Harta Kepala Bea Cukai Madura Naik Drastis Jadi Rp 4,9 M, Disebut karena Nikah Lagi
Tim Redaksi
PAMEKASAN, KOMPAS.com
–
Harta kekayaan
Kepala Kantor Bea Cukai Madura yang naik drastis menjadi sorotan publik.
Hanya dalam kurun waktu satu tahun, kekayaan M Syahirul Alim mencapai lebih dari Rp 4,9 miliar.
Padahal, sebelumnya senilai Rp 1,6 miliar.
Dikutip dari laman e-
LHKPN
KPK,
harta kekayaan
yang disetor pada tanggal 21 Februari 2023 untuk periode 2022 yakni senilai Rp 1.665.160.367.
Namun, saat menyetor harta kekayaannya pada tanggal 22 Februari 2024 untuk periode 2023, jumlahnya sudah mencapai Rp 4.905.452.717.
Salah satu faktor naiknya harta kekayaan M Syahirul Alim yakni memiliki sebidang lahan dengan luas 1.928 meter per segi yang ada di Kabupaten Sumenep.
Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Bea Cukai Madura, Andru Iedwan Permadi menyatakan bahwa harta kekayaan atasannya naik signifikan karena harta pernikahan.
“Kalau saya boleh berkomentar, itu harta pernikahan Mas,” kata Andru saat memberikan keterangan kepada
Kompas.com
, Jumat (24/1/2025).
Dia mengatakan, atasannya sudah menikah lagi dan harta istrinya juga dilaporkan ke e-LHKPN KPK. “Iya, istri kedua,” ucapnya.
Namun demikian, Andru tidak tahu apa pekerjaan atau jenis usaha istri kedua atasannya tersebut.
Meski demikian, dia menegaskan bahwa istri M Syahirul Alim adalah salah satu orang terkaya di Sumenep.
“Saya tidak tahu aktivitasnya apa. Tapi dia salah satu orang terkaya di Kabupaten Sumenep,” ucap Andru.
Menurut pengakuan Andru, atasannya tersebut sempat berseloroh bahwa salah satu manfaat menikah adalah menambah pundi-pundi kekayaan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: KPK
-
/data/photo/2025/01/24/6793aa9baf894.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Harta Kepala Bea Cukai Madura Naik Drastis Jadi Rp 4,9 M, Disebut karena Nikah Lagi Regional 24 Januari 2025
-

Hubinter Polri: Paulus Tannos Terdeteksi di Singapura Sejak Akhir 2024, 17 Januari 2025 Ditangkap – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Polri membeberkan proses penangkapan buronan kasus korupsi e-KTP, Paulus Tannos, di Singapura.
Kadiv Hubinter Polri Irjen Krishna Murti awalnya, pihaknya mendapat informasi jika Paulus berada di Singapura sejak akhir tahun 2024.
Selanjutnya, Divhubinter Polri mengirimkan surat permohonan penangkapan kepada otoritas Singapura.
“Akhir tahun lalu Divisi Hubinter mengirimkan surat Provisional Arrest ke otoritas Singapura untuk membantu menangkap yang bersangkutan karena kami ada info yang bersangkutan ada disana,” kata Krishna dalam keterangan tertulis, Jumat (24/1/2025).
Setelah itu, Krishna mengatakan pihaknya dihubungi otoritas Singapura jika Paulus berhasil ditangkap oleh Lembaga Antikorupsi Singapura.
“Tanggal 17 Januari kami dikabari oleh attorney general Singapura, yang bersangkutan berhasil diamankan oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura,” jelasnya.
Khrisna mengatakan pasca penangkapan itu juga telah dilakukan rapat gabungan lintas Kementerian dan Lembaga di Hubinter Polri, pada Selasa (21/1/2025) kemarin untuk menindaklanjuti proses ekstradisi.
“Indonesia saat ini sedang memproses ekstradisi yang bersangkutan dengan penjuru adalah Kemenkum didukung KPK, Polri, Kejagung, dan Kemenlu,” pungkasnya.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap buronan kasus korupsi e-KTP, Paulus Tannos, di Singapura.
Saat ini KPK sedang melengkapi syarat ekstradisi agar Paulus Tannos dapat dibawa ke Indonesia.
“Masih di Singapura, KPK sedang berkoordinasi dengan melengkapi syarat-syarat dapat mengekstradisi yang bersangkutan,” kata Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto kepada wartawan, Jumat (24/1/2025).
KPK sebelumnya mengungkapkan kendala memulangkan dan memproses hukum Paulus Tannos.
Padahal tim KPK sudah menemukan keberadaan Direktur PT Sandipala Arthaputra itu
“Dia bukan warga negara Indonesia, dia punya dua kewarganegaraan karena ada negara-negara yang bisa punya dua kewarganegaraan salah satunya di negara Afria Selatan tersebut,” kata Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal Polisi Asep Guntur Rahayu.
Asep mengatakan tim KPK sempat menemukan Paulus di negara tetangga.
Berdasarkan catatan, lembaga antirasuah sempat menyebut negara dimaksud yaitu Thailand.
Akan tetapi, ketika hendak memulangkan Paulus Tannos, KPK mendapat kendala lantaran Paulus sudah mengubah identitasnya.
“Untuk Paulus Tannos memang berubah nama karena kami, saya sendiri yang diminta oleh pimpinan datang ke negara tetangga dengan informasi yang kami terima, kami juga sudah berhadap-hadapan dengan yang bersangkutan tapi tidak bisa dilakukan eksekusi karena kenyataannya paspornya sudah baru di salah satu negara di Afrika (Selatan, red) dan namanya sudah lain bukan nama Paulus Tannos,” kata Asep.
“Walaupun kita menunjukkan pada kepolisian di negara tersebut karena kita kerja sama police to police dan didampingi Hubinter kita tunjukkan fotonya sama, ‘Mister, ini fotonya sama’. Tapi, pada kenyataannya saat dilihat di dokumennya itu beda namanya,” imbuhnya.
Dalam proses pelariannya, Asep menjelaskan, Paulus sempat berupaya mencabut kewarganegaraan Indonesia.
“Rencananya dia mau mencabut yang di sini (Indonesia, red). Sudah ada upaya untuk mencabut tapi paspornya sudah mati. Rencananya yang Indonesia, tapi yang dia gunakan untuk melintas paspor dari negara yang Afrika (Selatan, red),” jelas Asep menegaskan status kewarganegaraan Paulus.
Paulus Tannos, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, ditetapkan sebagai tersangka pada 13 Agustus 2019.
Sejak saat itu, keberadaannya mulai sulit dilacak.
Hingga akhirnya, nama Paulus Tannos resmi masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pada 19 Oktober 2021.
Ia diduga kabur ke luar negeri dengan identitas barunya, Tahian Po Tjhin (TPT).
Upaya pengejaran terhadap Tannos terus dilakukan oleh KPK yang bekerjasama dengan negara tetangga.
Pada 2023, keberadaannya sempat terdeteksi di Thailand.
Namun, Paulus Tannos berhasil lolos dari penangkapan karena red notice dari Interpol tidak terbit tepat waktu.
“Kalau pada saat itu red notice sudah ada, dia sudah bisa tertangkap di Thailand,” kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (25/1/2023).
KPK menyebut kendala terbesarnya yakni Paulus Tannos merubah kewarganegaraannya.
Dengan paspor barunya, Paulus Tannos tak dapat segera dibawa pulang ke Indonesia meskipun sempat tertangkap.
Red notice yang memuat identitas barunya belum diterbitkan, sehingga masalah yurisdiksi negara lain menjadi penghambat.
Diketahui, dalam kasus korupsi e-KTP, perusahaan milik Paulus Tannos, PT Sandipala Arthaputra, meraup keuntungan hingga Rp 140 miliar dari proyek pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012.
Adapun jumlah total korupsi kasus E-KTP ini merugikan negara Rp 2,3 triliun.
Kini, setelah lama menjadi buron, Paulus Tannos berhasil ditangkap di Singapura.
KPK kini tengah mengoordinasikan proses ekstradisi Tannos ke Indonesia.
Penangkapan ini menjadi langkah penting bagi KPK untuk membawa Paulus Tannos ke meja hijau.
Melansir Kompas.com, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyebut, masih ada dokumen-dokumen yang dibutuhkan dari Kejaksaan Agung (Kejagung) maupun Mabes Polri dalam hal ini pihak Interpol.
Kementerian Hukum sedang berkoordinasi guna menuntaskan urusan administrasi itu.
“Jadi ada masih dua atau tiga dokumen yang dibutuhkan. Nah karena itu Direktur AHU (Administrasi Hukum Umum) saya sudah tugaskan untuk secepatnya berkoordinasi dan saya pikir sudah berjalan,” kata Menteri Hukum Supratman Andi Agtas kepada wartawan di Jakarta, Jumat (24/1/2025).
Supratman mengatakan, proses ekstradisi memang membutuhkan waktu.
Apalagi proses itu juga bergantung pada penyelesaian administrasi oleh pemerintahan Singapura.
“Semua bisa sehari, bisa dua hari, tergantung kelengkapan dokumennya, karena itu permohonan harus diajukan ke pihak pengadilan di Singapura.”
“Kalau mereka anggap dokumen kita sudah lengkap, ya pasti akan diproses,” ujar Supratman.
-

KPK Cegah 5 Orang ke Luar Negeri Terkait Kasus Proyek Fly Over di Pemprov Riau
Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mencegah lima orang bepergian ke luar negeri terkait dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Fly Over Simpang Jalan Tuanku Tambusai-Jalan Soekarno Hatta (SP.SKA) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Kasus ini diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 60 miliar.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika menyatakan surat pencegahan telah dikeluarkan pada 16 Januari 2025 dengan nomor keputusan 109 Tahun 2025. Pencegahan ini berlaku selama enam bulan ke depan.
“Pada 16 Januari 2025, KPK telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 109 Tahun 2025 tentang larangan bepergian ke luar negeri terhadap lima orang warga negara Indonesia,” ujar Tessa, Jumat (24/1/2025).
Kelima orang yang dicegah KPK terkait kasus fly over Pemprov Riau, yaitu pejabat pembuat komitmen (PPK) di Pemprov Riau berinisial YN, pegawai BUMN berinisial NR, dan tiga dari pihak swasta, TC, ES, dan GR.
KPK membuka penyidikan kasus ini pada 10 Januari 2025. Hingga kini, lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
“Penyidikan saat ini sedang berjalan,” tambah Tessa.
Langkah pencegahan ini dilakukan untuk memastikan kelima individu tersebut tetap berada di Indonesia dan dapat memenuhi panggilan penyidik KPK guna mendalami dugaan korupsi proyek pembangunan fly over tersebut.
Kasus fly over Pemprov Riau menjadi perhatian publik mengingat besarnya kerugian negara yang ditimbulkan. KPK berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus ini demi menegakkan keadilan dan memberantas korupsi di sektor infrastruktur.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4968845/original/042465900_1728915618-20241014-Deretan_Calon_Menteri-HER_18.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menko Yusril: Paulus Tanos Ditangkap 2 Hari Lalu di Singapura – Page 3
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Paulus Tanos di Singapura. Diketahui, Paulus adalah buronan dari kasus megakorupsi e-KTP.
“Benar bahwa Paulus Tannos tertangkap di Singapura dan saat ini sedang ditahan,” kata Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcayanto saat dikonfirmasi, Jumat (24/1/2025).
Fitroh menjelaskan, saat ini pihaknya sudah berkordinasi dengan Kementerian Hukum dan Kejaksaan Agung untuk melengkapi syarat pemulangan Paulus ke Indonesia secepatnya.
“Secepatnya,” tegas Fitroh.
Sebagai informasi, Palus sudah berstatus buron atau masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 19 Oktober 2021. Sementara itu, Paulus sendiri menjadi tersangka bersama tiga orang lainnya pada 13 Agustus 2019.
Mereka adalah mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya, anggota DPR periode 2014-2019 Miriam S Hariyani, dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi.
-

Cerita Eks Pimpinan KPK Saut Situmorang Pernah Bersitegang dengan Jaksa soal Penanganan Kasus – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang bercerita dirinya pernah bersitegang dengan kejaksaan dalam penanganan kasus.
Hal ini diungkap Saut dalam Dialog Publik: UU Kejaksaan antara kewenangan dan keadilan masyarakat yang digelar di salah satu hotel di Jakarta pada Kamis (23/1/2025).
“Beberapa kali dia (kejaksaan) meminta biar kami saja yang menangani. Gue langsung bilang tidak bisa. Enak saja, kita yang OTT, tapi dia (tersangka dan perkara) yang dibawa ke sana. Nanti di sana gimana gitu,’’ kata Saut.
Meski begitu, Saut tak merinci secara detil terkait perkara apa saja yang berusaha ditangani oleh Korps Adhyaksa tersebut.
Dia hanya mengatakan jika selalu ada hambatan dan masalah ketika pihaknya menangani perkara yang ada keterlibatan dari pihak kejaksaan.
“Kita (KPK pada zamannya, Red) kalau menangkap jaksa itu selalu ada problem loh,’’ ungkapnya.
Bahkan, kata Saut, KPK pernah mempunyai rencana agar pegawainya bisa menjadi penuntut KPK.
Pasalnya, selama ini penuntut di KPK sebagian besar dari kejaksaan sehingga menurutnya bisa memunculkan konflik yang besar.
“Rencananya seperti itu, sehingga KPK mempunyai penuntut sendiri,” ucapnya.
Meski begitu, rencana tersebut tak pernah terealisir, dan semua penuntut KPK berasal dari kejaksaan.
Sebelumnya, Saut juga menyoroti ketidakpastian penegakan hukum yang diatur Pasal 8 Ayat 5 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Sebab pasal tersebut menyatakan setiap peoses hukum terhadap jaksa harus melalui izin Jaksa Agung.
Ketentuan ini dipandang punya konflik kepentingan yang tinggi dan tidak adanya prinsip fairness atau kesetaraan dalam memperlakukan orang lain.
“Prinsipnya, kita berada di tempat ketidakpastian yang cukup tinggi, adanya konflik kepentingan dan fairness. Bagaimana kita bisa menjabarkan hal ini terkait penegakan hukum dan antikorupsi,” kata Saut dalam diskusi bertajuk ‘UU Kejaksaan antara Kewenangan dan Keadilan Masyarakat’ di Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2025).
Menurut Saut, jika ketentuan tersebut bertujuan melindungi jaksa yang menangani kasus besar, maka diperlukan penjelasan yang lebih merincikan hal itu.
“Kami paham jika pasal itu digunakan untuk melindungi jaksa-jaksa keren yang akan mengungkap korupsi besar. Namun, tanpa Jaksa Agung pun, mereka tetap bisa dilindungi, misalnya oleh civil society,” terangnya.
Senada dengan Saut, mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu menilai Pasal 8 Ayat 5 perlu dijelaskan secara definitif, khususnya terkait frasa melaksanakan tugas dan kewenangan.
Selain itu juga perlu dituangkan ketentuan bahwa izin dianggap diberikan jika 1×24 jam Jaksa Agung tidak merespons.
Edwin melihat ada kemunduran kualitas hukum akibat pasal ini. Izin seperti ini kata dia, pernah ada sebelumnya di DPR tapi kemudian dihapus. Namun kini muncul kembali di Kejaksaan.
“Ini menunjukkan upaya menebalkan imunitas jaksa, bahkan sudah dilegalisasi melalui undang-undang,” tegas Edwin.
Sementara itu, Ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar memandang bahwa perizinan yang diatur dalam Pasal 8 Ayat 5 sebenarnya tidak diperlukan.
“Ketika jaksa menangani perkara, itu sudah menjadi kewenangan penuh, sehingga tidak perlu lagi perizinan dari atasan,” katanya.
Ia justru khawatir besarnya potensi intervensi yang terpusat di tangan Jaksa Agung. Karena semangat awal UU ini bertujuan untuk menghindari intervensi dari pihak luar.
“Tetapi ini justru semakin memusatkan intervensinya di Jaksa Agung,” tambahnya.
Pasal ini juga direspons oleh Akademisi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, di mana dia menilai UU Kejaksaan tahun 2021 ini dibuat dalam kondisi tidak ideal yang berimbas terciptanya ketidakseimbangan dalam penegakan hukum.
“Kita tahu ada kewenangan yang terlalu banyak ingin ditarik. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam penegakan hukum,” tandasnya.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4016804/original/046265400_1652067919-KPK_4.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Profil Paulus Tannos Buron Kasus e-KTP Rp 2,3 Triliun yang Ditangkap, Sempat Jadi WN Afrika Selatan – Page 3
Seiring dengan pencarian Paulus Tannos, diketahui dia telah mengubah nama dan kewarganegaraannya. KPK mengaku heran buronan mendapatkan kesempatan mengubah nama dan kewarganegaraan Afrika Selatan.
“Iya betul. Informasi yang kami peroleh demikian. Ini yang kami tidak habis pikir, kenapa buronan bisa ganti nama dan punya paspor negara lain,” ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (8/8).
Ali mengatakan, diubahnya nama dan kewarganegaraan Paulus Tannos membuat KPK kesulitan menyeretnya ke tanah air.
“Sehingga pada kami saat menemukan dan menangkapnya tidak bisa memulangkan yang bersangkutan ke Indonesia,” kata Ali
-

Sosok Paulus Tannos, Buron KPK yang Ditangkap di Singapura, Tersangka Kasus E-KTP – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcahyanto membenarkan kabar penangkapan salah seorang buron KPK, yakni Paulus Tannos.
Tersangka kasus korupsi E-KTP ini ditangkap KPK di Singapura.
Fitroh menyebut setelah ditangkap kini Paulus Tannos masih ditahan.
“Benar, bahwa Paulus Tannos tertangkap di Singapura dan saat ini sedang ditahan,” kata Fitroh dilansir Kompas.com, Jumat (24/1/2025).
Lantas siapakah Paulus Tannos?
Paulus Tannos ini adalah Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra.
KPK sebelumnya telah menetapkan Paulus sebagai tersangka sejak 13 Agustus 2019.
Penetapan tersangka ini dilakukan karena Paulus diduga terlibat dalam pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (E-KTP) tahun 2011 hingga 2013 pada Kemendagri.
Kemudian, perusahaan milik Paulus Tannos mendapatkan keuntungan besar hingga Rp140 miliar dari proyek pengadaan KTP elektronik pada tahun anggaran 2011-2012.
Sementara itu, Paulus menjadi buron KPK sejak 19 Oktober 2021 dengan dilengkapi dengan nama barunya, Tahian Po Tjhin (TPT).
Menurut Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto, Paulus Tannos bisa saja tertangkap di Thailand.
Namun, penangkapan ini gagal karena red notice dari Interpol terlambat terbit.
KPK juga kesulitan menangkap Paulus dan membawanya ke Indonesia karena ia mengubah kewarganegaraannya.
Terlebih red notice Paulus Tannos dengan identitas yang baru belum terbit sehingga KPK terbentur yurisdiksi negara setempat.
KPK terakhir kali memanggil Paulus Tannos pada Jumat, 24 September 2021.
Saat itu ia dipanggil dalam kapasitasnya sebagai tersangka.
Pemerintah Percepat Proses Ekstradisi Buronan KPK Paulus Tannos dari Singapura
Pemerintah melalui Kementerian Hukum (Kemenkum) menyatakan tengah berupaya mempercepat proses ekstradisi buronan kasus e-KTP Paulus Tannos.
Otoritas Singapura diketahui telah menangkap Paulus Tannos atas kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyebut masih ada dokumen-dokumen yang dibutuhkan dari Kejaksaan Agung (Kejagung) maupun Mabes Polri, terutama Interpol.
Kementerian Hukum sedang berkoordinasi guna menuntaskan urusan administrasi itu.
“Jadi ada masih dua atau tiga dokumen yang dibutuhkan. Nah karena itu Direktur AHU (Administrasi Hukum Umum) saya sudah tugaskan untuk secepatnya berkoordinasi dan saya pikir sudah berjalan,” kata Menteri Hukum Supratman Andi Agtas kepada wartawan di Jakarta, Jumat (24/1/2025).
Menurut politikus Partai Gerindra itu, proses ekstradisi memang membutuhkan waktu.
Apalagi proses itu juga bergantung pada penyelesaian administrasi oleh pemerintahan Singapura.
“Semua bisa sehari, bisa dua hari, tergantung kelengkapan dokumennya. Karena itu permohonan harus diajukan ke pihak pengadilan di Singapura. Kalau mereka anggap dokumen kita sudah lengkap, ya pasti akan diproses,” ujar Supratman.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Ilham Rian Pratama)(Kompas.com/Haryanti Puspa Sari)
Baca berita lainnya terkait Korupsi KTP Elektronik.
-
/data/photo/2025/01/24/67930e00f1a8c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Licinnya Paulus Tannos: Buron sejak 2021, Ubah Kewarganegaraan hingga Sulit Diekstradisi Nasional 24 Januari 2025
Licinnya Paulus Tannos: Buron sejak 2021, Ubah Kewarganegaraan hingga Sulit Diekstradisi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Buron kasus korupsi kartu tanda penduduk (KTP) elektronik atau E-KTP,
Paulus Tannos
akhirnya ditangkap.
Hal ini diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat, (24/1/2025).
Sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 13 Agustus 2019, Tannos yang merupakan direktur utama PT Sandipala Arthaputra mulai sulit dilacak keberadaannya.
Dalam laman resmi KPK, namanya masuk daftar pencarian orang (DPO) sejak 19 Oktober 2021 dengan dilengkapi nama barunya, Tahian Po Tjhin (TPT).
Pengejaran terus dilakukan dan jejak Tannos tercium di Thailand.
Saat itu, tahun 2023, tetapi Tannos lolos dari jeratan hukum.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK saat itu, Karyoto, mengatakan, Paulus Tannos bisa saja tertangkap di Thailand jika
red notice
dari Interpol terbit tepat waktu.
Adapun
red notice
merupakan permintaan kepada penegak hukum di seluruh dunia untuk mencari dan sementara menahan seseorang yang menunggu ekstradisi, penyerahan, atau tindakan hukum serupa.
“Kalau pada saat itu yang bersangkutan betul-betul
red notice
sudah ada, sudah bisa tertangkap di Thailand,” kata Karyoto, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (25/1/2023).
KPK terus mengalami kendala dalam membawa Paulus Tannos ke Indonesia, sebab ia mengubah kewarganegaraannya.
Hal itu membuat KPK tidak bisa membawa DPO tersebut pulang meskipun telah tertangkap di Thailand.
Pasalnya,
red notice
Paulus Tannos dengan identitas yang baru belum terbit sehingga KPK terbentur yurisdiksi negara setempat.
“Punya paspor negara lain sehingga pada saat kami menemukan dan menangkapnya tidak bisa memulangkan yang bersangkutan ke Indonesia,” kata Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri, saat dihubungi, Selasa, 8 Agustus 2023.
Dalam kasus ini, perusahaan milik Paulus Tannos, yaitu PT Sandipala Artha Putra, terbukti mendapatkan keuntungan fantastis yakni Rp 140 miliar dari hasil proyek pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012.
Kini, Tannos sudah tertangkap dan akan segera diboyong ke Indonesia untuk menjalani proses hukum yang ada.
“Benar, bahwa Paulus Tannos tertangkap di Singapura dan saat ini sedang ditahan,” kata Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto, dalam keterangannya, Jumat (24/1/2025).
Fitroh menyebutkan KPK sedang berkoordinasi untuk melakukan ekstradisi terhadap Paulus Tannos.
“KPK saat ini telah berkoordinasi dengan Polri, Kejagung, dan Kementerian Hukum sekaligus melengkapi persyaratan yang diperlukan guna dapat mengekstradisi yang bersangkutan ke Indonesia untuk secepatnya dibawa ke persidangan,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

