Kementrian Lembaga: KPK

  • KPK Belum Bertemu Paulus Tannos, Buronan Kasus e-KTP yang Ditangkap di Singapura

    KPK Belum Bertemu Paulus Tannos, Buronan Kasus e-KTP yang Ditangkap di Singapura

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum bertemu dengan buronan kasus pengadaan e-KTP, Paulus Tannos seusai ditangkap di Singapura. Kini, pemerintah Indonesia fokus merampungkan proses ekstradisi yang bersangkutan.

    “Belum bertemu Paulus Tannos,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, kepada awak media di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (30/1/2025).

    Namun demikian, Tessa menyampaikan, KPK menjalin koordinasi erat dengan Kementerian Hukum (Kemenkum), Divisi Hubinter Polri serta memiliki hubungan baik dengan Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura. Hal-hal tersebut diyakini dapat mempercepat upaya ekstradisi Paulus Tannos.

    “Apakah sudah ada kunjungan ke sana setelah proses penangkapan? Sampai saat ini belum ada. Karena, dari pihak Indonesia termasuk KPK masih berusaha memenuhi persyaratan yang diajukan dalam proses ekstradisi tersebut, sehingga fokusnya itu saja,” ujarnya.

    Tessa mengaku, Kementerian Hukum (Kemenkum) optimistis proses ekstradisi Paulus Tannos bisa segera dilakukan. Dia meyakini ekstradisi dapat terlaksana sebelum batas waktu yang telah ditentukan.

    “Orang-orang kita dalam arti baik perwakilan atase kepolisian di sana maupun dari Kemenlu yang bisa juga mengecek langsung ke sana. Namun, kalau untuk penyidik sendiri dari KPK belum ada yang ke sana,” ucapnya.

    Sementara sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan pemerintah terus berupaya merampungkan proses ekstradisi Paulus Tannos. Koordinasi dengan para pihak terkait masih terus dilakukan.

    “Saat ini Kementerian Hukum terus berkoordinasi bersama dengan KPK, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan juga Kementerian Luar Negeri dalam rangka mempercepat proses pelaksanaan ekstradisi terhadap yang bersangkutan,” kata Supratman di kantornya, Jakarta, Rabu (29/1/2025).

    Selain itu, Supratman mengungkapkan, telah dibentuk tim kerja antara Kementerian Hukum bersama Direktur OPHI, KPK, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, dan juga Kementerian Luar Negeri. Sudah disepakati juga terkait waktu yang dibutuhkan untuk merampungkan proses tersebut.

    “Saya perlu menegaskan bahwa batas waktu untuk kita mengajukan permohonan dan seluruh kelengkapan berkas itu 45 hari lama waktu yang dibutuhkan, dan itu akan berakhir di 3 Maret 2025. Namun demikian, terkait hal ini tentu hasil koordinasi yang sangat baik terkait hal ini saya yakin dan percaya dalam waktu yang singkat hal tersebut bisa dipenuhi,” tutur Supratman.

  • Klarifikasi Kejanggalan Harta, Dedy Mandarsyah Klaim Semua Asetnya Sudah Dilaporkan di LHKPN

    Klarifikasi Kejanggalan Harta, Dedy Mandarsyah Klaim Semua Asetnya Sudah Dilaporkan di LHKPN

    Jakarta, Beritasatu.com – Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Kalimantan Barat (Kalbar) Dedy Mandarsyah telah menjalani klarifikasi laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (30/1/2025). Klarifikasi ini terkait dugaan kejanggalan dalam penyampaian LHKPN olehnya.

    Dedy Mandarsyah memilih irit bicara saat dijumpai seusai menjalani klarifikasi LHKPN. Dia enggan berbicara banyak soal kepemilikan hartanya.

    “Setelah ada hasilnya ya,” kata Dedy Mandarsyah seusai klarifikasi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (30/1/2025).

    Dedy menepis dugaan dirinya tidak melaporkan secara lengkap aset-asetnya di LHKPN. Dia mengeklaim telah menyampaikan seluruh kepemilikan hartanya di LHKPN.

    “Tidak ada, semuanya sudah saya laporkan,” ungkap Dedy.

    Dedy sempat menjadi sorotan publik berkaitan dengan kasus dugaan penganiayaan dokter koas Universitas Sriwijaya bernama Muhammad Luthfi di Palembang. Dedy dikabarkan merupakan ayah Lady Aurellia Pramesti yang merupakan rekan Luthfi sesama dokter koas.

    Sebelumnya, KPK telah melayangkan surat undangan kepada Kepala BPJN Kalbar Dedy Mandarsyah. Undangan tersebut dalam rangka klarifikasi atas LHKPN yang dia telah sampaikan.

    “Hari ini, kita terbitkan surat undangan untuk klarifikasi kepada beliau,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    KPK memandang ada materi yang perlu diklarifikasi seputar LHKPN yang disampaikan Dedy. Lembaga antikorupsi itu mengendus dugaan adanya banyak harta belum dicantumkan di LHKPN yang bersangkutan.

    “Menurut data yang kita dapat, masih banyak harta yang signifikan jumlah maupun kuantitas maupun nilainya yang belum kita lihat ada di LHKPN beliau,” ujar Pahala.

    Selain itu, KPK juga telah mengantongi data seputar transaksi keuangan Dedy dan istrinya dari pihak perbankan dan asuransi. Dua alasan itu yang menjadi dasar bagi KPK untuk memutuskan mengundang Dedy untuk klarifikasi LHKPN.

    “Jadi atas dua alasan itu, kita bandingkan dengan LHKPN-nya, kita bilang kita undang beliau untuk klarifikasi,” ungkap Pahala.

    Dalam LHKPN yang disampaikan Dedy Mandarsyah ke KPK pada 2023, dia yang merupakan kepala BPJN Kalbar tercatat memiliki kekayaan sekitar Rp 9,4 miliar.

    Perincian harta Dedy Mandarsyah, kepemilikan aset tanah dan bangunan senilai Rp 750 juta, mobil Honda CRV tahun 2019 senilai Rp 450 juta, harta bergerak lainnya senilai Rp 830 juta, surat berharga Rp 670 juta, kas dan setara kas Rp 6,7 miliar, dan nihil utang.

     

  • Diklarifikasi KPK, Kepala BPJN Kalbar Mengaku Punya SPBU dan Butik dari Orangtua
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        30 Januari 2025

    Diklarifikasi KPK, Kepala BPJN Kalbar Mengaku Punya SPBU dan Butik dari Orangtua Nasional 30 Januari 2025

    Diklarifikasi KPK, Kepala BPJN Kalbar Mengaku Punya SPBU dan Butik dari Orangtua
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Kalimantan Barat
    Dedy Mandarsyah
    mengaku memiliki dua usaha, yakni stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan butik.
    Dedy mengatakan, dua usaha tersebut berasal dari orangtuanya.
    “Itu yang SPBU sama Butik. Itu bukan punya saya, punya dari orang tua,” kata Dedy saat ditemui di Gedung Merah Putih,
    KPK
    , Jakarta, Kamis (30/1/2025).
    Pada Kamis ini, Dedy mendatangi KPK untuk mengklarifikasi aset yang belum dilaporkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (
    LHKPN
    ).
     
    Dedy mengaku sudah melaporkan seluruh aset kepada KPK.
    Ia menyatakan bahwa laporan tersebut akan dikonfirmasi ulang oleh KPK.
    “Enggak ada, semuanya sudah saya laporkan,” kata Dedy.
    “Nanti konfirmasi ulang,” ucap dia melanjutkan.
    Sebelumnya, KPK menerbitkan surat panggilan klarifikasi terkait kekayaan kepada Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Kalimantan Barat, Dedy Mandarsyah.
    Undangan klarifikasi ini dikirimkan karena Dedy belum melaporkan sejumlah asetnya dalam LHKPN.
    “Hari ini kita terbitkan surat undangan untuk klarifikasi kepada beliau. Alasannya karena menurut data yang kita dapat, masih banyak harta yang signifikan jumlah kuantitas maupun nilainya yang belum kita lihat ada di LHKPN beliau,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggola, di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada Selasa (21/1/2025).
    Pahala tidak merinci jenis harta kekayaan yang belum dilaporkan oleh Dedy.
    Ia menambahkan bahwa klarifikasi ini bertujuan untuk memastikan temuan yang didapat setelah dilakukan penelusuran dari rekening perbankan hingga kepemilikan asuransi.
    “Pada saat yang sama kita komunikasi dengan Irjen Kementerian PU untuk sama-sama menambah data, informasi, termasuk kalau ada tindak lanjut yang perlu dilakukan,” ujar dia.
    Adapun Dedy menjadi sorotan setelah namanya dikaitkan pada kasus penagniayaan dokter muda di Palembang, beberapa waktu lalu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jubir Respons Rencana Pihak Hasto Kristiyanto Gugat Keabsahan Pimpinan KPK: Kami Sudah Berpengalaman – Halaman all

    Jubir Respons Rencana Pihak Hasto Kristiyanto Gugat Keabsahan Pimpinan KPK: Kami Sudah Berpengalaman – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak khawatir dengan langkah yang hendak ditempuh kubu Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

    Kubu Hasto Kristiyanto berencana menggugat keabsahan jabatan pimpinan KPK periode 2024–2029 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

    Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, pihaknya sudah berpengalaman dalam menghadapi gugatan.

    “Yang pertama gugatan-gugatan tersebut KPK sudah berpengalaman, tidak hanya di perkara itu saja tetapi di perkara-perkara lain, baik lembaganya sendiri yang digugat maupun personilnya sendiri yang digugat, tata cara penyidikannya digugat, KPK selalu siap untuk mengantisipasi hal tersebut,” kata Tessa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (30/1/2025).

    Tessa menerangkan, penetapan tersangka di KPK sudah melewati suatu proses.

    Sehingga, pada saat seseorang ditetapkan sebagai tersangka, KPK memiliki keyakinan penuh bahwa yang bersangkutan memang melakukan tindak pidana yang disangkakan.

    “Kita kembali ke pertanyaan gugatan keabsahan lima pimpinan KPK, tentunya KPK tetap bekerja sesuai tugas dan fungsinya bila nanti gugatan tersebut diajukan dalam hal ini kemungkinan besar ke MK,” ujar Tessa.

    “Dan apabila KPK diminta untuk hadir, KPK nanti akan mempersiapkan diri untuk hadir walaupun untuk penetapan lima pimpinan tersebut ranahnya bukan di ranah KPK lagi,” lanjutnya.

    Sepanjang pengetahuan Tessa, penetapan lima pimpinan KPK merupakan ranah legislatif.

    Ada juga tim panitia seleksi (pansel) dan lainnya.

    “Saya pikir bahwa sampai dengan saat ini seluruh produk yang dikeluarkan oleh KPK, dapat diterima oleh seluruh pihak kecuali yang tadi disampaikan ya, KPK akan menghadapi dengan persiapan yang matang,” ucapnya.

    Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, sebelumnya mengungkapkan pihaknya berencana menggugat keabsahan jabatan pimpinan KPK periode 2024–2029.

    Gugatan ke Mahkamah Konstitusi itu direncanakan karena pihaknya menilai terdapat cacat hukum dalam proses seleksi hingga pelantikan para pimpinan KPK saat ini.

    “Iya, kami melihat adanya cacat hukum,” ujar Maqdir, Rabu (29/1/2025).

    Meski demikian, Maqdir belum dapat memastikan kapan gugatan tersebut akan dilayangkan ke MK. 

    Pihaknya masih terus mendiskusikan serta mematangkan rencana tersebut.

    “Kami masih mendiskusikannya. Masih belum diputuskan,” ujar dia.

    Terkait gugatan tersebut, Maqdir merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 halaman 118.

    Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa seleksi atau rekrutmen untuk pengisian jabatan pimpinan KPK periode 2024–2029 seharusnya dilakukan oleh presiden dan DPR periode berikutnya, yakni 2024–2029.

    “Dengan demikian, maka tafsir konstitusional yang tepat dan benar menurut hukum terhadap pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK adalah jika panitia seleksi tersebut dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto,” kata Maqdir.

    “Hasil panitia seleksi tersebut pun merupakan kewenangan Presiden Prabowo Subianto untuk menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat periode 2024–2029,” sambung dia.

    Maqdir juga mengacu pada Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat atau final and binding.

    “Putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh,” kata Maqdir.

    Dengan adanya ketentuan tersebut, Maqdir menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan sendiri ketentuan dalam Pasal 30 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (8), dan Ayat (9) UU KPK, khususnya terkait dengan pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK dan Calon Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2024–2029.

    “Apalagi hal tersebut telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 yang secara terang dan tegas menyatakan bahwa pembentukan Pansel Calon Pimpinan KPK dan Calon Dewas KPK periode 2024-2029 haruslah oleh Presiden periode 2024-2029,” tutur Maqdir.

    “Dengan demikian, maka seharusnya pembentukan Pansel Calon Pimpinan KPK dan Calon Dewas KPK periode 2024-2029 dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto,” sebut Maqdir.

    Maqdir berpandangan, tindakan Presiden Joko Widodo yang tetap membentuk Pansel Calon Pimpinan KPK dan Calon Dewas KPK periode 2024–2029 dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mengabaikan putusan MK atau contempt of constitutional court.

    “Sehingga seharusnya segala keputusan dan atau kebijakan Presiden Joko Widodo terkait pembentukan Pansel Calon Pimpinan KPK dan Calon Dewas KPK periode 2024–2029 bersifat null and void (batal demi hukum) atau setidaknya voidable (dapat dibatalkan),” kata dia.

  • Ubedilah Badrun Kini Dicopot dari Jabatan Koordinator Program Studi UNJ

    Ubedilah Badrun Kini Dicopot dari Jabatan Koordinator Program Studi UNJ

    GELORA.CO -Dikenal sebagai akademisi yang kritis dan pernah melaporkan dugaan KKN dan TPPU keluarga Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ubedilah Badrun dicopot dari jabatan Koordinator Program Studi.

    Ubedilah yang merupakan akademisi Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dicopot dari jabatan Koordinator Program Studi (Kepala Departemen) Pendidikan Sosiologi UNJ oleh Rektor UNJ. Pencopotan dilakukan sebelum waktunya karena jabatan itu seharusnya diemban Ubeidilah hingga 2027.

    “Iya, saya sudah tidak lagi menjabat sejak 24 Januari 2025. Posisinya telah digantikan oleh Plt (pelaksana tugas). Masa jabatan saya menurut SK Rekor No.1995/UN39/HK.02/2023 adalah untuk periode 2023-2027. Tetapi diberhentikan pada 25 Januari 2025 . Tidak apa-apa Mas, itu otoritas Rektor, mungkin punya maksud baik, saya tidak tahu apa alasanya,” kata Ubedilah kepada Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Kamis, 30 Januari 2025.

    Informasi yang dapat diperoleh dari media sosial UNJ, terlihat bahwa pemberhentian atau pengangkatan tersebut terjadi seiring perubahan UNJ menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) yang memberikan otoritas penuh Rektor dalam menentukan dan mengangkat siapapun pejabat di lingkungan UNJ dengan syarat yang telah ditentukan sebelumnya.

    Situasi tersebut berbeda dengan ketika Universitas masih berstatus Satuan Kerja (Satker) atau saat masih berstatus Badan Layanan Umum (BLU), pengangkatan Kepala Departemen atau Koordinator Program Studi dimulai dari aspirasi musyawarah dosen di tingkat program studi, diajukan ke Dekan lalu diputuskan Rektor. 

    Sejak PTNBH, tidak ada lagi musyawarah program studi untuk menentukan siapa koorprodinya.

    “Memang benar sejak menjadi PTNBH, otoritas Rektor begitu power full. Melalui Peraturan Rektor No.1/2025 Rektor UNJ memiliki otoritas penuh, Dekan bisa mengajukan tetapi Rektorlah yang memutuskan. Menurut Pasal 6 Peraturan Rektor tersebut disebutkan bahwa pengangkatan kepala departemen atau koordinator program studi bersifat penugasan oleh Rektor. Proses semacam ini sesungguhnya rawan nepotisme, rawan like and dislike dan sekaligus rawan pembungkaman,” pungkas Ubedilah.

  • Paulus Tannos Akan Langsung Ditahan setelah Diekstradisi

    Paulus Tannos Akan Langsung Ditahan setelah Diekstradisi

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut buronan kasus pengadaan E-KTP, Paulus Tannos (PT) akan langsung ditahan jika proses ekstradisi yang bersangkutan telah rampung. Bos PT Shandipala Arthaputra itu sementara ini tengah ditahan di Singapura. 

    “Sebagaimana yang sudah terjadi di beberapa perkara, Muhammad Nazarudin juga, begitu pula kita langsung melakukan proses penahanan,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika di gedung KPK, Jakarta, Kamis (30/1/2025). 

    “Intinya adalah begitu yang bersangkutan bisa didatangkan kembali ke Indonesia maka proses pelimpahan ke persidangan dapat segera dilakukan,” ungkap Tessa. 

    Disampaikan Tessa, Kementerian Hukum (Kemenkum) juga optimistis proses ekstradisi Paulus Tannos bisa segera dilakukan. Dia meyakini ekstradisi dapat terlaksana sebelum batas waktu yang telah ditentukan. 

    “Dari Pemerintah Singapura melalui CPIB juga memberikan persyaratan dokumen-dokumen yang perlu dilengkapi oleh Pemerintah Indonesia dan itu KPK, Kementerian Hukum, Polri, dan Kejaksaan saat ini sedang bersama-sama memenuhi persyaratan tersebut,” tutur Tessa. 

    Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan pemerintah terus berupaya merampungkan proses ekstradisi Paulus Tannos. Koordinasi dengan direktur OPHI, KPK, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, dan juga Kementerian Luar Negeri juga dilakukan. Sudah disepakati juga terkait waktu yang dibutuhkan untuk merampungkan proses tersebut. 

    “Saya perlu menegaskan batas waktu untuk mengajukan permohonan dan seluruh kelengkapan berkas itu 45 hari lama waktu yang dibutuhkan dan itu akan berakhir pada 3 Maret 2025. Namun, saya yakin dan percaya dalam waktu yang singkat kelengkapan berkas ekstradisi Paulus Tannos bisa segera dipenuhi,” tutur Supratman.

  • KPK Sebut Proses Ekstradisi Buronan Kasus E-KTP Paulus Tannos Terus Dikebut

    KPK Sebut Proses Ekstradisi Buronan Kasus E-KTP Paulus Tannos Terus Dikebut

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut proses merampungkan ekstradisi terhadap buronan kasus pengadaan e-KTP, Paulus Tannos masih terus dilakukan. Pemerintah Indonesia kini tengah fokus memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk bisa mengekstradisi Tannos.

    “Dari pemerintah Singapura melalui CPIB juga memberikan persyaratan dokumen-dokumen yang perlu dilengkapi oleh pemerintah Indonesia dan itu KPK, Kementerian Hukum, Polri, dan kejaksaan saat ini sedang bersama-sama memenuhi persyaratan tersebut,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika di gedung KPK, Jakarta, Kamis (30/1/2025).

    Disampaikan Tessa, Kementerian Hukum (Kemenkum) juga optimistis proses ekstradisi Paulus Tannos bisa segera dilakukan. Dia meyakini ekstradisi dapat terlaksana sebelum batas waktu yang telah ditentukan.

    “Yang tadi sudah saya sampaikan bahwa Kementerian Hukum juga positif saudara PT dapat dipulangkan dalam waktu dekat, tidak sampai terpenuhi 45 harinya. Kita berharap juga hal tersebut dapat segera terlaksana,” ujar Tessa.

    Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum), Supratman Andi Agtas menyebut pemerintah tengah berupaya mengekstradisi buronan kasus korupsi pengadaan e-KTP, Paulus Tannos. Ekstradisi tersebut ditargetkan rampung secepatnya.

    “Dokumen itu saat ini kita punya waktu 45 hari. Selama 45 hari itu untuk melengkapi dokumen. Tapi saya yakinkan bahwa kita tidak akan menunggu sampai dengan 3 Maret ya dalam waktu dekat,” kata Supratman saat dijumpai di kantornya, Jakarta, Rabu (29/1/2025).

    Disampaikan Supratman, Indonesia punya waktu 45 hari untuk merampungkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mengekstradisi bos PT Shandipala Arthaputra itu dari Singapura. Hal itu berdasarkan kesepakatan ekstradisi antara kedua negara.

    Supratman menekankan, ekstradisi tidak bisa dilakukan secara instan. Dia menegaskan ada hak dan kewajiban yang mesti diperhatikan para pihak terkait dalam proses ekstradisi kali ini. Namun, dia menerangkan tidak ada kendala dalam proses sejauh ini.

    “Karena ini kan menyangkut soal strategi dan yang lain-lainnya. Karena itu nanti kalau terkait kasusnya jangan tanya di Kementerian Hukum. Itu nanti tanyakan ke KPK dan untuk pelaksananya nanti juga dengan Divisi Hubinter ya di Mabes Polri,” ungkap Supratman.

    Diberitakan, Paulus Tannos berhasil diamankan di Singapura. Dia sudah dalam pencarian KPK akibat tersandung kasus e-KTP.

  • AHY Terseret Sertifikat HGB Pagar Laut, Rocky Gerung Sebut Mulyono Menjebak SBY

    AHY Terseret Sertifikat HGB Pagar Laut, Rocky Gerung Sebut Mulyono Menjebak SBY

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terseret dalam pusaran kasus penerbitan sertifikat hak guna bangunan (HGB) area pagar laut di Tangerang.

    Terkait hal itu, pengamat politik Rocky Gerung angkat bicara. Apalagi diketahui pagar laut sepanjang 30 kilometer itu hingga kini masih viral dan jadi pembahasan hangat publik.

    Menurut Rocky, kasus pagar laut harus terungkap dari pertanyaan inti tentang kepentingan siapa yang ada di baliknya.

    “Bambu itu akhirnya meruncing pada satu pertanyaan mendasar kepentingan siapa sebetulnya yang mengakibatkan laut itu dipagari?”

    “Memang soal yang sifatnya politis di era Pak Jokowi itu yang jadi sasaran investigasi sekarang kan.”

    “Mau menterinya AHY atau siapa pun tetapi orang tetap ingin tahu perintah siapa yang memungkinkan hal yang melanggar hukum itu dilakukan oleh PIK 2,” kata Rocky di channel Youtube Rocky Gerung Official yang tayang pada Rabu (29/1/2025).

    Dalam menyelidiki dalang pagar laut, Rocky menekankan pentingnya latar waktu penerbitan HGB dan SHM, yakni sebelum Jokowi lengser.

    “Orang mau tahu kenapa di era Pak Jokowi pagar itu dibuat? Kenapa sebelum Pak Jokowi lengser HGB itu diterbitkan? Jadi kelihatannya itu yang akan jadi sasaran penelitian kan.”

    “Mestinya mudah sekali itu mereka yang aparat kejaksaan, polisi, KPK, itu kan bisa mulai memberi semacam keterangan awal entah itu sifatnya penelitian, penyelidikan, tapi rakyat ingin ada kejelasan yang bertanggung jawab siapa yang diuntungkan siapa yang dirugikan siapa,” ujar Rocky.

  • Donny Yoesgiantoro: Badan Publik yang Tidak Informatif Paling Banyak dari BUMN – Page 3

    Donny Yoesgiantoro: Badan Publik yang Tidak Informatif Paling Banyak dari BUMN – Page 3

    Berkaca pada pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, dari hasil monev KI Pusat apakah ada keterbukaan informasi dari KPU dan Bawaslu?

    Jadi begini, waktu tahun 2023, KPU kami beri peringkat pertama pada waktu monev. Saya waktu itu dengan Mbak Titi Anggraini dari Perludem juga ditanya, Bapak itu kok ngasih KPU itu informatif, padahal kelakuannya kayak gitu?

    Saya bilang begini, Mbak ini ibaratnya dosen, murid itu pintar, tapi setelah jadi insinyur setelah jadi doktorandus dia itu berperkara atau dia itu asusila dan sebagainya, itu kan dosennya enggak boleh disalahin dong, saya bilang begitu.

    Artinya, saya itu sudah lihat dari Self-Assessment Questionnaire tadi, wah canggih betul dia, isinya bagus semua, kita lihat bagus semua, terus gimana? Kita kasih dong nilai 100, itu 80%. Pada waktu kita uji publik, eh Ketua KPU-nya datang. Sama saya kan kenal dekat.

    Dia datang dan presentasinya bagus, ya kasih nilai bagus juga gitu kan. Seperti mahasiswa dikasih ujian nilainya bagus, wawancara bagus, setelah jadi insinyur, setelah jadi dokter keluar dia kena asusila, lah masa dosennya disalahkan, kan enggak boleh begitu dong, ya kan?

    Saya mengatakan kita ini hanya melihat kalau mobil itu ada STNK-nya, ada BPKB-nya, BPKB-nya tidak kedaluwarsa. Kemudian ada SIM, STNK dan BPKB, kemudian dia itu tidak pernah ada asuransinya, kalau naik motor itu ada pentilnya. Kalau semuanya sudah bagus, ya sudah. Tapi begitu kita lihat motornya itu untuk nyopet, masa kita salah?

    Itu bukan wilayah KI Pusat lagi?

    Itu urusan lembaga lain. Jadi kita ini di Indonesia jangan ada lembaga yang superbody, harus ada sendiri-sendiri begitu. Itu urusan polisi, lembaga kepolisian kalau nyopet.

    Kalau hubungan KI Pusat dengan lembaga atau organisasi pers bagaimana?

    Satu, dia sama-sama lembaga non-structural, seperti Dewan Pers, dan Dewan Pers itu sama-sama koordinasinya di Kementerian Komdigi. Jadi ada di Komdigi karena kami belum independen, belum total independen, seperti KPU kan dia independen. Kalau kami kan masih ke Komdigi karena sekretaris kami itu masih eselon II.

    Jadi gampang melihat lembaga non-struktural itu, dia itu sudah mandiri atau tidak lihat sekjennya, kalau sekjennya eselon satu berarti dia sudah mandiri. Seperti KPU, KPK, Bawaslu dan dia punya anggaran sendiri. Kalau anggaran kami dikasih anggaran, tapi harus koordinasi dengan Komdigi.

    Soal Dewan Pers, kami juga mengatakan kepada Dewan Pers, kan ada beberapa organisasi wartawan, ada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), ada AJI gitu kan, urusannya kan ke wartawan. Kami mengatakan bahwa kalau kami, informasi-informasi itu tidak harus dibuka semuanya, ada informasi yang memang boleh ditutup di undang-undang kami.

    Kalau undang-undangnya mungkin Undang-Undang Pers, kami tidak mau masuk ke sana, dia akan mengatakan jangan dihalang-halangi dong kalau wartawan itu mau cari berita, ya silakan saja. Tapi di undang-undang kami boleh dikecualikan walaupun sifatnya ketat dan terbatas.

    Kita biasanya dengan AJI, dengan Dewan Pers dan PWI sudah membuat MoU. Kami mengatakan kami ada beberapa kerja sama dengan mereka bagaimana kalau misalnya wartawan ingin mengajukan permohonan informasi, boleh juga. Jadi wartawan sebagai pribadi maupun sebagai institusi boleh.

    Kalau yang meminta informasi publik itu adalah person, misalnya seorang karyawan, apakah itu juga dibolehkan?

    Boleh. Jadi seperti kami pernah menyelesaikan, ini kebetulan kasusnya sudah selesai, ada dosen bersengketa dengan universitasnya. Jadi katakanlah seorang dosen universitas, ini negeri ya karena PTN, kita tidak boleh masuk di PTS, perguruan tinggi swasta enggak boleh.

    Misalnya dosen UI atau dosen Gadjah Mada atau dosen Undip dia merasa jenjang jabatan akademisnya itu enggak naik-naik. Dia nberpikir, kalau enggak naik-naik jabatan ini jangan-jangan saya dimainkan di level dekanat, dekannya. Dia boleh minta permohonan, tolong dong saya minta dokumen penilaian jenjang jabatan akademis, kok saya enggak naik-naik.

    Begitu dikasih dibilang pula, kamu enggak naik jabatan karena penilaiannya jelek. Lho, saya pengen dong siapa yang menilai saya jelek? Enggak boleh gitu kan, itu kan masuk ke ranah pribadi kan enggak boleh dibuka. Kalau dibuka nanti diancam lagi yang menilai, itu ada seperti itu.

    Jadi akhirnya kita mediasi, mediasinya gagal. Karena mediasi gagal kita masukkan lagi ke ajudikasi non-litigasi. Jadi boleh karyawan meminta informasi publik, kalau karyawan SCTV enggak bisa karena SCTV swasta. Tapi kalau di RRI, TVRI boleh karena dia pakai APBN. Kalau swasta kan duitnya sendiri.

    Bagaimana cara KI Pusat merangkul Generasi Millenial dan Gen-Z untuk juga ikut mengawasi keterbukaan informasi ini?

    Strateginya ya saya dekatin dulu Menteri Pemuda dan Olahraga, itu kan termasuk Gen-Z juga dia. Badannya gede, besar, tinggi besar, tetapi termasuk Milenial kan? Kita sangat akrab dan Kemenpora kemarin nomor satu.

    Ya kita lakukan pendekatan, mereka bagus juga karena apa? Karena sesmennya juga bagus, sesmennya itu orang lama dan menterinya manut sama sesmen. Ini penting karena kadang-kadang pimpinan badan publik itu dia mengatakan kadang-kadang gini, itu enggak penting itu keterbukaan informasi.

    Sehebat apa pun sesmen kalau menterinya sudah ngomong begitu susah. Nah ini kebetulan koordinasinya bagus, bagus sekali, komunikasinya bagus. Dari kepala bironya, kepala biro biasanya PPID dari Pejabat Pengelola Informasi Dokumentasi.

    Atasan PPID itu pejabat administratif tertinggi di kementerian, biasanya sekjen, bisa sekjen, sestama, corporate secretary, pimpinan badan publik, atasan, atasan PPID, pimpinan badan publik, ini semuanya bagus. Nah, kita dekatin saja lewat itu karena Milenial tadi. Kita sering ada event-event dengan Pak Menteri, Pak Menterinya anak muda.

    Kedua, kita cari lagi mana ini yang kira-kira anak-anak muda yang suka. Kemudian kita dengan Pak Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata. Jadi itu adalah strategi kita, karena apa? Karena kita enggak bisa langsung, lihat saja undang-undang kita, membuat standar pelayanan informasi publik, menyelesaikan sengketa informasi publik.

    Jadi kita ke publiknya lewat badan publik. Jadi seperti tadi saya sampaikan, walaupun guyon Komisi Informasi Pusat itu tidak dikenal KIP ya, KI Pusat, lebih dikenal Kartu Indonesia Pintar betul, karena apa? Karena banyak masyarakat yang belum kenal Komisi Informasi karena tidak pernah dilakukan literasi.

    Ada literasi digital, ada literasi, ada rasio elektrifikasi. Tapi literasi keterbukaan informasi publik di masyarakat tidak ada, yang ada adalah literasi indeks keterbukaan informasi publik, itu yang disasar selalu di badan publik, pemerintah provinsi.

    Saya itu tidak tahu publik yang sudah terliterasi itu enggak tahu. Berapa persen publik yang sudah tahu keterbukaan informasi publik tidak pernah tahu, ini yang menjadi PR pemerintah sebenarnya.

    Ini yang harus pemerintah lihat bahwa publik itu harus dicerahkan juga. Ada keterbukaan informasi publik, ada lembaga yang namanya Komisi Informasi Pusat atau KI Pusat, dia punya di daerah juga, ada undang-undangnya, ada peraturan pemerintahnya.

     

  • Komisi II DPR Minta Oknum Pegawai ATR/BPN Terlibat Penerbitan Sertifikat Pagar Laut Diproses Hukum – Page 3

    Komisi II DPR Minta Oknum Pegawai ATR/BPN Terlibat Penerbitan Sertifikat Pagar Laut Diproses Hukum – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Anggota Komisi II DPR RI, Deddy Sitorus, meminta agar pihak yang melanggar aturan terkait pagar laut di perairan Tangerang diproses hukum. Menurutnya, sanksi berat saja tidak cukup untuk menimbulkan efek jera.

    Sebelumnya, Kementerian ATR/BPN telah menjatuhkan sanksi berat kepada delapan pegawai terkait kasus tersebut.

    “Saya kira tidak cukup sanksi berat. Harus proses hukum, karena ini kejahatan. Bukan malpraktik yang hanya berkonsekuensi sanksi. Ini saya kira perlu menjadi perhatian,” kata Deddy, saat rapat kerja dengan Kementerian ATR/BPN, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/1/2025).

    Selain itu, lanjut Deddy, pihak yang menerbitkan sertifikat juga perlu diproses secara hukum. Bukan hanya sebatas pembatalan sertifikat saja agar menimbulkan efek jera.

    “itu yang menerbitkan sertifikatnya, proses hukum dulu pak, sehingga bisa dibatalkan itu produk cacat hukum, jangan nunggu fatwa dari kejaksaan, pak. Duit mereka lebih banyak, pak. Saya minta, mohon, ya, udah diproses hukum. Sehingga bisa dibatalkan itu,” tegas dia.

    “Karena soal ruang abu-abu aturan kita ini, pak, sangat mudah dimanipulasi, pak. Semua ada bohirnya, mau bikin PP, mau bikin perpres, mau bikin apa, semua bisa-bisa aja. Saya sgt berharap penegakan hukum di sini, pak. Supaya ada efek jera,” sambungnya.

    Lebih lanjut, dia pun meminta agar proses hukum terus dilakukan dalam penyelesaian pagar laut. Terutama, bagi pihak yang menerbitkan sertifikat.

    “Kalau ibarat korporasi ini, pak, enggak usah pake ini langsung pecat, enggak ada sanksi berat. Jelas, bawa ke Jaksa, bawa ke KPK, pak. Harus begitu, pak Nusron,” ujar Deddy.

    “Jadi, dalam soal pagar laut ini pun, Pak, kami berharap penegakan hukum jangan hanya ke orang Agraria yang kena, pak. Yang bikin sertifikatnya kok, lolos. Bersama-sama melakukan kejahatan, Kok. Mana mereka-mereka itu? Jangan kesalahan ini ditimpakan hanya ke ATR, pak Nusron,” imbuhnya.