 

    “Kami minta Bea Cukai lebih ketat, mestinya produksi barang yang bisa dibikin dalam negeri, mestinya janganlah boleh masuk, Pak. Karena kami tukang las-tukang las dalam negeri yang mengerjakan,” ucapnya. 

    Purbaya pun menyatakan bakal memelajari masalah yang disampaikan oleh Budi dan para pelaku usaha konstruksi baja. Dia berjanji akan melihat langsung seperti apa pelaksanaan tugas Bea Cukai di lapangan dalam hal pengawasan. 

    “Kalau saya tanya ke anak buah saya, bagus terus. Saya tanya Bea Cukai ada impor baja? ‘Enggak ada Pak’. Saya tanya pelaku, ada. Yang mana yang bener, tapu gua yakin anak buah gua ngibulin gue. Nanti anda kirim laporan ke saya,” ucapnya sambil disambut tawa oleh peserta Rapimnas Kadin. 

    Ekonom yang pernah menjabat Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu juga mengakui tengah melakukan ‘bersih-bersih’ di Bea Cukai. “Kami betulin setahun ke depan, kalau dalam setahun enggak beres, Bea Cukai betul-betul dibekukan. Saya ganti SGS,” tegasnya. 

  • Tanggulangi Bencana Banjir Sumatra, Purbaya Siap Tambah Dana BNPB

    Tanggulangi Bencana Banjir Sumatra, Purbaya Siap Tambah Dana BNPB

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menggunakan Dana Siap Pakai (DSP) yang dianggarkan di bawah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam menangani bencana di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat.

    Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno menyebut prioritas utama pemerintah dalam kondisi bencana seperti saat ini adalah penyelamatan masyarakat, evakuasi, layanan logistik, pengungsian, kesehatan, dan lain-lain. Semuanya dibiayai oleh APBN melalui DSP yang dikelola di bawah BNPB.

    “Ini dibiayai negara melalui BNPB dengan skema Dana Siap Pakai. BNPB membelanjakan Dana Siap Pakai ini sesuai kebutuhan masyarakat terdampak selama Tanggap Darurat,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (1/12/2025). 

    Kendati demikian, mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) pada pemerintahan Joko Widodo itu tak memerinci lebih lanjut besaran DSP dimaksud. Dia menyebut besaran dananya akan disesuaikan dengan kebutuhan untuk kepentingan Tanggap Darurat, dan akan dibelanjakan secara akuntabel.

    Secara terpisah, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan siap untuk memberikan tambahan anggaran ke BNPB untuk penanganan bencana alam di Aceh dan Sumatera. Menurut Bendahara Negara, saat ini BNPB masih memiliki sisa anggaran sekitar Rp500 miliar lebih. Apabila merujuk kepada Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, outlook anggaran BNPB 2025 adalah Rp2 triliun. 

    “Terus kalau nanti butuh dana tambahan, kami siap juga menambah, dan sudah ada di anggarannya. Ini tergantung permintaan BNPB. Kan Anda tahu saya kaya,” ujar Purbaya kepada wartawan saat ditemui usai Rapimnas Kadin 2025 di Park Hyatt, Jakarta, Senin (1/12/2025). 

    Purbaya tidak mengingat jelas pos anggaran di APBN yang sudah disiapkan untuk kebutuhan situasi darurat bencana seperti saat ini. Namun, dia menyebut pengalokasian tambahan anggaran itu bakal langsung diberikan seketika BNPB menyampaikan pengajuan. 

    Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menjamin bahwa dana untuk anggaran biaya tambahan (ABT) itu cukup, termasuk untuk rehabilitasi dampak bencana. 

    “Tinggal BNPB mengajukan ABT [Anggaran Biaya Tambahan] ke kami. Nanti kami proses,” pungkasnya.

    Seperti diberitakan sebelumnya, pada hari ini, Presiden Prabowo dan sejumlah pejabat turut bertolak ke Sumatra untuk memantau kondisi daerah terdampak bencana. 

  • Purbaya Bantah Pemusatan Lapkeu ke Pemerintah Demi Pengawasan Pajak

    Purbaya Bantah Pemusatan Lapkeu ke Pemerintah Demi Pengawasan Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membantah bahwa pemusatan setoran laporan keuangan (lapkeu) ke platform terpusat pemerintah demi pengetatan pengawasan pajak.

    Purbaya menjelaskan Peraturan Pemerintah (PP) No. 43/2025 tentang Pelaporan Keuangan yang mengatur migrasi pelaporan lepkeu masih ditujukan untuk korporasi terbuka atau besar.

    Menurutnya, korporasi besar atau terbuka sudah terbiasa menyusun lapkeu yang kemudian diterbitkan secara publik. Oleh sebab itu, sambungnya, yang baru dalam PP 43/2025 hanya perpindahan pelaporan lapkeu.

    Adapun, berdasarkan aturan saat ini, perusahaan terbuka memang wajib menyetor lapkeunya ke sejumlah otoritas berwenang seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bursa Efek Indonesia (BEI).

    “Kalau Tbk [perusahaan terbuka] kan setiap triwulan juga ada [laporan keuangannya yang bisa diakses publik],” ujar Purbaya kepada wartawan usai agenda PTBI 2025, Jumat (28/11/2025).

    Mantan ketua dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan itu malah mengkhawatirkan kesiapan perusahaan kecil atau yang belum terbiasa menyusun lapkeu secara baik. Dia pun mengaku akan berhati-hati sebelum terapkan kebijakan PP 43/2025 ke perusahaan kecil.

    “Yang saya takut kalau perusahaan kecil, tapi saya belum melihat,” kata Purbaya.

    Sebelumnya, Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Kementerian Keuangan Masyita Crystallin mengatakan PP 43/2025 dirancang untuk memperkuat fondasi tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.  

    Beleid anyar ini menetapkan peta jalan integrasi pelaporan keuangan nasional, termasuk penetapan tenggat waktu migrasi pelaporan bagi pelaku industri pasar modal paling lambat pada 2027.  

    Tujuannya, laporan keuangan yang dihasilkan entitas bisnis dapat menjadi rujukan andal, baik untuk pengambilan keputusan korporasi maupun perumusan kebijakan publik.  

    “Melalui PP ini, pemerintah mendorong terbentuknya ekosistem pelaporan keuangan yang saling terhubung, terstandar, dan konsisten di seluruh sektor, sehingga kualitas data keuangan nasional semakin meningkat,” ujar Masyita dalam keterangannya, dikutip Selasa (25/11/2025).  

    Dia menjelaskan bahwa ruang lingkup pengaturan ini mencakup mekanisme penyusunan, penyampaian, dan pemanfaatan laporan keuangan lintas sektor. Aturan ini tidak hanya berlaku bagi sektor jasa keuangan, tetapi juga sektor riil dan entitas yang memiliki keterkaitan bisnis dengan sektor keuangan.  

    Platform Terpusat Pemerintah

    Salah ketentuan utama dalam PP 43/2025 adalah pembentukan Platform Bersama Pelaporan Keuangan (PBPK). Masyita menyebut platform ini akan berfungsi sebagai simpul utama integrasi data.  

    Kehadiran PBPK diharapkan menyederhanakan proses pelaporan bagi pelaku usaha karena tidak perlu lagi melakukan pelaporan berulang ke berbagai otoritas, sekaligus memperkaya basis data pemerintah untuk perumusan kebijakan fiskal yang lebih tepat sasaran.  

    Adapun, PBPK akan bertanggung jawab langsung ke menteri yang tangani urusan keuangan pemerintahan seperti yang diatur dalam Pasal 37 ayat (2).

    “Transformasi pelaporan keuangan ini kami desain secara bertahap dan inklusif, agar pelaku usaha dari berbagai skala, termasuk UMKM, dapat beradaptasi dengan realistis tanpa mengurangi kualitas pelaporan,” kata Masyita.  

    Terkait lini masa implementasi, pemerintah menerapkan pendekatan transisi. Untuk sektor pasar modal, penyampaian laporan keuangan melalui PBPK diwajibkan paling lambat tahun 2027.  

    Sementara itu, sektor lainnya akan menyesuaikan tahapan implementasi berdasarkan kesiapan dan hasil koordinasi antara Kementerian Keuangan dengan kementerian/lembaga serta otoritas terkait.  

    Masyita menyatakan pendekatan ini juga mempertimbangkan kapasitas pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar kewajiban pelaporan ini tidak membebani secara biaya maupun administratif.  

    Pemerintah berharap peraturan dapat memperkuat kepercayaan investor, menjaga integritas pasar, serta menjadi fondasi bagi penguatan stabilitas sektor keuangan.

  • BI Pastikan Bank Banjir Likuiditas, Purbaya Bakal Injeksi Lagi?

    BI Pastikan Bank Banjir Likuiditas, Purbaya Bakal Injeksi Lagi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) memastikan salah satu arah bauran kebijakan pada 2026 adalah untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan melalui pelonggaran kebijakan makroprudensial.

    Dari sisi fiskal, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memberikan sinyal bahwa otoritas fiskal bakal ikut mendorong pertumbuhan penyaluran kredit. Hal ini seperti yang dilakukan dengan memindahkan kas pemerintah di BI dengan total nilai Rp276 triliun.

    Purbaya memastikan akan melanjutkan kebijakan serupa tahun depan, tujuannya adalah untuk manajemen kas pemerintah agar tak mengendap di bank sentral.

    “Kami akan manage sedemikian rupa sehingga dampaknya ke pertumbuhan ekonomi optimal, dari pengelolaan cash saya aja. Saya enggak mau cash saya menganggur lagi,” ujarnya kepada wartawan usai acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI), Jakarta, Jumat (28/11/2025).

    Adapun tahun depan BI akan melanjutkan kebijakan insentif likuiditas makroprudensialnya guna mendorong pertumbuhan kredit perbankan.

    Pada pidatonya di PTBI tahun ini, Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut akan tetap mendorong kebijakan makroprudensial longgar untuk 2026. Harapannya kredit akan tumbuh lebih tinggi lagi dengan target pada kisaran 8% sampai dengan 12% tahun depan.

    “Kebijakan makroprudensial longgar diperkuat tahun 2026 untuk mendorong kredit perbankan lebih tinggi lagi,” terangnya di hadapan Presiden Prabowo Subianto.

    Perry menjelaskan bahwa likuiditas makroprudensial tahun depan difokuskan untuk mendorong kredit ke sektor-sektor pemerintah. Penaikan jumlah insentif itu bahkan sudah dimulai Desember 2025 ini.

    “Jumlah insentif kami naikkan menjadi Rp423 triliun mulai Desember ini,” terangnya.

    Gubernur BI dua periode itu menyampaikan bahwa bank sentral tahun depan akan menyalurkan insentif likuiditas makroprudensial bagi bank-bank yang lebih cepat menurunkan suku bunganya.

    Di sisi lain, Perry selaku anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) bersama Menteri Keuangan, Ketua Otoritas Jasa Keuangan serta Ketua Lembaga Penjamin Simpanan bakal fokus juga menangani special rate di perbankan.

    “Koordinasi KSSK mendorong permintaan kredit, penguatan surveillance sistemik untuk menjaga stabilitas sistem keuangan,” ucapnya.

  • Berbatik, Prabowo Hadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia

    Berbatik, Prabowo Hadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2025 yang digelar di Grha Bhasvara Icchana, Kompleks Kantor Pusat Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (28/11/2025).

    Prabowo dijadwalkan akan memberikan pidato di hadapan para pelaku ekonomi dan keuangan.

    Terpantau di lokasi, Prabowo tiba sekitar pukul 19.08 WIB. Pada kesempatan kali ini, ia berpakaian rapi, mengenakan batik berwarna hijau dengan aksen warna coklat dan peci berwarna hitam.

    Kedatangannya itu langsung disambut oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Prabowo pun menyempatkan diri untuk berfoto bersama, sebelum akhirnya memasuki hall.

    Tidak hanya Perry dan Airlangga, acara PTBI dihadiri oleh berbagai menteri perekonomian dan pejabat instansi lainnya. Ada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri UMKM Maman Abdurahman, Menteri Perdagangan Budi Santoso, Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani, hingga Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.

    Turut hadir pula di lokasi Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, hingga Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Anggito Abimanyu.

    Selain itu, juga hadir di lokasi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

    PTBI merupakan puncak high level event (HLE) Bank Indonesia yang telah diselenggarakan rutin sejak tahun 1969. Agenda utama PTBI adalah penyampaian asesmen Bank Indonesia mengenai kondisi perekonomian nasional, tantangan yang dihadapi, dan arah kebijakan Bank Indonesia ke depan.

    Asesmen dan arah kebijakan tersebut diharapkan menjadi acuan bagi pemangku kepentingan, khususnya pelaku industri, investor, dan kalangan dunia usaha dalam menentukan berbagai kebijakan maupun keputusan bisnis ke depan.

    Dari sisi masyarakat, acuan strategis ini juga diharapkan dapat semakin membangun keyakinan masyarakat bahwa Bank Indonesia bersama Pemerintah dan Lembaga terkait senantiasa bersama-sama menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.

    (shc/hns)

  • Bea Cukai dan DJP Sang ‘Enak Emas’ Kemenkeu Kini jadi Sorotan

    Bea Cukai dan DJP Sang ‘Enak Emas’ Kemenkeu Kini jadi Sorotan

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak kerap dianggap sebagai ‘anak emas’ Kementerian Keuangan, di antaranya terkait fungsi mereka dalam mengumpulkan penerimaan negara. Namun, kedua instansi itu kini menjadi sorotan, bahkan ada ancaman pembekuan langsung dari presiden.

    Presiden Prabowo Subianto memberikan ultimatum keras kepada Bea Cukai melalui pesannya ke Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ada waktu satu tahun bagi lembaga itu untuk berbenah dan memperbaiki kinerja.

    Menurut Purbaya, Prabowo akan membekukan Bea Cukai dan mengembalikan fungsi pemeriksaan kepabeanan kepada surveyor swasta internasional, Société Générale de Surveillance (SGS), layaknya era Orde Baru apabila kinerja dan citra publik mereka tak kunjung membaik.

    “Kalau kita gagal memperbaiki, nanti 16.000 orang pegawai Bea Cukai dirumahkan,” ujar Purbaya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025).

    Purbaya mengakui bahwa saat ini persepsi publik terhadap instansi kepabeanan tersebut berada di titik kritis. Dalam rapat internal, dia secara terbuka menyampaikan kepada jajarannya bahwa citra Bea Cukai kurang bagus di mata media, masyarakat, hingga Prabowo.

    Hanya saja, di tengah ancaman pembubaran tersebut, Purbaya mengaku telah memasang badan. Dia telah meminta tenggat waktu satu tahun kepada Prabowo untuk melakukan bersih-bersih internal secara mandiri tanpa intervensi pihak luar.

    Purbaya mengatakan opsi pembekuan Bea Cukai bukanlah bentuk hukuman, melainkan langkah korektif agar kinerja lembaga itu bisa meningkat.

    “Waktu zaman Orde Baru, SDS yang menjalankan pengecekan di custom kita. Jadi, saya pikir dengan adanya seperti itu orang-orang Bea Cukai, tim saya di Bea Cukai semakin semangat. Pengembangan software-nya juga cepat sekali,” katanya.

    Kendati demikian, Purbaya tidak serta-merta ingin menyerahkan operasional Bea Cukai kepada pihak luar. Oleh sebab itu, dia tetap berharap fungsi Bea Cukai dapat dijalankan internal pemerintah, dengan syarat adanya perbaikan signifikan.

    “Saya pikir kita akan bisa menjalankan program-program yang di Bea Cukai dengan lebih bersih tanpa harus menyerahkan ini ke tangan orang lain. Jadi, teman-teman saya di Bea Cukai, staf saya, saya peringatkan itu dan mereka amat semangat untuk memperbaiki bersama-sama,” tuturnya.

    Purbaya turut merinci sejumlah persoalan yang sedang membelit Bea Cukai, mulai dari dugaan praktik under-invoicing hingga masuknya barang ilegal.

    “Ada under-invoicing ekspor yang nilainya lebih rendah. Ada juga barang-barang yang ilegal masuk yang enggak ketahuan segala macam. Orang kan nuduh, katanya Bea Cukai main segala macam,” katanya.

    Lebih jauh, dia memaparkan adanya temuan dari investigasi internal yang menyangkut ketidaksesuaian data perdagangan antara Indonesia, China, dan Singapura.

    “Ada jalan yang sebagian dari China tuh ke Singapura, baru Singapura ke Indonesia. Kalau orang pakai UN.com trade database, kalau cuma lihat satu sisi aja, itu enggak pas. Namun, kalau kita gabung yang sini sama yang sini ke sini itu akan sama. Jadi bedanya enggak banyak. Hanya beda CIF, FOB aja. Jadi antara ekspor sampai impor aja pengitungannya,” tuturnya.

    Oleh sebab itu, Purbaya pun memastikan investigasi lanjutan akan terus dilakukan, dan prosesnya akan makin cepat dengan pemanfaatan teknologi baru.

    “Untuk semua jenis ekspor, apakah seperti itu? Atau apakah ada penggelapan? Ini masih kita kerjakan manual. Nggak lama lagi kita akan kerjakan pakai AI [artificial intelligence]. Jadi, akan lebih cepat,” ujarnya.

    Sebagai langkah perbaikan, bendahara negara itu mulai mengadopsi teknologi kecerdasan imitasi alias AI di pos-pos pelayanan Bea Cukai. Teknologi ini difokuskan untuk mendeteksi praktik under-invoicing atau manipulasi faktur harga barang impor yang selama ini menjadi celah kebocoran penerimaan negara.

    Purbaya menilai, respons internal Bea Cukai terhadap ultimatum ini cukup positif. Dia meyakini sumber daya manusia (SDM) di instansi tersebut memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni untuk berubah.

    “Saya pikir tahun depan sudah aman. Artinya, Bea Cukai akan bisa bekerja dengan baik dan profesional. Orang Bea Cukai pintar-pintar dan siap untuk merubah keadaan,” ujar Purbaya.

    Pelantikan Letjen TNI (Purn.) Djaka Budi Utama (kiri) sebagai ⁠Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, menggantikan Askolani (kanan) yang kini menjabat sebagai ⁠⁠Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Pelantikan berlangsung di Kementerian Keuangan, Jakarta pada Jumat (23/5/2025). / dok. KLI Kementerian Keuangan

    Pembekuan Bea Cukai Bukan Hal Baru

    Secara historis, pembekuan Bea Cukai bukan hal yang baru. Era Orde Baru, tepatnya periode pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an mencatat babak penting tarik-ulur kewenangan di pelabuhan.

    Berdasarkan laporan Media Keuangan terbitan Kementerian Keuangan bertajuk Mengurai Sejarah Lembaga Bea Cukai, saat itu pelabuhan di Indonesia terkenal sangat korup: penyeludupan dan penyelewengan oleh petugas Bea Cukai sudah menjadi rahasia umum.

    Keluhan juga datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang. Aparat Bea Cukai disebut ribet, berbelit-belit, sehingga pada akhirnya melakukan pungutan liar.

    Masalah tersebut sampai ke Presiden Soeharto. Kepala negara dan pemerintah itu pun menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 (Inpres 4/1985) setelah berdiskusi dengan para menteri dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    “Bahwa kelancaran arus lalu lintas barang antar pulau, ekspor dan impor merupakan unsur penting dalam peningkatan kegiatan ekonomi pada umumnya dan peningkatan ekspor komoditi non migas pada khususnya,” jelas pertimbangan Inpres 4/1985.

    Soeharto mengerahkan belasan menteri hingga Panglima ABRI untuk memastikan instruksi ini berjalan, sebuah sinyal bahwa kemacetan di pelabuhan telah menjadi masalah keamanan dan stabilitas ekonomi nasional.

    Enam tahun berselang, kebijakan tersebut dievaluasi: pemerintah menilai Inpres 4/1985 telah sukses memperlancar arus barang. Hanya saja, dinamika perdagangan ekspor-impor menuntut penyesuaian baru.

    Pada 25 Juli 1991, Presiden Soeharto menandatangani Inpres No. 3/1991. Poin paling krusial dari aturan ini adalah pernyataan tegas bahwa Inpres 4/1985 dinyatakan tidak berlaku lagi.

    Dalam Lampiran Inpres 3/1991, ditegaskan kembali bahwa kewenangan pemeriksaan barang impor berada pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

    Kendati demikian, kewenangan ini tidak serta-merta kembali seperti era pra-1985. Pemerintah menerapkan sistem pengawasan berlapis menggunakan jasa Surveyor.

    “Berdasarkan pemeriksaan tersebut surveyor menerbitkan Laporan Pemeriksaan Surveyor-Ekspor (LPS-E) yang dipergunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka pemeriksaan yang bersifat final,” tertulis dalam Lampiran Inpres 3/1991.

    Dijelaskan, barang impor hanya diizinkan masuk ke wilayah pabean Indonesia apabila dilengkapi Laporan Pemeriksaan Surveyor Impor (LPS-I) yang diterbitkan oleh surveyor di negara asal barang (tempat ekspor dilakukan).

    Dalam hal ini, pemerintah melibatkan PT Surveyor Indonesia (PT SI) untuk bekerja sama dengan SGS. Laporan surveyor ini menjadi ‘dokumen sakti’.

    Bea Cukai menggunakan LPS-I sebagai dasar pemeriksaan yang bersifat final. Artinya, petugas Bea Cukai di pelabuhan Indonesia tidak lagi memeriksa fisik barang secara acak, melainkan hanya melakukan pencocokan dokumen alias hanya ‘memberi stempel’.

    Kewenangan kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang No. 10/1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997.

    UU Kepabenan kembali memberikan wewenang pemeriksaan barang kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan kontrak dengan SGS berakhir.

    Sorotan ke Mantan Bos Pajak dan Coretax

    Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa mantan anak buah Menkeu Sri Mulyani dalam kasus dugaan korupsi terkait pembayaran pajak periode 2016—2020. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna mengatakan pihaknya telah memeriksa saksi berinisial SU.

    SU merupakan eks Staf Ahli Menkeu sekaligus eks Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Berdasarkan penelusuran Bisnis, SU ini mengacu pada nama Suryo Utomo.

    “SU selaku Mantan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak dan Mantan Direktur Jenderal [Dirjen] Pajak Kementerian Keuangan RI diperiksa,” ujar Anang dalam keterangan tertulis, Selasa (25/11/2025) malam.

    Selain Suryo, Anang mengemukakan bahwa pihaknya juga telah memeriksa BNDP selaku Kepala KPP Madya Dua Semarang. Namun, dia tidak menjelaskan materi pemeriksaan keduanya secara detail, Anang hanya mengemukakan bahwa pemeriksaan ini dilakukan untuk melengkapi berkas perkara kasus pembayaran pajak periode 2016—2022.

    “Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” pungkas Anang.

    Purbaya masih memantau apakah kasus yang sedang ditangani oleh Kejagung terkait pelaksanaan pengampunan pajak alias tax amnesty atau tidak. Dia ingin tahu apakah ada penyelewengan dalam kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty pada 2016.

    “Kita lihat apakah ada penyelenggaraan di waktu tax amnesty keluar,” katanya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (26/11/2025).

    Kendati demikian, mantan ketua dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menilai seharusnya tidak sewajarnya tax amnesty berujung ke kasus pidana. Menurutnya, jika memang ditemukan pelanggaran maka yang bersangkutan hanya perlu membayar denda.

    “Kalau ada pelanggaran, ya harusnya ada klausul di mana kalau misalnya aset yang dilaporkan ternyata lebih kecil daripada yang seharusnya ada dendanya. Saya pikir itu saja yang dikejar,” jelas Purbaya.

    Sorotan itu juga terjadi di tengah jalannya proyek prestisius dan ambisius Dirjen Pajak, yakni Sistem Inti Perpajakan alias Coretax System. Penerapan Coretax tidak sebanding dengan niat awalnya karena sering terkendala masalah teknis hingga persoalan teknisi yang dianggap tidak memenuhi kualifikasi.

    Purbaya pada akhir Oktober 2025 menyebut upaya pembenahan Coretax belum sepenuhnya tuntas. Salah satu aspek yang belum selesai dibenahi adalah perangkat lunak atau software yang digarap LG CNS-Qualysoft Consortium.

    Purbaya menjelaskan bahwa pihaknya sudah sebulan terakhir membenahi Coretax jelang penggunaannya untuk pelaporan SPT tahun depan.

    “Untuk software-software yang bisa dikendalikan langsung oleh tenaga dari Indonesia, kami sudah perbaiki. Cuma ternyata masih ada bagian-bagian yang terikat kontrak dengan pihak LG, di mana kami belum dikasih akses ke sana,” ujarnya kepada wartawan di kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (24/10/2025) lalu.

    Dia mengatakan bahwa kontrak antara pemerintah Indonesia dengan LG untuk Coretax akan berakhir pada Desember 2025 mendatang. Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu blak-blakan menyampaikan bahwa sebelumnya Kemenkeu telah membentuk tim satgas untuk menindaklanjuti gangguan sistem Coretax yang dikerjakan oleh perusahaan asal Korea Selatan itu.

    “Sebelum kami jalankan tim special task force ini, mereka itu kalau ditanya, enggak peduli. Ditanya di sana, cuek dan, responnya lama,” paparnya.

    Kendati demikian, Purbaya menyebut saat ini pihak LG sudah mengirimkan tim untuk mengurus pembenahan sistem Coretax.

    “Jadi, orang sana enggak pintar-pintar amat. Jadi, kami optimalkan perbaikan dengan kendala yang ada dalam hal ini, sebagian masih dipegang LG,” tuturnya. (Anshary Madya Sukma, Dany Saputra)

    Mantan Dirjen Pajak Suryo Utomo, kini menjabat sebagai Kepala Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan Kemenkeu. / Bisnis

  • Pembekuan Bea Cukai Bukan Hal Baru, Pernah Terjadi pada Era Orde Baru!

    Pembekuan Bea Cukai Bukan Hal Baru, Pernah Terjadi pada Era Orde Baru!

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto melemparkan ultimatum kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Prabowo siap membekukan instansi tersebut apabila kinerja dan citra publik mereka tak kunjung membaik.

    Secara historis, pembekuan Bea Cukai bukan hal yang baru. Era Orde Baru, tepatnya periode pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an mencatat babak penting tarik-ulur kewenangan di pelabuhan.

    Berdasarkan laporan Media Keuangan terbitan Kementerian Keuangan bertajuk Mengurai Sejarah Lembaga Bea Cukai, saat itu pelabuhan di Indonesia terkenal sangat korup: penyeludupan dan penyelewengan oleh petugas Bea Cukai sudah menjadi rahasia umum.

    Keluhan juga datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang. Aparat Bea Cukai disebut ribet, berbelit-belit, sehingga pada akhirnya melakukan pungutan liar.

    Masalah tersebut sampai ke Presiden Soeharto. Kepala negara dan pemerintah itu pun menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 (Inpres 4/1985) setelah berdiskusi dengan para menteri dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    “Bahwa kelancaran arus lalu lintas barang antar pulau, ekspor dan impor merupakan unsur penting dalam peningkatan kegiatan ekonomi pada umumnya dan peningkatan ekspor komoditi non migas pada khususnya,” jelas pertimbangan Inpres 4/1985.

    Soeharto mengerahkan belasan menteri hingga Panglima ABRI untuk memastikan instruksi ini berjalan, sebuah sinyal bahwa kemacetan di pelabuhan telah menjadi masalah keamanan dan stabilitas ekonomi nasional.

    Lewat beleid itu, Soeharto memangkas sebagian besar kewenangan Bea Cukai dalam memeriksa barang impor. Pemerintah kemudian menunjuk Société Générale de Surveillance (SGS), sebuah perusahaan surveyor swasta asal Swiss, untuk mengambil alih tugas pemeriksaan barang.

    Reformasi 1991 dan Pengembalian Wewenang 1997

    Enam tahun berselang, kebijakan tersebut dievaluasi: pemerintah menilai Inpres 4/1985 telah sukses memperlancar arus barang. Hanya saja, dinamika perdagangan ekspor-impor menuntut penyesuaian baru. 

    Pada 25 Juli 1991, Presiden Soeharto menandatangani Inpres No. 3/1991. Poin paling krusial dari aturan ini adalah pernyataan tegas bahwa Inpres 4/1985 dinyatakan tidak berlaku lagi.  

    Dalam Lampiran Inpres 3/1991, ditegaskan kembali bahwa kewenangan pemeriksaan barang impor berada pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

    Kendati demikian, kewenangan ini tidak serta-merta kembali seperti era pra-1985. Pemerintah menerapkan sistem pengawasan berlapis menggunakan jasa Surveyor. 

    “Berdasarkan pemeriksaan tersebut surveyor menerbitkan Laporan Pemeriksaan Surveyor – Ekspor (LPS-E) yang dipergunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka pemeriksaan yang bersifat final,” tertulis dalam Lampiran Inpres 3/1991.

    Dijelaskan, barang impor hanya diizinkan masuk ke wilayah pabean Indonesia apabila dilengkapi Laporan Pemeriksaan Surveyor Impor (LPS-I) yang diterbitkan oleh surveyor di negara asal barang (tempat ekspor dilakukan).  

    Dalam hal ini, pemerintah melibatkan PT Surveyor Indonesia (PT SI) untuk bekerja sama dengan SGS. Laporan surveyor ini menjadi ‘dokumen sakti’.

    Bea Cukai menggunakan LPS-I sebagai dasar pemeriksaan yang bersifat final. Artinya, petugas Bea Cukai di pelabuhan Indonesia tidak lagi memeriksa fisik barang secara acak, melainkan hanya melakukan pencocokan dokumen alias hanya ‘memberi stempel’.

    Kewenangan kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang No. 10/1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997.

    UU Kepabenan kembali memberikan wewenang pemeriksaan barang kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan kontrak dengan SGS berakhir.

    Disinggung Purbaya 

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyinggung sejarah ‘pembekuan’ Bea Cukai era Orde Baru itu ketika mengungkapkan bahwa Prabowo telah memberikan ultimatum.

    Menurutnya, Prabowo siap mengembalikan fungsi pemeriksaan kepabeanan kepada surveyor swasta internasional seperti SGS era Orde Baru apabila kinerja dan citra publik Bea Cukai tak kunjung membaik.

    “Kalau kita gagal memperbaiki, nanti 16.000 orang pegawai Bea Cukai dirumahkan,” ujar Purbaya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025).

    Purbaya mengakui bahwa saat ini persepsi publik terhadap instansi kepabeanan tersebut berada di titik kritis. Dalam rapat internal, dia secara terbuka menyampaikan kepada jajarannya bahwa citra Bea Cukai kurang bagus di mata media, masyarakat, hingga Prabowo.

    Hanya saja, di tengah ancaman pembubaran tersebut, Purbaya mengaku telah memasang badan. Dia telah meminta tenggat waktu satu tahun kepada Prabowo untuk melakukan bersih-bersih internal secara mandiri tanpa intervensi pihak luar.

    “Saya sudah minta waktu keberhasilannya satu tahun untuk tidak diganggu dulu. Biarkan saya, beri waktu saya untuk memperbaiki Bea Cukai, karena ancaman ini serius,” tegasnya.

    Sebagai langkah perbaikan, bendahara negara itu mulai mengadopsi teknologi kecerdasan imitasi alias artificial intelligence (AI) di pos-pos pelayanan Bea Cukai.

    Teknologi ini difokuskan untuk mendeteksi praktik under-invoicing atau manipulasi faktur harga barang impor yang selama ini menjadi celah kebocoran penerimaan negara.

    Purbaya menilai, respons internal Bea Cukai terhadap ultimatum ini cukup positif. Dia meyakini sumber daya manusia (SDM) di instansi tersebut memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni untuk berubah.

    “Saya pikir tahun depan sudah aman. Artinya, Bea Cukai akan bisa bekerja dengan baik dan profesional. Orang Bea Cukai pintar-pintar dan siap untuk merubah keadaan,” tutupnya.

  • Didukung DPR Bikin Gebrakan, Purbaya: Kementerian Lain Akan Guncang-guncang

    Didukung DPR Bikin Gebrakan, Purbaya: Kementerian Lain Akan Guncang-guncang

    Jakarta

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa diminta Komisi XI DPR mendorong kementerian lain untuk membuat kebijakan bernilai tambah dan bukan hanya membelanjakan APBN. Hal ini demi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

    Menurut Purbaya, dirinya sudah melakukan hal demikian, khususnya saat memeriksa anggaran Kementerian/Lembaga lain. Namun, menurut Bendahara Negara ini, tindakannya dinilai menimbulkan keributan.

    “Saya pikir juga tadinya saya boleh begitu. Tapi kan waktu saya gitu banyak ribut. Tapi kalau ditegaskan lagi seperti ini ya saya akan lihat lagi nanti. Terima kasih atas dukungan yang saya pikir,” ujar Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Kamis (27/11/2025).

    Karena mendapat arahan dari DPR, Purbaya mengaku siap menjalankannya. Eks Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menduga akan banyak kementerian/lembaga yang terguncang.

    “Kami akan jalankan sesuai dengan petunjuk barusan. Saya pikir kementerian lain akan guncang-guncang sedikit nanti,” ujarnya.

    Purbaya menilai Kementerian Keuangan seharusnya bisa mengawasi anggaran di kementerian lain. Tujuannya demi memastikan bahwa dana yang diberikan menghasilkan dampak ke pertumbuhan ekonomi.

    Adapun hal itu disampaikan Purbaya menjawab pertanyaan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Othniel Frederic Palit. Dolfie meminta Kementerian Keuangan bisa terlibat dalam sektor-sektor strategis seperti pertanian hingga pertambangan.

    “Kita baca di Undang-Undang Keuangan Negara, Pak, tugas menyusun APBN diserahkan kepada Menteri Keuangan. Diberi kuasa oleh Presiden dalam menentukan kebijakan-kebijakan fiskal, termasuk logical framework dari program-program Kementerian Lembaga,” sebut dolfie.

    Pasalnya, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) banyak program kementerian lembaga tidak memenuhi aspek logical framework untuk mencapai sasaran pemeirntah. Dalam hal ini, Purbaya diminta mempertajam program-progarm di kementerian lain.

    “Kalau Menteri Keuangan bisa memotong anggaran, kenapa Menteri Keuangan tidak bisa mempertajam program? Kalau sektor-sektor ini tidak disentuh, Pak Menteri, tugas siapa? Karena kalau kita hitung, 75% ada pengampunya di Kementerian. Pertanian, di Kementerian pertanian. Pertambangan, ada Kementeriannya. Industri, ada Kementeriannya,” bebernya.

    Jika Kementerian hanya membelanjakan anggaran yang diberikan, Dolfie menyebut hal itu tak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu Purbaya diminta mendorong kementerian lain menghasilkan nilai tambah di setiap sektor.

    “Maksud saya sektor-sektor yang lain, Kementerian lain, didorong Pak Menteri untuk ada kebijakan-kebijakan yang bisa menghasilkan nilai tambah ekonomi. Kalau tidak, konsumsi ya segitu terus. Belanja pemerintah ya, mau mengundang investasi kita tahu problemnya,” imbuhnya.

    Senada, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyampaikan dukungan ke Purbaya. Dalam hal ini, Misbakhun menyebut bahwa Purbaya bisa berperan lebih dalam memastikan APBN dibelanjakan dengan benar.

    “Kalau kita memberikan dukungan Pak, karena instrumen yang Bapak gunakan masuk ke mereka itu adalah instrumen Bapak bagaimana APBN itu dibelanjakan dengan benar. Instrumen itu boleh dan itu kewenangan Bapak. Karena instrumen yang Bapak gunakan adalah instrumen di wilayah kewenangan Bapak dalam rangka APBN digunakan dengan benar. Termasuk Bapak mengontrol APBN ini sudah berapa jauh besaran serapannya,” tutup Misbakhun.

    Tonton juga video “Klaim Publik Puas dengan Pemerintah, Purbaya Pede Demo Bakal Berkurang”

    (ily/hns)

  • Purbaya Kembali Singgung Tax Amnesty usai Suryo Utomo Diperiksa Kejagung

    Purbaya Kembali Singgung Tax Amnesty usai Suryo Utomo Diperiksa Kejagung

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa masih memantau apakah kasus yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait pelaksanaan pengampunan pajak alias tax amnesty atau tidak.

    Pernyataan itu dia sampaikan usai penyidik Kejagung memeriksa mantan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo terkait pembayaran pajak periode 2016—2020.

    Purbaya mengaku akan mengikuti perkembangan hukum yang berjalan. Dia ingin tahu apakah ada penyelewengan dalam kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty pada 2016.

    “Kita lihat apakah ada penyelenggaraan di waktu tax amnesty keluar,” katanya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (26/11/2025).

    Kendati demikian, mantan ketua dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menilai seharusnya tidak sewajarnya tax amnesty berujung ke kasus pidana. Menurutnya, jika memang ditemukan pelanggaran maka yang bersangkutan hanya perlu membayar denda.

    “Kalau ada pelanggaran, ya harusnya ada klausul di mana kalau misalnya aset yang dilaporkan ternyata lebih kecil daripada yang seharusnya ada dendanya. Saya pikir itu saja yang dikejar,” jelas Purbaya.

    Suryo Utomo Diperiksa 

    Pemeriksaan Kasus Pajak di Kejagung
    Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI Anang Supriatna mengatakan pihaknya telah memeriksa saksi berinisial SU terkait kasus pembayaran pajak periode 2016-2020. Kejagung tidak menjelaskan kasus itu terkait tax amnesty.

    SU merupakan eks Staf Ahli Menkeu sekaligus eks Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Berdasarkan penelusuran Bisnis, SU ini mengacu pada nama Suryo Utomo.

    “SU selaku Mantan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak dan Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan RI diperiksa,” ujar Anang dalam keterangan tertulis, Selasa (25/11/2025) malam.

    Selain Suryo, Anang mengemukakan bahwa pihaknya juga telah memeriksa BNDP selaku Kepala KPP Madya Dua Semarang. Namun, dia tidak menjelaskan materi pemeriksaan keduanya secara detail.

    Anang hanya mengemukakan bahwa pemeriksaan ini dilakukan untuk melengkapi berkas perkara kasus pembayaran pajak periode 2016-2022.

    “Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” pungkas Anang.

    Sekadar informasi, dalam perkara ini Kejagung telah mengajukan pencekalan terhadap lima orang. Perinciannya, mantan Dirjen Pajak Kemenkeu Ken Dwijugiasteadi (KD).

    Selain Ken, empat orang lain yang telah diajukan pencekalan itu, yakni Victor Rachmat Hartono (bos Grup Djarum), Bernadette Ning Dijah Prananingrum, Heru Budijanto Prabowo, dan Karl Layman.

    Adapun, penyidik juga telah melakukan penggeledahan di delapan titik wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) pada Minggu (23/11/2025). Dari penggeledahan itu, penyidik telah menyita satu Toyota Alphard, dua motor gede (moge), dan dokumen terkait dengan perkara pajak ini.