Kementrian Lembaga: LPS

  • Purbaya Kian Agresif Terbitkan Surat Utang Jangka Pendek, Ini Tujuannya

    Purbaya Kian Agresif Terbitkan Surat Utang Jangka Pendek, Ini Tujuannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan meningkatkan penerbitan surat utang jangka pendek yakni Surat Perbendaharaan Negara (SPN) sebagai strategi pembiayaan APBN 2026. Bahkan, strategi itu sudah dilakukan sejak akhir 2025 ini.

    Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Suminto mengatakan bahwa pada 2026, pihaknya akan menerbitkan surat berharga negara atau SBN maupun SPN sebagai strategi pembiayaan APBN.

    Pada tahun depan, sebagaimana UU APBN 2026 yang sudah disetujui DPR September 2025 lalu, pembiayaan anggaran ditetapkan sebesar Rp689,1 triliun. Hal itu sejalan dengan defisit yang ditargetkan dengan dengan nilai yang sama, atau setara 2,68% terhadap PDB. 

    Suminto mengatakan, unitnya telah meningkatkan penerbitan SPN atau surat utang jangka pendek sejak kuartal IV/2025. Strategi ini akan dilanjutkan mulai awal tahun depan. 

    “Sejak triwulan keempat 2025 kami meningkatkan penerbitan SPN tujuannya adalah untuk mengembangkan pasar uang, pendalaman pasar dan sekaligus membangun manajemen kas pemerintah yang lebih efisien, sehingga ke depan dalam hal ini tahun 2026 kami akan meningkatkan penerbitan SPN, SPNS dengan tenor di bawah satu tahun,” terangnya pada konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2025, Kamis (18/12/2025). 

    Sejak periode Oktober-Desember 2025 ini, Suminto menyebut DJPPR Kemenkeu sudah melengkapi kebutuhan SPN dengan tenor beragam di pasar yakni 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan.

    Pejabat eselon I Kemenkeu itu menyampaikan, penerbitan SPN lebih banyak bertujuan untuk agar pemerintah memiliki fleksibilitas yang lebih baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembiayaan dan manajemen cash yang efisien. 

    “Dengan saldo kas yang efisien, pada saat yang bersamaan, market memiliki instrumen yang lengkap yang dibutuhkan oleh investor khususnya SPN dan SPNS juga untuk strategi treasury operation dari investor,” paparnya. 

    Ide Dari Purbaya 

    Pada pemberitaan sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa juga pernah melontarkan ide untuk menerbitkan surat utang negara dalam jangka pendek lebih banyak. Salah satunya untuk kebutuhan transfer ke daerah (TKD) lebih cepat. 

    Saat itu, dia menyebut tujuan penerbitan SPN guna mencegah sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) menumpuk di rekening pemda setiap akhir tahun.  

    Purbaya menyebut setiap tahunnya pemda harus menyediakan Silpa sekitar Rp100 triliun untuk pendanaan pemerintahan awal tahun sembari menunggu penyaluran TKD dari pusat. Akan tetapi, dia memastikan sistem yang tengah digodok Kemenkeu itu tidak akan diterapkan pada awal tahun anggaran (TA) 2026.  

    Menurut Purbaya, pemerintah pusat masih bisa untuk mempercepat penyaluran TKD kendati pendapatan negara masih minim di awal tahun. Dia menyebut akan menerbitkan surat utang jangka pendek untuk membiayai kebutuhan TKD lebih cepat di awal tahun anggaran.  

    Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menyebut sistem pembiayaan dimaksud sedang dikembangkan. Sejalan dengan hal tersebut, otoritas fiskal juga tengah melatih agar pasar keuangan terbiasa dengan penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) oleh pemerintah.  

    “Kami bisa terbitkan surat utang jangka pendek, satu bulan, dua bulan tiga bulan, empat bulan. Jadi mesti kreatif sedikit dibanding menghambat perekonomian dengan menumpuk uang di perbankan. Lebih baik seperti itu, uangnya habis nanti di awal tahun saya pastikan pemdanya dapat uang cepat di minggu pertama atau tanggal 2 [Januari] sudah dapat uangnya,” kata Purbaya, Oktober 2025 lalu. 

  • Dana Pemda Mengendap Rp218 Triliun, Wamenkeu Desak Percepatan Belanja Akhir Tahun

    Dana Pemda Mengendap Rp218 Triliun, Wamenkeu Desak Percepatan Belanja Akhir Tahun

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah pusat mendesak pemerintah daerah (Pemda) untuk percepat belanja pada Desember 2025. Kemenkeu mencatat dana Pemda di perbankan masih tinggi mencapai Rp218 triliun per akhir November 2025.

    Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memaparkan bahwa realisasi transfer ke daerah (TKD) telah mencapai Rp795,6 triliun hingga akhir November 2025. Realisasi tersebut setara 91,5% dari pagu anggaran.

    Suahasil menjelaskan khusus di bulan November saja, pemerintah pusat telah menggelontorkan dana sebesar Rp82 triliun ke kas daerah. Kendati demikian, guyuran likuiditas dari pusat ini belum mampu memacu akselerasi belanja daerah secara optimal.

    Data Kementerian Keuangan menunjukkan realisasi belanja APBD per November 2025 tercatat sebesar Rp922,5 triliun. Angka ini mengalami kontraksi atau penurunan sebesar 12,9% apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).

    “Realisasi belanja yang di atas Rp922,5 triliun itu baru 65,3% dari pagu. Kita berharap Pemda akan terus mempercepat belanja di bulan Desember ini supaya manfaat bagi masyarakat bisa lebih cepat dan lebih tinggi lagi,” ujar Suahasil dalam Konferensi Pers APBN Kita, Kamis (18/12/2025).

    Belanja Modal Anjlok

    Berdasarkan komponennya, seluruh pos belanja APBD kompak mengalami penurunan kinerja. Sorotan utama tertuju pada Belanja Modal yang terkontraksi paling tajam, yakni minus 32,6% (YoY) menjadi Rp92 triliun, jauh di bawah realisasi tahun lalu yang mencapai Rp136,5 triliun.

    Penurunan juga terjadi pada Belanja Barang dan Jasa yang terkoreksi 8,9% menjadi Rp265,7 triliun, serta Belanja Pegawai yang turun tipis 1,7% menjadi Rp376 triliun.

    Kondisi ini menyebabkan dana Pemda yang mengendap di perbankan masih cukup tinggi. Posisi dana simpanan Pemda di perbankan per akhir November 2025 tercatat sebesar Rp218,2 triliun.

    Meski demikian, Suahasil mencatat adanya sedikit pergerakan positif dari sisi penggunaan kas. Dia menjelaskan bahwa Pemda membelanjakan Rp114 triliun pada bulan November, lebih besar dibandingkan inflow transfer pusat yang sebesar Rp82 triliun.

    “Karena itu kita bisa lihat di stok saldo rekening Pemda terjadi penurunan. Kalau akhir Oktober itu Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Rp230,1 triliun, maka pada akhir November ini menjadi Rp218,2 triliun,” jelasnya.

    Empat Arahan Purbaya

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengeluarkan edaran yang ditujukan kepada seluruh kepala daerah supaya mempercepat penyerapan anggaran belanja di APBD 2025. 

    Lewat surat bernomor S-662/MK.08/2025 yang diterbitkan pada akhir Oktober 2025 lalu, Purbaya ingin penyerapan anggaran dipercepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan program pembangunan tahun 2025.

    Apalagi, menurut Purbaya, berdasarkan pemantauan sampai September 2025, terjadi peningkatan dana parkir di perbankan, padahal dana transfer ke daerah (TKD) yang telah disalurkan pusat mencapai Rp644,8 triliun atau 74% dari pagu.

    “Kami mencatat realisasi belanja daerah dalam APBD 2025 secara total mengalami penurunan dibandingkan dengan realisasi belanja APBD tahun yang lalu, sehingga menyebabkan simpanan dana Pemda di perbankan sampai dengan triwulan III 2025 mengalami kenaikan,” demikian tulis Purbaya dalam surat yang dikutip Bisnis, Selasa (4/11/2025).

    Bekas Ketua Dewan Komisioner LPS itu kemudian mengeluarkan 4 dorongan kepada kepala daerah terkait lambatnya proses penyerapan APBD.

    Pertama, melakukan percepatan penyerapan belanja daerah secara efisien dan efektif dengan tata kelola yang baik. Kedua, pemenuhan belanja kewajiban pada pihak ketiga yang menjalankan proyek-proyek pemerintah daerah (Pemda). Ketiga, memanfaatkan dana simpanan Pemda di perbankan untuk belanja program dan proyek di daerah. 

    Keempat, melakukan monitoring secara berkala (mingguan/bulanan) terhadap pelaksanaan belanja APBD dan pengelolaan dana Pemda di perbankan sampai dengan akhir tahun 2025, untuk menjadi evaluasi perbaikan di tahun 2026 agar sejalan dengan arah program pembangunan nasional yang telah ditetapkan Presiden.

  • Serapan Rendah, Purbaya Terima Pengembalian Anggaran dari K/L Rp4,5 Triliun

    Serapan Rendah, Purbaya Terima Pengembalian Anggaran dari K/L Rp4,5 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA —Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan bahwa pengembalian anggaran dari kementerian dan lembaga yang tidak terserap meningkat menjadi Rp4,5 triliun.

    Dia bahkan menyebut angka itu kemungkinan akan bertambah menjelang tutup buku APBN 2025.

    “Tambah lagi sedikit mungkin,” ujarnya kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/12/2025). 

    Purbaya mengakui realisasi belanja K/L lambat. Dia menyebut setiap tahunnya pun pemerintah hanya bisa merealisasikan belanja 95% dari pagu anggaran yang telah disiapkan. 

    Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu pun masih enggan mengungkap kementerian atau lembaga mana yang lambat membelanjakan anggarannya. Apalagi, pembukuan masih berjalan terus jelang tutup buku akhir tahun ini. 

    “Audit finalnya kami lihat kan di akhir tahun. Ini masih tanggal 15 kan, mungkin ada penyerapan penyerapan baru,” lanjutnya.

    Adapun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan segera merilis data terbaru realisasi penerimaan, belanja dan pembiayaan APBN sampai dengan akhir November 2025. Sampai dengan akhir bulan sebelumnya, baik belanja dan penerimaan baru terealisasi sekitar 73% dari outlook. 

    APBN sampai dengan 31 Oktober 2025 membukukan penerimaan negara keseluruhan Rp2.113,3 triliun atau 73,7% dari outlook laporan semester (lapsem) I/2025 Rp2.865,5 triliun. Khususnya pajak, yang menyumbang sebagian besar penerimaan baru terkumpul Rp1.459 triliun atau 70,2% dari outlook Rp2.067,9 triliun. 

    Sementara itu, realisasi belanja juga baru mencapai 73,5%. Anggaran pemerintah pusat maupun daerah atau transfer ke daerah (TKD) baru terserap Rp2.593 triliun, dari outlook Rp3.527,5 triliun.

    Secara rinci, belanja pemerintah pusat secara total sudah terserap Rp1.879,6 triliun atau 70,6% dari outlook Rp2.663,4 triliun. Belanja pusat itu meliputi kementerian/lembaga (K/L) Rp961,2 triliun, dan non-K/L Rp918,4 triliun. 

    Adapun TKD telah terealisasi Rp713,4 triliun atau 82,6% dari outlook Rp864,1 triliun. 

    Sampai dengan akhir Oktober 2025 lalu, realisasi belanja pemerintah pusat baru 66,2% atau lebih rendah apabila dibandingkan dengan pada periode akhir Oktober 2021 sampai dengan Oktober 2024. Pada akhir Oktober 2024 saja, belanja pemerintah saat itu sudah terealisasi 76,9%.  

    Sementara itu, anggaran program prioritas pemerintah baru dibelanjakan Rp611,7 triliun atau 65,8% dari pagu Rp929 triliun.  

  • Shorfall Pasti Melebar, Akankah APBN Purbaya Selamat dari Ancaman Defisit 3%?

    Shorfall Pasti Melebar, Akankah APBN Purbaya Selamat dari Ancaman Defisit 3%?

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memastikan defisit APBN 2025 akan tetap berada di bawah 3% terhadap produk domestik bruto atau PDB.

    Namun demikian, dia tidak menjelaskan secara rinci apa saja strateginya untuk menjaga defisit tetap di bawah 3%. Apalagi, tekanan APBN 2025 terus terjadi. Shortfall pajak sudah hampir dipastikan melebar dari outlook APBN yang dipatok sebesar Rp2.076,9 triliun.

    Kalau mengutip Maklumat Direktur Jenderal Pajak, untuk terbebas dari ancaman pelanggaran konstitusional, penerimaan pajak tahun ini minimal harus finish di angka Rp2.005 triliun.

    Sejauh ini Purbaya hanya mengatakan pihaknya masih menghitung arus keluar masuk kas APBN jelang penutupan 2025. 

    Untuk itu, Purbaya belum bisa memastikan apabila defisit APBN akan melebar dari outlook 2,78% terhadap PDB kendati penerimaan pajak masih di bawah target. 

    “[Defisit] masih dihitung, karena angkanya bergerak terus nih. Kami tunggu yang masuk ke sini berapa, terus PDB-nya juga berapa, akan geser kan,” ujarnya kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025). 

    Dari sisi penerimaan, Purbaya menyebut Kemenkeu masih bisa mengandalkan setoran penerimaan di luar pajak yakni penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Salah satunya berasal dari Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sekitar Rp3 triliun. 

    “Katanya pak Jaksa Agung ngasih Rp2 triliun-Rp3 triliun tuh. Dari barang yang dirampas itu lho, [Satgas, red] PKH itu. Itu kan PNBP. Untuk saya kan yang penting uangnya cukup,” jelasnya.

    Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu mengakui bahwa tekanan yang dihadapi pemerintah cukup besar terhadap keseimbangan fiskal. Namun, dia belum bisa memastikan dampaknya terhadap pelebaran defisit dari outlook 2,78% terhadap PDB. 

    “Ini kan masih bergerak angkanya. Kelihatan sih tekanannya cukup besar, tetapi kami jaga di level yang aman,” ungkapnya.

    Realisasi Sementara APBN

    Adapun sampai dengan akhir Oktober 2025, realisasi penerimaan negara baru terkumpul Rp2.113,3 triliun atau 73,7% terhadap outlook lapsem I/2025 yakni Rp2.865,5 triliun. Sumbangsih terbesar yakni pajak, baru terkumpul Rp1.459 triliun atau 70,2% dari outlook Rp2.067,9 triliun. 

    Sementara itu, belanja negara tercatat sebesar Rp2.593 triliun atau 73,5% dari outlook Rp3.527,5 triliun. Dengan demikian, defisit sampai dengan akhir Oktober 2025 yakni Rp532,9 triliun atau 2,02% terhadap PDB. Realisasinya sudah 80,5% terhadap outlook yakni Rp662 triliun (2,78% terhadap PDB). 

    Wanti-wanti Bank Dunia

    Sementara itu, Bank Dunia memberi peringatan terkait kesehatan fiskal Indonesia dalam jangka menengah. Lembaga multilateral tersebut memproyeksikan defisit APBN akan melebar secara konsisten hingga mendekati batas psikologis 3% hingga 2027, seiring dengan penurunan rasio pendapatan negara dan peningkatan beban utang.

    Dalam laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Desember 2025, Bank Dunia memperkirakan defisit keseimbangan fiskal akan berada di level 2,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025 dan bertahan di angka yang sama pada 2026.

    Angka itu diproyeksikan terus melebar menjadi 2,9% terhadap PDB pada 2027, nyaris menyentuh ambang batas defisit fiskal sebesar 3% sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.

    Proyeksi ini lebih tinggi dibandingkan realisasi defisit Oktober 2025 yang tercatat sebesar 2,0% terhadap PDB, maupun target UU APBN 2026 yang mematok defisit di level 2,7%.

    Pelebaran defisit tersebut tidak lepas dari tekanan berat pada sisi pendapatan negara. Bank Dunia mencatat rasio pendapatan negara terhadap PDB diproyeksikan terjun bebas dari realisasi 13,5% pada 2022 menjadi hanya 11,6% pada 2025, sebelum sedikit membaik ke level 11,8% pada 2026.

    “Pendapatan yang berkurang akibat penurunan harga komoditas, percepatan pengembalian pajak [restitusi], serta pengalihan dividen BUMN ke Danantara menjadi faktor utama,” tulis Bank Dunia dalam laporannya, dikutip Rabu (17/12/2025).

    Konsekuensi dari seretnya pendapatan dan melebarnya defisit adalah kenaikan rasio utang pemerintah. Bank Dunia memproyeksikan rasio utang Pemerintah Pusat akan terus mendaki dalam tiga tahun ke depan.

    Dari posisi 39,8% terhadap PDB pada 2024, rasio utang diperkirakan naik menjadi 40,5% pada 2025, 41,1% pada 2026, dan menembus 41,5% pada 2027.

    Kenaikan stok utang ini terjadi di tengah beban biaya dana (cost of fund) yang masih tinggi. Bank Dunia mencatat rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan tercatat mencapai 20,5% hingga Oktober 2025.

    Artinya, 1/5 pendapatan negara digunakan hanya untuk membayar kewajiban bunga utang pemerintah. Ini mengindikasikan sempitnya ruang gerak belanja pemerintah untuk sektor-sektor produktif lainnya.

    Oleh sebab itu, lembaga yang bermarkas di Washington DC itu mewanti-wanti bahwa risiko fiskal dari sisi domestik cukup nyata. Pendapatan yang lebih rendah dari perencanaan dapat menguji kepatuhan pemerintah terhadap disiplin fiskal dan berpotensi membatasi belanja negara.

    “[Perlu] penguatan administrasi dan kebijakan perpajakan di tengah kondisi harga komoditas yang kurang menguntungkan, guna menyediakan ruang fiskal untuk pengeluaran yang mendorong pertumbuhan ekonomi,” saran Bank Dunia.

    Dalam laporan yang sama, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan stagnan di kisaran 5% hingga 2025. Perinciannya, 5% pada 2025, 5% pada 2026, dan 5,2% pada 2027.

  • Jurus LPS Kembalikan Kepercayaan Nasabah ke Bank Usai Krismon 1997-1998

    Jurus LPS Kembalikan Kepercayaan Nasabah ke Bank Usai Krismon 1997-1998

    Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap peran LPS dalam mengembalikan kepercayaan nasabah bank usai krisis moneter (krismon) tahun 1997-1998. Hal itu disampaikan Purbaya di dalam acara Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Financial Festival hari pertama yang digelar di Regale Internasional Convention Centre Medan.

    Pemerintah menyelenggarakan penjaminan simpanan terhadap seluruh kewajiban bank atau dikenal dengan blanket guarantee. Saat itu blanket guarantee berhasil mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan.

  • LPS Ungkap Perang Dagang Untungkan RI, Ini Alasannya

    LPS Ungkap Perang Dagang Untungkan RI, Ini Alasannya

    Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut perang dagang global menguntungkan Indonesia. Menurutnya, tarif yang dikenakan AS untuk Indonesia sebesar 19% lebih rendah dibandingkan beberapa negara, salah satunya Vietnam.

    Indonesia juga disebut tidak akan rugi besar jika barang AS yang masuk ke Indonesia tidak akan dikenakan tarif impor. Hal itu disampaikan Purbaya di dalam acara Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Financial Festival hari pertama yang digelar di Regale Internasional Convention Centre Medan.

  • Purbaya Pastikan Peruri Masih Terlibat di Proyek Pita Cukai, Tapi..

    Purbaya Pastikan Peruri Masih Terlibat di Proyek Pita Cukai, Tapi..

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan tetap akan melibatkan PT Percetakan Uang Republik Indonesia atau Peruri dalam pengadaan pita cukai rokok.

    Kabar ini sekaligus membantah adanya kemungkinan penunjukkan vendor baru dalam pengadaan pita cukai. “Masih Peruri lagi ke depan, belum ada,” ujar Purbaya di Jakarta, Selasa (16/12/2025).

    Kendati membantah, Purbaya tidak menampik mengenai kemungkinan kerja sama antara Peruri dengan perusahaan lain. Apalagi spesifikasi pita cukai yang bakal diterapkan ke depan jauh lebih canggih dan dibuat lebih presisi. 

    “Cuma dikerjasamakan dengan satu perusahaan kalau jadi ya. Ada coding yang lebih canggih dari yang ada sekarang,” imbuhnya.

    Adapun, Purbaya sebelumnya mengisyaratkan ada vendor baru dalam proyek pengadaan pita cukai. Pernyataan Purbaya itu muncul pasca adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, mengkritisi kinerja Bea Cukai dan pajak. 

    Purbaya menyebut adik Presiden Prabowo itu setidaknya mengusulkan otomatisasi dua sistem penerimaan yakni cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok dan pajak perdagangan luar negeri. 

    Otomatisasi CHT itu melalui pengawasan atau monitoring produksi rokok secara digital. Purbaya mengakui sudah melihat sistem digitalisasi yang akan digunakan olehnya. Dia menyebut sistem tersebut bakal diadakan dari pihak ketiga alias vendor dan masih dinegosiasi untuk harganya. 

    “Tinggal masalah negosiasi harganya, jangan kemahalan gitu biar murah dikit lah. Jadi nanti rokok langsung dimonitor sama alat itu. Langsung masuk ke sistem keuangan di Bea Cukai,” ungkapnya. 

    Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu juga mengungkap nantinya sistem itu akan dibekali kode khusus untuk pengenaan cukai rokok tersebut. Kode itu akan memungkinkan pengawasan secara digital dan lebih mudah bahkan melalui aplikasi. 

    “Yang saya harapkan dengan itu berjalan, nanti pendapatan cukai rokoknya akan naik, dan pada saat yang sama kami berhasil juga di lapangannya. Lebih gampang. Itu sedang dalam tahap negosiasi harganya,” terang Purbaya.

    Adapun mengenai otomatisasi pajak, mantan Deputi di Kemenko Kemaritiman dan Investasi itu juga sedang mempelajari peluang untuk mendigitalisasi pajak perdagangan luar negeri. Namun, dia belum menjelaskan secara spesifik terkait dengan digitalisasi dimaksud. 

    Hanya saja, dia mengakui sistem pengawasan secara digital untuk pajak ini lebih sulit diterapkan apabila dibandingkan dengan pengawasan produksi rokok. 

    “Digitalisasi pajak yang perdagangan ke luar negeri, itu sedang kami pelajari. Cuma kelihatannya sih yang itu agak berat, karena sistemnya belum siap, yang ditawarkan oleh vendornya,” ujar Menkeu lulusan ITB itu.

  • Bobby Nasution Kejar Investasi Rp 100 T demi Ekonomi Tumbuh 8%

    Bobby Nasution Kejar Investasi Rp 100 T demi Ekonomi Tumbuh 8%

    Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution menargetkan Provinsi Sumatera Utara mendapatkan investasi Rp 100 triliun. Hal itu agar sesuai perintah Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menyentuh 8% pada 2029.

    Hal itu disampaikan Bobby di dalam acara Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Financial Festival hari pertama yang digelar di Regale Internasional Convention Centre Medan.

  • Anak Buah Purbaya Akui Defisit APBN 2025 Berpotensi Melebar, Tetap Jaga di Bawah 3%

    Anak Buah Purbaya Akui Defisit APBN 2025 Berpotensi Melebar, Tetap Jaga di Bawah 3%

    Bisnis.com, JAKARTA — APBN 2025 menghadapi tekanan pada akhir tahun, yaitu pada saat pemerintahan akselerasi belanja, penerimaan pajak masih alami kontraksi. Akibatnya, defisit fiskal berpotensi semakin melebar.

    Awalnya, pemerintah menetapkan defisit APBN 2025 sebesar 2,53% terhadap produk domestik bruto (PDB). Kendati demikian, dalam laporan semester I, Kementerian Keuangan memproyeksikan terjadi pelebaran defisit APBN 2025 menjadi 2,78% terhadap PDB.

    Ternyata, defisit fiskal itu berpotensi kembali melebar. Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu menyatakan otoritas fiskal sedang memantau perkembangan dalam dua pekan terakhir tahun ini.

    Meski tidak menampik kemungkinan pelebaran defisit di atas 2,78%, dia menyatakan Kementerian Keuangan tidak akan melanggar aturan peraturan perundang-undangan yang ada. Adapun, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara sudah menetapkan ambang batas defisit anggaran sebesar 3% terhadap PDB. 

    “Outlook-nya kan 2,78% ya. Ini kita sedang lihat dua minggu terakhir. Kalaupun nanti melebar, kita akan tetap jaga di bawah 3%,” jelas Febrio di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (16/12/2025).

    Ketika ditanya terkait proyeksi pelebarannya, anak buah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa itu meminta setiap pihak bersabar. Febrio hanya menekankan bahwa otoritas fiskal akan lakukan penyesuaian sehingga defisit tidak melebihi 3% terhadap PDB. “Lagi kita hitung. Ini lagi akhir tahun kan, kita coba kalibrasi. Teman-teman penerimaan sedang kerja,” tutupnya.

    Sebelumnya, Purbaya meyakini defisit APBN 2025 akan tetap berada di bawah 3% terhadap PDB kendati adanya tekanan yang besar. Dia menyebut pihaknya masih menghitung arus keluar masuk kas APBN jelang penutupan 2025. 

    Untuk itu, Purbaya belum bisa memastikan apabila defisit APBN akan melebar dari outlook 2,78% terhadap PDB kendati penerimaan pajak masih di bawah target. 

    “[Defisit] masih dihitung, karena angkanya bergerak terus nih. Kami tunggu yang masuk ke sini berapa, terus PDB-nya juga berapa, akan geser kan,” ujarnya kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025). 

    Dari sisi penerimaan, Purbaya menyebut Kemenkeu masih bisa mengandalkan setoran penerimaan di luar pajak yakni penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Salah satunya berasal dari Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sekitar Rp3 triliun. 

    “Katanya pak Jaksa Agung ngasih Rp2 triliun-Rp3 triliun tuh. Dari barang yang dirampas itu lho, [Satgas, red] PKH itu. Itu kan PNBP. Untuk saya kan yang penting uangnya cukup,” jelasnya.

    Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu mengakui bahwa tekanan yang dihadapi pemerintah cukup besar terhadap keseimbangan fiskal. Namun, dia belum bisa memastikan dampaknya terhadap pelebaran defisit dari outlook 2,78% terhadap PDB. “Ini kan masih bergerak angkanya. Kelihatan sih tekanannya cukup besar, tetapi kami jaga di level yang aman,” ungkapnya.

    Adapun sampai dengan akhir Oktober 2025, realisasi penerimaan negara baru terkumpul Rp2.113,3 triliun atau 73,7% terhadap outlook laporan semester I/2025 yakni Rp2.865,5 triliun. Sumbangsih terbesar yakni pajak, baru terkumpul Rp1.459 triliun atau 70,2% dari outlook Rp2.067,9 triliun. 

    Sementara itu, belanja negara tercatat sebesar Rp2.593 triliun atau 73,5% dari outlook Rp3.527,5 triliun. Dengan demikian, defisit sampai dengan akhir Oktober 2025 yakni Rp532,9 triliun atau 2,02% terhadap PDB. Realisasinya sudah 80,5% terhadap outlook yakni Rp662 triliun (2,78% terhadap PDB). 

  • Purbaya Akui Shortfall Pajak Bakal Melebar, Defisit APBN Diusahakan di Bawah 3%

    Purbaya Akui Shortfall Pajak Bakal Melebar, Defisit APBN Diusahakan di Bawah 3%

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengakui bahwa shortfall penerimaan pajak 2025 akan melebar. Namun, dia mengupayakan agar penerimaan pajak yang di bawah target tak membuat defisit APBN akhir tahun melebar dari outlook yakni 2,78% terhadap PDB.

    Seperti pemberitaan sebelumnya, penerimaan pajak sampai dengan akhir Oktober 2025 baru mencapai Rp1.459 triliun atau 70,2% dari outlook laporan semester I/2025 Rp2.076,9 triliun.

    Sementara itu, berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis, Dirjen Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa batas aman penerimaan pajak harus berada di angka Rp2.005 triliun supaya defisit tetap berada di bawah 3%. Namun, para kepala kantor wilayah alias kanwil DJP hanya sanggup merealisasikan Rp1.947,2 triliun. 

    Oleh sebab itu, Purbaya memastikan bahwa akan terjadi shortfall penerimaan pajak tahun ini. Hal itu kendati pihaknya akan melakukan berbagai upaya untuk mengamankan penerimaan selama dua bulan terakhir. 

    “Kan ada effort-effort untuk dua bulan terakhir ya. Jadi [shortfall] melebar, ya lebar tapi enggak melebar lebih parah gitu,” ungkapnya kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025).

    Namun demikian, Purbaya tidak memerinci lebih lanjut berapa pelebaran shortfall penerimaan pajak itu. Menurutnya, angka masih dinamis karena masih ada setoran penerimaan pajak maupun nonpajak yang dibukukan APBN. 

    Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu memastikan tahun depan akan sangat mengawasi kinerja pemungutan pajak. “Angkanya masih gerak. Yang jelas tahun depan akan berubah, saya akan lihat betul pajak seperti apa, saya akan hands on,” ungkapnya. 

    Sementara itu, Purbaya enggan memastikan nasib defisit APBN 2025 yang diperkirakan sejumlah pihak bakal melebar sejalan dengan rendahnya penerimaan pajak. Untuk defisit, pemerintah memperkirakan berdasarkan outlook laporan semester I/2025 yakni 2,78% terhadap PDB. 

    “Kami kendalikan di bawah 3%, jadi kami enggak akan ngelanggar undang-undang. Sudah kami monitor terus hampir setiap hari di Kemenkeu. Jadi strateginya ya mengendalikan pengelolaan dilakukan. Sudah cukup lama sih, tinggal kami lihat,” paparnya.