Kementrian Lembaga: KPK

  • Ada Wawancara Tanya Isi Saldo Rekening di Seleksi PPDS, Kemenkes Buka Suara

    Ada Wawancara Tanya Isi Saldo Rekening di Seleksi PPDS, Kemenkes Buka Suara

    Jakarta – Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah dugaan janggal besaran biaya penunjang program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang relatif berbeda di setiap prodi fakultas kedokteran (FK) universitas. Dalam tahapan wawancara seleksi calon dokter spesialis, hal tidak biasa juga dialami sekitar 80 peserta dari 1.400-an responden yang disurvei. Masing-masing ditanya tentang isi saldo rekening.

    Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Azhar Jaya menilai proses pendidikan, terlebih di bidang kedokteran memang memerlukan pengorbanan lebih banyak, baik dari segi waktu maupun biaya. Namun, tidak seharusnya seleksi wawancara melibatkan pertanyaan semacam itu.

    “Jika masalah saldo rekening dijadikan bahan pertimbangan, menurut saya tidak perlu lah seperti itu,” tegas Azhar saat dihubungi detikcom, Senin (23/12/2024).

    Sementara terkait biaya penunjang PPDS seperti kas kelas, menurut Azhar masih bisa dipertimbangkan dengan sejumlah catatan.

    “Jika terkait langsung dengan pendidikan dan jumlahnya saya yakin juga tidak akan memberatkan, namun jika kas kelas ini dipergunakan untuk biaya penunjang yang lain seperti untuk dosen, senior, aktivitas di luar pendidikan maka jumlahnya bisa jutaan dan akan memberatkan residen. Ini yang tidak boleh,” tandas dia.

    Temuan KPK menunjukkan 26,05 persen responden merogoh kocek Rp 1 hingga 5 juta setiap semester sebagai kebutuhan penunjang PPDS. Baik untuk biaya listrik, wifi, kebersihan, hingga ruangan jaga atau tempat berkumpul para residen. Sementara 5,42 persen lainnya, mengaku mengeluarkan uang lebih besar. Bahkan, di kisaran Rp 5 hingga Rp 25 juta per semester untuk kebutuhan yang sama.

    “Pada saat pendalaman wawancara dikatakan memang untuk menunjang kegiatan para residen pada program studi tertentu seperti bedah dan anestesi yang juga membutuhkan fasilitas penunjang lain yang tidak seluruhnya disediakan oleh program studi/fakultas maupun RS pendidikan,” demikian lapor kajian KPK, dikutip Minggu (22/12/2024).

    Sejumlah uang tersebut diklaim masih berkaitan dengan pendidikan. Sebab, uang semester ke universitas saja, dinilai tidak cukup. Terlebih, belum ada perhitungan semua komponen seperti pada program sarjana di perguruan tinggi negeri, dengan bentuk uang kuliah tunggal.

    “Seharusnya tidak ada biaya tambahan lagi yang berkaitan dengan pendidikan.”

    “Pengeluaran yang juga menjadi beban para peserta PPDS ialah biaya lain terkait pendidikan yang harus dikeluarkan mencapai Rp 200 juta. Dalam keterangan pendalaman melalui interview, responden mengatakan harus mengeluarkan biaya tersebut untuk kegiatan seperti seminar akademik, konferensi ilmiah, pembelian alat kesehatan, dan barang medis habis pakai baik untuk pribadi maupun kolektif, dan hal lain untuk menunjang kegiatan pendidikan PPDS,” lapor KPK.

    Saksikan juga Sosok: Warung Makan Gratis, Sedekah Rasa Bunda Mira

    (naf/kna)

  • Kriminal sepekan, korupsi Disbud DKI hingga kasus Firli Bahuri

    Kriminal sepekan, korupsi Disbud DKI hingga kasus Firli Bahuri

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah berita kriminal yang tayang di kanal Metro pada sepekan ini masih menarik untuk Anda simak kembali hari ini, mulai dari kasus korupsi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta hingga Hakim PN Jaksel tolak gugatan praperadilan terkait kasus Firli Bahuri.

    Berikut rangkumannya:

    Aniaya suami, istri jadi tersangka KDRT di Jakarta Timur

    Polres Metro Jakarta Timur menetapkan seorang wanita berinisial MS (31) sebagai tersangka karena diduga melakukan penganiayaan atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada suaminya AG (35) di sebuah apartemen kawasan Ceger, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur pada Jumat (8/11).

    “Pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka dan saat ini sudah ditahan di Mapolres Metro Jaktim,” kata Kapolres Metro Jakarta Timur, Kombes Nicolas Ary Lilipaly di Mapolres Metro Jaktim, Jumat.

    Baca selengkapnya di sini.

    Korupsi Disbud, Pemprov DKI nonaktifkan Iwan Henry sebagai Kadisbud

    Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menonaktifkan Iwan Henry Wardhana sebagai Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta pada Kamis ini sebagai imbas dugaan korupsi di lingkup Dinas Kebudayaan terkait anggaran tahun 2023.

    “Rencananya akan diisi oleh Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Pusat (Kasudinbud Jakpus) sebagai Pelaksana tugas (Plt.) Dinas kebudayaan per hari ini,” kata Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi DKI Jakarta Budi Awaluddin yang dihubungi di Jakarta, Kamis.

    Baca selengkapnya di sini.

    Kapolres Jaktim minta maaf lambat tangani kasus anak bos toko roti

    Kapolres Metro Jakarta Timur Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly meminta maaf ke publik bila ada kesan lambat dalam penanganan dugaan kasus penganiayaan oleh anak bos toko roti berinsial GSH (35) kepada karyawannya berinsial DAD di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur.

    “Kami mohon maaf. Memang dalam penanganan terkesan lambat atau lama,” kata Nicolas dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Baca selengkapnya di sini.

    Lima pelaku penganiayaan adik kelas di SMAN 70 Jakarta pindah sekolah

    Sebanyak lima pelaku yang diduga menganiaya adik kelas berinisial F alias C yakni A, B, M, dan R di SMAN 70 Jakarta telah pindah sekolah usai kasus tersebut terkuak.

    “Apapun yang terjadi, tata tertib sekolah tetap kita tegakan, dan sudah kita arahkan untuk dipindahkan ke satuan pendidikan lain,” kata Kepala SMAN 70 Jakarta, Sunaryo kepada wartawan di Polres Metro Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu.

    Baca selengkapnya di sini.

    Hakim PN Jaksel tolak gugatan praperadilan terkait kasus Firli Bahuri

    Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan terhadap Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi terkait belum ditahannya mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri.

    “Menimbang praperadilan yang diajukan para pemohon dinyatakan tidak dapat diterima, maka biaya dalam perkara ini akan disematkan pada para pemohon sebesar nihil,” kata hakim tunggal Lusiana Amping dalam sidang pembacaan putusan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu.

    Baca selengkapnya di sini.

    Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
    Editor: Hernawan Wahyudono
    Copyright © ANTARA 2024

  • Kajian KPK Soroti Uang ‘Kebutuhan Penunjang’ Dokter Spesialis Capai 500-an Juta

    Kajian KPK Soroti Uang ‘Kebutuhan Penunjang’ Dokter Spesialis Capai 500-an Juta

    Jakarta

    Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap sejumlah dugaan tindakan berisiko pada program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Survei dilakukan pada lebih dari 1.400 PPDS, residen atau dokter spesialis yang masih berkuliah lulusan 2021 sampai 2023. Temuan KPK menunjukkan mereka masih harus mengeluarkan uang tambahan di luar biaya resmi pendidikan.

    Ada 26,05 persen responden yang merogoh kocek Rp 1 hingga 5 juta setiap semester sebagai kebutuhan penunjang PPDS. Baik untuk biaya listrik, wifi, kebersihan, hingga ruangan jaga atau tempat berkumpul para residen. Sementara 5,42 persen lainnya mengaku mengeluarkan dana lebih besar. Bahkan, di kisaran Rp 5 hingga Rp 25 juta per semester untuk kebutuhan yang sama.

    “Pada saat pendalaman wawancara dikatakan memang untuk menunjang kegiatan para residen pada program studi tertentu seperti bedah dan anestesi yang juga membutuhkan fasilitas penunjang lain yang tidak seluruhnya disediakan oleh program studi/fakultas maupun RS pendidikan,” demikian lapor kajian KPK, dikutip Minggu (22/12/2024).

    Sejumlah uang tersebut diklaim masih berkaitan dengan pendidikan. Sebab, uang semester ke universitas saja, dinilai tidak cukup. Terlebih, belum ada perhitungan semua komponen seperti pada program sarjana di perguruan tinggi negeri, dengan bentuk uang kuliah tunggal.

    “Dimana seharusnya tidak ada biaya tambahan lagi yang berkaitan dengan pendidikan.”

    “Pengeluaran yang juga menjadi beban para peserta PPDS ialah biaya lain terkait pendidikan yang harus dikeluarkan mencapai Rp 200 juta. Dalam keterangan pendalaman melalui interview, responden mengatakan harus mengeluarkan biaya tersebut untuk kegiatan seperti seminar akademik, konferensi ilmiah, pembelian alat kesehatan, dan barang medis habis pakai baik untuk pribadi maupun kolektif, dan hal lain untuk menunjang kegiatan pendidikan PPDS,” lapor KPK.

    Adapun responden dari beberapa universitas mengungkap temuan pengeluaran yang tidak jauh berbeda setiap semester. Mereka menyebut uang tambahan ini sebagai biaya uang pangkal di awal pendaftaran. Nominalnya relatif berbeda, tergantung masing-masing program studi.

    “Seperti contoh pada Universitas Sam Ratulangi, besaran dapat berbeda bagi tiap orang di setiap program studi meskipun secara resmi di web dan peraturan rektor tidak terdapat SPI resmi yang dipungut di awal perkuliahan,” tandas KPK.

    KPK menyoroti nihilnya pengaturan terkait pemungutan uang tambahan, baik dari Kementerian Kesehatan, maupun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Hal ini yang kemudian membuat universitas bisa mengatur besaran berbeda, sesuai dengan masing-masing sistem.

    “Rentang biaya yang dikeluarkan oleh peserta PPDS untuk uang pangkal ialah mulai dari 0 rupiah atau tidak ada uang pangkal yang dikenakan oleh pihak kampus, sampai dengan terbesar mencapai Rp 565 juta,” beber KPK.

    “Sedangkan biaya semester pada PPDS mulai dari Rp 1 juta hingga ada yang mencapai Rp 250 juta. Perbedaan ini terjadi antar universitas meskipun berbeda program studi bahkan dapat terjadi perbedaan pada setiap peserta karena terbukanya celah pungutan di luar biaya resmi yang sudah diatur oleh peraturan masing-masing rektor,” pungkas laporan terkait.

    (naf/naf)

  • Sosiolog UI Sebut Lukisan Yos Suprapto Tak Langgar Etika

    Sosiolog UI Sebut Lukisan Yos Suprapto Tak Langgar Etika

    Bisnis.com, JAKARTA – Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola mengkritik sikap Galeri Nasional Indonesia yang membatalkan pameran tunggal Yos Suprapto berjudul “Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan” yang seharusnya dibuka pada Kamis (19/12/2024).

    Thamrin menilai lukisan yang menyerupai Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) itu tidak melanggar etika dan masih relevan dengan isu pangan.

    Hal ini dia sampaikan dalam diskusi bertajuk ‘Seni Sebagai Medium Kritik Kekuasaan’ di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (22/12/2024).

    “Kalau saya lihat lukisan-lukisan yang ada, yang dibuat oleh Yos Suprapto itu, itu mengarahnya memang mempersoalkan etika negara yang paling mendasar, dan yang terutama mempersoalkan Jokowi, sehingga terjadi hal-hal yang seperti itu,” katanya dalam forum itu.

    Menurut Thamrin, masalah kelemahan pangan yang saat ini terjadi karena praktik kekuasaan dan hal itu digugat oleh Yos.

    Apalagi dengan tema tanah, dia melanjutkan bahwa kebangkitan tanah untuk ketahanan pangan sangat sukar untuk ditegakkan, karena lemahnya komitmen dari pemerintah.

    Menurutnya, lemahnya komitmen dari pemerintah itu bisa terlihat dari maraknya impor barang-barang dari luar.

    “Dan itu impor semua. Jadi, sehingga kedaulatan untuk ditegakkan tidak ada. Karena tidak ada komitmen politik dari pemerintah,” ucapnya.

    Oleh sebab itu, Thamrin mengatakan Yos melihat fenomena bahwa ketahanan, kedaulatan pangan ini yang berurusan dalam kekuasaan negara tidak akan mungkin ditegakkan karena masalah negara sendiri.

    Dia juga mengkritisi penilaian kurator yang katanya ada dua lukisan yang sebenarnya lebih pantas disebut makian.

    “Jadi, kalau ada pejabat yang tidak mengikuti dia [Jokowi], dia bilang ya saya tinggal bisikin polisi, saya tinggal bisikin KPK. Bisa presiden begitu? Dosa-dosa orang-orang itu digunakan sebagai alat untuk menekan. Nah cara menekan seperti itu adalah cara yang sangat sadis secara politik,” pungkas Thamrin.

  • Polri Kenalkan Kortas Tipikor ke Masyarakat di CFD Jakarta

    Polri Kenalkan Kortas Tipikor ke Masyarakat di CFD Jakarta

    Jakarta

    Polri memperkenalkan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri di car free day (CFD) Jakarta. Kegiatan itu dilakukan untuk mengenalkan satuan kerja baru di tubuh Polri itu ke masyarakat.

    “Kegiatan yang diadakan ini bertujuan untuk menyosialisasikan kepada masyarakat terkait pembentukan Kortas Tipikor Polri dan perannya dalam pemberantasan korupsi serta masih dalam momentum Hari Antikorupsi Sedunia,” kata Wakil Kepala Satgassus Pencegahan Korupsi Polri, Novel Baswedan, dalam keterangannya, Minggu (22/12/2024).

    Novel menyebut lahirnya Kortas Tipikor merupakan komitmen Polri dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Tanah Air. Karena itu, dia meminta semua pihak mendukung setiap upaya pemberantasan praktik rasuah di Indonesia.

    “Semoga kehadiran Kortas Tipikor Polri semakin menguatkan dan merapatkan barisan dalam upaya mencegah dan memberantas Korupsi,” harap Novel.

    Pada kesempatan yang sama, Anggota Satgassus Pencegahan Korupsi Polri, Yudi Purnomo Harahap, memandang bahwa tantangan pemberantasan korupsi semakin berat. Sebab, kata dia, modusnya lebih canggih mulai dari lintas negara hingga transaksi keuangan yang berlapis.

    “Sehingga gebrakan Kortas Tipikor Polri ditunggu sekaligus bisa bersinergi dengan lembaga pemberantas korupsi lain yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Kejaksaan Agung,” kata Yudi.

    Adapun kegiatan tersebut juga dihadiri langsung oleh Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo, Wakortas Brigjen Arief Adiharsa, dan Kepala Satgassus Pencegahan Korupsi Polri Herry Muryanto.

    (ond/fca)

  • Jelang Natal 2024, KPK Ingatkan ASN dan Pejabat Tolak Gratifikasi

    Jelang Natal 2024, KPK Ingatkan ASN dan Pejabat Tolak Gratifikasi

    Jelang Natal 2024, KPK Ingatkan ASN dan Pejabat Tolak Gratifikasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) mengimbau seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), penyelenggara negara, dan pejabat negara untuk menolak segala bentuk
    gratifikasi
    menjelang
    Hari Raya Natal
    2024.
    Imbauan tertuang dalam Surat Edaran Nomor 1636/GTF.00.02/01/03/2024 yang merupakan penegasan dari Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian
    Gratifikasi
    terkait Hari Raya.
    Dalam surat edaran jelas disebutkan bahwa ASN, penyelenggara negara, dan pejabat negara merupakan teladan yang baik bagi masyarakat.
    Oleh karena itu, KPK mengimbau agar ASN dan pejabat negara tidak meminta dan menerima gratifikasi terkait jabatannya.
    “Untuk itu agar tidak melakukan permintaan, pemberian, dan penerimaan gratifikasi dalam kaitannya dengan jabatan ataupun pelayanan publik, yang diberikan kepada masyarakat. Sehingga dengan menolak pemberian gratifikasi, menjadi langkah awal dalam pencegahan korupsi,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis, Minggu (22/12/2024).
    Budi mengingatkan bahwa penerimaan gratifikasi dapat memunculkan dampak negatif, seperti menimbulkan konflik kepentingan; bertentangan dengan peraturan/kode etik; hingga risiko sanksi pidana.
    Karenanya, apabila seorang ASN, penyelenggara negara, dan pejabat negara terlanjur menerima gratifikasi, yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, wajib melaporkan kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima.
    “Setiap pelaporan gratifikasi, KPK akan melakukan analisis atas pelaporan tersebut dan menetapkannya apakah termasuk gratifikasi yang dilarang dan menjadi milik negara atau merupakan gratifikasi, yang sah diterima dan menjadi milik penerima,” ujarnya.
    Terakhir, Budi mengatakan, pelapor dapat menyampaikan langsung penerimaan gratifikasi ke KPK atau Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di instansi terkait.
    Pelaporan juga dapat dilakukan secara online melalui aplikasi Gratifikasi Online (GOL) di tautan https://gol.
    kpk
    .go.id ataupun melalui email pelaporan.gratifikasi@kpk.go.id.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kajian KPK: Calon Dokter Spesialis Ditanya Isi Saldo Rekening saat Seleksi Wawancara

    Kajian KPK: Calon Dokter Spesialis Ditanya Isi Saldo Rekening saat Seleksi Wawancara

    Jakarta

    Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait Identifikasi Risiko Korupsi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis mengungkap hal janggal dalam proses seleksi di tahap wawancara. Calon peserta PPDS disebut harus bersedia menunjukkan saldo rekening masing-masing.

    Pihak kampus menilai tujuan di balik pertanyaan isi saldo rekening atau tabungan adalah memastikan calon peserta PPDS sanggup secara finansial, terlebih biaya selama menjalani prodi kedokteran spesialis tidaklah murah. Mereka juga berdalih, hal ini demi menghindari kemungkinan putus sekolah di tengah jalan.

    Survei KPK menunjukkan dari 58 responden yang pernah diminta menunjukkan isi saldo rekening atau tabungan dalam wawancara PPDS, ada enam di antaranya bersedia memperlihatkan saldo dengan tabungan di atas Rp 500 juta. Sementara empat responden dengan saldo di sekitar Rp 250 hingga Rp 500 juta, 11 responden memiliki saldo tabungan Rp 100 hingga Rp 250 juta, 19 responden di bawah Rp 100 juta, dan 18 responden tersisa tidak bersedia atau berkenan menunjukkan saldo tabungan mereka.

    Responden tersebar merata dari universitas di wilayah Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Baik dari prodi radiologi, penyakit dalam, bedah saraf, bedah, anestesi, saraf/neurologi, kedokteran jiwa, anak, mata, THT-KL, bedah plastik rekonstruksi dan estetik, bedah urologi, patologi klinik, obgyn, orthopedi, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran fisik dan rehab dan BTKV.

    “Persentase responden yang diminta menunjukan saldo rekening tabungan memang sangat kecil dibanding populasi responden, namun hasil ini dapat mengindikasikan adanya perbedaan isi pertanyaan wawancara antar peserta seleksi. Terdapat peserta seleksi yang ditanya jumlah saldo rekening tabungan, namun ada juga yang tidak ditanyakan,” demikian temuan KPK dalam kajiannya pada 2023.

    Biaya Seleksi PPDS

    KPK juga bertanya kepada responden terkait biaya yang dikeluarkan selama proses seleksi berlangsung, selain dari biaya resmi yang tercantum dalam pengumuman.

    “Sebanyak 37 responden menyatakan pernah diminta membayar sejumlah biaya di luar biaya seleksi resmi universitas. Biaya tidak resmi yang diminta bervariasi, mulai dari Rp30.000-Rp500.000.000. Ada 7 responden yang mengikuti seleksi PPDS di wilayah Sulawesi menyatakan dimintai biaya tidak resmi hingga Rp500.000.000, 14 responden dari Bali-Nusa Tenggara dimintai hingga Rp 200.000.000, 13 responden dari Jawa dimintai hingga Rp 40.000.000 dan 3 responden dari Sumatera dimintai sampai dengan Rp20.000.000.”

    Meski begitu, KPK menyebut temuan ini diperlukan pendalaman lebih lanjut. Termasuk kepada siapa biaya sebesar itu untuk proses seleksi mengalir, hingga bagaimana metode pembayarannya.

    Survei ini dilakukan melalui platform daring google form. Pemilihan responden menggunakan teknik snowball sampling bekerja sama dengan Asosiasi Fakultas Kedokteran Negeri Seluruh Indonesia (AFKNI), dengan data yang diturunkan kepada seluruh dekan fakultas kedokteran penyelenggara PPDS, juga melalui jejaring mahasiswa dan alumni PPDS di tiap program studi.

    Metode penyebaran kuesioner dengan snowball ini dilakukan dalam jangka waktu 30 hari hingga data mencapai saturasinya. Jumlah sampel yang mengisi serta selesai diolah adalah sebanyak 1.417 dengan proporsi 1.366 responden peserta yang lulus seleksi PPDS baik sebagai mahasiswa maupun alumni. Jumlah sampel kurang lebih 10 persen dari estimasi total populasi residen atau peserta didik sebanyak 13.000, berdasarkan data residen Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia per 2020.

    (naf/kna)

  • Pengampunan Koruptor: Jalan Pintas Menuju Surga Korupsi

    Pengampunan Koruptor: Jalan Pintas Menuju Surga Korupsi

    Pengampunan Koruptor: Jalan Pintas Menuju Surga Korupsi
    Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor
    WACANA
    penuh kontroversial kembali mengemuka perihal pemberian pengampunan kepada koruptor dengan syarat mengembalikan uang hasil
    korupsi
    ke negara.
    Di balik niat baik ini, muncul pertanyaan penting mengenai arti sebenarnya dari pengampunan dalam konteks korupsi.
    Pengampunan sering kali diartikan sebagai kesempatan kedua bagi pelanggar hukum. Namun, dalam kasus korupsi, hal ini bisa menjadi sinyal bahwa tindakan ilegal dapat ditoleransi selama ada upaya mengembalikan kerugian.
    Apakah memberikan ampunan kepada koruptor justru merendahkan nilai keadilan?
    Di satu sisi, langkah ini bisa dimaknai sebagai upaya pragmatis untuk mengembalikan aset negara yang hilang.
    Namun, di sisi lain, pengampunan semacam ini berpotensi menciptakan preseden buruk. Para pelaku korupsi merasa bahwa mereka bisa melanggar hukum tanpa takut akan konsekuensi serius.
    Wacana pemberian pengampunan bagi koruptor menimbulkan risiko bahwa pengampunan dapat dipandang sebagai legitimasi atas tindakan korupsi, yang pada akhirnya hanya akan memperburuk budaya penyimpangan di lingkungan birokrat dan pemerintahan.
    Sepintas, ide
    pengampunan koruptor
    mungkin memiliki tujuan yang baik. Sebagai masyarakat, kita hormati itu. 
    Namun, wacana tersebut justru sangat berbahaya jika diterapkan dan tentunya bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
    Korupsi
    .
    Merujuk pada Pasal 4 UU 31/1999 juncto UU 20/2021 tentang Tipikor disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus pidana.
    Dengan demikian, penuntutan terhadap koruptor tidak dihapus, meski pelaku telah mengembalikan hasil pidana korupsi yang dilakukannya.
    Jika memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan uang yang diambil adalah cara kita menjalani keadilan, maka sepertinya kita perlu memikirkan kembali definisi “pengampunan.”
    Apakah setelah mengikuti program pengampunan, mereka bisa kembali ke masyarakat dengan gelar “kembali bersih”?
    Kita harus bertanya, apakah kita ingin memberikan kesempatan kedua kepada para pelanggar hukum, sementara di sisi lain, masyarakat yang taat hukum berjuang untuk mendapatkan sedikit perhatian.
    Bukankah lebih baik jika kita menciptakan sistem yang lebih adil, di mana pengembalian uang tidak cukup untuk menghapus jejak korupsi?
    Tentu saja, kita semua manusia dan bisa berbuat salah. Namun, mengizinkan koruptor untuk kembali beroperasi setelah mengembalikan uang seolah-olah kita sedang memberikan mereka “tiket VVIP” untuk kembali ke arena.
    Sementara, rakyat yang menderita akibat tindakan koruptor hanya bisa menonton dari jauh. Jadi, mari kita hentikan ide ini, pengembalian hasil curian uang rakyat adalah tiket masuk ke “surga korupsi.”
    Wacana ini dapat dipandang sebagai sinyal bahwa korupsi dapat dianggap sebagai perkara sepele, karena pelaku bisa mendapatkan ampunan setelah mengembalikan uang hasil curian. Hal ini akan memicu terjadinya surga korupsi di Indonesia.
    Hal ini menciptakan anggapan bahwa tindakan korupsi mungkin tidak akan berujung pada konsekuensi serius, sehingga dapat mendorong lebih banyak orang untuk terlibat dalam praktik tersebut.
    Sebagaimana diungkapkan oleh para pengamat, sinyal semacam ini sangat merugikan dan dapat merusak upaya yang telah dilakukan untuk memberantas korupsi.
    Saat ini, yang diperlukan adalah tindakan tegas dan keras terhadap pelaku tindak pidana korupsi, dengan memanfaatkan instrumen hukum yang sudah ada.
    Penegakan hukum harus dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Kerja sama ini sangat penting untuk memastikan bahwa semua pihak beroperasi secara sinergis dalam upaya memberantas korupsi dan menegakkan keadilan.
    Lebih dari itu, penegakan hukum juga harus melibatkan langkah-langkah yang lebih keras, termasuk memiskinkan koruptor melalui penerapan
    UU Perampasan Aset
    .
    Dengan UU Perampasan Aset, negara memiliki instrumen lebih kuat untuk menyita aset yang diperoleh secara ilegal, sehingga memberikan efek jera lebih besar bagi para pelaku korupsi.
    Jadi, daripada melempar wacana pemberian ampunan kepada koruptor, sebaiknya fokus kita diarahkan segera mengesahkan UU Perampasan Aset.
    Upaya pemberantasan korupsi harus melibatkan penegakan hukum yang tegas dan kolaboratif, serta didukung UU yang mengatur perampasan aset koruptor untuk memberikan efek jera. Masyarakat berhak melihat tindakan nyata, bukan sekadar retorika politik.
    Keadilan sejati mengharuskan adanya pertanggungjawaban, bukan sekadar pengampunan yang begitu mudah. Pada akhirnya, keadilan yang sebenarnya bukan hanya tentang mengembalikan uang curian, tetapi memastikan bahwa tidak ada lagi yang diambil dari rakyat.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo Bakal Maafkan Koruptor jika Uang Curian Dikembalikan, MUI: Terobosan Hukum yang Berani dan Simpatik

    Prabowo Bakal Maafkan Koruptor jika Uang Curian Dikembalikan, MUI: Terobosan Hukum yang Berani dan Simpatik

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Wantim Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa’adi, menilai langkah Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang yang dicuri dari negara, merupakan terobosan hukum yang cukup berani dan simpatik.

    Secara pribadi, Zainut mengapresiasi langkah presiden yang dia anggap sebagai ajakan kepada para pihak yang merasa melakukan tindak pidana korupsi untuk mengembalikan hasil curiannya dan jika membandel maka penegakan hukum akan diberlakukan secara tegas.

    “Hal tersebut menunjukkan kuatnya komitmen presiden dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Presiden ingin memulai gerakan bersih-bersih memberantas korupsi dengan membuka kesempatan kepada koruptor untuk bertobat,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis, pada Sabtu (21/12/2024).

    Dilanjutkan Zainut, jika kesempatan bertaubat tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh para koruptor, maka penegakan hukum akan diberlakukan secara tegas.

    Lebih lanjut, eks Wakil Menteri Agama pada era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ini menyebut bahwa MUI meminta langkah presiden itu harus tetap didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.

    “Harus ada payung hukum yang bisa dipertanggungjawabkan terhadap langkah presiden tersebut,” tutur dia.

    Zainut melanjutkan, langkah presiden tersebut sudah sejalan dengan hasil keputusan Mukernas IV MUI 2024, yakni mendorong presiden Republik Indonesia untuk memimpin langsung pemberantasan korupsi.

    “Mengingat negara kita telah berada dalam status darurat korupsi dan hendaknya memperkuat KPK sebagai lembaga negara yang independen,” pintanya.

    Untuk diketahui juga, MUI telah mengeluarkan fatwa ihwal korupsi, yaitu Fatwa Nomor 4/Munas VI/MUI/2000. Adapun, dalam fatwa tersebut MUI mendefinisikan korupsi atau ghulul sebagai tindakan mengambil sesuatu yang berada di bawah kekuasaan dengan cara yang tidak benar menurut Islam. MUI memfatwakan bahwa korupsi dan suap adalah tindakan yang haram hukumnya. 

    Prabowo bakal maafkan koruptor jika uang curian dikembalikan

    Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa dirinya akan memaafkan koruptor jika mereka mengembalikan uang yang dicuri dari negara. Hal tersebut disampaikan Prabowo saat berpidato di Gedung Al-Azhar Conference Center, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Rabu, 18 Desember 2024. 

    “Saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tetapi, kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya,” kata Presiden Prabowo, seperti dilansir dari Antaranews. 

    Presiden melanjutkan cara mengembalikannya dapat dilakukan dengan diam-diam agar tak ketahuan. Bagi Presiden, cara itu dapat digunakan selama para koruptor bertobat dan mengembalikan hasil curiannya kepada negara.

    Dalam kesempatan yang sama, Presiden juga mengingatkan semua aparatur negara untuk taat hukum, dan tunaikan kewajiban kepada bangsa dan negara. 

    “Hai kalian-kalian yang sudah terima fasilitas dari bangsa negara. Bayarlah kewajibanmu! Asal kau bayar kewajibanmu, taat kepada hukum, sudah kita menghadap masa depan,” kata Prabowo ke para pejabat dan aparatur negara yang mendapatkan fasilitas dari negara.

  • Penjelasan Mahfud MD Sebab Memaafkan Koruptor Dilarang Hukum – Halaman all

    Penjelasan Mahfud MD Sebab Memaafkan Koruptor Dilarang Hukum – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan wacana memaafkan koruptor apabila mengembalikan uang hasil korupsi ke negara.

    Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan bahwa memaafkan koruptor secara bersyarat dilarang hukum. 

    “Menurut hukum, menurut hukum yang berlaku sekarang itu tidak boleh. Siapa yang membolehkan itu, bisa terkena Pasal 55 KUHP,” kata Mahfud saat ditemui di Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (21/12/2024).

    Kata Mahfud, perkara korupsi sudah jelas dilarang.

    “Korupsi itu kan dilarang. Dilarang siapa? Menghalangi penegakan hukum, ikut serta atau membiarkan korupsi padahal dia bisa ini (melaporkan),“ imbuh dia.

    Sesat pikir

    Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochamad Praswad Nugraha mengungkap sesat pikir dalam rencana memaafkan koruptor.

    Menurut Praswad, nantinya penyelenggara negara atau pejabat akan semakin masif melakukan tindak pidana korupsi.

    “Kalau misalnya tindak pidana korupsi itu bisa di-restorative justice dengan cara mengembalikan (uang korupsi), maka orang-orang akan menerapkan ‘gue lakuin aja dulu, nanti kalau ketahuan balikin’. Bayangin coba, kalau misalnya semua orang akan melakukan korupsi dengan catatan kalau ketahuan dibalikin, kalau enggak ketahuan alhamdulillah,” kata Praswad dalam keterangannya, Sabtu (21/12/2024).

    “Tapi titik garis merahnya, semuanya akan selamat, enggak ada yang masuk penjara. Bisa kebayang mau jadi apa Republik Indonesia kalau seperti itu,” sambungnya.

    Praswad menilai rekayasa sosial akan mengubah pola kehidupan masyarakat. 

    Prabowo dan para pembantunya di Kabinet Merah Putih, lanjut dia, harus berhati-hati alias tidak gegabah.

    Praswad lalu mengingatkan teori rekayasa sosial Roscoe Pound yang menyatakan hukum dapat digunakan sebagai alat untuk merekayasa masyarakat atau law as a tool of social engineering.

    “Jangan sampai nanti justru kita melakukan arah rekayasa sosialnya menuju keruntuhan moral,” katanya.

    Dosen hukum pidana Universitas Tarumanegara ini tidak menampik niat baik Prabowo untuk memulihkan aset hasil korupsi. 

    Namun, ia menegaskan rencana tersebut tidak bisa diimplementasikan. 

    Hal itu dikarenakan selama belasan tahun bekerja sebagai penyidik, Praswad belum menemukan ada koruptor yang secara sukarela mengembalikan uang korupsi.

    “Niatan presiden itu bagus, serius saya ngomong begini, bukan karena saya mau ngejilat rezim, tapi enggak applicable, enggak masuk diakal. Kayak orang ngomong ‘Bang, saya pengin jadi profesor hukum tapi dia S1 saja belum’,” kata Praswad memberi analogi.

    “Sebenarnya saya menghargai niatan Presiden, bagus banget kalau itu bisa dilaksanakan, orang pada mengembalikan duit korupsi semua, tapi kan enggak ada yang mau (mengembalikan secara sadar), enggak ada yang mau. Pengembalian uang itu harus pakai upaya paksa, harus pakai pidana,” imbuhnya.

    Sebelumnya, Presiden RI meminta kepada para koruptor mengembalikan apa yang telah mereka curi dari negara. Jika koruptor mengembalikan apa yang mereka curi, Presiden menyatakan mungkin saja para koruptor itu akan dimaafkan.

    Hal tersebut ia sampaikan saat bertemu mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Rabu (18/12/2024).

    “Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor, atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong,” ujar Presiden dalam YouTube Setpres, Kamis (19/12/2024).

    Presiden melanjutkan, pengembalian hasil curian bisa dilakukan diam-diam supaya tidak ketahuan pihak lain. 

    “Nanti kita beri kesempatan. Cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya tidak ketahuan. Mengembalikan loh ya, tapi kembalikan,” kata dia. (Kompas.com/Tribunnews).