Kementrian Lembaga: KPU

  • Eks Jubir KPK Johan Budi Tak Setuju Prabowo Beri Amnesti untuk Sekjen PDI-P Hasto
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 Desember 2025

    Eks Jubir KPK Johan Budi Tak Setuju Prabowo Beri Amnesti untuk Sekjen PDI-P Hasto Nasional 6 Desember 2025

    Eks Jubir KPK Johan Budi Tak Setuju Prabowo Beri Amnesti untuk Sekjen PDI-P Hasto
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Juru Bicara KPK Johan Budi mengaku tidak setuju dengan pemberian amnesti kepada Sekretaris Jenderal Partai PDI-P Hasto Kristiyanto, oleh Presiden Prabowo Subianto.
    Johan mengatakan,
    amnesti untuk Hasto
    sarat kepentingan politik.
    “Saya tidak setuju kalau kewenangan konstitusi yang dimiliki Presiden Prabowo itu digunakan untuk kepentingan politik, rekonsiliasi nasional kan istilahnya. Anda tahu kan sebelum ada amnesti. Itu saya enggak setuju kalau yang itu,” ujar Johan, dalam acara diskusi Total Politik berjudul ‘Gejolak Jelang 2026: Dampak Politik Pisau Hukum Prabowo’ di Menteng, Jakarta, Sabtu (6/12/2025).
    Johan membandingkan amnesti untuk Hasto dengan dua keputusan Prabowo lainnya, yaitu abolisi untuk Eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong di kasus
    korupsi
    importasi gula dan rehabilitasi untuk eks Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi serta dua direksinya di kasus korupsi akuisisi perusahaan PT JN.
    Ia mengaku setuju dengan dua keputusan ini karena hasilnya memberikan keadilan, terutama di kalangan masyarakat.
    “Kalau yang dua itu (abolisi Tom dan rehabilitasi Ira) saya setuju karena konsepnya demi keadilan masyarakat,” imbuh Johan.
    Johan menegaskan, ia tidak setuju jika amnesti diberikan untuk kepentingan politik, terutama jika amnesti ini diberikan kepada orang yang tengah dijerat kasus korupsi.
    “Yang saya soroti dan saya tidak setuju adalah memberikan amnesti untuk rekonsiliasi politik, tapi di kasus korupsi,” tutup Johan.
    Diketahui, Hasto resmi bebas dari proses hukum yang menjeratnya setelah mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo yang disetujui DPR pada Kamis (31/7/2025).
    Saat menerima amnesti, Hasto sudah divonis bersalah karena terbukti menyuap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait Harun Masuki.
    Hasto pun divonis 3,5 tahun penjara atas perbuatannya.
    Namun, belum sempat menjalani hukumannya, ia sudah bebas dari Rutan KPK pada Kamis (31/7/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Temuan 357 Data Anomali, Bawaslu Blitar Desak KPU Segera Koreksi Daftar Pemilih

    Temuan 357 Data Anomali, Bawaslu Blitar Desak KPU Segera Koreksi Daftar Pemilih

    Blitar (beritajatim.com) – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Blitar secara resmi melayangkan surat Saran Perbaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Blitar, Kamis (4/12/2025). Langkah tegas ini diambil setelah pengawas pemilu menemukan ratusan ketidaksesuaian data dalam proses Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) menjelang Rapat Pleno Triwulan IV.

    Surat bernomor 89/PM.00.02/K.JI-03/12/2025 tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil uji petik dan pengawasan melekat di lapangan. Bawaslu mendesak KPU untuk segera menindaklanjuti temuan dinamika kependudukan yang berpotensi mencederai validitas daftar pemilih jika tidak segera dikoreksi.

    Berdasarkan data hasil pengawasan, tercatat total 357 poin temuan yang meliputi berbagai kategori perubahan status pemilih. Rinciannya terdiri dari 240 pemilih baru, 73 pemilih yang telah meninggal dunia, 25 pemilih pindah keluar, dan 13 pemilih pindah masuk. Selain itu, ditemukan pula perubahan status dari anggota aktif menjadi sipil, yakni 4 pensiunan TNI dan 2 pensiunan Polri.

    “Penyampaian saran perbaikan ini merupakan bagian penting dari fungsi pencegahan Bawaslu dalam menjaga validitas daftar pemilih sejak masa non-pemilihan,” tegas Jaka Wandira, Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Kabupaten Blitar, Kamis (4/12/2025).

    Jaka menekankan bahwa akurasi data adalah fondasi utama integritas demokrasi. Oleh karena itu, Bawaslu meminta KPU Kabupaten Blitar untuk segera melakukan koordinasi intensif dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) serta pemerintah desa setempat guna memverifikasi temuan tersebut.

    Dalam saran perbaikan itu, Bawaslu juga mengingatkan KPU untuk disiplin menjalankan regulasi. Hal ini mencakup penerapan Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2025 tentang prosedur pembaruan data rutin, serta Pasal 18 terkait mekanisme pencocokan dan klarifikasi berbasis bukti kependudukan yang sah.

    Sebelum menerbitkan surat resmi ini, Bawaslu mencatat telah memberikan peringatan awal melalui surat imbauan pada 30 Oktober 2025 lalu. Langkah bertingkat ini dilakukan untuk memastikan KPU memiliki waktu yang cukup dalam menyusun Model A – Daftar Perubahan Pemilih PDPB yang presisi.

    “Pemutakhiran data pemilih harus dilakukan secara akurat, transparan, dan akuntabel. Temuan kami bersumber dari hasil pengawasan di lapangan, sehingga penting untuk segera ditindaklanjuti demi menjaga integritas proses demokrasi,” tutupnya. [owi/beq]

  • Puskapol UI: Revisi UU Pemilu harus lindungi perempuan dari kekerasan

    Puskapol UI: Revisi UU Pemilu harus lindungi perempuan dari kekerasan

    Depok (ANTARA) – Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) meminta agar revisi Undang-undang Pemilu harus bisa melindungi perempuan dari kekerasan politik.

    “Revisi UU Pemilu menjadi momentum penting untuk memastikan adanya struktur regulasi yang melindungi perempuan dan mendorong partisipasi politik yang lebih setara,” kata Direktur Puskapol UI Hurriyah di Depok, Kamis.

    Ia mengatakan melalui policy brief yang disusun berdasarkan hasil riset Puskapol UI, pihaknya merekomendasikan dua langkah strategis untuk memastikan revisi UU Pemilu benar-benar mendukung demokrasi yang inklusif dan setara gender.

    Pertama, kata dia, memperkuat afirmasi gender, dengan penguatan kebijakan afirmasi di dalam kepengurusan partai, yakni menyertakan minimal 30 persen di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta di dalam keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu dengan mengubah frasa memperhatikan menjadi memuat 30 persen keterwakilan perempuan.

    Selain itu, menurut dia, juga perlu menerapkan sistem zipper murni dan didistribusikan calon perempuan minimal 30 persen di dapil (daerah pemilihan).

    “Berikan insentif bagi partai yang patuh dan sanksi bagi yang melanggar. Tetapkan syarat minimal tiga tahun keanggotaan partai dan pendidikan kader untuk calon legislatif,” ujarnya.

    Kedua, kata Hurriyah, dengan melakukan integrasikan perlindungan terhadap kekerasan politik berbasis gender.

    Oleh karena itu, menurut dia, mendefinisikan kekerasan politik berbasis gender dalam UU, dan menyediakan mekanisme pengaduan yang cepat, rahasia, dan sensitif korban.

    “Berikan perlindungan hukum dan psikologis bagi korban, saksi, dan pelapor. Wajibkan KPU dan Bawaslu untuk mengedukasi partai, calon, dan pemilih tentang kekerasan politik berbasis gender sebagai pelanggaran serius terhadap demokrasi,” ujarnya.

    Puskapol UI bersama anggota koalisi lainnya menyerukan komitmen kolektif dari seluruh pemangku kepentingan pembuat kebijakan, partai politik, penyelenggara pemilu, dan masyarakat sipil yang lebih luas untuk bersama-sama mengawal revisi UU Pemilu agar menciptakan ruang politik yang aman, setara, dan bebas dari kekerasan.

    “Demokrasi yang inklusif bukan hanya hak perempuan, tetapi prasyarat bagi keadilan dan kualitas demokrasi Indonesia. Tanpa langkah konkret ini, demokrasi kita berisiko terus mereproduksi ketimpangan dan kekerasan terhadap perempuan,” ujar Hurriyah.

    Pewarta: Feru Lantara
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 8
                    
                        Menanti Kemunculan Anggota DPR dari Masyarakat Adat…
                        Nasional

    8 Menanti Kemunculan Anggota DPR dari Masyarakat Adat… Nasional

    Menanti Kemunculan Anggota DPR dari Masyarakat Adat…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pada November tahun lalu, anggota parlemen suku Maori asli menghentikan sidang parlemen Selandia Baru dengan tarian perang “haka Ka Mate”.
    Tarian ini dipantik oleh Hana-Rawhiti Maipi-Clarke (22) yang meneriakkan “Ka mate, ka mate, ka ora, ka ora!” di ruang sidang. Suara itu menggelegar.
    Teriakan yang berarti “aku mati, aku mati, aku hidup, aku hidup,” itu dilakukan oleh Hana dalam pembahasan rancangan undang-undang terkait prinsip-prinsip perjanjian.
    Dikutip dari
    Kompas.id
    , RUU rancangan undang-undang yang diajukan partai sayap kanan itu memang telah memicu protes di seluruh negeri sejak dibahas di Parlemen Selandia Baru pekan lalu.
    Rancangan itu menginginkan adanya penafsiran ulang
    Perjanjian Waitangi
    yang ditandatangani 500 kepala suku
    masyarakat adat
    Maori dengan pendatang Inggris pada tahun 1840.
    Sejak disepakati di 1840, Perjanjian Waitangi dianggap sebagai dokumen pendirian negara Selandia Baru.
    Perjanjian tersebut menetapkan hak antara kaum suku pribumi dan pendatang Eropa.
    Terdapat tiga prinsip utama dalam perjanjian itu, yaitu kemitraan, partisipasi, dan perlindungan.
    Hingga sekarang, penafsiran klausul dalam dokumen tersebut masih digunakan dalam undang-undang dan kebijakan Selandia Baru.
    Aspirasi suku Maori dalam parlemen Selandia Baru memperlihatkan entitas masyarakat adat yang bisa memperjuangkan suara politik mereka secara konstitusional, memberikan ruang dialog konstruktif terkait konflik negara dengan masyarakat adat di tempat itu.
    Dalam konteks Tanah Air, keberadaan masyarakat adat sendiri pun belum sepenuhnya diakui oleh negara.
    Tak usah jauh-jauh mengharapkan ada keterwakilan mereka duduk di kursi parlemen atau melakukan tarian perang saat menolak kebijakan yang berseberangan dengan kepentingan mereka.
    Saat ini, hak mereka untuk memilih saja masih menjadi kontroversi.
    Pada
    pemilu 2024
    , Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sendiri mengakui masyarakat adat menjadi salah satu kelompok pemilih rentan.
    Kerentanan masyarakat adat berangkat dari pendataan.
    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mekanisme penyusunan daftar pemilih dilakukan secara de jure.
    Itu artinya, pendekatan untuk memverifikasi pemilih dilakukan berdasarkan identitas kependudukan, dalam hal ini KTP elektronik.
    Sementara itu, perekaman KTP elektronik masih menjadi tantangan untuk masyarakat adat.
    Anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos dalam sebuah diskusi pada Februari 2023 pernah mengatakan, ada data yang menyebut sekitar 1,5-2 juta masyarakat adat yang belum mendapatkan hak pilih dalam pesta demokrasi 2024.
    Perekaman KTP elektronik untuk masyarakat adat menjadi tantangan karena berbagai faktor.
    Betty menyinggung faktor keterbatasan akses dan transportasi hingga sosial-budaya.
    Beberapa kelompok masyarakat adat disebut tak membutuhkan KTP, sedangkan beberapa kelompok lain memiliki nilai-nilai lain yang dianut yang tak memungkinkan mereka dipotret.
    Pada diskusi 19 November 2025, Komisioner KPU RI August Mellaz juga mengakui, problem administrasi terkait hak pilih masyarakat adat muncul.
    Problem yang telah berlalu ini tentu akan dirumuskan dan dicari jalan keluarnya dalam revisi UU Pemilu yang terus bergulir di parlemen.
    “Prinsipnya kalau itu menyangkut hak warga negara, maka dia harus diberikan. Nah, soal nanti sudah diberikan dan kemudian warga tidak menggunakan, itu soal lain,” tutur dia.
    August mengatakan, syarat administrasi ini mutlak harus dipenuhi karena berkaitan dengan kesiapan tempat pemilihan dan juga penentuan daftar pemilih tetap.
    “Karena itu basisnya secara de jure itu kan memang posisinya berdasarkan KTP setempat,” ucap dia.
    Hal ini dipastikan August akan masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait revisi UU Pemilu.
    Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Muhammad Nuh Al Azhar mengatakan, selama ini negara telah berusaha memenuhi hak administrasi warga negara masyarakat adat.
    Termasuk dalam konteks pemilu, Dukcapil mencoba menjemput bola sampai ke pelosok agar masyarakat adat ini bisa menggunakan hak pilihnya.
    “Jadi, mendatangi untuk melakukan perekaman. Karena ada banyak warga negara Indonesia yang belum ada perekaman. Jadi didatangi, ayo dilakukan perekaman,” kata Nuh, Rabu (19/11/2025).
    Nuh mengatakan, upaya jemput bola ini tidak hanya dilakukan untuk masyarakat adat yang dalam kondisinya masih sehat dan bisa melakukan aktivitas.
    Upaya jemput bola juga dilakukan untuk mereka yang sakit dan mengalami keterbatasan karena kondisi disabilitas.
    Namun, Nuh mengakui, upaya jemput bola yang mereka lakukan belum maksimal.
    Bukan karena mereka tak bekerja, tetapi wilayah Indonesia yang begitu luas.
    “Kalau misalnya belum bisa maksimal, ya Indonesia memang luas sekali, oleh karena itu butuh kerja sama,” ucap dia.
    Dalam catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait penyelenggaraan pemilu 2024, terdapat lebih dari 600 orang masyarakat adat Baduy Luar yang tidak masuk dalam daftar pemilih.
    Hal ini disebabkan dari minimnya atensi penyelenggara pemilu terhadap pemenuhan hak pilih kelompok masyarakat adat.
    Kekhususan wilayah masyarakat adat juga disebut Komnas HAM menjadi tantangan yang belum mampu diatasi penyelenggara pemilu bagi pemenuhan hak pilih kelompok masyarakat adat.
    Namun, isu terkait suara masyarakat adat pada dasarnya bukan hanya pada hak memilih semata, tetapi juga pada hak untuk dipilih.
    Direktur Eksekutif Deep Indonesia Neni Nurhayati mengatakan, masyarakat adat memiliki segmentasi yang jelas dan tidak menutup kemungkinan mereka bisa menjadi perwakilan dalam parlemen di kemudian hari.
    Masyarakat punya kepala suku dan pengikut, dan partai politik seharusnya mulai memberikan pintu masuk keterlibatan masyarakat adat untuk bergabung menjadi parlemen.
    “Atau bahkan menurut saya masyarakat adat yang di situ ada kelompok perempuan dan anak muda harusnya bisa terbuka. Karena ketika mereka jadi, mereka pasti akan menyuarakan untuk kepentingan masyarakat adat itu sendiri,” kata dia.
    Adanya
    keterwakilan masyarakat adat
    di Senayan akan memberikan kemudahan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat adat untuk membentuk suatu kebijakan yang baik.
    Neni juga menyinggung, momentum revisi UU Pemilu bisa dijadikan untuk membuat kebijakan afirmatif terkait hak dipilih dan hak memilih masyarakat adat.
    Regulasi tersebut bisa jadi tak seluas afirmasi keterwakilan perempuan pada pemilihan legislatif, tapi lebih kepada keterbukaan kesempatan masyarakat adat jika hendak mencalonkan diri.
    “Di situ tuh misalnya ada klausul, ada khusus misalnya poin yang menjelaskan tentang terbuka untuk teman-teman juga masyarakat adat ikut dicalonkan dan mencalonkan,” imbuh dia.
    Hal ini perlu dilakukan karena tidak menutup kemungkinan masyarakat adat ada yang juga ingin menyuarakan pendapat mereka di parlemen layaknya Suku Maori di Selandia Baru, tetapi kesempatan itu tak pernah dibuka oleh partai politik.
    “Tapi, kalau ruangnya ditutup, ruangnya disumbat, sulitlah mereka untuk bisa mengimplementasikan itu semua,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dicatat Wafat, 5 Warga Kabupaten Blitar Ternyata Masih Hidup

    Dicatat Wafat, 5 Warga Kabupaten Blitar Ternyata Masih Hidup

    Blitar (beritajatim.com) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Blitar menunjukkan keseriusan penuh dalam menjaga akuntabilitas data pemilih. Ketua KPU Kabupaten Blitar, Sugino bersama jajaran stafnya, turun langsung ke lima titik lokasi untuk melaksanakan program rutin Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) triwulan.

    Aksi blusukan ini tak hanya sekadar formalitas. Mereka menyambangi Desa Jimbe, Desa Plosorejo, Kelurahan Kademangan, Desa Plumpungrejo, dan Rejowinangun. Tujuannya satu yakni memastikan setiap warga negara yang berhak, terdaftar secara akurat menjelang Pemilu mendatang, sesuai amanat PKPU Nomor 1 Tahun 2025 tentang PDPB.

    “Update data pemilih dilakukan oleh KPU Kabupaten setiap triwulan sekali dalam rangka mempersiapkan pemilu yang akan datang agar data pemilih betul-betul akurat dan akuntabel,” ucap Sugino pada Jumat (28/11/2025).

    Kaget di Balik Dokumen: Nama yang “Meninggal” Ternyata Masih Hidup

    Momen paling mengejutkan terjadi ketika tim KPU mencocokkan dokumen yang mereka bawa dengan kondisi di lapangan. Setelah berkoordinasi dengan petugas desa/kelurahan, ditemukan sejumlah nama yang dalam catatan awal KPU berstatus “sudah meninggal”, namun kenyataannya masih hidup dan sehat.

    “Kami sempat terkejut. Dalam dokumen kami, ada keterangan bahwa nama-nama ini sudah meninggal dunia. Tetapi, setelah kami konfirmasi langsung ke pihak desa, ternyata mereka masih hidup,” ujar Sugino.

    Temuan anomali data ini terjadi di beberapa lokasi, melibatkan 5 nama pemilih yang krusial untuk diverifikasi yakni Mesilah (Desa Jimbe), Siti Khotijah (Kelurahan Kademangan), Sunarmi (Desa Plosorejo), Supardi (Desa Plosorejo), Nanik Sriwidati (Desa Plosorejo)

    “Temuan ini membuktikan bahwa verifikasi lapangan adalah kunci utama akurasi. Ini adalah bagian dari upaya kami untuk membersihkan data dari potensi pemilih fiktif atau yang tidak akurat, sehingga hak pilih masyarakat benar-benar tersalurkan,” tambah Ketua KPU Kabupaten Blitar.

    Optimalisasi PDPB Demi Hak Konstitusional

    Program PDPB ini dilaksanakan KPU Kabupaten Blitar setiap triwulan sekali. Tujuannya adalah memastikan bahwa data pemilih tidak hanya akurat, tetapi juga akuntabel, jauh sebelum tahapan inti Pemilu dimulai. Verifikasi ini mencakup pemilih yang baru memenuhi syarat (pemilih pemula), pemilih yang pindah domisili, hingga pemilih yang meninggal dunia.

    KPU Kabupaten Blitar menegaskan akan terus fokus dan mengoptimalkan program ini. “Kami akan terus bekerja keras agar setiap masyarakat Kabupaten Blitar yang sudah memenuhi syarat, dapat menyalurkan haknya dalam memilih pemimpinnya pada pesta demokrasi yang akan datang,” tutup Sugino.

    Aksi turun langsung KPU ini diapresiasi sebagai langkah proaktif dan transparan dalam menjamin integritas daftar pemilih, sekaligus menjadi alarm bagi instansi terkait untuk menyinkronkan data kependudukan secara berkala. [owi/aje]

  • Ahmad Ali Buka Rakorwil PSI Sulut, Tegaskan Kesiapan Hadapi Pemilu 2029

    Ahmad Ali Buka Rakorwil PSI Sulut, Tegaskan Kesiapan Hadapi Pemilu 2029

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketua Harian DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ahmad Ali membuka Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) DPW PSI Sulawesi Utara di Manado Convention Center (MCC), Kota Manado, Kamis (27/11/2025). Agenda tersebut menjadi tahap verifikasi awal untuk memastikan kesiapan struktur partai di daerah menjelang verifikasi resmi KPU menghadapi Pemilu 2029.

    “Hari ini kan sebenarnya rakorwil ini adalah verifikasi awal. Verifikasi awal untuk memastikan kesiapan tiap-tiap wilayah untuk persiapan menghadapi verifikasi yang nanti akan dilakukan oleh KPU sekaligus persiapan untuk menghadapi rapat kerja nasional yang akan dilaksanakan di Makassar tanggal 30 Januari 2026,” ucap Ahmad Ali kepada media.

    Ahmad Ali berharap struktur DPW PSI Sulut dapat terbentuk hingga tingkat kecamatan agar verifikasi faktual nanti berjalan lancar. Ia menegaskan pihaknya ingin memastikan kesesuaian laporan yang masuk ke DPP dengan kondisi nyata di lapangan.

    “Nah, harapan kita kalau dari laporan yang sudah disampaikan kepada DPP. Insyaallah semua kecamatan sudah terbentuk pengurusannya, sehingga hari ini kita ingin memastikan secara faktual apakah laporan yang sudah disampaikan kepada kami itu sudah betul adanya, sesuai dengan nama dan orang-orangnya kita akan nanti verifikasi satu persatu berdasarkan NIK-nya dan orangnya,” ujarnya.

    Ia menyebut laporan kesiapan struktur sudah mencapai 100 persen, jauh di atas batas minimal 85 persen yang diperlukan untuk pelaksanaan Rakerwil.

    Selain kesiapan organisasi, Ahmad Ali juga menargetkan DPW PSI Sulut dapat meraih capaian politik yang lebih tinggi pada Pemilu 2029. Ia berharap Sulut bisa menghadirkan keterwakilan di tingkat nasional serta membentuk fraksi penuh di semua tingkatan legislatif.

  • Telusuri Data Ganda hingga Pelosok, Bawaslu Blitar Pastikan Hak Pilih Lansia Terlindungi

    Telusuri Data Ganda hingga Pelosok, Bawaslu Blitar Pastikan Hak Pilih Lansia Terlindungi

    Blitar (beritajatim.com) – Akurasi data pemilih adalah nyawa dari demokrasi. Prinsip inilah yang dipegang teguh oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Blitar.

    Tak hanya memantau dari balik meja, komisioner Bawaslu turun gunung mengawasi langsung proses Pencocokan dan Penelitian Terbatas (Coktas) di Desa Tumpakkepuh, Kecamatan Bakung, pada Selasa (25/11/2025).

    Langkah ini diambil guna memastikan validitas data dalam tahapan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kabupaten Blitar.

    Dalam pengawasan yang dipimpin langsung oleh Anggota Bawaslu Kabupaten Blitar, Masrukin dan Jaka Wandira, tim gabungan menelusuri data pemilih yang terindikasi memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) ganda. Fokus tertuju pada satu nama yakni Sukini.

    Dalam data awal, nama Sukini tercatat ganda. Hal ini tentu menjadi anomali yang harus segera diluruskan untuk mencegah potensi kerawanan administrasi maupun penyalahgunaan hak suara.

    “Setelah dilakukan verifikasi lapangan secara langsung, dipastikan bahwa pemilih atas nama Sukini tersebut adalah satu orang yang sama. Fakta di lapangan juga mengungkap bahwa yang bersangkutan belum pernah melakukan perekaman administrasi kependudukan (E-KTP),” jelas Jaka Wandira, Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Kabupaten Blitar.

    Mengingat Mbah Sukini sudah berusia lanjut, yakni 83 tahun, tim tidak membiarkan masalah ini menggantung. Dispendukcapil Kabupaten Blitar langsung melakukan tindakan responsif dengan melakukan perekaman biometrik di tempat (on the spot).

    Langkah taktis ini memastikan Mbah Sukini tidak hanya tercatat sebagai satu identitas tunggal yang sah, tetapi juga menjamin hak konstitusionalnya sebagai warga negara terlindungi secara administrasi.

    Jaka Wandira menegaskan, kegiatan Coktas seperti di Desa Tumpakkepuh ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah benteng pertahanan untuk memastikan Daftar Pemilih Tetap (DPT) nantinya benar-benar bersih, akurat, dan bebas dari data ganda.

    “Data pemilih yang valid adalah fondasi penting dalam memastikan pemilu berjalan Luber dan Jurdil. Karena itu, Bawaslu wajib mengawasi setiap tahapan, termasuk Coktas yang dilakukan KPU,” tegas Jaka.

    Bawaslu Kabupaten Blitar berkomitmen bahwa pengawasan semacam ini akan dilakukan secara berkesinambungan. Tujuannya jelas yakni memastikan seluruh proses pemutakhiran data berjalan transparan, akuntabel, dan mencegah hilangnya hak pilih warga yang memenuhi syarat.

    Dengan tuntasnya masalah data ganda di Tumpakkepuh, Bawaslu berharap integritas proses pemilihan di Kabupaten Blitar terus terjaga, dimulai dari hal yang paling mendasar: data pemilih yang jujur. [owi/suf]

  • 6
                    
                        Ini Alasan KPU Sembunyikan NIM dan Tanda Tangan Rektor di Salinan Ijazah Jokowi
                        Nasional

    6 Ini Alasan KPU Sembunyikan NIM dan Tanda Tangan Rektor di Salinan Ijazah Jokowi Nasional

    Ini Alasan KPU Sembunyikan NIM dan Tanda Tangan Rektor di Salinan Ijazah Jokowi
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelaskan alasan pihaknya menyembunyikan sembilan informasi dalam salinan ijazah kelulusan Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
    Diketahui, pengamat kebijakan publik, Bonatua Silalahi mengajukan sengketa ke Komisi Informasi Pusat (
    KIP
    ) karena
    KPU
    dinilai menyembunyikan informasi publik.
    Sembilan hal yang disembunyikan KPU RI dalam salinan ijazah
    Jokowi
    adalah nomor ijazah; nomor induk mahasiswa; tanggal lahir; tempat lahir; tanda tangan pejabat legalisir; tanggal dilegalisir; tanda tangan rektor UGM, dan tanda tangan dekan Fakultas Kehutanan UGM.
    Perwakilan KPU yang hadir dalam sidang menyampaikan, lembaganya sebagai badan publik mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam melindungi data pribadi.
    “Oleh karena itu, kami mempedomani dalam undang-undang, misalnya kaya adminstrasi kependukan, jadi menurut kami tandan tangan dan nomor-nomor yang disebutkan sembilan item tadi memang kami hitamkan,” ujar perwakilan KPU dalam sidang sengketa informasi publik yang digekar KIP, dikutip dari tayangan Kompas TV, Senin (24/11/2025)
    Ketua Majelis Sidang kemudian bertanya, apa alasan KPU RI menyembunyikan atau mengaburkan sembilan informasi dari salinan
    ijazah Jokowi
    .
    Sebab, penyembunyian sembilan informasi tersebut bisa saja merupakan bentuk pengecualian terhadap ijazah Jokowi.
    Sidang sengketa informasi publik terkait ijazah Jokowi yang digelar Komisi Informasi Pusat (KIP), Jakarta, Senin (24/11/2025).
    “Jadi kan Anda menghitamkan, oke. Anda beralasan bahwa itu untuk melindungi data pribadi dan lain-lain, gitu kan. Berarti kan Anda mengecualikan? Betul?” tanya Ketua Majelis Sidang.
    Perwakilan KPU RI kemudian menjawab bahwa salinan ijazah Jokowi merupakan dokumen publik yang terbuka, tetapi informasi yang ditampilkan terbatas.
    “Terbatas yang kami maksud adalah ada bagian-bagian tertentu yang itu merupakan data pribadi. Oleh karena itu kita hitamkan,” ujar perwakilan KPU RI.
    Ketua Majelis Sidang KPI pun memutuskan agar KPU RI melakukan uji konsekuensi dan diberi waktu satu minggu.
    “Nanti pada persidangan berikutnya Anda bawa itu hasil uji konsekuensinya, beserta bukti-buktinya, alat buktinya, sekaligus juga Anda bawa salinan dokumen yang memuat informasi yang dikecualikan itu,” ujar Ketua Majelis Sidang.
    Sebagai informasi, sengketa di KIP ini bermula ketika Bonatua meminta permohonan informasi ke KPU RI pada 3 Agustus 2025.
    Setidaknya terdapat tiga jenis dokumen yang dimohonkan ke KPU RI, meliputi:
    Kemudian pada 2 Oktober 2025, KPU RI hanya menyerahkan sebagian dokumen, yakni salinan ijazah Jokowi yang dipakai untuk Pilpres 2019, berkas hasil penelitian dokumen perbaikan syarat pencalonan, dan dokumen penetapan pasangan calon peserta Pilpres 2019.
    Ketidakpuasan atas jawaban tersebut membuat Bonatua mengajukan sengketa informasi publik ke KIP pada 15 Oktober 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 5
                    
                        Salinan Ijazah Jokowi Dipersoalkan, KPU RI Disebut Sembunyikan 9 Informasi
                        Nasional

    5 Salinan Ijazah Jokowi Dipersoalkan, KPU RI Disebut Sembunyikan 9 Informasi Nasional

    Salinan Ijazah Jokowi Dipersoalkan, KPU RI Disebut Sembunyikan 9 Informasi
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengamat kebijakan publik, Bonatua Silalahi mempersoalkan sembilan informasi yang disembunyikan atau dikaburkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dalam salinan ijazah kelulusan Joko Widodo (Jokowi) dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
    Atas dasar hal tersebutlah, Bonatua mengajukan sengketa ke
    Komisi Informasi Pusat
    (
    KIP
    ) karena Komisi Pemilihan Umum (
    KPU
    ) RI dinilai menyembunyikan informasi publik.
    Sembilan hal yang disembunyikan KPU RI dalam salinan ijazah
    Jokowi
    adalah nomor ijazah; nomor induk mahasiswa; tanggal lahir; tempat lahir; tanda tangan pejabat legalisir; tanggal dilegalisir; tanda tangan rektor UGM, dan tanda tangan dekan Fakultas Kehutanan UGM.
    “Yang mana ini dalam ketentuan undang-undang bukan sesuatu yang yang harus ditutupin, dikecualikan,” ujar kuasa hukum Bonatua dalam sidang sengketa informasi publik yang digelar KIP, dikutip dari tayangan Kompas TV, Senin (24/11/2025)
    “Jadi (salinan) ijazah-ijazah ini kami dapatkan ada sembilan item (yang disembunyikan),” sambungnya.
    Adapun Bonatua mengatakan, dirinya membutuhkan data dan informasi dari salinan
    ijazah Jokowi
    untuk penelitian.
    Penelitiannya, kata Bonatua, merupakan kepentingan publik perihal keaslian ijazah pejabat publik.
    “Jadi penelitian saya memang saya lakukan pribadi, tapi sudah saya publish ke publik. Artinya ini kepentingan publik. Karena penelitian saya ini berangkat dari masalah publik, yaitu masalah ijazah yang misterius,” ujar Bonatua.
    “Jadi ini untuk kepentingan publik, walaupun saya yang meneliti,” sambungnya.
    Setelah mendengarkan Bonatua sebagai Pemohon, Ketua Majelis Sidang meminta jawaban kepada KPU RI sebagai Termohon.
    “Berkaitan dengan norma-norma nomor ijazah, NIK, dan tanda tangan yang dihitamkan, Anda (KPU) punya alasan?” tanya Ketua Majelis Sidang.
    Perwakilan KPU RI yang hadir menjelaskan, lembaganya sebagai badan publik mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam melindungi data pribadi.
    “Oleh karena itu, kami mempedomani dalam undang-undang, misalnya kaya administrasi kependudukan, jadi menurut kami tandan tangan dan nomor-nomor yang disebutkan sembilan item tadi memang kami hitamkan,” ujar perwakilan KPU RI.
    Ketua Majelis Sidang kemudian bertanya lagi, apa alasan KPU RI menyembunyikan atau mengaburkan sembilan informasi dari salinan ijazah Jokowi.
    Sebab, penyembunyian sembilan informasi tersebut bisa saja merupakan bentuk pengecualian terhadap ijazah Jokowi.
    “Jadi kan Anda menghitamkan, oke. Anda beralasan bahwa itu untuk melindungi data pribadi dan lain-lain, gitu kan. Berarti kan Anda mengecualikan? Betul?” tanya Ketua Majelis Sidang.
    Perwakilan KPU RI kemudian menjawab bahwa salinan ijazah Jokowi merupakan dokumen publik yang terbuka, tetapi informasi yang ditampilkan terbatas.
    “Terbatas yang kami maksud adalah ada bagian-bagian tertentu yang itu merupakan data pribadi. Oleh karena itu kita hitamkan,” ujar perwakilan KPU RI.
    Ketua Majelis Sidang KPI pun memutuskan agar KPU RI melakukan uji konsekuensi dan diberi waktu satu minggu.
    “Nanti pada persidangan berikutnya Anda bawa itu hasil uji konsekuensinya, beserta bukti-buktinya, alat buktinya, sekaligus juga Anda bawa salinan dokumen yang memuat informasi yang dikecualikan itu,” ujar Ketua Majelis Sidang.
    Sebagai informasi, sengketa di KIP ini bermula ketika Bonatua meminta permohonan informasi ke KPU RI pada 3 Agustus 2025.
    Setidaknya terdapat tiga jenis dokumen yang dimohonkan ke KPU RI, meliputi:
    Kemudian pada 2 Oktober 2025, KPU RI hanya menyerahkan sebagian dokumen, yakni salinan ijazah Jokowi yang dipakai untuk Pilpres 2019, berkas hasil penelitian dokumen perbaikan syarat pencalonan, dan dokumen penetapan pasangan calon peserta Pilpres 2019.
    Ketidakpuasan atas jawaban tersebut membuat Bonatua mengajukan sengketa informasi publik ke KIP pada 15 Oktober 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kisruh Pemusnahan Ijazah Peserta Pemilu, Anggota DPR Minta Penjelasan KPU dan ANRI

    Kisruh Pemusnahan Ijazah Peserta Pemilu, Anggota DPR Minta Penjelasan KPU dan ANRI

    Kisruh Pemusnahan Ijazah Peserta Pemilu, Anggota DPR Minta Penjelasan KPU dan ANRI
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Anggota Komisi II DPR RI, Mohammad Khozin, mempertanyakan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) terkait polemik dugaan pemusnahan ijazah peserta pemilu yang belakangan mencuat ke publik.
    Hal tersebut disampaikan oleh Khozin dalam rapat kerja (raker) dan rapat dengar pendapat (RDP) dengan agenda evaluasi serta proyeksi program kerja kementerian/lembaga tahun 2025.
    Mulanya, Khozin menyinggung Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 17 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa
    ijazah
    tidak termasuk dalam dokumen Jadwal Retensi Arsip (JRA).
    Namun, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu kemudian membandingkannya dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.
    “Nah, ini saya mohon penjelasan dari
    ANRI
    dan
    KPU
    . Sebetulnya ijazah itu masuk benda yang untuk diarsipkan atau enggak?” tanya Khozin dalam rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (24/11/2025).
    Menurut Khozin, jumlah ijazah calon presiden tidak banyak.
    Sebab, setiap lima tahun sekali hanya tiga hingga empat dokumen.
    Oleh karena itu, dia mempertanyakan apakah hal tersebut dapat menjadi bagian dari khazanah yang diarsipkan di Arsip Nasional, sesuai ketentuan Undang-Undang Kearsipan, atau tidak.
    “Kita jujur, Pak, di Komisi II ini sebagai mitra ANRI dan KPU, agak kurang nyaman akhir-akhir ini narasi publik ini berseliweran urusan ijazah enggak kelar-kelar gitu,” keluh Khozin.
    “Yang ini bilang palsu, yang ini bilang asli, yang ini bilang dimusnahkan, tiba-tiba bilang enggak dimusnahkan. Sebetulnya seperti apa sih?” lanjut dia.
    Dalam hal ini, Khozin meminta KPU dan ANRI menyampaikan kepada publik soal duduk perkara kisruh pengarsipan agar publik dapat mengetahui dengan gamblang.
    “Saya tidak mau masuk ke substansi urusan ijazahnya asli apa enggak, itu tidak tertarik saya membahas itu, tapi terkait dengan kewenangannya seperti apa,” kata dia.
    “KPU juga sama, jangan berubah-ubah dalam memberikan
    statement
    . Yang awal bilangnya dimusnahkan, tiba-tiba diralat bilang tidak dimusnahkan. Sebetulnya seperti apa sih? Tolong sampaikan di forum yang terhormat ini,” tambah dia.
    Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Mego Pinandito, menegaskan bahwa arsip merupakan dokumen yang bersifat otentik.
    “Sehingga kalau kita bicara ijazah saja, maka ijazah itu biasanya selalu disimpan oleh yang punya ijazah, yang pertama. Jadi kalau ditanya itu arsipnya di mana? Arsip pasti ada dan dimiliki yang bersangkutan,” tegas Mego dalam kesempatan serupa.
    Ia menambahkan, untuk kepentingan pencalonan presiden, KPU hanya menyimpan salinan atau fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi.
    Oleh karena itu, dia menyebut dokumen yang ijazah salinan legalisasi yang telah diserahkan kepada KPU bukan arsip otentik.
    Terkait pertanyaan apakah dokumen tersebut seharusnya diserahkan kepada ANRI, Mego menegaskan bahwa penyerahan arsip baru dilakukan jika dokumen telah masuk klasifikasi arsip statis atau memiliki nilai guna yang sangat penting.
    “Begitu harus disimpan, kami harus klasifikasi lagi. Ini arsip yang berupa fotokopi yang dilegalisir dan sebagainya itu harus diklasifikasi lagi, Pak,” jelas dia.
    Mego menekankan ketentuan mengenai masa retensi arsip bukan ditetapkan ANRI, melainkan oleh KPU sebagai lembaga pencipta arsip.
    “Kalau kita, menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik atau Undang-Undang Kearsipan, dan sebagainya, itu yang kemudian menjadi jelas sebetulnya, tapi kita tidak masalahkan kenapa itu diangkat ya, dan itu nanti ada masa retensi yang ditetapkan bukan oleh ANRI, tapi KPU, mau berapa tahun dan sebagainya,” tegas dia.
    Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, menegaskan, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 17 Tahun 2023 yang belakangan menjadi sorotan publik dalam sidang sengketa ijazah di Komisi Informasi Pusat (KIP) ini mengatur penyimpanan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden serta calon kepala daerah.
    Dalam PKPU tersebut, dokumen pencalonan diatur dalam Jadwal Retensi Arsip (JRA), dengan masa simpan total lima tahun atau tiga tahun aktif dan dua tahun inaktif.
    Dokumen-dokumen tersebut meliputi surat pernyataan pasangan calon, susunan tim kampanye, bukti nomor rekening, naskah visi, surat keterangan, serta daftar riwayat hidup pasangan capres-cawapres, dan sebagainya.
    “Ini yang masuk JRA, jadwal retensi arsip,” tegas Afifuddin dalam rapat di Komisi II DPR RI.
    Terkait polemik permintaan salinan ijazah calon di sejumlah daerah, Afifuddin menyebut bahwa dokumen tersebut sejatinya sudah diberikan kepada pihak yang mengajukan permohonan, termasuk di Jakarta dan di tingkat pusat.
    Ia mengatakan, persoalan yang mencuat dalam persidangan di Komisi Informasi lebih berkaitan dengan buku agenda, bukan keberadaan dokumen ijazah.
    “Dokumen tersebut, menurut keterangan teman-teman, ada. Hanya buku agenda yang kemarin dalam sidang KIP itu ditanya,” kata dia.
    “Tapi pada intinya kita semua pasti akan menjaga semua dokumen yang ada, dan catatannya ini menjadi masukan dan perkembangan terakhir kita,” jelas dia.
    Permintaan dokumen pascapemilu yang marak pada periode ini menjadi catatan penting bagi KPU RI untuk memperbaiki tata kelola dan mengantisipasi kebutuhan serupa di masa mendatang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.