Kementrian Lembaga: KPK

  • Geledah Rumah Direktur RSUD dr Harjono, KPK Sita Jam Tangan Mewah, 24 Sepeda, Rubicon dan BMW

    Geledah Rumah Direktur RSUD dr Harjono, KPK Sita Jam Tangan Mewah, 24 Sepeda, Rubicon dan BMW

    GELORA.CO  — Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sejumlah aset mewah milik Direktur RSUD Dr Harjono Kabupaten Ponorogo, Yunus Mahatma (YUM), yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi.

    ​Aset-aset tersebut diamankan dalam rangkaian penggeledahan maraton selama empat hari, sejak Selasa (11/11/2025) hingga Jumat (14/11/2025).

    ​Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, merinci bahwa aset mewah tersebut ditemukan saat tim menggeledah rumah pribadi Yunus Mahatma.

    ​”Dari rumah YUM, penyidik juga mengamankan sejumlah aset bergerak,” kata Budi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (15/11/2025).

    ​Aset yang disita tersebut mencakup sejumlah jam tangan mewah, 24 unit sepeda, serta dua mobil mewah Jeep Rubicon dan BMW.

    ​Budi menjelaskan, penyitaan aset-aset tersebut dilakukan tidak hanya untuk kepentingan pembuktian, tetapi juga sebagai langkah awal pemulihan aset (asset recovery) dari hasil tindak pidana korupsi.

    ​Penggeledahan di rumah Yunus merupakan bagian dari serangkaian upaya paksa yang dilakukan KPK di berbagai lokasi di Ponorogo. 

    Lokasi lain yang turut digeledah antara lain Dinas PU, RSUD Ponorogo, rumah dinas Bupati, rumah dinas Sekda, rumah pribadi Bupati Sugiri Sancoko, dan rumah tersangka swasta Sucipto.

    ​”Dalam rangkaian penggeledahan tersebut, penyidik mengamankan dan menyita beberapa dokumen dan barang bukti elektronik yang terkait dengan perkara ini, seperti dokumen penganggaran maupun proyek,” ujar Budi.

    ​Seluruh barang bukti yang disita, lanjut Budi, akan diekstrak dan dipelajari lebih lanjut untuk mendukung proses penyidikan.

    ​Yunus Mahatma sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersama Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, Sekretaris Daerah Agus Pramono, dan pihak swasta Sucipto usai operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (7/11/2025).

    ​Dalam konstruksi perkara, Yunus diduga terlibat dalam dua klaster korupsi.

    ​Pertama, Yunus diduga sebagai pemberi suap senilai total Rp 1,25 miliar (Rp 900 juta untuk Sugiri Sancoko dan Rp 325 juta untuk Agus Pramono) untuk mengamankan jabatannya sebagai direktur RSUD Dr Harjono.

    ​Kedua, Yunus bersama-sama dengan Sugiri Sancoko diduga terlibat dalam suap terkait proyek pekerjaan di RSUD Harjono pada tahun 2024. 

    Yunus diduga menerima fee proyek sebesar 10 persen atau Rp 1,4 miliar dari tersangka Sucipto atas proyek senilai Rp 14 miliar. 

    Uang tersebut kemudian diduga diserahkan Yunus kepada Sugiri Sancoko.

  • Ponorogo kaji ulang mutasi 138 ASN pastikan layanan publik stabil

    Ponorogo kaji ulang mutasi 138 ASN pastikan layanan publik stabil

    Ponorogo, Jawa Timur (ANTARA) – Pemerintah Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur mengkaji secara menyeluruh terhadap mutasi 138 aparatur sipil negara (ASN) yang dilakukan Bupati nonaktif Sugiri Sancoko sesaat sebelum operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (8/11).

    Kajian ini dilakukan untuk memastikan seluruh proses berjalan sesuai ketentuan, sekaligus menjaga keberlanjutan pelayanan publik di lingkungan Pemkab Ponorogo.

    “Mutasi kemarin jalan, tapi kami mau lihat lagi, pelajari dulu seperti apa. Yang terpenting pelayanan tetap berjalan,” ujar Pelaksana Tugas Bupati Ponorogo, Lisdyarita di Ponorogo, Sabtu.

    Mutasi tersebut sebelumnya dijadwalkan berlaku per 10 November sesuai terhitung mulai tanggal (TMT).

    Namun hingga kini para ASN masih menempati jabatan lama sambil menunggu keputusan resmi pemerintah daerah.

    Lisdyarita mengatakan, pemerintah daerah berkewajiban memastikan setiap kebijakan kepegawaian memiliki dasar hukum yang kuat agar tidak berdampak pada stabilitas pelayanan kepada masyarakat.

    Senada, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Ponorogo Sugeng Prakoso, menegaskan seluruh ASN yang masuk dalam daftar mutasi tetap melaksanakan tugas seperti biasa.

    Menurut dia, evaluasi diperlukan karena mutasi dilakukan hanya sekitar satu jam sebelum OTT, sehingga perlu verifikasi legalitas demi menjaga tertib administrasi pemerintahan.

    “Kami lihat dulu seperti apa. Sementara masih dalam kajian. Yang jelas pemerintahan tidak boleh berhenti,” katanya.

    Dari 138 ASN yang dimutasi, dua merupakan pejabat eselon II. Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Hery Sutrisno, dipindahkan menjadi Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan (Dispertahankan).

    Sedangkan pejabat sebelumnya di dinas tersebut, Supriyanto, dipindahkan menjadi Kepala BKPSDM Ponorogo.

    Mutasi lainnya mencakup sekretaris dinas, camat, kepala bidang hingga lurah.

    Pemkab Ponorogo memastikan evaluasi dilakukan secara objektif dan mengedepankan integritas agar tidak mengganggu jalannya pelayanan publik di seluruh satuan kerja.

    Pemerintah daerah menegaskan setiap langkah penataan ASN akan mempertimbangkan prinsip legalitas, akuntabilitas, dan keberlanjutan layanan kepada masyarakat.

    Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KPK Duga Istri Kasat Lantas Polres Batu Tahu Aset Korupsi Heri Gunawan

    KPK Duga Istri Kasat Lantas Polres Batu Tahu Aset Korupsi Heri Gunawan

    GELORA.CO — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengisyaratkan istri Kasat Lantas Polres Batu, Melissa B Darbang, memiliki pengetahuan terkait aset-aset tersangka korupsi Heri Gunawan yang diduga berasal dari tindak pidana.

    Hal ini didalami penyidik saat memeriksa Melissa sebagai saksi pada Kamis (13/11/2025) lalu.

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi fokus pemeriksaan tersebut. 

    Saat ditanya apakah penyidik mendalami aset Heri Gunawan yang dipegang oleh Melissa atau terkait jual beli aset, Budi memberikan penegasan.

    “Didalami pengetahuannya terkait aset tersangka,” kata Budi kepada wartawan pada hari ini, Sabtu (15/11/2025).

    Pernyataan Budi ini memperkuat dugaan bahwa KPK memandang Melissa, yang merupakan anggota Bhayangkari, sebagai saksi kunci untuk memetakan dan menelusuri hasil kejahatan Heri Gunawan.

    Sebelumnya, Melissa B Darbang, yang merupakan istri dari Kasat Lantas Polres Batu AKP Kevin Ibrahim, telah menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Kamis (13/11/2025).

    Pantauan Tribunnews.com di lokasi, Melissa diperiksa selama kurang lebih tiga jam, dari pukul 16.57 WIB hingga 19.57 WIB. 

    Namun, usai pemeriksaan, ia memilih bungkam seribu bahasa.

    Saat dicecar awak media mengenai materi pemeriksaan dan hubungannya dengan tersangka Heri Gunawan, Melissa terus berjalan cepat meninggalkan gedung KPK tanpa memberikan komentar apapun.

    Pemeriksaan ini merupakan bagian dari pengembangan penyidikan kasus korupsi dana corporate social responsibility (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjerat Heri Gunawan, anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2024.

    Heri Gunawan diduga menerima total Rp 15,86 miliar dengan modus mengatur penyaluran dana CSR ke yayasan-yayasan fiktif.

    KPK kini tengah berfokus pada dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan Heri Gunawan. 

    Uang hasil korupsi tersebut diduga kuat telah dialihkan, disamarkan, dan diubah bentuk menjadi berbagai aset.

    Selain Melissa, KPK pada hari yang sama juga memeriksa sejumlah saksi lain untuk kepentingan penelusuran aset, termasuk dua Tenaga Ahli Heri Gunawan, yakni Martono dan Helen Manik.

    Langkah gencar KPK memanggil berbagai saksi, mulai dari tenaga ahli, mahasiswa, hingga istri perwira polisi, menunjukkan keseriusan lembaga antirasuah untuk memburu dan menyita seluruh aset hasil korupsi Heri Gunawan demi memaksimalkan pemulihan kerugian negara

  • Ini Daftar Personel Polri Aktif yang Masih Duduki Jabatan Sipil

    Ini Daftar Personel Polri Aktif yang Masih Duduki Jabatan Sipil

    Ini Daftar Personel Polri Aktif yang Masih Duduki Jabatan Sipil
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Mahkamah Konstitusi (MK) resmi melarang anggota Korps Bhayangkara menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.
    Dengan begitu, penempatan anggota Polri pada jabatan non-kepolisian tidak lagi dapat dilakukan hanya berdasarkan izin Kapolri.
    Putusan tersebut dibacakan MK untuk perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait uji materi Pasal 28 ayat (3) beserta penjelasannya dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
    “Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno
    Mahkamah Konstitusi
    , Jakarta Pusat, Kamis (14/11/2025).
    Pemohon, Syamsul Jahidin, beralasan bahwa saat ini banyak anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil di berbagai lembaga dan kementerian tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.
    Hal itu dinilai bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.
    Pemohon juga menilai bahwa norma dalam pasal tersebut secara substantif menciptakan dwifungsi Polri karena anggota kepolisian dapat berperan sebagai aparat keamanan sekaligus menjalankan fungsi pemerintahan, birokrasi, dan sosial kemasyarakatan.
    Dalam permohonannya, Syamsul juga sempat menyebut beberapa anggota yang kini menduduki jabatan sipil.
    Mereka adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, hingga Kepala BNPT. Ada pula yang menduduki jabatan strategis lain di berbagai kementerian.
    Berikut ini nama-namanya yang tertuang dalam berkas permohonan yang akhirnya dikabulkan MK:
    Selain itu, ada sejumlah nama lain yang hingga kini menduduki jabatan sipil. Mereka adalah Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) hingga jabatan di kementerian yang baru dibentuk, yakni Kementerian Haji dan Umrah. Berikut ini nama-namanya:
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • OTT & Komitmen Antikorupsi Kepala Daerah

    OTT & Komitmen Antikorupsi Kepala Daerah

    Bisnis.com, JAKARTA – Operasi Tangkap Tangan (OTT) kembali mengguncang panggung politik daerah. Setelah publik dikejutkan oleh penangkapan Gubernur Riau, Abdul Wahid, kini giliran Bupati Ponorogo, Sugiri San coko, yang digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua kasus yang berdekatan ini menegaskan bahwa korupsi di tingkat daerah masih menjadi penyakit kronis yang sulit disembuhkan.

    Kasus yang menimpa Bupati Ponorogo bukanlah anomali, melainkan bagian dari pola berulang korupsi di pemerintahan daerah, khususnya praktik jual beli jabatan. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kekuasaan di tingkat daerah masih sering diperlakukan sebagai komoditas politik, bukan amanah publik. Ketika jabatan dijadikan alat transaksi, nilai profesionalisme birokrasi pun tergerus, dan pelayanan publik kehilangan arah moralnya.

    Akar persoalan ini tidak le pas dari sistem patronase politik yang melemahkan tata kelola pemerintahan daerah. Desentralisasi yang seharusnya memperkuat akun tabilitas dan inovasi, justru membuka ruang kom-promi antara elite politik dan birokrasi. Reformasi kelembagaan yang digagas selama ini sering terjebak dalam praktik clientelism dan kooptasi politik lokal, di mana loyalitas personal lebih diutamakan daripada kompetensi.

    Selain itu, dinamika politik daerah yang didominasi oleh koalisi mayoritas dan praktik politik dinasti semakin mempersempit ruang bagi reformasi antikorupsi. Manipulasi anggaran untuk kepentingan elektoral, terutama menjelang pemilu, kerap dikemas dalam bentuk program pemerintah daerah untuk menarik simpati pemilih. Fenomena ini menunjukkan bahwa politik anggaran masih dijadikan instrumen kekuasaan, bukan untuk menyejahterakan masyarakat.

    Padahal, lebih dari dua dekade sejak KPK berdiri, pemerintah telah meluncurkan berbagai inisiatif pencegahan korupsi seperti Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK) dan Monitoring Center for Prevention (MCP). Stranas-PK menyediakan kerangka kerja nasional dalam upaya pencegahan korupsi lintas sektor.

    Sedangkan, MCP secara khusus menyoroti potensi korupsi di pemerintah daerah yang mencakup 8 area intervensi utama, yaitu perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), pengelolaan barang milik daerah (BMD), serta optimalisasi pajak daerah.

    Namun, efektivitas kedua program tersebut masih terbatas. Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menimbulkan tumpang tindih kebijakan serta inefisiensi pelaksanaan. Sisi lain, rapuhnya peran APIP dalam mengawasi pengelolaan keuangan daerah membuat pencegahan korupsi hanya berhenti di tingkat administratif, tanpa menyentuh akar masalah lebih dalam.

    Pengawasan eksternal seperti audit profesional sebe-narnya mampu menekan pe nyalahgunaan dana publik, tetapi efektivitasnya sering terhambat oleh rendahnya penegakan hukum. Sementara itu, pengawasan berbasis masyarakat masih menghadapi tantangan besar karena keterbatasan perlindungan terhadap pelapor (whistleblower).

    Oleh karena itu, reformasi antikorupsi tidak cukup mengandalkan instrumen hukum semata, melainkan harus dibangun di atas budaya integritas yang tumbuh dari dalam birokrasi. APIP perlu diperkuat dengan rencana aksi yang lebih terarah, pembentukan satuan tugas khusus, serta peningkatan kapasitas SDM agar dapat menjadi mitra strategis KPK dalam upaya pencegahan korupsi.

    Selain fungsi pengawasan, APIP juga perlu berperan sebagai konsultan dan penyedia jaminan mutu tata kelola pemerintahan daerah. Penguatan peran ini penting untuk meningkatkan disiplin anggaran, memperbaiki pelayanan publik, mengoptimalkan pengelolaan aset daerah, serta menumbuhkan sistem meritokrasi di lingkungan birokrasi.

    Pemerintah daerah juga perlu memperkuat mekanisme au dit publik dengan meningkatkan sanksi hukum dan memperketat rotasi auditor guna meminimalkan risiko kolusi. Program pendidikan antikorupsi bagi ASN harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan disesuaikan dengan konteks daerah untuk menumbuhkan budaya integritas di lingkungan kerja. Selain itu, perlindungan hukum bagi whistleblower perlu diperkuat melalui regulasi yang menjamin keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda dari ancaman atau tekanan. Reformasi antiko rupsi juga harus mencakup pembenahan struktur politik yang memungkinkan praktik korupsi terus bertahan. Transparansi dalam pendanaan politik serta penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menjadi langkah kru sial untuk mengurangi insentif korupsi di tingkat daerah.

    Reformasi kelembagaan, peningkatan kapasitas birokrasi, dan partisipasi masyarakat juga harus diperkuat untuk menciptakan ekosistem pemberantasan korupsi lebih tangguh dan berkelanjutan.

    Kasus OTT Bupati Ponorogo harus menjadi alarm keras bagi seluruh pemerintah daerah untuk menata ulang sis-tem kekuasaan yang koruptif. Dengan langkah-langkah konkret itu, diharapkan kebijakan antikorupsi dapat menjadi lebih efektif, sehingga memperkuat tata kelola pemerintahan daerah yang bersih dan akuntabel

  • Sinergi Tiga Lini Pengawasan Menjaga Marwah IMIPAS

    Sinergi Tiga Lini Pengawasan Menjaga Marwah IMIPAS

    Jakarta

    Tepat pada hari Rabu, 19 November 2025, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) melangkah dalam perjalanan satu tahun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Kabinet Merah Putih. Usia satu tahun ini bagaikan membuka halaman pertama buku besar tata kelola Kementerian baru. Beragam kebijakan dan sistem dibangun untuk memperkuat fondasi “Guard and Guide” dalam menjaga gerbang kedaulatan negara dan keamanan masyarakat. Fondasi ini jua menunjukkan kesempatan kedua bagi Warga Binaan melalui pendekatan pembinaan yang humanis.

    Namun, pada awal perjalanannya, Kementerian ini masih dihantui dua tantangan besar yang menggerogoti fondasinya yaitu fraud (penggelapan) dan korupsi. Bagaikan kanker, keduanya tumbuh diam-diam di dalam organisasi, menyebar melalui budaya permisif, menormalisasikan penyimpangan integritas, dan kerap bersembunyi di balik sistem yang tampak sehat.

    Berdasarkan data Inspektorat Jenderal per 26 Oktober 2025, 480 pegawai tercatat melakukan pelanggaran disiplin dan 240 pegawai di antaranya harus menjalani pembinaan mental di Nusakambangan. Data tersebut tidak hanya menyajikan angka-angka bisu, melainkan juga cerminan bahwa penyakit lama juga belum sembuh. Jika penyakit ini dibiarkan, tujuan luhur dalam mewujudkan pelayanan Imigrasi dan Pemasyarakatan yang bersih dan berkeadilan hanyalah sebuah jargon semata.

    Warisan Masa Lalu yang Masih Membayangi

    Di satu tahun pertamanya, Kementerian ini kini tengah berhadapan dengan penilaian Indeks Reformasi Birokrasi (RB) dan salah satu komponen penilaian terbesar dari RB adalah Sistem Penilaian Integritas (SPI) oleh KPK. Sebagai Kementerian baru, baseline Kemenimipas merujuk pada nilai SPI Kementerian Hukum dan HAM yang sebelumnya menunjukkan fluktuasi. Maknanya, modal awal Kementerian ini belum sepenuhnya stabil dalam pengendalian integritas. Dengan demikian, Kemenimipas berada di garis start yang rapuh pascatransformasi.

    Selain itu, rendahnya Indeks Efektivitas Pengendalian Korupsi (IEPK) memberi beberapa catatan krusial, antara lain, (1) belum tersedianya kebijakan antikorupsi yang menjadi rujukan pengendalian; (2) pelaksanaan penilaian risiko yang terbatas baik dari sisi kualitas maupun keberlanjutan; serta (3) belum adanya rencana tindak pengendalian risiko korupsi sebagai panduan perbaikan secara sistematis.

    Sering kali kita menganggap fraud dan korupsi lahir dari lemahnya integritas individu pegawai. Padahal, jika berkaca dari catatan nilai SPI dan IEPK, fondasi tata kelola kita belum benar-benar kuat dan mekanisme pengendalian belum bergerak seirama. Kejahatan kerah putih memang tidak semata-mata beban dari pelaku perseorangan, tetapi juga bisa membentuk sistem dan lingkaran setan yang perlu diputus total.

    Model Tiga Lini sebagai Manifestasi GRC

    Di sinilah peran Governance, Risk, Compliance (GRC) menjadi penting. Konsep ini bukan sekadar rangkaian istilah teknis, melainkan kerangka kerja yang terintegrasi dalam memastikan (1) seluruh aktivitas organisasi selaras dengan tujuan strategis; (2) risiko dikelola secara terukur, serta (3) kepatuhan ditegakkan berdasarkan nilai dan aturan yang berlaku.

    Kita tentu berharap konsep GRC tidak berdiri di atas menara gading atau sekadar menjadi diskursus tanpa eksekusi nyata. Oleh karena itu, Menteri Imigrasi Pemasyarakatan (IMIPAS), Agus Andrianto, telah menetapkan Keputusan Menteri Nomor: M.IP-27.OT.01.01 tentang Tata Kelola Pengawasan Intern dan Pedoman MIP-OT.02.02-20 Tahun 2025 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Kedua beleid tersebut menjadi manifestasi nyata konsep GRC, sekaligus upaya untuk menjawab tantangan fraud dan korupsi yang masih mendarah daging.

    Kedua regulasi ini mentransformasikan tata kelola, manajemen risiko dan pengendalian intern melalui Model Tiga Lini (Three Lines Model) berdasarkan The Institute of Internal Audithors (2024). Model berjenjang dan berlapis ini menegaskan bahwa pengendalian integritas adalah tanggung jawab kolektif, bukan sekadar domain Inspektorat Jenderal sebagaimana sebelumnya.

    Pengawasan internal model tiga lini berfungsi sebagai kerangka operasional dan pengendalian organisasi Kemenimipas yang struktur organisasinya sangat luas di setiap daerah hingga pelosok perbatasan negara. Setiap lini memiliki peran dan ruang lingkupnya masing-masing secara berjenjang untuk memastikan pelaksanaan kebijakan antikorupsi serta pengelolaan risiko secara efektif. Secara umum, peran dan ruang lingkup setiap lini dapat dijabarkan sebagai berikut:

    Lini Pertama (Unit Pelaksana Teknis): Sebagai garda terdepan, berperan mencegah, mengidentifikasi risiko, menangani pengendalian langsung dan penerapan kebijakan antikorupsi.

    Lini Kedua (Unit Kepatuhan Internal): Melakukan pemantauan berkala, memonitor dan mengevaluasi keberhasilan penerapan kebijakan serta mengelola risiko-risiko yang muncul.

    Lini Ketiga (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah/Inspektorat Jenderal): Melakukan penilaian independen dan objektif atas efektivitas kontrol dan kebijakan antikorupsi, mengidentifikasi manajemen risiko yang perlu diperbaiki serta memberikan jaminan melalui audit berbasis risiko.

    Melalui keselarasan ketiga lini ini, potensi kecurangan dan pelanggaran integritas tidak hanya bisa dideteksi, tetapi juga dapat dicegah sejak awal. Apabila ketiga lini tidak selaras, tumpang tindih kewenangan akan terjadi. Di sisi lain, lini pertama bisa jadi mengalami kewalahan atau assurance fatique yang disebabkan tidak ada komunikasi antara lini kedua dan ketiga. Di samping itu, tanpa pemetaan risiko yang komprehensif dan pembagian peran yang jelas, area risiko tertentu bisa luput dari pengawasan karena tidak ada yang merasa bertanggung jawab.

    Untuk mencegah hal-hal tersebut, diskursus combined assurances yang mengintegrasikan antarlini sangat diperlukan. Harapannya, diskusi antarlini juga akan menghasilkan gambaran komprehensif dan holistik tentang efektivitas tata kelola, manajemen risiko dan pengendalian serta penyusunan assurance map yang jelas.

    Kesempatan dan Tantangan Model Tiga Lini

    Kemenimipas dapat menempuh empat langkah strategis sehingga model tiga lini dapat berjalan secara efektif dan optimal. Pertama, penyusunan petunjuk pelaksana dan teknis yang jelas agar setiap lini memahami batas ruang lingkup dan tanggung jawabnya. Tanpa pedoman operasional yang tegas, peran dan penyimpangan wewenang yang tumpang tindih hanya tinggal menunggu waktu. Kedua, penguatan kapasitas harus menjadi prioritas. Tanpa pengetahuan yang cukup, semangat integritas tidak akan bisa diterjemahkan menjadi tindakan konkret. Lini pertama dan kedua perlu dibekali pelatihan dan bimbingan teknis terkait manajemen risiko dan asistensi aktif dari lini ketiga.

    Ketiga, pembelajaran eksternal benchmarking ke lembaga yang telah berhasil menerapkan model tiga lini secara efektif. Pembelajaran ini bagaikan cermin sekaligus sumber inspirasi yang nantinya akan menyesuaikan model serupa dengan konteks Kemenimipas. Keempat, komitmen kuat dan pengelolaan ego sektoral antarlini adalah harga mati. Implementasi tiga lini bukan ajang untuk menunjukkan kekuasaan atau kewenangan, tetapi ruang untuk membangun sinergi dan kolaborasi.

    Foto: Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Ika Yusanti (dok istimewa)

    Meski terkesan ideal, setiap lini masih menyisakan pekerjaan rumah bernama ego sektoral yang perlu dikikis hinga akhirnya benar-benar hilang. Ego sektoral pada level lini pengendalian tidak hanya dirasakan pada ruang kebijakan, tetapi juga getarannya sampai tataran pelaksana. Ketika lini kedua dan lini ketiga saling menjaga jarak; pegawai di lapangan ikut merasakan ketidakpastian, arahan menjadi tumpang tindih, dan mengikuti siapa yang berbicara. Efek dominonya adalah standar kerja makin tidak pasti dan pengawasan terasa seperti tekanan, bukan bimbingan. Dampaknya, kekhawatiran pegawai pun muncul karena dianggap memilih “kubu tertentu”, bukan karena mengikuti aturan yang berlaku.

    Untuk memulihkan keharmonian antarlini, ruang komunikasi harus selalu terbuka tanpa perlu ditutup-tutupi. Lini Kedua perlu menyajikan data, proses, dan pemantauan secara transparan. Sementara itu, Lini Ketiga harus menempatkan audit bukan sebagai ajang mengoreksi, tetapi sebagai mekanisme penguatan organisasi. Pertemuan rutin-yang membahas pembahasan risiko bersama, serta tindak lanjut rekomendasi yang disepakati antarlini-menjadi jembatan dalam upaya memulihkan kepercayaan, baik secara internal maupun kepada masyarakat. Dengan cara itu, model tiga lini kembali bekerja sebagai kesatuan sistem yang saling menguatkan, bukan tiga ruang yang berdiri sendiri.

    Komitmen ini harus dijalankan secara sistematis, konsisten dan terukur. Lini pertama perlu menjadikan lini kedua sebagai mitra yang memberi masukan konstruktif, sementara lini ketiga harus membangun rencana pengawasan bersama, berbagi informasi dan menghindari duplikasi. Audit internal juga harus dapat mengandalkan pekerjaan lini kedua yang berkualitas. Tanpa kolaborasi yang baik antarlini, konsep ideal hanya sekadar hitam di atas putih, tanpa dirasakan dampak dan manfaatnya di kehidupan sehari-hari.

    Akselerasi Pengawasan melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi

    Selaras dengan transformasi tersebut, Kemenimipas juga perlu bergerak menuju pengawasan berbasis teknologi informasi. Transformasi ini semakin solid jika didukung dengan digitalisasi pengawasan. Melalui manajemen risko berbasis teknologi informasi, proses pengawasan tidak lagi bergantung pada laporan manual atau intuisi semata.

    Seluruh pengendalian dilaksanakan berbasis data dan analitik yang memungkinkan identifikasi risiko yang lebih presisi, pemantauannya real-time, serta hasilnya transparan dan dapat diverifikasi. Teknologi digital juga akan mengakselerasi kecepatan proses pengawasan, menguatkan akuntabilitas, dan menghasilkan data yang mendukung setiap keputusan. Sistem informasi manajemen risiko pun tidak hanya menciptakan pengawasan yang lebih modern, tetapi juga lebih terpercaya serta akan menjadi fondasi integritas di Kemenimipas.

    Penguatan pengawasan berbasis teknologi informasi sejatinya merupakan investasi jangka panjang bagi Kemenimipas. Dengan keandalan data dan sistem yang terintegrasi, tata kelola risiko dapat dikendalikan secara sistematis dan terukur, sekaligus menjadi landasan dalam menjaga marwah integritas institusi secara berkelanjutan.

    Karena Preventif Lebih Kokoh daripada Kuratif

    Pada akhirnya, keberhasilan model tiga lini tidak diukur dari banyaknya pegawai yang ditindak dan dijatuhi hukuman disiplin, tetapi sejauh mana seluruh jajaran benar-benar menghidupkan integritas dalam praktik sehari-hari. Inti pengendalian risiko bukanlah menghitung jumlah pelanggaran, melainkan mencegah dan membudayakan kepatuhan. Upaya pencegahan dan deteksi dini menjadi garda yang harus paling diandalkan serta dikelola secara berkelanjutan.

    Prinsipnya sederhana, tetapi fundamental: prevention is stronger than punishment. Ketika setiap lini bekerja serempak, membaca sinyal risiko lebih cepat, dan menyusun rencana mitigasinya; organisasi tidak hanya berhasil menindak pelanggaran, tetapi mampu mencegah sebelum tumbuh menjadi masalah. Inilah esensi pengawasan modern yang ingin diwujudkan oleh Kemenimipas.

    Jika semangat “Guard and Guide” benar-benar ingin diwujudkan, Kementerian harus terlebih dahulu menuntun dirinya sendiri-keluar dari jebakan formalitas dan ego sektoral-untuk menjaga gerbang integritas dengan tegas dan membimbing pelanggar melalui semangat pemulihan kembali. Dengan demikian, Kementerian ini tidak sekadar menjadi penjaga kedaulatan dan keamanan negara, tetapi juga penjaga integritas bagi seluruh aparat yang hidup dan berkehidupan di dalamnya.

    Ika Yusanti. Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan

    Halaman 2 dari 4

    (isa/isa)

  • Sugiri Sancoko Kena OTT, KPK Gas Pol Usut Dugaan Korupsi Proyek Monumen Reog Rp35 Miliar

    Sugiri Sancoko Kena OTT, KPK Gas Pol Usut Dugaan Korupsi Proyek Monumen Reog Rp35 Miliar

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kekinian mengusut dugaan korupsi proyek Monumen Reog dan Museum Peradaban (MRMP) di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Proses ini dilakukan setelah menetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko sebagai tersangka yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) pada pekan lalu.

    “Peristiwa tertangkap tangan seringkali menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menelusuri dan melacak apakah praktik-praktik dugaan tindak pidana korupsi juga terjadi pada sektor-sektor lainnya di wilayah tersebut,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Jumat, 14 November.

    Budi mengatakan pengusutan dugaan korupsi monumen reog dan museum peradaban berangkat dari temuan penyidik di lapangan. “Ini masih didalami,” tegasnya.

    “Oleh karena itu informasi dan laporan dari masyarakat menjadi sangat penting untuk membantu KPK dalam mengungkap suatu perkara,” sambung Budi.

    Adapun dugaan korupsi monumen reog juga pernah dilaporkan ke KPK pada Agustus lalu oleh warga, Ardian Fahmi. Ketika datang ke kantor komisi antirasuah, dia bilang proyek ini diduga merugikan negara hingga Rp35 miliar dari total nilai Rp76 miliar.

    “Jauh-jauh datang ke KPK pada siang ini untuk melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang ada di Ponorogo terutama mengenai megaproyek Monumen atau Museum Reog Ponorogo yang ada di Kecamatan Sampung, Ponorogo,” kata Ardian Fahmi yang merupakan warga Ponorogo kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.

    Ardian menyebut pelaporan ini juga menyasar pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo dan swasta. “Untuk pihak swasta yang diduga terlibat, yakni PT Widya Satria yang berkantor di Kota Surabaya dan owner PT tersebut adalah pimpinan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov Jawa Timur,” ujarnya.

    Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko tersangka bersama tiga orang lainnya, yakni Agus Pramono yang merupakan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Ponorogo yang sudah menjabat sejak 2012; Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo; dan Sucipto yang merupakan pihak swasta rekanan RSUD Ponorogo dalam paket pekerjaan di lingkungan Kabupaten Ponorogo.

    Penetapan tersangka ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat, 7 November. Ada tiga klaster korupsi yang ditemukan KPK.

    Pertama adalah dugaan suap pengurusan jabatan. Lalu suap proyek pekerjaan di RSUD Ponorogo dan penerimaan lainnya atau gratifikasi.

    Dalam kasus suap pengurusan jabatan, Yunus selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo tahu akan diganti oleh Sugiri sejak awal tahun. Sehingga, dia menyiapkan sejumlah uang dan menyerahkannya sebanyak tiga kali.

    Penyerahan pertama dilakukan Yunus kepada Sugiri pada Februari 2025 dengan nominal Rp400 juta. Duit ini diberikan melalui ajudan.

    

Kemudian, pada periode April-Agustus, Yunus menyerahkan uang senilai Rp325 juta kepada Agus Pramono.

    Lalu, dia kembali menyerahkan uang sebesar Rp500 juta kepada Ninik yang merupakan kerabat Sugiri pada November. Sehingga, duit yang diterima Sugiri mencapai Rp900 juta.

    Tak sampai di situ, Sugiri juga mendapatkan Rp1,4 miliar dari proyek paket pekerjaan di lingkungan RSUD Ponorogo dengan nilai Rp14 miliar. Duit ini disebut KPK awalnya lebih dulu diterima Yunus selaku Kepala RSUD.

    Sedangkan pada klaster terakhir, diduga ada penerimaan gratifikasi berupa uang ratusan juta dari pihak swasta oleh Sugiri.

  • Keluarga Bupati Sugiri Tidak Terpantau di Pringgitan Ponorogo Pasca OTT KPK

    Keluarga Bupati Sugiri Tidak Terpantau di Pringgitan Ponorogo Pasca OTT KPK

    Ponorogo (beritajatim.com) – Situasi di Pringgitan, Rumah Dinas Bupati Ponorogo, tampak berbeda sejak operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Sugiri Sancoko. Kehadiran keluarga inti bupati yang biasa terlihat di lingkungan rumah dinas itu, kini tak lagi tampak.

    Informasi tersebut disampaikan oleh salah satu sumber internal di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo. Menurutnya, istri Bupati Sugiri, Susilowati, sudah tidak berada di Pringgitan sejak beberapa hari terakhir.

    “Ibu tidak ada di Pringgitan. Kami juga tidak tahu keberadaannya sekarang,” ungkap sumber tersebut yang meminta identitasnya dirahasiakan.

    Tak hanya sang istri, tiga anak Bupati Sugiri Sancoko, Jian Ayune Sundul Langit, Lintang Panuntun Qolbu, dan Gibran Cahyaning Pangeran, juga tidak berada di rumah dinas. Menurut sumber itu, sebelum OTT berlangsung, ketiganya memang jarang terlihat tinggal di Pringgitan. Aktivitas mereka lebih banyak dilakukan di luar kota.

    “Anak-anak Pak Bupati jarang di rumah dinas. Biasanya yang kelihatan ya Mas Gibran. Tapi beberapa hari ini juga tidak terlihat,” ungkapnya.

    Situasi ini membuat suasana rumah dinas bupati terlihat lebih lengang dari biasanya. Tidak tampak aktivitas keluarga seperti hari-hari normal sebelumnya. Sejak OTT KPK mencuat, Pringgitan menjadi salah satu titik perhatian masyarakat Ponorogo. Sebab, ditempat itulah Bupati Sugiri dijemput oleh lembaga anti rasuah tersebut.

    Absennya keluarga inti ini pun memunculkan spekulasi tentang kemungkinan mereka berpindah sementara dari rumah dinas untuk menghindari sorotan publik. Namun hingga kini, tidak ada keterangan resmi dari pihak keluarga maupun Pemkab Ponorogo terkait hal tersebut.

    Di tengah proses hukum yang masih berjalan, keberadaan keluarga Bupati Sugiri Sancoko menjadi perhatian publik. Banyak yang berharap mereka dalam kondisi baik, meski namanya ikut terseret dalam pusaran pemberitaan. (end/ian)

  • ICW Tuntut KPK Periksa Bobby Mantu Jokowi, Diduga Terlibat Korupsi PUPR Sumut

    ICW Tuntut KPK Periksa Bobby Mantu Jokowi, Diduga Terlibat Korupsi PUPR Sumut

    GELORA.CO – Indonesia Corruption Watch (ICW) menuntut KPK memeriksa Gubernur Sumatra Utara (Sumut), Bobby Nasution terkait kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut dan proyek di Satuan Kerja PJN Wilayah 1 Sumut.

    “Kami menuntut KPK untuk memeriksa Bobby dalam perkara korupsi pembangunan Jalan Sipiongot Labuhan Batu dan Kutaibaru Sipiongot,” kata Peneliti ICW, Zararah Azhim Syah dalam aksi demo di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (14/11/2025).

    Tuntutan ini dilayangkan lantaran Majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor Medan telah memerintahkan Jaksa KPK untuk memeriksa Bobby dalam persidangan. Ia mengatakan Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, telah menyampaikan Jaksa KPK akan memeriksa Bobby jika memang terdapat perintah dari pengadilan.

    “Ini sudah ada dasar hukumnya, sudah ada perintahnya, bahkan yang kami tahu dari laporan Tempo. Penyidik KPK bahkan sudah mengusulkan kepada ketua satgas yang menangani kasus ini untuk memeriksa Bobby. Namun, tiga kepala satgas tersebut tidak ada yang berani untuk memeriksa Bobby,” kata Zararah.

    ICW menuntut agar KPK mengembangkan kasus korupsi ini, berdasarkan dengan fakta dalam persidangan, jika memang Bobby tidak dihadirkan dalam persidangan.

    “Apabila ada petunjuk baru dari persidangan, KPK seharusnya mengembangkan kasus begitu. Jadi, membuka kasus baru. Jangankan mengembangkan kasus, tapi untuk memeriksa Bobby saja tidak berani begitu. Kenapa? Karena korupsi pada pengadaan barang dan jasa biasanya korupsi besarnya apabila KPK ingin mengejar aktor intelektualnya, itu ada pada tahap perencanaan,” jelas Zararah.

    Menurutnya, Bobby terlibat dalam tahap perencanaan, dengan mengganti APBD Provinsi Sumut sebanyak empat kali agar dapat memasukkan proyek jalan ini dalam penganggaran.

    “Padahal, sebelumnya itu tidak termasuk kebutuhan Provinsi Sumut, tidak pernah ada di APBD Sumut, berarti, kan, tidak butuh. Tahap perencanaannya tidak pernah disentuh oleh KPK, padahal mulanya pasti sejak tahap perencanaan,” pungkasnya.

    Diketahui, permintaan untuk menghadirkan Bobby dalam sidang kasus yang turut melibatkan Kepala Dinas PUPR Pemprov Sumut nonaktif, Topan Obaja Putra Ginting (TOP) ini, disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor Medan, Khamozaro Waruwu, Rabu (24/9/2025) lalu.

    Dalam persidangan, para terdakwa adalah pihak swasta atau pihak pemberi yaitu Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup, Muhammad Akhirun Piliang alias Kirun dan Direktur PT Rona Mora, Muhammad Rayhan Dulasmi.

    Saat itu, sidang berjalan dengan agenda pemeriksaan terhadap sejumlah saksi-saksi. Salah satunya, Sekretaris Dinas PUPR Sumut, Muhammad Haldun, yang mengakui anggaran untuk dua proyek jalan yang menjadi objek korupsi, yakni ruas Sipiongot-Batas Labuhan Batu dan Sipiongot-Hutaimbaru di Padang Lawas Utara dengan total nilai Rp165 miliar, belum dialokasikan pada APBD murni 2025.

    Berdasarkan Alokasi, Haldun menyebut anggaran yang digunakan, bersumber dari pergeseran dana sejumlah dinas yang dilegalkan melalui Pergub. Atas keterangan yang disampaikan Haldun, Hakim menyimpulkan yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut adalah gubernur.

    Selain Bobby, Hakim juga meminta JPU untuk menghadirkan Pj Sekretaris Daerah Sumut saat itu, Effendy Pohan, untuk dimintai keterangan mengenai dasar hukum Pergub yang disebut telah diubah hingga enam kali.

    “Kalau ada risiko terhadap pergeseran anggaran, siapa yang bertanggung jawab? Ketika mekanisme pergeseran anggaran tidak berjalan, maka gubernur harus bertanggung jawab,” jelas Hakim.

  • Mahfud MD: Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil Mulai Berlaku dan Mengikat

    Mahfud MD: Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil Mulai Berlaku dan Mengikat

    Bisnis.com, SURABAYA — Anggota Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Mahfud MD angkat suara mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 mengenai larangan bagi anggota Polri untuk dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil, selama masih berstatus aktif.

    Mahfud menjelaskan bahwa putusan yang telah dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (13/11/2025) lalu tersebut secara otomatis telah bersifat mengikat dan wajib untuk dijalankan pasca pengesahannya.

    “Ya, itu [putusan MK] mengikat dong. Tidak ada kaitannya dengan tim reformasi Polri. Itu putusan MK, itu putusan hukum. Kalau putusan reformasi Polri itu administratif, nanti ya. Kalau [putusan tim] reformasi [Polri] itu administratif, disampaikan ke presiden, tapi kalau MK itu putusan hukum dan mengikat,” beber Mahfud saat ditemui usai ibadah salat Jumat di Masjid Nuruzzaman Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (14/11/2025).

    Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemananan (Menko Polhukam) tersebut menegaskan kembali, dengan disahkannya Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tersebut, maka Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian telah dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 

    Walau begitu, Mahfud menjelaskan bahwa putusan tersebut juga tidak mengharuskan jajaran legislatif untuk menyusun ataupun merombak kembali Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang menurut MK bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, putusan MK tersebut, lanjut Mahfud, telah berlaku secara otomatis dan menggugurkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’.

    “Enggak, putusan MK itu enggak usah harus mengubah [penjelasan] undang-undang, langsung berlaku. [Penjelasan] undang-undangnya kan langsung dibatalkan. Itu ‘kan isinya ‘atau ditugaskan oleh Kapolri’, itu ‘kan sudah dibatalkan. Berarti, sekarang karena batal ya sudah, enggak usah diubah lagi undang-undang. Nah, itu langsung berlaku,” beber Mahfud.

    Oleh sebab itu, Mahfud yang juga pernah menjabat sebagai Ketua MK tersebut berharap banyak putusan tersebut dapat dijalankan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya oleh institusi terkait, usai diketok palu pada Kamis (13/11) kemarin. Ia pun meminta prosedur pemberhentian aparat yang masih menduduki jabatan sipil juga harus secepatnya diatur oleh lembaga terkait.

    “Menurut undang-undang, putusan MK itu berlaku seketika. Begitu palu diketokkan itu berlaku. Sehingga proses-proses pemberhentian itu harus segera diatur kembali, kalau kita masih mau mengakui bahwa ini adalah negara hukum atau negara demokrasi konstitusional,” pungkasnya. 

    Diberitakan sebelumnya, MK menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya.

    Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, serta satu alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Arsul Sani. 

    Perkara tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menggugat keberadaan pasal dan penjelasan tersebut karena dianggap membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus melepaskan statusnya.

    Dalam permohonannya, para pemohon menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan mengancam profesionalisme birokrasi sipil. 

    Para pemohon juga mencontohkan sejumlah posisi strategis yang pernah diisi oleh anggota Polri aktif, seperti di KPK, BNN, BNPT, BSSN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun. 

    Menurut mereka, hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesempatan bagi warga negara sipil dalam mengisi jabatan publik serta menciptakan potensi dwifungsi Polri dalam pemerintahan.