Kementrian Lembaga: KPK

  • Fakta Sidang SYL Serahkan Uang ke Firli Bahuri, Irjen Karyoto: Fakta Menarik

    Fakta Sidang SYL Serahkan Uang ke Firli Bahuri, Irjen Karyoto: Fakta Menarik

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti 

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto mengatakan kesaksian mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) soal pemberian uang ke Firli Bahuri merupakan fakta menarik.

    Karyoto mengaku saat ini, fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan itu akan disinkronkan dengan berita acara pemeriksaan (BAP) kasus dugaan pemerasan Firli Bahuri terhadap SYL yang ditangani Polda Metro Jaya.

    “Fakta dalam persidangan kemarin menarik, itu akan dikroscek kan dengan BAP-BAP, berkas kita bagaimana,” kata Karyoto kepada wartawan, Rabu (26/6/2024).

    Dia menyebut fakta persidangan itu juga akan dikoordinasikan penyidik dengan pihak kejaksaan dalam rangka pemenuhan berkas perkara.

    “Apakah itu akan menjadi bahan koordinasi dengan jaksa peneliti atau tidak, kalau menurut saya itu sangat signifikan, kemarin kan saya kan sudah koordinasi dengan Kejati itu juga menjadi bahan-bahan diskusi yang lebih bagus itu dijadikan sebuah bahan yang komprehensif,” ungkapnya.

    Lebih lanjut, Karyoto juga berharap agar berkas perkara Firli bisa segera rampung dan dinyatakan lengkap oleh kejaksaan. 

    Dengan demikian, proses pelimpahan tersangka dan barang bukti atau tahap II nantinya bisa segera dilakukan.

    “Insyaallah mudah-mudahan dalam waktu saya juga enggak mau lama-lama sebenarnya ya, kalau mudah-mudahan nanti penyidik sudah bisa klop sudah bisa maksimal dan kemudian jaksa menganggap berkas perkaranya sudah lengkap yang akan kami serahkan ke tahap II,” ujarnya.

    Sebelumnya, Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengakui adanya pemberian uang kepada eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri.

    SYL mengakui hal itu saat diperiksa sebagai saksi mahkota dalam persidangan Senin (24/6/2024) di Pengadilan Tipikor Jakarta.

    Dia duduk menjadi saksi mahkota bagi dua anak buahnya yang menjadi terdakwa: eks Direktur Alat dan Mesin Kementan, Muhammad Hatta dan eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan, Kasdi Subagyono.

    Uang diserahkan kepada Firli Bahuri sebanyak dua kali, yakni Rp 500 juta dan Rp 800 juta.

    Dengan demikian, total uang yang diberikan SYL kepada Firli Bahuri mencapai Rp 1,3 miliar.

    “Ada penyerahan uang saudara bilang tadi ya. Berapa kali penyerahannya?” tanya Hakim Ketua, Rianto Adam Pontoh kepada SYL.

    “Yang dari saya dua kali,” jawab SYL.

    “Awalnya 500 sama 800 ya?” tanya Hakim Pontoh lagi.

    “Ya kurang lebih seperti itu,” kata SYL.

    Sebagian uang tersebut diakui SYL diserahkan di Gelanggang Olahraga (GOR) Tangki, Mangga Besar, Jakarta Barat sebagaimana foto viral yang beredar.

    Saat itu, SYL mengaku diundang Firli Bahuri ke GOR untuk bermain bulu tangkis.

    Katanya pula, Firli Bahuri yang cenderung aktif membangun komunikasi dengannya.

    “Pak Firli hanya mengundang saya untuk datang ke GOR itu untuk menyaksikan atau ikut bermain bulu tangkis. Intinya seperti itu yang pertama saya pahami,” kata SYL.

    “Saya merasa bahwa kenapa saya dipanggil terus menerus ini. Dan yang proaktif itu me-WA saya adalah Pak Firli,” kata SYL lagi.

    Terdakwa kasus pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjadi saksi untuk terdakwa lainnya Kasdi Subagyono dan Muhammad Hatta dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (24/6/2024). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi mahkota atau terdakwa yang dijadikan saksi untuk terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

    Namun SYL tak mengakui bahwa dalam pertemuan di GOR itu terdapat pembicaraan untuk mengamankan kasus di Kementan yang sedang diselidiki KPK.

    “Yang saudara bicarakan dengan Firli Bahuri itu masalah apa? Apakah ada hubungannya dengan penyelidikan KPK di Kementerian Pertanian?” tanya Hakim Pontoh memastikan.

    “Secara umum tidak ada penyampaian seperti itu,” klaim SYL.

    Meski membantah pembicaraan soal pengamanan kasus, SYL tak menampik adanya pemberian Rp 500 juta di GOR tersebut kepada Firli Bahuri.

    Uang Rp 500 juta itu diserahterimakan melalui masing-masing ajudan.

    “Keterangan Panji (ajudan SYL) waktu itu ada pengumpulan uang dan pada saat pertemuan di GOR itu ada penyerahan uang, tapi dari ajudan ke ajudan. Apakah saudara mengetahui hal itu?”

    “Tahu, Yang Mulia. Benar, Yang Mulia. Di GOR,” ujar SYL.

    “Berapa uangnya waktu itu?” tanya Hakim Pontoh.

    “Saya tidak tahu persis jumlahnya. Tapi saya perkirakan di 500-an lah,” katanya.

    Uang Rp 500 juta yang diserahkan di GOR itu disebut SYL berbentuk valuta asing.

    Hakim Ketua pun mengingatkan keterangan di berita acara pemeriksaan (BAP) bahwa valuta asing yang dimaksud ialah Dolar Amerika Serikat.

    “Tapi dalam bentuk dana valas,” ujar SYL.

    “Oke, US Dolar ya,” kata Hakim Pontoh sembari mencermati berkas BAP.

  • Hari Pertama Pendaftatan Capim dan Dewas KPK, Belum Ada Satupun yang Input Berkas

    Hari Pertama Pendaftatan Capim dan Dewas KPK, Belum Ada Satupun yang Input Berkas

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Taufik Ismail

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pendaftaran Calon Pimpinan (Capim) dan Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dibuka mulai hari ini, Rabu (26/6/2024).

    Wakil Ketua Panitia Seleksi Capim KPK Arif Satria mengatakan hingga pukul 15.00 WIB belum ada satu pun yang memasukan berkas pendaftaran ke Laman https://apel.setneg.go.id.

    Hanya saja, kata dia, sudah ada 94 orang yang mendaftar akun di laman tersebut.

    “Hingga pukul 15.00 sore ini belum ada yang submit dokumen, namun sudah ada 94 orang yang register akun,” kata Arif kepada wartawan.

    Menurut Arif apabila nantinya ada berkas dokumen pendaftaran yang masuk maka Pansel akan melakukan verifikasi sesuai dengan persyaratan yang telah dicantumkan.

    Mereka yang telah lolos verifikasi maka akan ditetapkan sebagai peserta seleksi Capim dan Dewas KPK. Pengumuman peserta akan dilakukan pada 24 Juli mendatang.

    “Selanjutnya hasil dari verifikasi atas berkas tersebut akan diumumkan sebagai peserta yang lolos seleksi administrasi,” katanya.

    Arif mengatakan pihaknya mendapat banyak masukan dalam melakukan proses seleksi Capim dan Dewas KPK ini.

    Mulai dari elemen masyarakat, akademisi, pimpinan media, pimpinan BUMN, hingga asosiasi pengusaha.

    “Di antara masukan-masukan tersebut antara lain perlunya mencari sosok yang independen, yang beritengritas, memiliki kapabilitas, memiliki leadership yang kuat dan juga memiliki rekam jejak yang baik. Hal hal ini yang akan kami coba ramu dalam proses seleksi nanti,” pungkasnya.

  • Eks Dirjen Keuangan Kemendagri Ardian Noervianto Dituntut 5 Tahun Penjara di Kasus PEN Muna

    Eks Dirjen Keuangan Kemendagri Ardian Noervianto Dituntut 5 Tahun Penjara di Kasus PEN Muna

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut majelis hakim menghukum mantan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Mochamad Ardian Noervianto, pidana penjara selama lima tahun dan empat bulan dalam kasus dugaan penerimaan suap pengajuan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Kabupaten Muna tahun 2021–2022.

    Selain itu, jaksa KPK turut menuntut Ardian Noervianto dijatuhi denda sebesar Rp250 juta.

    “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa M. Ardian Noervianto berupa pidana penjara selama lima tahun dan empat bulan dan pidana denda sebesar Rp250 juta subsider pidana kurungan selama enam bulan,” kata jaksa KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (26/6/2024).

    Tak hanya itu, penuntut umum juga menuntut Ardian Noervianto membayar uang pengganti Rp2.876.999.000. 

    Dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar satu bulan pasca-putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang atau dipidana penjara selama dua tahun.

    “Menghukum terdakwa dengan pidana tambahan berupa uang pengganti kepada negara Rp2.976.999.000 dikurangi uang sejumlah Rp100 juta sebagai barang bukti, sehingga sisa uang pengganti yang harus dibayarkan oleh terdakwa sebesar Rp2.876.999.000,” ucap jaksa.

    Menurut jaksa, perbuatan Ardian tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). 

    Selain itu, perbuatannya juga dinilai merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara.

    Sebagai pertimbangan meringankan, Ardian mempunyai tanggungan keluarga, serta ia dinilai bersikap sopan dan menghargai persidangan.

    Jaksa menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.

    Ardian Noervianto dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

    Diketahui, pada Rabu, 28 September 2022, Ardian juga telah divonis enam tahun penjara dan denda Rp250 subsider tiga bulan penjara dalam perkara penerimaan suap untuk persetujuan dana pinjaman program PEN Kabupaten Kolaka Timur tahun 2021.

    Selain itu, Ardian juga dihukum membayar uang pengganti kepada negara sebesar 131.000 dolar Singapura. 

    Jika uang pengganti itu tidak dibayar paling lama satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh keputusan hukum tetap, harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut atau dipidana penjara selama satu tahun.

  • Fakta Sidang SYL Serahkan Uang ke Firli Bahuri, Irjen Karyoto: Fakta Menarik

    Respons Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto Masuk Bursa Calon Pimpinan KPK

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti 

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto angkat bicara soal dirinya yang disebut-sebut masuk dalam bursa calon pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Karyoto mengatakan sejauh ini dia tak mau fokus apalagi berambisi terhadap hal tersebut.

    “Kalau disebut ya silakan, silakan saja yang menyebut. Saya sendiri, saya tidak terlalu berambisi, ya kita lihat ke depan ajalah,” kata Karyoto kepada wartawan, Rabu (26/6/2024). 

    Karyoto tidak menjawab gamblang saat ditanya kesiapan dirinya untuk maju sebagai Capim KPK nantinya. 

    “Nanti kita lihat ke depan ya,” imbuhnya.

    Masuk Bursa Capim KPK

    Eks Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo Harahap memyebut, berdasarkan undang-undang, siapa pun boleh mendaftarkan diri sebagai calon cimpinan (capim) KPK, baik berlatarbelakang Polri, Kejaksaan, akademisi atau profesional. 

    Kabarnya, Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto yang juga pernah menjadi Direktur Penindakan dan Eksekusi KPK ingin ikut daftar sebagai capim KPK. 

    Namun, Yudi tidak mau berspekulasi apakah Karyoto layak atau tidak jadi pimpinan KPK.

    “Ya kita lihat aja nanti. Daftar atau enggak dia [Irjen Karyoto]. Siapa pun bisa untuk menjadi capim KPK sesuai syarat administratif dalam UU Nomor 19/2019,” kata Yudi kepada wartawan, Sabtu (11/5/2024).

    Terpenting, menurut Yudi, capim KPK yang diseleksi tahun 2024 ini harus jauh lebih baik dari pimpinan sebelumnya. 

    Ia mengatakan, capim KPK harus memiliki rekam jejak yang baik dan berintegritas, serta tidak membuat kontroversial dalam memimpin lembaga antirasuah.

    “Yang penting sebenarnya adalah pimpinan KPK kedepan harus berintegritas, tidak mempunyai permasalahan etik di masa lalu, dan bukan pembawa masalah di KPK kelak,” katanya.

    Oleh karena itu, Yudi menekankan Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK tahun 2024 ini tentu akan menjadi sorotan publik. 

    Karena, kata dia, harapan pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan ditentukan juga oleh Pansel Capim KPK. 

    Menurut dia, jangan sampai proses seleksi capim KPK berulang seperti terpilihnya Firli Bahuri dan kawan-kawan pimpinan KPK periodenya itu.

    “Kita tahu bahwa pansel yang lalu, yang memilih Firli dan kawan-kawan, ternyata pilihan mereka dari 10 dan lima dipilih DPR, ternyata malah membuat permasalahan di KPK. Bukannya menjadi solusi bagi bangsa, malah jadi masalah,” jelas dia.

    Maka dari itu, ia menyebut Pansel Capim KPK sekarang harus dilihat betul nama-namanya. 

    Jika misalnya Pansel Capim KPK reputasinya bagus, berintegritas dan rekam jejaknya baik hingga tidak membuat masalah atau kontroversi, tentu harapan pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan terlihat cerah.

    “Namun, kalau dilihat nama-namanya tidak berintegritas, orang rekam jejak buruk, bahkan anti-pemberantasan korupsi, ya saya pikir akan selesai. Karena dari pansel yang buruk tentu tidak akan menghadirkan pimpinan KPK yang baik,” kata Yudi.

    Dia berpendapat, apabila Pansel Capim KPK dianggap orang baik tentu animo masyarakat akan berbondong-bondong ikut untuk mendaftar, baik kalangan akademisi, tokoh nasional dan lain sebagainya. 

    Tapi kalau tidak berintegritas Pansel Capim KPK, dikhawatirkan masyarakat juga tidak akan mau mendaftar.

    “Karena nanti terjadi menduga setinga, sudah ada yang dipilih, sudah ada calonnya. Jadi calon Pansel Capim KPK harus rekam jejak baik, mau mendengar publik sehingga kita harap antusias orang-orang untuk maju pimpinan KPK bukan hanya cari kerja, tapi juga memperbaiki KPK sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam pemberantasan korupsi di bawah KPK. Namun, kalau ternyata nanti justru pansel mendapat resistensi dari masyarakat, tentu harapan pemberantasan korupsi akan menurun drastis,” ujarnya.

    Selain itu, Yudi juga mengingatkan Pansel Capim KPK harus berkaca pada proses yang terjadi periode Firli Bahuri dkk. 

    Kata Yudi, Pansel Capim KPK harus teliti dan jeli melihat nama-nama bakal capim KPK yang mendaftar. 

    Bahkan, jangan segan untuk mendiskualifikasi jika nama tersebut diketahui memiliki rekam jejak buruk.

    “Yang paling penting pansel ini bener-bener harus berkaca dari yang lalu. Ada sedikit permasalahan dari capim KPK, mau itu etik bahkan juga kontroversi, sudah coret aja,” tandasnya.

  • KPK Tahan Kepala Baguna PDIP Max Ruland Boseke

    KPK Tahan Kepala Baguna PDIP Max Ruland Boseke

    Jakarta (beritajatim.com)- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Max Ruland Boseke (MRB), mantan Sekretaris Utama (Sestama) Badan SAR Nasional (Basarnas) periode 2009-2015 dan saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) PDI Perjuangan.

    Penahanan ini dilakukan setelah KPK mengumumkan status tersangka Max dalam kasus dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle di lingkungan Basarnas tahun 2012-2018.

    Selain Max, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya, yakni Anjar Sulistioyono (AJS), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Kasubdit Pengawakan dan Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Badan SAR periode 2013-2014, dan William Widarta (WLW), Direktur CV Delima Mandiri (DLM).

    “Para tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk jangka waktu 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 25 Juni 2024 sampai dengan 14 Juli 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang KPK,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur di Gedung KPK, Selasa (25/6/2024).

    Asep menyebut bahwa berdasarkan Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ditemukan kerugian keuangan negara sebesar Rp20,4 miliar dari pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle di lingkungan Basarnas.

    “Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar Asep. [ian]

  • Banding KPK Dikabulkan, Suap Mantan Hakim PN Surabaya Dilanjut

    Banding KPK Dikabulkan, Suap Mantan Hakim PN Surabaya Dilanjut

    Surabaya (beritajatim.com) – Banding yang diajukan KPK atas perkasa suap yang menjerat Gazalba Saleh, mantan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Alhasil, perkara gratifikasi dan TPPU dengan terdakwa Gazalba Saleh dilanjutkan.

    Terdakwa Gazalba Saleh sebelumnya divonis bebas. Vonis bebas tersebut dianulir melalui putusan perkara Nomor 35/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI ini, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan bebas Gazalba Saleh yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin 27 Mei 2024.

    “Membatalkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 43/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt Pst tanggal 27 Mei 2024 yang dimintakan banding perlawanan tersebut,” kata Ketua Majelis Hakim Subachran Hardi Mulyono dalam sidang di ruang utama PT DKI Jakarta, Senin (24/6/2024).

    Perlawanan ini diajukan KPK lantaran Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat mengabulkan eksepsi atau nota keberatan Gazalba Saleh atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.

    Majelis Hakim Tinggi menyatakan surat dakwaan jaksa KPK telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf a dan huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Dengan demikian, Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Tipikor untuk melanjutkan pemeriksaan perkara yang menjerat Hakim Agung nonaktif tersebut. “Surat dakwaan sah untuk dijadikan sebagai dasar memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi atas nama Gazalba Saleh,” kata hakim

    Memerintahkan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara a quo untuk melanjutkan melanjutkan mengadili dan memutus perkara a quo,” imbuh dia.

    Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa Gazalba Saleh telah menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 62.898.859.745 atau Rp 62,8 miliar terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).

    Dalam eksepsi, majelis hakim Pengadilan Tipikor berpandangan, jaksa KPK tidak berwenang menuntut Hakim Agung dalam perkara dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana nota keberatan tim hukum Gazalba Saleh.

    Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim sependapat dengan tim hukum Gazalba yang menilai bahwa jaksa KPK tidak menerima pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung RI untuk melakukan penuntutan terhadap Gazalba Saleh.

    Majelis Hakim Tinggi menyatakan surat dakwaan jaksa KPK telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf a dan huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Dengan demikian, Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Tipikor untuk melanjutkan pemeriksaan perkara yang menjerat Hakim Agung nonaktif tersebut. “Surat dakwaan sah untuk dijadikan sebagai dasar memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi atas nama Gazalba Saleh,” kata hakim.

    “Memerintahkan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara a quo untuk melanjutkan melanjutkan mengadili dan memutus perkara a quo,” imbuh dia.

    Perlu diketahui, dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa Gazalba Saleh telah menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 62.898.859.745 atau Rp 62,8 miliar terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).

    Dalam eksepsi, majelis hakim Pengadilan Tipikor berpandangan, jaksa KPK tidak berwenang menuntut Hakim Agung dalam perkara dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana nota keberatan tim hukum Gazalba Saleh.

    Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim sependapat dengan tim hukum Gazalba yang menilai bahwa jaksa KPK tidak menerima pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung RI untuk melakukan penuntutan terhadap Gazalba

    Lihat Perkembangannya Ketentuan menuntut ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI. Dengan demikian, KPK diminta langsung membebaskan Gazalba Saleh setelah putusan dibacakan.

    “Menyatakan penuntutan dan surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima,” kata Hakim Fahzal Hendri saat membacakan putusan sela. Gazalba pun telah dibebaskan dari Rutan KPK setelah pembacaan putusan sela tersebut. [uci/beq]

  • Kuasa Hukum Siska Wati: Pemotongan Insentif Pajak Sudah Sejak 2014

    Kuasa Hukum Siska Wati: Pemotongan Insentif Pajak Sudah Sejak 2014

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Eks Kasubag Umum dan Kepegawaian Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten Sidoarjo Siska Wati terdakwa kasus dugaan korupsi pemotongan dana Insentif pegawai BPPD Kabupaten Sidoarjo menyebut praktik pemotongan insentif yang menjeratnya sudah diberlakukan sejak tahun 2014 di era Bupati sebelumnya dan melibatkan banyak pihak.

    Hal itu disampaikan Dr. Erlan Jaya Putra SH. MH kuasa hukum Siska Wati dalam agenda dakwaan sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, yang dipimpin Ketua Majelis Ni Putu Sri Indayani pada, Senin (24/6/2024).

    Erlan mengatakan Siska Wati bukan satu-satunya pegawai di BPPD yang ditugaskan untuk kolektif potongan insentif pegawai. Dari pengakuannya, banyak pihak termasuk Kepala Bidang (Kabid) lainya yang turut menerima tugas tersebut dari Ari Suryono Kepala Badan yang juga menjadi tersangka KPK.

    “Praktik pemotongan insentif pegawai itu sudah diberlakukan jauh di era bupati sebelumnya sejak tahun 2014. Tentunya bukan hanya Siska yang diberi tugas pimpinannya. Banyak yang terlibat harusnya semuanya diproses juga, jangan tebang pilih KPK itu,” kata pengacara dari Bandung itu usai persidangan.

    Erlan menjelaskan, pihak-pihak lain yang terlibat harusnya turut diproses hukum. Selain itu, ia mengatakan dalam kasus yang menjerat Siska tidak ada kerugian Negera samasekali jika dilihat dari kontruksi perkaranya.

    “Saya kira tidak ada kerugian negara sepeserpun. Karena potongan insentif itu atas persetujuan bersama. Dan perlu diingat, insentif Siska Wati sendiri juga turut dipotong. Semua bukti kami ada,” tegasnya.

    Masih menurut Erlan, Ia berharap, aparat penegak hukum diminta untuk turut mengusut pihak lain yang terlibat sejak tahun 2014 silam. Ia menyayangkan jika hanya beberapa orang yang diproses, kredibilitas KPK dan APH lainya dipertanyakan.

    “Harus diusut semua itu dari 2014 silam. Apalagi aliran potongan insentif itu tidak hanya mengalir ke bupati saja. Ada beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) dan juga pejabat lainnya yang turut menerima,” urai Erlan.

    Perlu diketahui, KPK telah menetapkan Kasubag Umum dan Kepegawaian Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kab. Sidoarjo, Siska Wati sebagai tersangka kasus dugaan pemotongan insentif ASN. Penetapan Siska Wati ini sebagai pengembangan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang melibatkan Kepala BPPD Sidoarjo Ari Suryono dan Bupati Sidoarjo H. Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor).

    Dalam dakwaan Siska Wati didakwa Pasal 12 huruf f Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. [isa/beq]

  • KPK Optimalkan Asset Recovery Dalam Kasus Korupsi

    KPK Optimalkan Asset Recovery Dalam Kasus Korupsi

    Surabaya (beritajatim.com) – Upaya mengoptimalkan pemulihan kerugian keuangan negara (Asset Recovery) dari hasil korupsi terus dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    “Upaya memaksimalkan optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara melalui penanganan perkara dalam bentuk case building, TPPU,” ujar Kasatgas Penuntutan Arif Suhermanto pada beritajatim.com, Jumat (21/6/2024).

    Jaksa penuntut umum KPK sedang mengikuti pelatihan memperkuat akutansi dalam hal kerugian negara. “Saat ini sedang mengikuti Diklat Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemendagri,” ujarnya.

    Dijelaskan Arif, pihaknya juga telah diskusi dengan pimpinan KPK terkait gagasan proyek perubahan untuk penguatan dan pemanfaatan forensik akuntansi KPK guna optimalisasi penuntutan tindak pidana korupsi dalam rangka percepatan asset recovery atau pemulihan kerugian keuangan negara.

    “Semua stakeholder KPK setuju dan mendukung gagasan ini dengan menerbitkan surat edaran pemanfaatan forensik untuk dipedomani oleh kedeputian penindakan dan eksekusi KPK,” ujarnya.

    Arif menjelaskan, JPU sering menemukan kendala dalam proses perhitungan kerugian negara. Kendala tersebut berupa, lamanya birokrasi dalam perhitungan tersebut.

    Arif memberikan masukan agar dibuat keputusan pimpinan dalam bentuk surat edaran kaitan penguatan dan pemanfaatan forensik akuntansi. KPK mempunyai landasan untuk menuntut kerugian negara, yaituPutusan Mahkamah Konstitusi No. 31/ PUU-X/2012. [uci/kun]

  • Kuasa Hukum Sebut Tantri-Hasan Tak Bisa Dituntut 2 Kali

    Kuasa Hukum Sebut Tantri-Hasan Tak Bisa Dituntut 2 Kali

    Surabaya (beritajatim.com) – Kuasa hukum mantan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminudin suaminya mengajukan eksepsi dalam sidang lanjutan TPPU di PN Tipikor Surabaya. Dalam eksepsinya, tim kuasa hukum menyebut bahwa kedua kliennya tersebut tak bisa dituntut untuk kedua kalinya.

    Untuk itu, tim kuasa hukum meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya menolak dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Kami kuasa hukum terdakwa meminta mejelis hakim menolak dakwaan jaksa karena terlalu mengada-ngada, tidak jelas dan mengaburkan fakta sebenarnya,” kata Diaz Wiriardi, kuasa hukum terdakwa saat membacakan eksepsi atau keberatan atas dakwaan pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis (20/6/2024).

    Selain itu, dia meminta majelis hakim untuk membebaskan kedua terdakwa mantan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminudin suaminya dari dakwaan jaksa, serta mengembalikan seluruh harta yang disita akibat perkara tersebut.

    Dalam dakwaan jaksa sebelumnya, keduanya dianggap melanggar pasal 12B tentang Gratifkasi serta pasal 3 dan pasal 4 UU TPPU. Jaksa juga merinci semua gratifikas yang diterima kedua terdakwa selama 2013 hingga 2021 yang totalnya mencapai lebih dari Rp 100 miliar.

    Uang dari hasil gratifikasi dari berbagai pihak seperti pihak swasta hingga ASN Pemkab Probolinggo dirupakan aset berupa tanah, kendaraan hingga perhiasan.

    Menurut Diaz, jaksa tidak jelas dalam menguraikan perbuatan gratifikasi yang didakwakan kepada kedua terdakwa. “Menurut uraian jaksa, gratifikasi dilakukan melalui perantara orang lain. Ternyata kebanyakan dari penerimaan uang atau barang tersebut kepada lembaga pesantren dan dan ormas NU, tanpa mengurai lebih lanjut keterkaitan penerimaan uang atau barang oleh pihak lain tersebut dengan para terdakwa,” jelasnya.

    Akibat ketidakjelasan dakwaan itu, maka hal tersebut akan merugikan hak-hak terdakwa di dalam melakukan pembelaan, dan berpotensi akan menyesatkan hakim di dalam mengambil keputusan.

    Selain dianggap tidak jelas dan kabur, para terdakwa dalam eksepsinya juga menyatakan bahwa surat dakwaan yang disusun oleh jaksa dianggap bersifat “ne bis in idem” alias perkara yang diajukan saat ini sama dengan perkara sebelumnya yang telah diputus oleh hakim. Vonis pada perkara pertama bahkan telah berkekuatan hukum tetap.

    “Ne bis in idem merupakan asas hukum yang mengandung pengertian bahwa seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim,” katanya.

    Ia menjelaskan, saat ini kedua terdakwa sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI No. 30 K/Pid.Sus/2023 tanggal 31 Januari 2023 yang telah berkekuatan hukum tetap.

    Berdasarkan putusan pengadilan tersebut, kedua dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU Tipikor. “Dengan adanya frasa suap tersebut, maka pada prinsipnya penerimaan gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 B UU Tipikor tersebut adalah sama dengan penerimaan suap,” tegasnya.

    Ia menyebut, menurut prinsip dan karakteristiknya perbuatan penerimaan gratifikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 12 B UU Tipikor adalah sama atau serupa dengan perbuatan penerimaan suap sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, dan Pasal 12 huruf b UU UU Tipikor.

    “Sama-sama merupakan perbuatan penerimaan suap, maka perkara pidana yang saat ini didakwakan pada kedua terdakwa masuk kategori ne bis in idem. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 ayat (5) UU HAM, tidak dapat lagi dilakukan penuntutan,” tegasnya.

    Dalam perkara pertama, keduanya divonis 4 tahun penjara. Keduanya dinyatakan terbukti melanggar Pasal 12 huruf A atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

    Kasus yang menjerat mereka adalah dugaan suap terkait dengan seleksi atau jual beli jabatan penjabat kepala desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Probolinggo pada tahun 2021. Hasan dan istrinya terjerat sebagai penerima suap bersama Camat Krejengan Doddy Kurniawan dan Camat Paiton Muhamad Ridwan. [uci/kun]

  • Staf Hasto Kristiyanto Penuhi Panggilan KPK

    Staf Hasto Kristiyanto Penuhi Panggilan KPK

    Jakarta (beritajatim.com) – Kusnadi, Staf Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, akhirnya memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kusnadi yang diperiksa terkait penyidikan untuk tersangka yang buronan KPK, Harun Masiku sebelumnya tidak memenuhi panggilan KPK pada Kamis (13/6/2024) lalu.

    Mengenakan batik merah, Kusnadi tiba didampingi tim kuasa hukumnya, antara lain Petrus Selestinus. “Saya memenuhi panggilan,” kata Kusnadi sembari menyampaikan akan memberi keterangan setelah pemeriksaan, Rabu (19/6/2024).

    Sementara itu, Petrus mengatakan, Kusnadi memenuhi undangan pemeriksaan sebagai saksi. Petrus mengatakan kliennya meski masih trauma diperlakukan tidak etis oleh penyidik KPK tetap tunduk pada panggilan hukum.

    “Meskipun perasaan trauma itu masih ada, tetapi Kusnadi mementingkan kewajibannya untuk bersaksi dalam kaitannya dengan surat panggilan KPK yang sudah diterimanya,” kata Petrus.

    Sebelumnya, KPK menyita telepon seluler (ponsel) milik Hasto dari tangan Kusnadi. Saat itu, Kusnadi ikut pendamping Hasto saat menjalani pemeriksaan KPK pada Senin (10/6/2024) lalu. Hasto mengungkapkan, di tengah-tengah pemeriksaan dirinya, Kusnadi dipanggil penyidik. Penyidik KPK memanggil Kusnadi dengan dalih dipanggil oleh Hasto.

    “Katanya untuk bertemu dengan saya, tetapi kemudian tasnya dan handphone atas nama saya disita,” protes Hasto seusai diperiksa penyidik KPK.

    Seperti diketahui, Harun Masiku merupakan calon anggota legislatif dari PDIP yang menjadi tersangka suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2019 Wahyu Setiawan. Namun, Harun melarikan diri sehingga masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) KPK selama empat tahun terakhir.

    Harun Masiku ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menyuap sebersar Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan, yang saat itu menjabat Komisioner KPU terkait pengurusan PAW DPR. Wahyu pun dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan telah dieksekusi sejak 2021. Hasto juga pernah diperiksa sebagai saksi oleh KPK dalam kasus ini pada 2020 lalu. [hen/but[