Kementrian Lembaga: KPU

  • BonJowi Ajukan Sengketa Informasi Ijazah Jokowi ke KIP, UGM Akui Tak Punya SOP Legalisasi pada Era 1980–1985

    BonJowi Ajukan Sengketa Informasi Ijazah Jokowi ke KIP, UGM Akui Tak Punya SOP Legalisasi pada Era 1980–1985

    GELORA.CO – Kelompok BonJowi atau Bongkar Ijazah Jokowi, resmi mengajukan sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP), Jakarta Pusat, Senin, 17 November 2025.

    Gugatan ini dilayangkan terhadap lima badan publik untuk menuntut keterbukaan dokumen akademik Presiden Joko Widodo.

    Kelima lembaga yang digugat adalah Universitas Gadjah Mada (UGM), KPU RI, KPU DKI Jakarta, KPU Surakarta, dan Polda Metro Jaya.

    Sengketa ini diajukan setelah permintaan informasi sejak Juli 2025 dinilai tidak mendapat tanggapan memadai.

    “KPU RI dan DKI mengabulkan sebagian, UGM dan KPU Surakarta tidak memberikan, Polda Metro tidak menanggapi,” tulis BonJowi dalam keterangan resmi.

    Sorotan Kejanggalan pada Salinan Ijazah

    Tim BonJowi mengungkap temuan dari tiga salinan legalisir ijazah yang digunakan Jokowi untuk pencalonan Gubernur DKI 2012, Capres 2014, dan Capres 2019.

    Poin kejanggalan yang mereka temukan adalah adanya perbedaan warna cap legalisir antara dokumen 2012, 2014 dan 2019.

    Kemudian tidak adanya tanggal, bulan, dan tahun legalisasi pada ketiga salinan. Lalu adanya perbedaan posisi cap legalisir di tiap dokumen.

    “Apakah UGM benar menggunakan tinta merah untuk legalisir? Itu tidak lazim untuk dokumen resmi,” ujar tim.

    Majelis Soroti SOP Legalisasi: UGM Akui Tidak Ada SOP pada Era Jokowi Kuliah

    Dalam persidangan, Ketua Majelis, Rospita Vici Paulyn, langsung menyoroti keberadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) legalisasi ijazah pada periode Jokowi kuliah pada 1980–1985, hingga momen pencalonan presiden.

    “SOP dan aturan legalisasi ijazah pada masa permintaan legalisasi?” tanya Rospita.

    “Enggak ada,” jawab perwakilan UGM.

    UGM menyampaikan bahwa Jokowi memang pernah mengajukan legalisasi ijazah, namun kampus tidak memiliki SOP tertulis pada masa tersebut.

    Aturan akademik disebut hanya berbentuk buku panduan, bukan format prosedural baku sebagaimana SOP modern.

    “Kalau SOP ya, SOP dalam artian prosedural seperti sekarang itu memang tidak ada pada zaman itu. Proses aturannya dalam bentuk buku panduan, tapi memang tidak spesifik menjelaskan hal yang diminta pemohon,” ujar perwakilan UGM.

    Majelis kemudian meminta penjelasan isi buku panduan itu. Namun jawaban perwakilan kampus dinilai belum memberikan gambaran lengkap.

    “Dari yang beberapa ini, apa yang ada di dalam buku panduan itu? Misalnya terkait masa studi, ada enggak? Aturan DO?” tanya Rospita.

    “Untuk di dalam buku panduan itu terkait kurikulum ada,” jawab UGM.

    Ketika ditanya mengenai aturan Kuliah Kerja Nyata (KKN), pihak UGM kembali tidak memberikan kepastian.

    “Untuk KKN, dari kami belum bisa memastikan karena itu yang menguasai adalah fakultas,” kata perwakilan kampus.

    Majelis kemudian menyinggung aturan penanganan data akademik pada era tersebut. Pertanyaan ini kembali dijawab dengan ketidakjelasan.

    “Aturan sidang kurang tahu juga karena itu. Kalau untuk penanganan data akademik ini kayaknya enggak ada ya,” ucap perwakilan UGM.

    Sidang akhirnya menyimpulkan bahwa SOP legalisasi ijazah untuk periode 1980–1985 memang tidak ada dalam bentuk yang dibutuhkan pemohon.

    “Iya, kalau yang bentuknya SOP enggak ada,” tutup perwakilan UGM.

    Bukan Soal Palsu atau Asli, Tapi Hak Publik atas Dokumen Akademik

    Jurnalis senior Lukas Luwarso menegaskan bahwa langkah ini bukan untuk mendikotomikan isu ijazah asli atau palsu.

    “Kita ingin membuktikan melalui UU KIP bahwa ada jalan yang elegan dan berbasis bukti,” ujar Lukas Luwarso.

    Sementara itu, Ahmad Akhyar Muttaqin mengatakan persoalan ini berkaitan dengan hak hukum atas dokumen tersebut.

    “Pertanyaannya bukan hanya asli atau palsu, tapi apakah yang bersangkutan berhak secara hukum atas dokumen itu,” ujarnya.

    Kuasa hukum BonJowi, Petrus Celestinus, menilai bahwa ijazah yang digunakan untuk jabatan publik tidak bisa ditutup-tutupi dengan alasan data pribadi.

    “Masyarakat punya hak untuk mengetahui. Jangan sampai Komisi Informasi tersandera oleh kepentingan dalam kasus ijazah ini,” katanya.

    Majelis memutuskan sengketa dilanjutkan ke Ajudikasi. UGM diwajibkan melakukan uji konsekuensi dalam dua minggu untuk membuktikan dasar pengecualian informasi akademik yang mereka klaim sebagai rahasia.

    Sementara KPU RI, KPU DKI, KPU Surakarta, diarahkan ke mediasi, karena sebagian informasi dinyatakan dapat diberikan atau telah diberikan sebelumnya.

  • Sederet Kontroversi Sidang Sengketa Informasi Ijazah Jokowi

    Sederet Kontroversi Sidang Sengketa Informasi Ijazah Jokowi

    Bisnis.com, JAKARTA — Sidang sengketa informasi terkait ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), kembali bergulir di Komisi Informasi Pusat (KIP) pada Senin (17/11/2025).

    Tiga temuan utama mencuat dan saling berkelindan pemusnahan cepat arsip pencalonan Jokowi oleh KPU Surakarta, absennya sejumlah dokumen akademik Jokowi di Universitas Gadjah Mada (UGM), serta jawaban administrasi UGM yang dinilai tidak memenuhi standar lembaga publik.

    Rangkaian kejanggalan ini memperkuat kontroversi yang mengitari proses sengketa informasi yang diajukan kelompok Bongkar Ijazah Jokowi (Bonjowi).

    Arsip Pencalonan Dimusnahkan dalam Waktu Satu Tahun

    Sidang memanas ketika KPU Surakarta mengonfirmasi bahwa arsip pencalonan Jokowi saat maju sebagai Wali Kota Solo telah dimusnahkan.

    Pernyataan itu langsung memicu interupsi tegas dari Ketua Majelis, Rospita Vici Paulyn, yang mempertanyakan dasar hukum pemusnahan dokumen negara yang dinilai krusial.

    “PKPU nomor berapa yang menyatakan itu dimusnahkan?” tanya Rospita.

    Pihak KPU menjawab bahwa dokumen tersebut masuk kategori “arsip musnah” berdasarkan PKPU Nomor 17 Tahun 2023 dengan masa retensi satu tahun aktif dan dua tahun inaktif.

    Namun jawaban itu justru memperkuat kecurigaan majelis. Rospita mempertanyakan bagaimana dokumen negara — yang berpotensi menjadi objek sengketa — dapat dimusnahkan hanya dalam satu tahun, terlebih PKPU yang menjadi acuan baru terbit pada 2023 dan belum melewati tiga tahun retensi minimal pada 2025.

    “Saya tidak tahu arsip mana yang satu tahun kemudian dimusnahkan,” ujarnya.

    Ketidakjelasan landasan hukum pemusnahan ini membuat majelis menegaskan akan menelusuri lebih jauh prosedur penghancuran arsip tersebut.

    UGM Tak Punya Salinan KRS, KKN, hingga Ijazah Fisik

    Kejanggalan tidak berhenti di KPU Surakarta. Giliran UGM mendapat sorotan saat majelis memeriksa keberadaan arsip akademik Jokowi selama kuliah di Fakultas Kehutanan.

    UGM menyatakan bahwa mereka tidak memiliki dokumen Kartu Rencana Studi (KRS) maupun laporan Kuliah Kerja Nyata (KKN) atas nama Jokowi. Bahkan setelah dilakukan pelacakan internal hingga ke fakultas, dokumen tersebut dinyatakan tidak ditemukan.

    “Tidak ada itu. Kami telah mencoba sedemikian rupa,” ujar perwakilan UGM saat ditanya Rospita mengenai KRS.

    Hal yang sama dijawab ketika ditanya tentang laporan KKN.
    UGM juga mengakui tidak lagi memegang salinan fisik ijazah yang pernah diserahkan ke Polda Metro Jaya dalam perkara sebelumnya. Yang tersisa, menurut mereka, hanya salinan digital atau hasil pemindaian berwarna.

    Kondisi ini membuat majelis mempertanyakan apakah UGM benar-benar masih menguasai dokumen akademik penting seorang kepala negara.

    Rospita menekankan bahwa sidang belum menyentuh soal keterbukaan data pribadi—yang dipersoalkan UGM—melainkan hanya menilai apakah dokumen-dokumen tersebut masih berada dalam penguasaan universitas.

    “Ada tidak dalam penguasaan UGM?” tegasnya.

    UGM Disebut Tidak Menggunakan Kop Resmi dan Tanpa Tanda Tangan

    Selain persoalan hilangnya dokumen, standar administrasi UGM kembali dipertanyakan ketika majelis menyoroti surat balasan UGM kepada pemohon yang dikirim melalui email pada 14 Agustus.

    Surat tersebut disebut tidak menggunakan kop resmi UGM dan tidak ditandatangani pejabat pengelola informasi.

    “Kenapa tidak menggunakan kop? Ini badan publik. Menjawab permohonan informasi seharusnya memakai surat resmi. Ini bahkan tidak ditandatangani,” kata Rospita.

    Dia menegaskan bahwa pejabat pengelola informasi di UGM memiliki kewenangan administratif berdasarkan SK Rektor, sehingga tidak ada alasan untuk mengirim balasan informal. Tanpa kop, tanpa tanda tangan, dan tanpa kejelasan penanggung jawab, menurutnya jawaban itu tidak memenuhi standar legalitas lembaga publik.

    “Surat resmi harus dijawab secara resmi, tidak boleh asal,” ujarnya.

    Sidang sengketa informasi ini mempertemukan Bonjowi dengan lima badan publik sekaligus. Namun hingga persidangan hari itu ditutup, belum ada titik terang yang memuaskan baik soal pemusnahan arsip, keberadaan dokumen akademik, maupun validitas administrasi balasan UGM.

    KIP menegaskan pemeriksaan akan berlanjut untuk menggali lebih jauh potensi pelanggaran prosedur, kelalaian administrasi, dan kejanggalan retensi dokumen. Seiring itu, kontroversi pun semakin mencuat—bukan hanya soal keberadaan ijazah Jokowi, melainkan tata kelola arsip dan standar transparansi lembaga publik yang kini ikut dipertaruhkan.

  • Mastel Sebut Program 1 Juta Panel Interaktif di 3T Butuh Konektivitas Satria-1

    Mastel Sebut Program 1 Juta Panel Interaktif di 3T Butuh Konektivitas Satria-1

    Bisnis.com, JAKARTA— Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menekankan keberhasilan program 1 juta panel interaktif di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) sangat bergantung pada layanan internet. 

    Kehadiran Palapa Ring hingga Satelit Satria-I mengambil peranan penting dalam mendukung keberhasilan program ini.

    Ketua Umum Mastel Sarwoto Atmosutarno menilai program ini selaras dengan kebutuhan modernisasi pendidikan nasional. 

    Sarwoto mengatakan keberhasilan program ini membutuhkan jaminan konektivitas internet bagi sekolah-sekolah penerima. 

    Wilayah yang belum terjangkau layanan internet dapat dimasukkan sebagai daerah kewajiban pelayanan universal atau USO.

    “Secara mekanisme baku yang ada, daerah 3T tersebut dapat dimasukkan sebagai daerah USO [Universal Service Obligation],” kata Sarwoto kepada Bisnis pada Selasa (18/11/2025). 

    Sarwoto menjelaskan untuk melaksanakan tugas pelayanan KPU atau USO, pemerintah telah menunjuk Badan Layanan Umum Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Digital (BLU Bakti Komdigi). 

    Dia menambahkan bahwa Bakti dapat bekerja sama dengan penyelenggara jaringan internet yang sudah beroperasi, serta mengoptimalkan infrastruktur yang dimiliki, seperti kapasitas satelit Satria-1, jaringan Palapa Ring berbasis serat optik, dan BTS 4G.

    Sarwoto menilai penugasan pemasangan flat panel ini menjadi sinyal bahwa kebutuhan digitalisasi pemerintahan akan terus meningkat di berbagai sektor. 

    Dia menunjukkan dorongan tersebut terlihat dari berbagai inisiatif, seperti Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), Government Technology (GovTech), Satu Data Indonesia, Pusat Data Nasional, program Universal Service Obligation (USO) untuk daerah 3T, hingga pembangunan Jaringan Intra Pemerintah. 

    Karena itu, menurutnya, Mastel memandang perlu dibentuk kembali lembaga sejenis Perumtel sebagai pelaksana utama pemerintahan digital, sementara Peruri tetap berfokus pada aplikasi. Dia menilai bentuk Perusahaan Umum (Perum) akan lebih fleksibel dalam menjalankan fungsi internal maupun eksternal terkait kebutuhan digital pemerintah.

    “Sedangkan TelkomGroup fokus kepada penciptaan nilai berbasis korporasi pasar terbuka [B2B atau B2C),” katanya.

    Diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menargetkan percepatan besar dalam digitalisasi pembelajaran pada 2026. Pemerintah berencana memasang tiga panel tambahan untuk setiap sekolah di seluruh Indonesia, yang totalnya mencapai sekitar satu juta unit IFP.

    “Tahun depan kita punya sasaran yang lebih besar lagi, tahun depan sasaran kita adalah menambah tiga panel, berarti tiga kelas lagi untuk semua sekolah di Indonesia berarti tahun depan kita akan pasang insyaallah satu juta panel kira-kira,” kata Prabowo saat peluncuran IFP di SMPN 4 Kota Bekasi, Senin (17/11/2025).

  • 2
                    
                        KPU Surakarta Dicecar Alasan Musnahkan Ijazah Jokowi, padahal Baru Satu Tahun Penyimpanan
                        Nasional

    2 KPU Surakarta Dicecar Alasan Musnahkan Ijazah Jokowi, padahal Baru Satu Tahun Penyimpanan Nasional

    KPU Surakarta Dicecar Alasan Musnahkan Ijazah Jokowi, padahal Baru Satu Tahun Penyimpanan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Majelis sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) mempertanyakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surakarta yang memusnahkan arsip ijazah pencalonan Joko Widodo saat maju sebagai Walikota Surakarta.
    Hal tersebut disampaikan Ketua Majelis Sidang
    KIP
    dalam sidang sengketa
    ijazah Jokowi
    di Wisma BSG, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025).
    Pemohon dalam sengketa ini adalah organisasi bernama Bongkar Ijazah Jokowi (Bonjowi).
    Pemusnahan arsip salinan ijazah Jokowi ini terungkap setelah salah satu pemohon membaca jawaban surat dari
    KPU Surakarta
    .
    “Jadi, yang jadi pertanyaan itu (pemusnahan), sudah sesuai dengan JRA (Jadwal Retensi Arsip), buku agenda kami, musnah ibu. Sesuai dengan jadwal arsip,” kata perwakilan dari KPU Surakarta, dikutip Kompas.com dari tayangan YouTube Kompas TV, Selasa (18/11/2025).
    Mendengar hal itu, Ketua Majelis Sidang KIP kemudian mencecar pihak terkait mengenai berapa lama arsip seharusnya disimpan.
    “Buku agenda sesuai dengan PKUP (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) (Nomor) 17 tahun 2023 itu 1 tahun aktif, 2 tahun inaktif,” ujar pihak KPU Surakarta.
    Ketua majelis tampak bingung setelah mendengar jawaban KPU Surakarta selaku pihak termohon. Suaranya pun terdengar meninggi.
    “Sebentar, satu tahun penyimpanan arsip? Satu tahun?” jelas ketua sidang.
    Dia menjelaskan, pemusnahan arsip seharusnya mengacu pada Undang-Undang Kearsipan, bukan JRA KPU atau PKPU.
    “Itu minimal 5 tahun lho. Minimal. Masa sih arsip satu tahun dimusnahkan?” tanya ketua.
    Suasana persidangan seketika riuh, sementara ketua majelis mengingatkan para pengunjung untuk tetap tenang.
    Namun, KPU Surakarta bersikukuh bahwa batas waktu penyimpanan arsip tetap mengacu pada aturan yang tertuang dalam PKPU.
    KPU Surakarta menjelaskan bahwa arsip salinan dokumen Jokowi saat mendaftarkan sebagai calon Wali Kota Solo bersifat tidak tetap dan harus dimusnahkan.
    Hakim ketua menegaskan bahwa arsip dokumen Jokowi tersebut masuk sebagai dokumen negara.
    Selain itu, dia juga mengatakan bahwa dokumen itu masih berpeluang untuk disengketakan di kemudian hari.
    “Selama itu berpotensi disengketakan tidak boleh dimusnahkan. Saya bingung, arsip mana yang satu tahun dimusnahkan. Masa retensi penyimpanan arsip itu tidak ada yang di bawah lima tahun,” jelasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 1
                    
                        KPU Sebut Dokumen Ijazah Jokowi Termasuk Informasi Terbuka, tetapi…
                        Nasional

    1 KPU Sebut Dokumen Ijazah Jokowi Termasuk Informasi Terbuka, tetapi… Nasional

    KPU Sebut Dokumen Ijazah Jokowi Termasuk Informasi Terbuka, tetapi…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Perwakilan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan bahwa seluruh jenis informasi terkait peraturan, SOP, hingga dokumen pendaftaran calon presiden, termasuk ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) pada prinsipnya merupakan informasi terbuka.
    Namun, pihak KPU mengaku belum dapat memberikan dokumen-dokumen tersebut karena masih dicari dari arsip KPU.
    Hal ini disampaikan perwakilan KPU dalam sidang sengketa informasi antara Leony selaku pemohon dan Universitas Gadjah Mada, KPU, dan Polda Metro Jaya terkait
    ijazah Jokowi
    yang digelar
    Komisi Informasi Pusat
    , Selasa (18/11/2025).
    “Berarti ini semua yang diminta pemohon ini terbuka, Pak ya?” tanya ketua majelis yang menangani sengketa, dikutip dari YouTube Komisi Informasi Pusat.
    “Terbuka. Ini kami menjanjikan kita berusaha untuk mencari dulu, nanti kalau sudah ketemu nanti kami serahkan. Karena kami baru pindah gudang jadi mohon dimaklumi,” jawab pihak KPU.
    Perwakilan KPU itu menjelaskan bahwa permohonan informasi dari pemohon diterima pada 31 Juli 2025 dan langsung ditanggapi pada hari yang sama oleh desk pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID).
    Pada 14 Agustus, PPID kembali memberi pemberitahuan perpanjangan waktu selama tujuh hari.
    “Kami sudah serahkan dokumen tersebut kepada pemohon. Dokumennya kami berikan pada 10 Oktober,” kata perwakilan KPU.
    Namun, pemohon kemudian mengajukan sengketa pada 14 Oktober 2025 karena merasa informasi yang diterimanya tidak lengkap.
    Dalam persidangan, pihak pemohon menyatakan KPU hanya memberikan sebagian kecil dari informasi yang diminta.
    Selain itu, beberapa permintaan mengenai peraturan dan SOP dianggap tidak dijawab secara spesifik karena hanya diberi tautan situs web yang tidak langsung merujuk ke dokumen yang dimaksud.
    “Saya merasa masuk ke hutan, tidak merujuk ke spesifik kepada apa yang kami minta,” ujar pihak pemohon.
    Dari tujuh jenis informasi yang diminta, pemohon hanya menerima beberapa dokumen, antara lain salinan legalisir ijazah yang digunakan Jokowi untuk pendaftaran capres 2014 dan 2019, rangkuman serah terima berkas, serta daftar dokumen yang dianggap KPU sebagai hasil verifikasi.
    Namun, dokumen verifikasi itu sendiri belum tersedia secara lengkap.
    Pemohon juga mempersoalkan bentuk dokumen ijazah yang diterima karena terdapat lima bagian yang disensor, seperti nomor ijazah, nomor induk mahasiswa Jokowi, cap legalisasi, serta tanda tangan rektor dan dekan.
    “Bagi kami itu aneh, apakah keterbukaan seperti itu?” tanya pemohon.
    Majelis kemudian meminta klarifikasi satu per satu mengenai status keterbukaan informasi yang diminta pemohon.
    Perwakilan KPU menegaskan bahwa semua dokumen dan SOP terkait verifikasi ijazah, pengelolaan data, serta publikasi dokumen pendaftaran merupakan informasi terbuka dan sudah tersedia dalam Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) KPU.
    Terkait berkas pendaftaran, termasuk salinan legalisir ijazah Jokowi, KPU menyatakan dokumen itu juga bersifat terbuka.
    Namun, KPU mengakui masih mencari sejumlah dokumen verifikasi karena terjadi perpindahan gudang arsip.
    “Mohon izin, mohon waktu, mohon dimaklumi karena barang ini kan banyak ketua majelis, jadi kami masih mencari, jadi kami masih bongkar-bongkar arsip kami, karena kebetulan beberapa waktu yang lalu kami kan pindah gudang, Jadi mohon izin mohon waktu nanti akan kami sampaikan,” kata KPU.
    KPU menegaskan bahwa informasi tentang lembaga yang melegalisasi ijazah, tanggal dan nomor agenda masuk dokumen, hingga berita acara verifikasi juga tergolong informasi terbuka.
    Ketua Majelis menyimpulkan bahwa seluruh jenis informasi yang dimohonkan dinyatakan terbuka oleh KPU.
    Dengan demikian, sesuai hukum acara Komisi Informasi, perkara ini akan dilanjutkan ke tahap mediasi.
    “Maka sesuai hukum acara di Komisi Informasi nanti prosesnya melalui mediasi. Nanti silakan mediasi, pihak pemohon menyampaikan mintanya seperti apa, di-
    clear
    -kan di mediasi, nanti kalau mediasinya tidak selesai kita lanjut ke ajudikasi,” ungkap Ketua Majelis.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2
                    
                        KPU Surakarta Dicecar Alasan Musnahkan Ijazah Jokowi, padahal Baru Satu Tahun Penyimpanan
                        Nasional

    6 Dokumen Banyak "Di-Blackout", UGM Diperingatkan Majelis KIP dalam Sidang Ijazah Jokowi Megapolitan

    Dokumen Banyak “Di-Blackout”, UGM Diperingatkan Majelis KIP dalam Sidang Ijazah Jokowi
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sidang sengketa informasi terkait ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) kembali bergulir di Komisi Informasi Pusat (KIP) RI, Jakarta, Senin (17/11/2025).
    Persidangan ini merupakan lanjutan dari gugatan yang diajukan para pemohon, yakni akademisi, aktivis, dan jurnalis yang tergabung dalam
    Bongkar Ijazah Jokowi
    (
    Bonjowi
    ).
    Sementara itu, pihak termohon dalam perkara ini mencakup lima badan publik, yaitu
    Universitas Gadjah Mada
    (UGM), KPU RI, KPU DKI Jakarta, KPU Surakarta, dan Polda Metro Jaya.
    Pada agenda pemeriksaan kali ini, UGM turut dimintai klarifikasi terkait dokumen yang mereka serahkan kepada pemohon.
    Dalam sidang, perwakilan pemohon mempersoalkan dokumen yang diberikan UGM, khususnya berita acara dan tanda terima penyerahan sejumlah dokumen.
    Mereka mengungkap bahwa berkas tersebut memang diberikan, namun hampir seluruh isinya disamarkan atau di-blackout.
    “UGM memberikan berita acara tanda terima, tetapi hampir semua halamannya di-blackout. Jadi apakah ini benar-benar keterbukaan informasi? Semua disamarkan,” kata salah satu perwakilan pemohon Bonjowi, dikutip dari tayangan
    KompasTV
    .
    Ketua
    Majelis KIP
    ,
    Rospita Vici Paulyn
    , langsung menanggapi temuan tersebut.
    Ia mempertanyakan alasan UGM menyebut dokumen tersebut terbuka, padahal isinya tidak dapat diakses.
    “Oh begitu? Dibilang terbuka tapi tertutup semua ya? Bagaimana ini UGM?” ujar Rospita.
    Menjawab hal itu, perwakilan UGM menyatakan bahwa bagian yang disamarkan merupakan informasi yang mereka anggap termasuk kategori pengecualian.
    Mereka berdalih dokumen tersebut terkait proses penyidikan aparat penegak hukum (APH).
    “Yang kami tampilkan hanya jenis dokumen yang diserahkan. Karena dokumen itu bagian dari bukti pengadilan dan sedang dalam proses di APH, kami nilai ada kewenangan di sana. Bagian yang kami anggap layak dikecualikan, kami blackout,” kata perwakilan UGM.
    Mendengar penjelasan tersebut, Ketua Majelis langsung mengeluarkan instruksi tegas.
    Ia memerintahkan UGM untuk melakukan uji konsekuensi terhadap seluruh informasi yang mereka nyatakan dikecualikan.
    “UGM saya perintahkan melakukan uji konsekuensi untuk semua informasi yang dikecualikan. Saya beri waktu dua minggu dari sekarang,” tegas Rospita.
    Ia juga menegaskan bahwa uji konsekuensi tersebut tidak boleh dilakukan hanya oleh internal UGM.
    Perwakilan masyarakat harus dilibatkan untuk memastikan bahwa alasan pengecualian memang berdasar dan tidak merugikan publik.
    “Harus melibatkan pihak luar agar terlihat apakah informasi itu benar lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya jika dibuka,” ujar Rospita.
    Selain itu, pada sidang berikutnya, UGM diwajibkan membawa seluruh informasi yang disengketakan.
    Majelis akan melakukan pemeriksaan tertutup guna memastikan bahwa dokumen tersebut benar-benar berada dalam penguasaan UGM.
    Sidang sengketa informasi ijazah Jokowi ini masih akan berlanjut dengan agenda pembuktian lanjutan dan evaluasi terhadap hasil uji konsekuensi dari UGM.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perwakilan UGM Dicecar Majelis Sidang KIP soal Ijazah Jokowi: Banyak Jawaban ‘Tidak Ada’

    Perwakilan UGM Dicecar Majelis Sidang KIP soal Ijazah Jokowi: Banyak Jawaban ‘Tidak Ada’

    GELORA.CO – Majelis sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) mendapati banyak jawaban “tidak ada” saat menginterogasi perwakilan Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang prosedur legalisasi ijazah. Pertanyaan khusus diajukan terkait Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku saat masa kuliah hingga pencalonan Presiden Joko Widodo.

    Sidang sengketa informasi publik terkait ijazah Presiden ke-7 RI ini digelar di Jakarta, Senin (17/11/2025).

    Hadir sebagai pemohon koalisi Bongkar Ijazah Jokowi (Bonjowi) yang terdiri dari akademisi, aktivis, dan jurnalis, sementara termohon dihadiri perwakilan UGM, KPU DKI Jakarta, KPU Surakarta, dan Polda Metro Jaya.

    “SOP dan aturan legalisasi ijazah pada masa permintaan legalisasi?” tanya Ketua Majelis Sidang, Rospita Vici Paulyn.

    “Enggak ada,” jawab pihak termohon.

    UGM mengakui Jokowi pernah melakukan legalisasi ijazah, namun kampus tidak memiliki SOP tertulis sejak masa kuliah Jokowi di Fakultas Kehutanan (1980–1985) hingga pendaftaran capres 2014 dan 2019. SOP hanya tersedia dalam bentuk buku panduan tanpa format baku.

    “Sampai sekarang ada, sudah ada belum, enggak ada juga? Terkait penanganan permintaan verifikasi ijazah juga enggak ada aturannya?” tanya Rospita.

    “Kami yakin ya, eh, dengan status Pak Jokowi di kami, ada, ada Bu,” jawab termohon.

    “Ada ya? SOP-SOP enggak pernah ada?” tanya Rospita lagi.

    Perwakilan UGM menjelaskan, “Kalau SOP ya, SOP dalam artian prosedural yang kita maknai saat ini itu memang, memang tidak ada pada zaman itu. Jadi, pada saat itu proses aturannya itu dalam bentuk buku panduan. Jadi buku panduan, tapi memang tidak spesifik juga ya apa menjelaskan perihal SOP yang Bapak/Ibu dari pemohon itu minta, gitu.”

    Ketua majelis kemudian mendalami isi buku panduan yang dimaksud, namun jawaban yang diterima dinilai tidak lugas. Termohon menyebut buku panduan hanya memuat kurikulum dan aturan drop out (DO), sementara informasi seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau proses akademik lain harus ditanyakan ke fakultas.

    “Nah, dari yang beberapa ini apa yang ada di dalam buku panduan itu? Misalnya terkait masa studi, ada enggak? Aturan DO?” tanya Rospita.

    “Mohon izin. Ya. Untuk yang di dalam buku panduan itu terkait dengan kurikulum ada,” jawab termohon.

    “Kurikulum ada?” tanya Rospita lagi.

    “Terkait dengan drop out ada,” jawab termohon.

    “KKN?” tanya Rospita.

    “Untuk KKN, kalau dari kami belum bisa memastikan ya karena itu yang menguasai adalah fakultas, nanti yang bisa menjelaskan fakultas,” jawab termohon.

    Rangkaian pertanyaan berlanjut hingga majelis menyimpulkan banyak ketiadaan aturan. “Oke, dicek lagi ya, aturan sidang?” tanya Rospita.

    “Aturan sidang kurang tahu juga karena itu. Kalau untuk penanganan data akademik ini kayaknya enggak ada ya…”

    Penelusuran berakhir dengan pengakuan resmi dari UGM bahwa periode 1980-1985 memang tidak ada SOP legalisasi ijazah dalam format yang diminta pemohon. “Iya, kalau untuk yang bentuknya SOP enggak ada,” jawab termohon menutup keterangan.

  • Sosok Rospita Vici Paulyn, Ketua Majelis Sidang Sengketa Dokumen Ijazah Jokowi di KIP

    Sosok Rospita Vici Paulyn, Ketua Majelis Sidang Sengketa Dokumen Ijazah Jokowi di KIP

    GELORA.CO – Sengketa terkait keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus berlangsung. Kasus ini tidak hanya menyoroti keabsahan dokumen, tetapi juga persoalan transparansi dan tata kelola administrasi publik di Indonesia.

    Pada Senin (17/11/2025), Ketua majelis sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) RI, Rospita Vici Paulyn, mencecar pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai termohon terkait kelengkapan berkas Jokowi di sidang sengketa ijazah di Jakarta.

    Rospita Vici Paulyn, mempertanyakan kelengkapan berkas Jokowi yang dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada (UGM).

    Pihak UGM dianggap tidak dapat memberikan salinan berkas yang diminta, yang menimbulkan keraguan terkait penguasaan dokumen tersebut.

    Selain itu, KPU Surakarta juga menjadi sorotan karena melakukan pemusnahan arsip pencalonan Jokowi yang dianggap masih berpotensi disengketakan.

    Sementara, Polda Metro Jaya mengonfirmasi bahwa ijazah asli Jokowi saat ini berada dalam penguasaan mereka untuk keperluan proses hukum.

    Peran Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)

    Di tempat yang sama, ANRI dikonfirmasi tidak menyimpan salinan primer ijazah Jokowi, yang memicu gugatan hukum oleh seorang pengamat kebijakan publik, Bonatua Silalahi.

    Bonatua menilai ketiadaan dokumen tersebut menghambat penelitian akademisnya yang berstandar internasional dan menegaskan pentingnya verifikasi data primer untuk menjaga kualitas riset.

    Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam kasus ini.

    Ia menilai bahwa kegigihan tokoh-tokoh yang menelusuri kebenaran ijazah Jokowi menunjukkan adanya masalah serius dalam tata kelola administrasi calon kepala daerah.

    Tuntutan Aliansi Pro Demokrasi (Prodem) Jawa Tengah

    Sebelumnya, Kelompok masyarakat Prodem Jawa Tengah mengajukan aduan sengketa informasi terhadap KPU Surakarta yang menolak memberikan salinan ijazah Jokowi saat pencalonan Wali Kota.

    Mereka menuntut keterbukaan informasi sebagai bagian dari demokrasi dan transparansi publik.

    Terjadi Perdebatan di Persidangan, Ketua Majelis Cecar UGM 

    Rospita Vici Paulyn, Ketua majelis sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) mencecar pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai termohon terkait kelengkapan berkas Jokowi di sidang sengketa ijazah, Jakarta, pada Senin (17/11/2025).

    Ketua majelis sidang Rospita Vici Paulyn mempertanyakan sejumlah salinan berkas Jokowi yang dimiliki UGM. “Ini persoalannya dari pihak UGM menjawabnya tidak dalam penguasaan. Tidak dalam penguasaan itu artinya tidak ada berarti,” ujar Rospita. 

    Dalam sidang sengketa ini menghadirkan sejumlah pihak seperti Universitas Gajah Mada (UGM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Polda Metro Jaya.

    KPU Surakarta mengatakan pemusnahan dilakukan lantaran arsip telah tersimpan selama dua tahun. Namun, ketua sidang mempertanyakan pemusnahan arsip tersebut.

    “Selama itu berpotensi disengketakan tidak boleh dimusnahkan. Saya bingung, arsip mana yang satu tahun dimusnahkan. Masa retensi penyimpanan arsip itu tidak ada yang di bawah lima tahun,” ujar ketua majelis sidang.

    Polda Metro Jaya mengatakan bahwa berkas Jokowi termasuk ijazah asli sudah diterima untuk kebutuhan proses hukum. 

    “Untuk ijazah asli (Jokowi) saat ini berada dalam penguasaan Polda Metro Jaya untuk kepentingan proses hukum,” ujar perwakilan Polda Metro Jaya.

    Sementara, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) mengonfirmasi tidak menyimpan salinan ijazah primer milik mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

    Pengamat Kebijakan Publik, Bonatua Silalahi, secara resmi menggugat ANRI atas kegagalan lembaga tersebut menyediakan salinan data primer ijazah Jokowi. 

    Hal itu terungkap dalam sidang perdana atas sengketa informasi publik di Komisi Informasi Pusat (KIP) pada Senin (13/10/2025). 

    Dalam persidangan, Bonatua menjelaskan urgensi kebutuhannya terhadap dokumen tersebut. 

    Sebagai seorang peneliti yang tengah mengerjakan riset berstandar internasional, ia memerlukan data yang validasinya tidak diragukan. Ia menegaskan bahwa untuk penelitian sekelas Scopus, verifikasi data adalah kunci utama. “Kelebihan peneliti Scopus dalam hal uji data bahwa uji data saya harus terverifikasi dan tervalidasi,” ujarnya kepada Majelis KIP di Jakarta, Senin (13/10/2025).

    Menurutnya, ANRI adalah lembaga paling kredibel untuk mendapatkan salinan dokumen primer tersebut demi menjaga kualitas penelitiannya. Ia berargumen bahwa dokumen sepenting ijazah seorang presiden seharusnya sudah beralih status dari arsip statis di Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi arsip negara di ANRI.

    “Lembaga yang paling terverifikasi di sini adalah ANRI. Setelah itu KPU mengingat statis story dari dokumen sekarang data yang saya butuhkan seharusnya posisinya sudah berpindah ke ANRI, maka dokumen primer itu seharusnya sudah di tangan ANRI,” ungkap Bonatua.

    Ia menambahkan, penelitiannya menjadi tidak sempurna karena ANRI tidak dapat menyediakan dokumen yang ia butuhkan.

    Salinan ijazah yang sebelumnya didapat dari KPU dianggap tidak cukup kuat untuk mendukung validitas penelitiannya, karena yang dibutuhkan adalah salinan primer yang tersimpan sebagai arsip negara.

    Sebelumnya, salinan ijazah Jokowi yang diperoleh dari KPU telah dikonfirmasi sama dengan versi yang selama ini beredar luas di media sosial. Namun, kesamaan ini tidak menjawab pertanyaan mendasar mengenai keberadaan dokumen asli atau salinan primernya yang seharusnya tersimpan di lembaga arsip negara.

    Sebelumnya, kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Aliansi Pro Demokrasi (Prodem) Jawa Tengah mendatangi Kantor Komisi Informasi Publik (KIP) Jawa Tengah untuk menindaklanjuti aduan dilayangkan pada 18 September 2025. 

    Menurut Ketua Prodem Jawa Tengah, Suroto, aduan itu dilayangkan karena adanya sengketa informasi terhadap KPU Surakarta yang tak mau memberikan salinan ijazah Joko Widodo saat pencalonan Wali Kota.

    “Tujuan kami sederhana, hanya ingin mencocokkan salinan ijazah yang sudah diberikan oleh KPU pusat dengan yang dimiliki oleh KPU Surakarta. Ini untuk memastikan data yang beredar benar dan valid,” ujar Suroto.

    Kata Suroto, publik memiliki hak untuk mengetahui data pribadi pejabat publik yang bersifat administratif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

    “Kami menilai, keterbukaan informasi adalah bagian dari demokrasi. Publik berhak tahu, terutama soal dokumen penting seperti ijazah kepala negara,” tegasnya.

    Profil dan Biodata Rospita Vici PaulynNama: Rospita Vici PaulynTempat, Tanggal Lahir: Jayapura, 11 Juni 1974

    Pendidikan:

    S1 Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura

    Karier dan Pengalaman:

    Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Republik Indonesia sejak April 2022Ketua Komisi Informasi (KI) Kalimantan Barat dua periodeDosen di Lembaga Manajemen Sukabumi (1998-2000)Bekerja di PT Supra Securinvest, Jakarta (2000-2001)Bergabung di Unit Pengelolaan Kompleks Wilayah Barat II – Sunrise Garden, Yayasan Pendidikan BPK Penabur Jakarta (2002-2003)Pendiri dan Direktur CV Prima Karya Khatulistiwa, perusahaan konsultan teknik di bidang konstruksi di Pontianak

    Penghargaan dan Prestasi:

    Mengantarkan Kalimantan Barat meraih peringkat pertama pada penilaian Keterbukaan Informasi Publik Tingkat Nasional kategori Pemerintah Provinsi (2017-2018)

    Komitmen:

    Mengundurkan diri dari perusahaan dan organisasi pada akhir 2015 sebagai komitmen saat menjadi Komisioner Komisi Informasi Provinsi KalbarRospita Vici Paulyn dikenal sebagai sosok profesional yang aktif dalam bidang keterbukaan informasi publik dan pengembangan layanan konstruksi.Ia juga memiliki latar belakang akademis dan pengalaman kerja yang luas di berbagai bidang, serta dedikasi tinggi terhadap transparansi dan pelayanan publik.

  • KPU Surakarta Akui Arsip Dokumen Jokowi saat Nyalon Jadi Wali Kota Sudah Dimusnahkan

    KPU Surakarta Akui Arsip Dokumen Jokowi saat Nyalon Jadi Wali Kota Sudah Dimusnahkan

    GELORA.CO – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surakarta mengakui arsip terkait salinan dokumen milik Joko Widodo (Jokowi) saat mencalonkan sebagai calon Wali Kota Surakarta telah dimusnahkan.

    Hal ini disampaikan perwakilan dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumen (PPID) KPU Surakarta selaku termohon dalam sidang sengketa ijazah Jokowi di Wisma BSG, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025).

    Sementara pemohon dalam sengketa ini adalah organisasi bernama Bongkar Ijazah Jokowi (Bonjowi).

    Mulanya, ketua majelis hakim Komisi Informasi Pusat (KIP), Rospita Vici Paulyn, bertanya ke termohon terkait arsip salinan ijazah Jokowi saat mencalonkan sebagai calon Wali Kota Solo.

    Namun, menurut pengakuan termohon, arsip tersebut telah dimusnahkan. Dia menyebut langkah yang diambil telah sesuai dengan Jadwal Retensi Arsip (JRA) KPU Surakarta.

    “Kemudian tanggal dan nomor agenda masuk nomor ijazah ke KPU (Surakarta) saat pendaftaran,” tanya Paulyn.

    “Ini yang tadi menjadi pertanyaan, itu kan sudah sesuai dengan JRA buku agenda kami, musnah,” jawab termohon.

    Kemudian, Paulyn bertanya terkait batas maksimal penyimpanan arsip berdasarkan aturan dalam JRA.

    Lalu, termohon menjawab bahwa batas maksimal penyimpanan selama dua tahun. 

    Dia mengatakan aturan itu tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Jadwal Retensi Arsip Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.

    “Memang masa retensi penyimpanannya berapa lama?” tanya majelis hakim.

    “Kalau buku agenda sesuai dengan PKPU Nomor 17 Tahun 2023 itu, (arsip) satu tahun aktif, dua tahun inaktif,” jawab termohon.

    Mendengar penjelasan termohon, Paulyn pun kaget. Menurutnya, aturan terkait batas maksimal penyimpanan arsip harus mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.

    Paulyn mengatakan batas waktu berdasarkan UU tersebut yakni minimal lima tahun.

    “Sebentar, penyimpanan arsip cuma satu tahun, yakin? Kan harusnya mengacu kepada Undang-Undang Kearsipan ya, minimal itu lima tahun lho. Masa sih satu tahun arsip dimusnahkan?,” katanya.

    Namun, termohon tetap bersikukuh bahwa batas waktu penyimpanan arsip di KPU Surakarta tetap mengacu pada aturan yang tertuang dalam PKPU.

    Dia lantas menjelaskan bahwa arsip salinan dokumen Jokowi saat mendaftarkan sebagai calon Wali Kota Solo bersifat tidak tetap dan harus dimusnahkan.

    Paulyn lantas menegaskan bahwa arsip dokumen Jokowi tersebut masuk sebagai dokumen negara.

    Selain itu, dia juga mengatakan bahwa dokumen itu masih berpeluang untuk disengketakan di kemudian hari.

    “Selama itu berpotensi disengketakan tidak boleh dimusnahkan. Saya bingung, arsip mana yang satu tahun dimusnahkan. Masa retensi penyimpanan arsip itu tidak ada yang di bawah lima tahun,” jelasnya.

    Sebagai informasi, dalam sidang ini, pihak termohon yang hadir tidak hanya KPU Surakarta saja tetapi juga dari Universitas Gadjah Mada (UGM) serta KPU RI.

    Komentar Roy Suryo

    Pakar telematika, Roy Suryo, yang turut menyaksikan persidangan, turut mengomentari penjelasan pihak KPU Surakarta yang menyebut arsip salinan dokumen Jokowi terkait pendafataran sebagai calon Wali Kota Solo telah dimusnahkan.

    Menurutnya, pihak KPU Surakarta tidak memahami makna terkait UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

    “KPUD Surakarta yang jelas sama sekali tidak memahami esensi undang-undang keterbukaan informasi publik Undang-undang nomor 14 Tahun 2008 yang kebetulan saya ikut merancangnya,” ujar Roy Suryo setelah sidang.

    Lantas, Roy turut berkelakar bahwa salah satu cara memusnahkan salinan dokumen Jokowi yakni dicelupkan ke cairan asam sulfat.

    Kemudian, dia menunjukkan baju dengan gambar karikatur wajah yang diduga adalah Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka.

    “Yang paling fatal tadi soal dokumen yang kemudian tadi dimusnahkan. Musnahkan paling cepat apa? Masukkan ke asam sulfat,” kelakarnya.

  • 2
                    
                        Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif
                        Nasional

    2 Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif Nasional

    Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Erga omnes
    , istilah yang kerap dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki arti berlaku terhadap semua.
    Erga omnes
    adalah bahasa latin yang memberikan pengertian bahwa putusan MK adalah putusan yang memberlakukan norma untuk semua warga negara di Indonesia atas sengketa undang-undang yang diuji.
    Putusan
    MK
    juga bersifat
    final and binding
    , yang memiliki arti
    putusan MK
    langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh setelahnya.
    Penjelasan terkait
    final and binding
    ini juga dimuat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
    Mahkamah Konstitusi
    .
    Namun seiring berjalannya waktu, putusan MK yang bersifat mengikat ini tak lantas dipatuhi, termasuk oleh para pejabat penyelenggara negara.
    Hal ini disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti saat ditemui di Harris Hotel, Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/11/2025).
    Dia langsung memberikan contoh putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam proses pembentukannya.
    “Itu kan (putusan) nggak dilaksanakan, yang dilaksanakan (pemerintah dan DPR) itu hanya mengubah undang-undang nomor 12 tahun 2011 untuk memasukkan metode omnibus,” katanya.
    Padahal sangat jelas, MK meminta agar ada pembahasan ulang. Pemerintah juga bermanuver dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
    Susi juga menyebut, pembangkangan terhadap putusan MK juga terlihat dari putusan yang meminta agar wakil menteri dilarang merangkap jabatan.
    “Nah seperti itu kan wakil menteri sudah enggak boleh,” katanya.
    Untuk diketahui, MK menyatakan wakil menteri dilarang rangkap jabatan melalui putusan 128/PUU-XXIII/2025.
    Namun dalam putusan itu, MK kembali menegaskan, aturan tersebut sebenarnya sudah lama diputuskan MK, yakni saat pembacaan putusan 80/PUU-XVII/2019 yang dibacakan 11 Agustus 2020.
    MK dalam pertimbangannya menyatakan:

    Berkenaan dengan pokok permohonan Pemohon a quo yang mempersoalkan larangan rangkap jabatan wakil menteri, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri.

    Secara yuridis, pertimbangan hukum putusan sebelumnya memiliki kekuatan hukum mengikat karena merupakan bagian dari putusan Mahkamah Konstitusi yang secara konstitusional bersifat final.
    Sebab, putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan, bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
    MK kemudian memberikan waktu 2 tahun kepada pemerintah untuk menarik para wakil menterinya dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN.
    Namun yang terjadi justru sebaliknya, ada lebih banyak wakil menteri yang merangkap jabatan.
    Salah satunya, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo yang diangkat menjadi Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, dan Komisaris Utama PT Telkom.
    Dalam penjelasannya, Angga Raka mengaku posisi yang dia rangkap adalah penugasan, dan tidak mendapat fasilitas tambahan atas rangkap jabatannya tersebut.
    “Sesuai yang diketahui, saya ditugaskan oleh Presiden untuk memimpin Badan Komunikasi Pemerintah. Saya jelaskan dulu bahwa seperti peraturan yang berlaku, ini sifatnya penugasan. Yang namanya penugasan tidak berarti pendapatan dan fasilitas juga
    double
    , tetap satu sesuai ketentuan, tanggung jawabnya yang bertambah. Ini praktik umum untuk penguatan fungsi tertentu dan sejalan dengan arahan Presiden agar kita efektif dan efisien,” ujar Angga Raka kepada
    Kompas.com
    , Jumat (19/9/2025) lalu.
    Angga Raka menyampaikan bahwa tugas-tugas tersebut diberikan karena Presiden Prabowo melihat ada kesinambungan antara posisinya sebagai Wamen Komdigi, Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, serta Komut PT Telkom. Menurutnya, substansi dan bidang dari semua tugasnya itu sama.
    “Ini penting, karena kita ingin segera mewujudkan instruksi Presiden untuk mengakselerasi penguatan komunikasi pemerintah sesegera mungkin,” tegasnya.
    Maka dari itu, dengan penugasan ini, Angga Raka merasa fungsi kedua instansi pemerintah tersebut makin kuat. Dia pun jadi bisa membuat sisi regulasi dan eksekusi selaras, serta langsung melakukan aksi.
    “Sehingga publik akan mendapatkan informasi yang jernih dan tidak tumpang tindih dari seluruh lembaga pemerintah,” imbuh Angga Raka.
    Pembangkangan terhadap putusan MK juga dilakukan oleh lembaga politik seperti Partai Politik saat diucapkan putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan pemilihan umum lokal dan nasional dipisah dengan jeda waktu dua tahun.
    MK menetapkan, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden.
    Sedangkan pemilihan legislatif (Pileg) anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Reaksi pembangkangan paling keras datang dari Partai Nasdem yang menyebut MK mencuri kedaulatan rakyat.
    “Putusan MK ini menimbulkan problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara,” ujar anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, dalam pembacaan sikap resmi DPP Nasdem di Nasdem Tower, Jakarta, Senin (30/6/2025) malam.
    Lewat pernyataan sikap yang dibacakan Lestari, Nasdem menyampaikan sepuluh poin keberatannya terhadap putusan tersebut. Salah satunya, Nasdem menilai MK telah memasuki kewenangan legislatif dengan menciptakan norma baru yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah.
    Menurut Nasdem, hal itu bertentangan dengan prinsip
    open legal policy
    yang dimiliki lembaga legislatif.
    “MK telah menjadi
    negative legislator
    sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum demokratis,” kata Lestari.
    Sementara itu, Golkar melalui Wakil Ketua Umum Adies Kadir menilai, putusan MK berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan serta memunculkan ketidakpastian hukum.
    Menurut Adies, Pasal 22E dan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan satu rezim yang harus dilaksanakan setiap lima tahun.
    Selain itu, pemisahan pemilu nasional dan daerah dinilai bertentangan dengan semangat keserentakan yang justru pernah diputuskan MK sendiri melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    “Putusan itu memberikan enam pilihan dan dipilih satu. Itu kan juga putusan MK yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan pemilu,” kata Adies.
    Sikap tegas juga disampaikan Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal yang menyebut MK telah melampaui batas konstitusional dengan memutuskan pemilu dipisah.
    “Putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan lima tahun sekali. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” kata Cucun.
    Pemerintah juga saat itu menilai putusan MK justru berpotensi melanggar konstitusi.
    Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Karena dalam konstitusi disebutkan pemilu dari tingkat nasional dan lokal harus terselenggara lima tahun sekali.
    Putusan MK ini akan berakibat pada penundaan pemilu selama 2 tahun untuk Pilkada.
    MK secara langsung pernah menjawab bentuk pembangkangan ini dalam putusan 98/PUU-XVI/2018.
    Ketika itu, terbit putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung (MA) yang berkebalikan dengan putusan MK mengenai syarat pengunduran diri calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari partai politik.
    Akibat hal itu, terjadi ketidakpastian hukum yang membelit KPU karena ada dua putusan berbeda yang tersedia, namun KPU akhirnya memilih manut putusan MK.
    Majelis hakim konstitusi tidak setuju jika situasi pada tahun 2018 itu disebut sebagai ketidakpastian hukum, karena putusan MK seharusnya final dan mengikat untuk semua (
    erga omnes
    ).
    “Sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka tindakan yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi demikian, dalam pengertian tetap menggunakan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, membawa konsekuensi bukan hanya ilegalnya tindakan itu, melainkan pada saat yang sama juga bertentangan dengan UUD 1945,” bunyi putusan tersebut.
    “Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” tulis putusan tersebut.
    Namun terlepas dari penegasan MK tersebut, Guru Besar FH Unpad Susi Dwi Harijanti menilai, fenomena pembangkangan ini sebagai bukti bahwa cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang yang paling lemah.

    “Memang itu menunjukkan bahwa cabang kekuasaan kehakiman itu adalah cabang kekuasaan yang paling lemah di antara legislatif dan eksekutif,” ucapnya.
    Dia mengutip pandangan alam buku
    The Federalist Papers
    karya Alexander Hamilton, John Jay, dan James Madison, bahwa kekuasaan kehakiman hanya punya palu untuk memutus.
    Berbeda dengan kekuasaan eksekutif memiliki pedang untuk mengeksekusi, sedangkan legislatif punya kekuasaan untuk mengatur anggaran.
    Sebab itu, Susi menilai sudah saatnya Indonesia mulai memikirkan aturan yang lebih rigit untuk kekuasaan yudikatif sebagai upaya independensi dan akuntabilitas prinsip negara hukum.
    Negara harus mengatur agar
    contempt of court
    atau penghinaan dan tindakan yang merendahkan pengadilan bisa juga mendapat hukuman yang jelas, termasuk membangkang dari perintah pengadilan.
    “Sekarang persoalannya, ketika mereka tidak memenuhi apa yang diminta oleh Mahkamah, apa yang bisa dilakukan? Ini yang saya lagi berpikir, bisa nggak dia terkena
    contempt of court
    ? Sayangnya di Indonesia belum ada undang-undang
    contempt of court
    ,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.