Kementrian Lembaga: KPK

  • Tanggung Jawab Presiden Prabowo Harus Dimaknai KPK untuk Serius Usut Whoosh

    Tanggung Jawab Presiden Prabowo Harus Dimaknai KPK untuk Serius Usut Whoosh

    GELORA.CO -Komitmen Presiden Prabowo Subianto yang akan bertanggung jawab terhadap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh harus dimaknai sebagai sinyal pengusutan dugaan tindak pidana korupsi yang sudah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus terus dilakukan.

    Begitu yang disampaikan Koordinator Simpul Aktivis Angkatan 98 alias Siaga 98, Hasanuddin, merespons pernyataan Presiden Prabowo yang mengaku siap tanggung jawab terhadap utang Whoosh.

    “Tanggung jawab dimaksud adalah mendorong entitas terkait BUMN dan regulator dan investasi BP BUMN beserta BPI Danantara menyelesaikan kewajibannya dengan tetap menghormati kontrak kerja sama bilateral ini dengan tujuan kepastian investasi dan penghormatan terhadapnya harus tetap dijaga,” kata Hasanuddin kepada RMOL, Senin, 10 November 2025.

    Selain itu kata Hasanuddin, pernyataan Presiden Prabowo tersebut juga menjadi sinyal kepada KPK untuk tetap melanjutkan proses hukum yang saat ini sudah dalam tahap penyelidikan sejak awal 2025.

    “Presiden Prabowo akan bertanggung jawab terkait whoosh harus dimaknai penyelidikan tetap terus berjalan,” terang Hasanuddin.

    Sebab kata Hasanuddin, investasi yang profesional dan sehat harus tanpa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Hal itu akan membangun kepercayaan dunia internasional bahwa investasi di Indonesia bersih KKN.

    “Hal ini penting, sebab harus dibedakan kontrak kerja sama di satu sisi, dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur di sisi lain yang terbuka untuk dievaluasi atau diselidiki,” tutur Hasanuddin.

    Hasanuddin menerangkan, penghormatan terhadap kontrak kerja sama bukan bermaksud melindungi atau menjadi tameng proyek tersebut tidak bisa diusut atau ditindak dalam hal ada suap, mark up atau penerimaan komitmen fee penyelenggara negara berkenaan adanya kerja sama tersebut.

    “Siaga 98 mendukung pernyataan Prabowo tersebut dan sekaligus mendukung langkah KPK dalam penyelidikannya. Sebab dalam beberapa kesempatan hal ini sejalan dengan sikap Presiden Prabowo bahwa semua bentuk korupsi di Indonesia harus diberantas dan diakhiri demi masa depan bangsa dan negara,” pungkas Hasanuddin

  • Lisdyarita resmi jabat Plt Bupati Ponorogo usai Sugiri ditangkap KPK

    Lisdyarita resmi jabat Plt Bupati Ponorogo usai Sugiri ditangkap KPK

    Ponorogo, Jawa Timur (ANTARA) – Wakil Bupati Ponorogo, Lisdyarita, resmi ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Ponorogo menyusul penetapan Bupati Sugiri Sancoko sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Roda pemerintahan daerah dipastikan tetap berjalan normal, seiring dengan segera ditetapkannya Plt Bupati Ponorogo.

    Ketua DPRD Ponorogo Dwi Agus Prayitno, Senin membenarkan telah menerima radiogram dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait penugasan Lisdyarita sebagai Plt Bupati.

    “Untuk Plt Bupati sudah ditunjuk Bu Wabup Lisdyarita. Radiogram dari Kemendagri sudah kami terima dan disampaikan juga kepada yang bersangkutan,” kata Dwi Agus.

    Ia menegaskan, penunjukan tersebut merupakan langkah cepat pemerintah pusat untuk memastikan tidak ada kekosongan jabatan kepala daerah usai KPK menetapkan Sugiri Sancoko sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap promosi jabatan dan gratifikasi di lingkungan Pemkab Ponorogo.

    Selain jabatan bupati, posisi Sekretaris Daerah (Sekda) juga kosong setelah Agus Pramono turut terseret dalam kasus yang sama.

    Dwi menyebut mekanisme pengisian jabatan pelaksana tugas Sekda akan dikonsultasikan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

    “Untuk posisi Sekda nanti diusulkan ke provinsi untuk ditunjuk pejabat sementara (Pjs). Sesuai aturan, masa jabatannya tiga bulan dan bisa diperpanjang dua kali,” ujarnya.

    Menurut Dwi, penunjukan pejabat sementara Sekda diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2018, serta Permendagri Nomor 91 Tahun 2019.

    Ia memastikan DPRD tidak akan mencampuri proses pengisian jabatan di lingkup eksekutif.

    Fokus utama dewan saat ini, kata dia, adalah menjaga stabilitas dan kelancaran roda pemerintahan di tengah situasi yang berkembang.

    “Kami tidak masuk ke proses siapa penggantinya, karena itu ranah eksekutif. Yang penting pemerintahan harus tetap berjalan tanpa hambatan,” tegasnya.

    Sebelumnya, KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi di lingkungan Pemkab Ponorogo, yakni Bupati Sugiri Sancoko, Sekda Agus Pramono, Direktur RSUD dr. Harjono dr. Yunus Mahatma, dan seorang rekanan proyek rumah sakit berinisial SC.

    Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sederet Kasus OTT KPK pada Pengujung 2025, Jaring Bupati hingga Wamen

    Sederet Kasus OTT KPK pada Pengujung 2025, Jaring Bupati hingga Wamen

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tercatat lebih gencar menggelar operasi tangkap tangan (OTT) pada 6 bulan terakhir pada tahun ini.

    Pasalnya, pada semester I/2025 komisi anti rasuah tersebut hanya mencatatkan 2 kali OTT. Sementara itu, pada sisa 6 bulan terakhir tahun ini, KPK telah menggelar 6 kali OTT hanya dalam kurun waktu 4 bulan.

    Kasus OTT pertama yang ditangani pada semester II/2025 adalah kasus korupsi RSUD di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara pada 7 Agustus 2025. 

    Kemudian, OTT selanjutnya digelar pada 13 Agustus 2025 terkait dengan kasus suap terkait dengan kerja sama pengelolaan kawasan hutan yang menjaring direksi perusahaan pelat merah.

    KPK kembali melanjutkan OTT pada bulan yang sama. Kali ini, tangkapan KPK cukup membuat geger negeri karena yang terjaring adalah Wakil Menteri Ketenagakerjaan Emmanuel Ebenezer pada 20 Agustus 2025.

    Selanjutnya, Gubernur Riau yang menjadi sasaran KPK dalam OTT yang digelar pada 3 November 2025. Abdul Wahid terjaring dalam kasus dugaan pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.

    Terbaru, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko menjadi target OTT KPK yang dilakukan pada Jumat (7/11/2025) pada kasus dugaan suap peralihan jabatan.

    Berikut ringkasan kasus OTT KPK sepanjang semester II/2025:

    OTT Bupati Kolaka

    Dalam OTT KPK pada 7 Agustus 2025 telah menjaring Bupati Kolaka Timur periode 2024-2029, Abdul Aziz. Dia ditangkap atas dugaan korupsi dana alokasi khusus (DAK) Rumah Sakit di Kolaka Timur.

    Penangkapan ini setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) karena sudah mengendus penyelewengan alokasi DAK.

    Tidak berselang lama, KPK langsung menetapkan Abdul Azis periode 2024-2029 menjadi tersangka.

    “KPK menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan 5 orang sebagai tersangka, yakni: ABZ [Abdul Azis], ALH [Andi Lukman Hakim], AGD [Ageng Dermanto], DK [Deni Karnady], dan AR [Arif Rahman],” Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers Sabtu, (9/8/2025).

    OTT Inhutani

    KPK menggelar OTT pada perusahaan pelat merah, PT Inhutani V terkait dengan suap kerja sama pengelolaan kawasan hutan milik Inhutani pada 13 Agustus 2025 setelah melakukan pendalaman kasus.

    Dalam OTT tersebut, KPK menjaring 3 orang yang diketahui adalah Direktur PT INH V Dicky Yuana Rady (DIC), Direktur PT PML Djunaidi (DJN), dan staf perizinan SB Grup Aditya (ADT). KPK turut mengamankan barang bukti berupa mobil Rubicon hingga uang Rp2,4 miliar.

    Ketiga orang tersebut langsung ditetapkan tersangka dugaan suap kerja sama pengelolaan kawasan hutan PT Inhutani (PT INH) V dengan PT Paramitra Mulia Langgeng (PT PML). Penetapan tersangka merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT) KPK setelah melakukan pendalaman kasus. 

    “Tim KPK juga mengamankan sejumlah barang bukti, berupa uang tunai senilai 189.000 dolar Singapura (atau sekitar Rp2,4 miliar – kurs hari ini), uang tunai senilai Rp8,5 juta, 1 (satu) unit mobil RUBICON di rumah DIC; serta 1 (satu) unit mobil Pajero milik Sdr. DIC di rumah ADT,” kata Deputi Penindakan dan Eksekusi Asep Guntur Rahayudalam konferensi pers, Kamis (14/8/2025).

    OTT Wamenaker

    KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer pada 20 Agustus 2025.

    Pria yang akrab disapa Noel tersebut terjaring atas kasus  terkait dengan dugaan pemerasan.

    Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto menjelaskan OTT yang dilakukan penyidik terhadap Immanuel Ebenezer terkait dengan pemerasan atas sejumlah perusahaan untuk pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau K3.

    Untuk diketahui, pengurusan sertifikasi K3 oleh industri dilakukan dengan mengajukan izin ke Kemnaker.

    “[OTT Immanuel Ebenezer terkait] Pemerasan terhadap perusahaan-perusahaan terkait pengurusan sertifikasi K3,” jelas Fitroh kepada wartawan, Kamis (21/8/2025).

    OTT Gubernur Riau

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan aksi OTT di wilayah Riau, Senin (3/11/2025) yang menjaring 10 orang, termasuk Gubernur Riau Abdul Wahid.

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan pihaknya menemukan dugaan ‘jatah preman’ terkait tambahan anggaran di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Riau.

    “Terkait dengan penambahan anggaran di Dinas PUPR tersebut, kemudian ada semacam japrem atau jatah preman sekian persen begitu, untuk kepala daerah. Itu modus-modusnya,” kata Budi.

    OTT Bupati Ponorogo

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengadakan operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Ponorogo, Jawa Timur dan mengamankan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko.

    Sugiri diciduk atas kasus dugaan suap peralihan jabatan Direktur Utama RSUD Harjono Ponorogo dan Proyek RSUD Harjono Porogo. 

    Setelah menjalani pemeriksaan setibanya di gedung KPK, Sugiri langsung ditetapkan sebagai tersangka.

    “Bahwa sebelum kegiatan tangkap tangan, pada 3 November 2025, SUG meminta uang kepada YUM senilai Rp1,5 miliar. Kemudian pada 6 November 2025, SUG kembali menagih uang tersebut,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers, Minggu (9/11/2025) dini hari.

  • KPK Sita Rp500 Juta dalam OTT Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko

    KPK Sita Rp500 Juta dalam OTT Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang tunai sebesar Rp500 juta dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Ponorogo, Jawa Timur, Sugiri Sancoko (SUG).

    “Uang tunai sejumlah Rp500 juta diamankan oleh tim KPK sebagai barang bukti dalam kegiatan tangkap ini,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Minggu (9/11).

    Asep menjelaskan bahwa uang tersebut berkaitan dengan permintaan dana yang diajukan Sugiri kepada Direktur RSUD Dr. Harjono Ponorogo, Yunus Mahatma (YUM), pada 3 November 2025. Dalam kesempatan itu, Sugiri disebut meminta uang sebesar Rp1,5 miliar. Beberapa hari kemudian, tepatnya 6 November 2025, Sugiri kembali menagih permintaan tersebut.

    Pada 7 November 2025, teman dekat Yunus Mahatma berinisial IBP berkoordinasi dengan ED, seorang pegawai Bank Jatim, untuk mencairkan uang senilai Rp500 juta.

    “Uang tersebut untuk diserahkan YUM kepada SUG melalui saudari NNK selaku kerabat dari SUG,” kata Asep.

    Masih di tanggal yang sama, tim KPK melakukan penindakan dan mengamankan 13 orang terkait penyerahan uang itu, termasuk Sugiri Sancoko dan Yunus Mahatma.

    Dua hari kemudian, pada 9 November 2025, KPK secara resmi mengumumkan penetapan empat tersangka dalam kasus dugaan suap yang meliputi pengisian jabatan, proyek di RSUD Dr. Harjono Ponorogo, serta dugaan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ponorogo.

    Mereka adalah Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko (SUG), Direktur RSUD Dr. Harjono Ponorogo Yunus Mahatma (YUM), Sekretaris Daerah Ponorogo Agus Pramono (AGP), dan Sucipto (SC), pihak swasta yang menjadi rekanan proyek RSUD Ponorogo.

    Dalam klaster suap pengurusan jabatan, KPK menyebut Sugiri Sancoko dan Agus Pramono sebagai penerima, sementara Yunus Mahatma berperan sebagai pemberi suap.

    Untuk klaster suap proyek RSUD Ponorogo, penerimanya adalah Sugiri Sancoko dan Yunus Mahatma, sedangkan pemberinya Sucipto.

    Adapun dalam klaster gratifikasi di lingkungan Pemkab Ponorogo, Sugiri Sancoko disebut sebagai penerima, dan Yunus Mahatma sebagai pemberi.

  • KPK Harus Segera Tetapkan Tersangka Proyek Whoosh

    KPK Harus Segera Tetapkan Tersangka Proyek Whoosh

    GELORA.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh.

    Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi mengatakan, proyek Whoosh hanya dinikmati sebagian penduduk Jakarta-Bandung, namun menjadi beban seluruh rakyat Indonesia. 

    “Semua itu akibat ambisi mantan Presiden Jokowi yang bikin sengsara rakyat dan negara,” kata Muslim kepada RMOL, Minggu, 9 November 2025.

    Selain menyisakan utang hingga 60 tahun, proyek era Presiden Joko Widodo atau Jokowi ini juga diduga ada markup sehingga biayanya lebih mahal dibanding negara lain.

    “Proyek ini juga sangat dipaksakan tanpa mempertimbangkan masukan dari yang lain,” tutur Muslim.

    Maka dari itu, ia berharap kasus yang sedang diusut KPK ini bisa segera meringkus aktor utama di balik beban utang negara yang harus ditanggung hingga puluhan tahun ini.

    “KPK segera menetapkan tersangka, pelakunya karena KPK mengaku telah mengusutnya sejak Januari 2025. Siapa pun dia, Jokowi atau Luhut sekalipun,” pungkas Muslim

  • Punya Tanah di Mana-mana, Ini Harta Kekayaan Bupati Ponorogo Tersangka Korupsi

    Punya Tanah di Mana-mana, Ini Harta Kekayaan Bupati Ponorogo Tersangka Korupsi

    Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko (SUG) sebagai tersangka korupsi, berupa suap dan gratifikasi.

    Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menjelaskan, total bukti awal dalam kasus yang menjerat Sugiri ini mencapai Rp 2,6 miliar.

    Penerimaan uang tersebut terbagi dalam tiga klaster perkara, Rp 900 juta untuk suap jual beli jabatan, Rp 1,4 miliar untuk fee proyek pekerjaan di RSUD dr Harjono Ponorogo dan Rp 300 juta untuk gratifikasi.

    Sugiri merupakan petahana sebagai sebagai Bupati Ponorogo. Dia mulai menjabat sejak tahun 2021. Sebelumnya, dia merupakan anggota DPRD Jatim dari Partai Demokrat periode 2009-2015.

    Sugiri saat ini tercatat memiliki harta kekayaan sebesar Rp 6.358.428.124. Angka ini merujuk kepada laporan harta kekayaan lenyelenggara negara (LHKPN), yang dilaporkan Sugiri ke KPK di tanggal 31 Maret 2025.

    Sugiri memiliki sejumlah bidang tanah yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan rincian sebagai berikut:

    1. Tanah dan bangunan seluas 165 m2/70 m2 di Surabaya, hasil sendiri Rp 1.800.000.000

    2. Tanah dan bangunan seluas 130 m2/55 m2 di Boyolali, hasil sendiri Rp 600.000.000

    3. Tanah dan bangunan seluas 105 m2/45 m2 di Sidoarjo, hasil sendiri Rp 450.000.000

    4. Tanah dan bangunan seluas 120 m2/70 m2 di Pasuruan, hasil sendiri Rp 900.000.000

    5. Tanah seluas 4.306 m2 di Ponorogo, warisan Rp 737.050.000

    6. Tanah seluas 2.254 m2 di Ponorogo, warisan Rp 527.000.000

    7. Tanah seluas 2.254 m2 di Ponorogo, warisan Rp 527.000.000

    8. Tanah seluas 552 m2 di Ponorogo, warisan Rp 129.000.000

    9. Tanah Seluas 280 m2 di Ponorogo, warisan Rp 112.000.000.

    Selain tanah dan bangunan, Sugiri juga memiliki kendaraan berupa Alphard tahun 2006 yang didapat dari hasil sendiri senilai Rp 125.000.000. Kemudian motor Vespa Primavera tahun 2018 hasil sendiri Rp 28.000.000.

    Dia juga tercatat memilliki harta bergerak lain senilai Rp 218.937.095 dan kas atau setara kas Rp 204.441.029.

  • KPK Akan Dalami Keterlibatan Legislatif dalam Kasus Bupati Ponorogo

    KPK Akan Dalami Keterlibatan Legislatif dalam Kasus Bupati Ponorogo

    KPK Akan Dalami Keterlibatan Legislatif dalam Kasus Bupati Ponorogo
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bakal mendalami perihal penganggaran ke pihak legislatif Kabupaten Ponorogo usai Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan jabatan serta proyek RSUD Ponorogo dan penerimaan lainnya di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo.
    “Kami juga akan mendalami ke sana (pihak legislatif), dari nilai-nilai yang ada di Kabupaten Ponorogo, apakah nanti ada penyimpangan atau tidak,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi
    KPK
    , Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (9/11/2025) dini hari.
    Asep menjelaskan, dalam menjalankan suatu pemerintahan, bupati selaku eksekutor atau eksekutif tidak bisa berjalan sendiri.
    Sebab, perlu ada koordinasi antara eksekutif dan legislatif dalam menjalankan tugasnya. Misalnya, dalam pembahasan anggaran hingga keputusan untuk menjalankan suatu proyek.
    “Karena, untuk adanya proyek dan lain-lain, itu ada persetujuan. Tidak hanya eksekutif tapi juga legislatif, di penganggaran di kabupaten ponorogo, ada kesepakatan-kesepakatan,” kata Asep.
    Untuk itu, KPK membuka peluang untuk memeriksa pihak legislatif dari Pemkab Ponorogo terkait dugaan suap dalam penganggaran tersebut.
    Diketahui,
    Bupati Ponorogo

    Sugiri Sancoko
    bersama tiga orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka dalam sejumlah kasus suap di Pemkab Ponorogo.
    Tiga orang yang juga ditetapkan sebagai tersangka adalah Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo, Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo, dan Sucipto selaku rekanan RSUD Ponorogo.
    “Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka, yaitu Sugiri, Agus, Yunus, dan Sucipto,” kata Asep.
    Sebelum ditetapkan tersangka, Sugiri dan para tersangka lainnya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Jumat, 7 November 2025.
    Dia diduga menyalahgunakan kewenangannya untuk mengatur jabatan di lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
    KPK mengungkapkan, kasus ini bermula pada awal 2025. Saat itu, Yunus Mahatma selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Harjono Ponorogo mendapatkan informasi bahwa dirinya akan diganti oleh Sugiri.
    Untuk mempertahankan posisinya, Yunus langsung berkoordinasi dengan Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo untuk menyiapkan sejumlah uang yang akan diberikan kepada Sugiri Sancoko.
    “Pada Februari 2025, dilakukan penyerahan uang pertama dari YUM (Yunus) kepada SUG (Sugiri) melalui ajudannya, sejumlah Rp 400 juta,” ujar Asep.
    Kemudian, pada periode April-Agustus 2025, Yunus juga melakukan penyerahan uang kepada Agus Pramono senilai Rp 325 juta.
    Selanjutnya, pada November 2025, Yunus kembali menyerahkan uang senilai Rp 500 juta melalui kerabat Sugiri Sancoko.
    Jika dijumlah, total uang yang telah diberikan Yunus dalam tiga klaster penyerahan uang tersebut mencapai Rp 1,25 miliar, dengan rincian yaitu, untuk Sugiri Sancoko sebesar Rp 900 juta dan Agus Pramono senilai Rp 325 juta.
    “Di mana, dalam proses penyerahan uang ketiga pada hari Jumat, 7 November 2025 tersebut, Tim KPK kemudian melakukan kegiatan tangkap tangan. Tim mengamankan sejumlah 13 orang,” kata Asep.
    Dia menjelaskan, sebelum adanya operasi senyap, pada 3 November, Sugiri meminta uang kepada Yunus senilai Rp 1,5 miliar. Lalu, pada 6 November, Sugiri kembali menagih uang.
    Selanjutnya, pada 7 November 2025, teman dekat Yunus berkoordinasi dengan pegawai Bank Jatim untuk mencairkan uang senilai Rp 500 juta. Uang tersebut untuk diserahkan kepada Sugiri melalui kerabatnya.
    “Uang tunai sejumlah Rp 500 juta tersebut kemudian diamankan oleh Tim KPK sebagai barang bukti dalam kegiatan tangkap ini,” ungkap Asep.
    Saat ini, KPK tengah menyelidiki dugaan suap pengurusan jabatan pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lain di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Ponorogo.
    Asep mengatakan, penyidik juga menemukan dugaan suap terkait paket pekerjaan di lingkungan RSUD Ponorogo.
    Disebutkan, pada 2024, terdapat proyek pekerjaan RSUD Ponorogo senilai Rp 14 miliar.
    Dari nilai tersebut, Sucipto selaku rekanan RSUD Harjono memberikan
    fee
    kepada Yunus sebesar 10 persen atau sekitar Rp 1,4 miliar.
    “Yunus kemudian menyerahkan uang tersebut kepada Sugiri melalui ADC Bupati Ponorogo dan ELW selaku adik dari Bupati Ponorogo,” kata Asep.
    Tak hanya itu, KPK juga menemukan dugaan tindak pidana korupsi penerimaan lainnya (gratifikasi) yang dilakukan Sugiri.
    “Bahwa pada periode 2023-2025, diduga Sugiri menerima uang senilai Rp 225 juta dari Yunus. Selain itu, pada Oktober 2025, Sugiri juga menerima uang sebesar Rp 75 juta dari EK selaku pihak swasta,” ujar Asep.
    Asep mengatakan, para tersangka dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak hari Sabtu, 8 November 2025 sampai dengan 27 November 2025.
    “Penahanan dilakukan di Rumah Tahanan Negara Cabang Merah Putih, KPK,” katanya.
    Atas perbuatannya, Sugiri dan Yunus diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU TPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Yunus, dalam hal pengurusan jabatan, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, dan/atau Pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi..
    Sedangkan terhadap Sugiri, bersama-sama dengan Agus Pramono, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sucipto, dalam hal paket pekerjaan di lingkungan Pemkab Ponorogo, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, dan/atau Pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK juga Dalami Pengadaan Monumen Reog Usai Bupati Ponorogo Ditetapkan Tersangka

    KPK juga Dalami Pengadaan Monumen Reog Usai Bupati Ponorogo Ditetapkan Tersangka

    Sebelumnya, pada 9 November 2025, KPK mengumumkan menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan jabatan, proyek pekerjaan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Harjono Ponorogo, dan penerimaan lainnya atau gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

    Empat orang tersebut adalah Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko (SUG), Direktur RSUD Dr. Harjono Ponorogo Yunus Mahatma (YUM), Sekretaris Daerah Ponorogo Agus Pramono (AGP), serta Sucipto (SC) selaku pihak swasta atau rekanan RSUD Ponorogo.

    Dalam klaster dugaan suap pengurusan jabatan, penerima suap adalah Sugiri Sancoko bersama Agus Pramono. Sementara pemberi suapnya adalah Yunus Mahatma.

    Untuk klaster dugaan suap dalam proyek pekerjaan di RSUD Ponorogo, penerima suap adalah Sugiri Sancoko bersama Yunus Mahatma. Sementara pemberi suapnya adalah Sucipto.

    Adapun pada klaster dugaan gratifikasi di lingkungan Pemkab Ponorogo, penerima suapnya adalah Sugiri Sancoko. Sementara pemberi suapnya adalah Yunus Mahatma.

     

  • 7
                    
                        Uang Suap untuk Bupati Ponorogo Diterima Lewat Saudara dan Ipar
                        Nasional

    7 Uang Suap untuk Bupati Ponorogo Diterima Lewat Saudara dan Ipar Nasional

    Uang Suap untuk Bupati Ponorogo Diterima Lewat Saudara dan Ipar
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami keterlibatan keluarga Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dalam kasus suap pengurusan jabatan serta proyek RSUD Ponorogo dan penerimaan lainnya di Pemkab Ponorogo.
    Dari hasil penyelidikan
    KPK
    , uang untuk pengurusan jabatan tidak langsung diterima Sugiri, melainkan saudaranya.
    “Jadi Pak Bupati
    Ponorogo
    ini selalu tidak langsung untuk menerima uang. Jadi, ketika diberikan sejumlah uang, khususnya dari Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo, dia tidak mau langsung menerima. Jadi, dilewatkan ke saudaranya,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (9/11/2025) dini hari.
    Asep menjelaskan, sejauh ini, sudah ada dua peristiwa yang melibatkan keluarga Sugiri, yaitu pada proses penyerahan uang pada 7 November 2025. Lalu penyerahan pada tahun 2024.
    “Di yang tanggal 7 (November) kemarin, itu dilewatkan ke iparnya, saudara NNK. Kemudian, untuk uang dari proyek RSUD itu dilewatkan ke saudara Eli (ELW). Ini tahun 2024 sekitar Rp 950 juta dan Rp 450 juta,” lanjut Asep.
    Asep menjelaskan, selama ini, penyerahan uang kepada Sugiri dilakukan secara berlapis, tidak langsung diterima oleh Bupati Ponorogo dua periode ini.
    Diberitakan sebelumnya, Sugiri bersama tiga orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka dalam sejumlah
    kasus suap
    di Pemkab Ponorogo.
    Tiga orang yang juga ditetapkan sebagai tersangka adalah Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo, Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo, dan Sucipto selaku rekanan RSUD Ponorogo.
    “Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 4 orang sebagai tersangka, yaitu Sugiri, Agus, Yunus, dan Sucipto,” kata Asep.
    Sugiri dan para tersangka lainnya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (7/11/2025).
    Ia diketahui menyalahgunakan kewenangannya untuk mengatur jabatan di lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
    Atas perbuatannya, Sugiri dan Yunus diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU TPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Yunus, dalam hal pengurusan jabatan, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, dan/atau Pasal 13 UU TPK.
    Sedangkan terhadap Sugiri, bersama-sama dengan Agus Pramono, diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU TPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sucipto, dalam hal paket pekerjaan di lingkungan Pemkab Ponorogo, diduga melakukan perbuatan TPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, dan/atau Pasal 13 UU TPK.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Demi Balik Modal Politik, Gubernur Jadi Pengusaha Proyek, Kasus Riau Sebut Skema “Jatah Preman”

    Demi Balik Modal Politik, Gubernur Jadi Pengusaha Proyek, Kasus Riau Sebut Skema “Jatah Preman”

    GELORA.CO – Ketika seorang calon kepala daerah mengantongi dukungan besar dan berjuang merebut kursi eksekutif.

    Satu hal yang kerap terlupakan adalah biaya politik yang harus dibayar.

    Di Provinsi Riau, kasus OTT yang menjerat Gubernur Abdul Wahid akhirnya menampakkan.

    bahwa proyek-anggaran di pemerintahan daerah bisa berubah menjadi jalur pembayaran balik modal politik.

    Menurut keterangan resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Skema yang dipakai adalah penambahan anggaran di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan.

    Yang kemudian dibagi sebagian ke kepala daerah “semacam jatah preman sekian persen”, ungkap juru bicara KPK.

    Beberapa pakar menilai bahwa modal kampanye yang mahal memunculkan kebutuhan untuk “balik modal” setelah pejabat terpilih.

    Dengan kontrol anggaran yang besar di tingkat daerah, posisi gubernur atau bupati menjadi sangat strategis tidak hanya untuk pelayanan publik.

    Tetapi juga untuk potensi businessman dalam proyek publik.

    Dalam kasus Riau, KPK menyita uang tunai dalam berbagai mata uang senilai sekitar Rp 1,6 miliar.

    Sebagai indikasi bahwa aliran dana bukan sekadar satu kali, tetapi bagian dari rangkaian pembayaran.

    Praktik ini menunjukkan bahwa kursi gubernur di Riau bukan hanya jabatan publik, tapi juga investasi politik yang harus segera menghasilkan “imbal hasil”.

    Gubernur yang terpilih, secara teoritis, adalah pelayan publik.

    Tapi ketika kursi itu juga berfungsi sebagai pengusaha proyek, maka batas antara kepentingan publik dan pribadi menjadi kabur.

    Sumber KPK mengungkap bahwa dalam skema ini, pejabat daerah menetapkan prosentase “jatah” dari anggaran proyek untuk disetor ke atasannya.

    Singkatnya pejabat daerah, seperti gubernur, menjadi titik akhir transaksi proyek, bukan sebagai pengawas publik.

    Tetapi sebagai pihak yang menerima return dari proyek yang dikelola.

    Skema ini berdampak buruk bagi kualitas pelayanan publik dan kepercayaan masyarakat.

    Uang yang semestinya untuk pembangunan infrastruktur maju terbagi sebagai biaya tersembunyi, dan kualitas proyek bisa menurun.

    Apalagi jika motivasi proyek berubah dari kebutuhan publik menjadi pengembalian investasi politik.

    Di sisi demokrasi, hal ini menciptakan siklus pejabat yang terpilih bukan dengan visi pelayanan, tetapi dengan ambisi modal balik.

    Akibatnya, partisipasi publik dan integritas pemerintahan daerah menjadi korupsi sistemik, bukan kejadian tunggal.

    Untuk mematahkan skema “pengusaha proyek” ini, reformasi perlu menyasar beberapa titik kritis:

    Transparansi dan akuntabilitas dana kampanye supaya pejabat tak terlilit utang politik yang kemudian dibayar melalui proyek.

    Pengawasan internal pemerintah daerah yang lebih kuat, independen, dan rutin—terutama pengadaan barang dan jasa serta UPT-nya.

    Pendidikan integritas di tingkat lokal agar pejabat memahami bahwa jabatan bukanlah hak eksploitasi, melainkan amanah publik.

    Kasus Gubernur Abdul Wahid di Riau bukan sekadar tajuk berita kriminalitas.

    Ia adalah sinyal bahwa kepala daerah bisa menjadi pengusaha proyek tersembunyi, menjalankan skema pembayaran balik modal politik dengan mengorbankan publik.

    Sampai sistem kampanye, penganggaran, dan pengawasan berubah.

    Maka kursi pemerintahan daerah tetap akan menjadi arena pengembalian investasi politik, bukan semata tempat untuk melayani rakyat. (*)