Hasto Vs KPK, Gaduh soal Penetapan sebagai Tersangka
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Gaduh penetapan tersangka Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
Hasto Kristiyanto
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK
) memasuki babak baru.
Kali ini, Sekjen PDI-P
Hasto
Kristiyanto dengan gamblang menyatakan bahwa penetapan status tersangka tersebut adalah bentuk kriminalisasi hukum.
Hasto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap dan
obstruction of justice
perkara eks kader PDI-P, Harun Masiku pada 24 Desember 2024 yang lalu.
“Pada hari ini, setelah cukup lama berdiam diri, melakukan perenungan terhadap berbagai bentuk kriminalisasi hukum yang ditujukan kepada saya, maka tibalah saatnya untuk memberikan penjelasan kepada seluruh masyarakat Indonesia dengan sebenar-benarnya,” ujar Hasto, dalam jumpa pers di kantor PDI-P, Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Hasto menilai, apa yang menimpanya itu tidak terlepas dari kepentingan politik kekuasaan.
Dia mengatakan, berdasarkan eksaminasi hukum dari berbagai ahli, tidak ditemukan fakta hukum atas penetapan tersangkanya.
“Apa yang menimpa saya tidak terlepas dari kepentingan politik kekuasaan. Mengapa? Sebab banyak pakar hukum yang telah melakukan kajian, bahkan suatu eksaminasi hukum dan FGD (
Focus Group Discussion
) terhadap putusan atas nama Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, dan Saiful Bahri,” ujarnya
“Dalam eksaminasi tersebut, nyata-nyata tidak ditemukan suatu fakta hukum atas penetapan saya sebagai tersangka, baik kasus suap maupun suatu tindakan melakukan
obstruction of justice
,” kata Hasto melanjutkan.
Menurut Hasto, jika merujuk pada UU KPK, maka
obstruction of justice
terjadi dalam proses penyidikan.
Dari hasil eksaminasi, Hasto menyebut, tidak ada bukti permulaan menurut hukum untuk menetapkannya sebagai tersangka perintangan penyidikan.
“Sikap saya sangatlah kooperatif dan taat pada seluruh proses hukum di KPK. Tiadanya fakta-fakta hukum tersebut juga diperkuat melalui keterangan ahli dalam proses praperadilan,” ujarnya.
Menanggapi Hasto, Ketua KPK Setyo Budiyanto membantah semua pernyataan elite PDI-P itu terkait tudingan adanya kriminalisasi hukum dan ada unsur kepentingan politik kekuasaan.
Setyo mengatakan, penetapan tersangka terhadap Hasto merupakan bentuk penegakkan hukum.
“Yang dilakukan oleh KPK adalah penegakan hukum,” kata Setyo saat dihubungi
Kompas.com
, Selasa.
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto juga menegaskan bahwa tidak ada unsur kriminalisasi dan politisasi dalam kasus Hasto.
Fitroh mengatakan, proses kasus Hasto murni berdasarkan fakta hukum.
“Saya tegaskan kembali bahwa proses perkara murni berdasarkan fakta hukum dan sama sekali tidak ada unsur kriminalisasi apalagi politisasi,” kata Fitroh saat dihubungi
Kompas.com
, Selasa.
Fitroh juga mengatakan, mestinya tak perlu ada imbauan agar Hasto memenuhi panggilan KPK.
Sebab, dia meyakini bahwa Hasto dan kuasa hukumnya memahami perbedaan gugatan praperadilan dan proses penyidikan
“Seharusnya tidak perlu imbauan karena mereka pasti sudah paham praperadilan tidak menghentikan proses penyidikan,” ujarnya.
Senada dengan Fitroh, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan, penetapan Hasto sebagai tersangka sudah sesuai dengan aturan dan fakta hukum yang dibuktikan dengan alat-alat bukti, keterangan saksi, keterangan ahli dan lainnya.
“Berdasarkan bukti elektronik, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan bukti lain yang diperoleh oleh aparat penegak hukum, jadi bukan berdasarkan adanya kepentingan politik atau kriminalisasi,” kata Johanis saat dihubungi, Selasa.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: KPK
-
/data/photo/2025/02/12/67ac48144d8bf.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hasto Vs KPK, Gaduh soal Penetapan sebagai Tersangka
-
/data/photo/2024/10/30/672137a2bea44.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Sebut Hasto Harusnya Tak Perlu Diimbau untuk Penuhi Panggilan Penyidik
KPK Sebut Hasto Harusnya Tak Perlu Diimbau untuk Penuhi Panggilan Penyidik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK
) Fitroh Rohcahyanto mengatakan, mestinya tak perlu ada imbauan agar Sekjen PDIP
Hasto Kristiyanto
memenuhi panggilan penyidik.
Sebab, Fitroh yakin, Hasto dan kuasa hukumnya memahami perbedaan gugatan
praperadilan
dan proses penyidikan.
“Seharusnya tidak perlu imbauan, karena mereka (tim kuasa hukum Hasto) pasti sudah paham praperadilan tidak menghentikan proses penyidikan,” kata Fitroh saat dihubungi
Kompas.com
, Selasa (18/2/2025).
Fitroh juga menegaskan tak ada unsur kriminalisasi dan politisasi dalam kasus dugaan suap proses Pergantian Antarwaktu (PAW) Anggota DPR dan perintangan penyidikan yang menjerat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Ia mengatakan, proses kasus Hasto murni berdasarkan fakta hukum.
“Saya tegaskan kembali bahwa proses perkara murni berdasarkan fakta hukum dan sama sekali tidak ada unsur kriminalisasi apalagi politisasi,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK diminta tidak memeriksa Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto terkait kasus dugaan suap dan obstruction of justice eks kader PDI-P Harun Masiku sampai ada putusan praperadilan.
Hal itu disampaikan Ketua DPP PDI-P
Ronny Talapessy
dalam jumpa pers di kantor PDI-P, Jakarta, pada Selasa (18/2/2025).
“Kami minta pihak KPK menghormati proses hukum yang ada, karena belum ada putusan praperadilan menguji sah tidaknya status tersangka Mas Hasto. Agar proses ini berkeadilan, kami meminta agar penundaan pemeriksaan ini sampai adanya putusan pengadilan praperadilan,” ujar Ronny, Selasa.
Ronny mengatakan, pemanggilan kedua terhadap Hasto dilayangkan KPK pada hari yang sama dengan mereka mengajukan kembali gugatan praperadilan atas status tersangka Hasto.
Ronny menyayangkan KPK yang malah ingin memeriksa Hasto, padahal Sekjen PDI-P itu sudah mengajukan gugatan praperadilan.
“Kami sangat menyayangkan di mana hari Senin tanggal 17, PN Jaksel sudah mengumumkan akan dilaksanakan praperadilan pada 3 Maret, tapi di hari yang sama penyidik KPK mengirim panggilan,” imbuh dia.
Sebelumnya, KPK mengatakan sudah mengirimkan surat panggilan kedua untuk Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto.
Hasto dijadwalkan untuk diperiksa penyidik pada Kamis, (20/2/2025) mendatang.
“Sudah (kirim surat panggilan). Hari Kamis (Hasto jadwal Hasto diperiksa),” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto saat dikonfirmasi, Selasa (18/2/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
Bukan Pejabat Negara, Hasto Pertanyakan Penetapan Status Tersangka oleh KPK
Bisnis.com, JAKARTA – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kembali mempertanyakan soal penetapan status tersangkanya oleh KPK meskipun bukan bagian dari penyelenggara negara.
Hasto mengklaim tidak ada kerugian negara sepeser pun yang ditimbulkan oleh dirinya terkait perkara dugaan tindak gratifikasi PAW DPR periode 2019 yang melibatkan Harun Masiku. Dia membeberkan KPK saat ini sedang dimanfaatkan oleh penyidik yang bernama AKBP Rossa Purbo Bekti.
Menurutnya, putusan pengadilan yang telah diputus juga mengungkapkan bahwa Hasto tidak terlibat dalam perkara suap eks kader PDIP Harun Masiku.
“Jadi saya ini bukan pejabat maupun penyelenggara negara dan tidak ada kerugian negara atas kasus itu. Namun mengapa saudara Rossa Purbo Bekti menggunakan KPK untuk kepentingan dia,” tuturnya di Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Maka dari itu, Hasto menegaskan bahwa dirinya tidak akan pernah berhenti untuk melawan KPK. Hasto mengklaim hal tersebut dilakukan dirinya untuk menjaga marwah KPK agar kembali ke khittahnya.
“Sikap kami ini adalah dukungan nyata kepada KPK dan seluruh jajarannya,” katanya.
Hasto juga berharap agar Dewas KPK bersikap profesional dan transparan menindaklanjuti laporan yang dilayangkan PDIP terkait sikap sewenang-wenang yang dilakukan penyidik AKBP Rossa Purbo Bekti.
“Dewas KPK juga harus bertindak adil dan memiliki kedaulatan penuh,” ujarnya.
-

Hasto Akan Laporkan Penyidik AKBP Rossa ke Dewas KPK
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto akan melaporkan peyidik KPK AKBP Rossa Purbo Bekti ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Hasto menilai, ada sejumlah pelanggaran etik dan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Rossa selama proses penyidikan kasus Harun Masiku.
-

Hasto Sebut Tim Hukum PDIP Bakal Adukan Penyidik Rossa ke Dewas KPK
PIKIRAN RAKYAT – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa tim hukum partainya akan melaporkan penyidik KPK, Rossa Purbo Bekti, ke Dewan Pengawas KPK pada Rabu, 19 Februari 2025.
Menurut Hasto, pengaduan ini dilakukan karena dugaan pelanggaran etik dan kesalahan dalam penanganan perkara oleh Rossa.
“Saudara-saudara sekalian, tim hukum PDIP akan mengadukan sodara Rossa Purbo Bekti ke Dewan Pengawas KPK atas tindakan pelanggaran etik dan kesalahan penanganan yang dilakukan,” ujar Hasto di Kantor DPP PDIP Perjuangan, Jakarta Pusat, Selasa, 18 Februari 2025.
Hasto menegaskan bahwa pengaduan ini bukan untuk melawan KPK, melainkan agar lembaga tersebut kembali menjalankan misinya dalam pemberantasan korupsi.
Ia yakin Dewas KPK akan bertindak adil tanpa intervensi pihak lain. Selain itu, ia juga percaya bahwa Rossa akan diperiksa terkait dugaan pelanggaran dalam proses penegakan hukum.
“Kami percaya bahwa Dewas KPK akan bertindak adil dan memiliki kedaulatan penuh tanpa intervensi pihak manapun, untuk berani memeriksa saudara Rossa yang nyatanya telah melakukan intimidasi dan proses penegakan hukum yang melanggar undang-undang,” kata Hasto.
“Sikap kami ini bukanlah untuk melawan KPK tetapi sikap kami ini justru untuk menjaga marwah KPK agar kembali pada misi utamanya,” tambahnya.
Dalam konferensi pers tersebut, hadir penasihat hukum Ronny Talapessy, Maqdir Ismail, dan Johannes L Tobing. Selain itu, sejumlah pengurus DPP PDIP turut hadir, seperti Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun, Wiryanti Sukamdani, dan Deddy Sitorus. Hadir pula Wasekjen Adian Napitupulu, Yoseph Arto Adhi Dharmo, serta Wabendum Yuke Yurike.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-

Mbak Ita dan Hasto Kristiyanto Kader PDIP Berstatus Tersangka, Barengan Ditahan KPK Kamis Pekan Ini?
PIKIRAN RAKYAT – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu (HGR) alias Mbak Ita pada Kamis, 20 Februari 2025. Ita akan diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa, pemerasan, serta penerimaan gratifikasi di Pemkot Semarang.
Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto memastikan, pihaknya telah mengirim surat pemanggilan terhadap Ita. Sebelumnya, Ita dan suaminya, Alwin Basri yang merupakan Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah, mangkir dari agenda pemeriksaan pada Selasa, 11 Februari 2025.
“Sudah ada panggilan untuk yang bersangkutan. Kalau enggak salah Kamis,” kata Fitroh saat dikonfirmasi, Selasa, 18 Februari 2025.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika pernah mengatakan, penyidik memang bakal melakukan tindakan terhadap Ita. Tessa memastikan tindakan penyidikan itu akan dilakukan pada pekan ini.
“Bisa dipastikan dalam waktu dekat ini penyidik menyampaikan kepada saya akan ada tindakan yang akan dilakukan,” kata Tessa kepad wartawan Jumat, 14 Februari 2025.
Akan tetapi, Tessa belum mau menyebut bentuk tindakan yang dimaksud apakah pemanggilan ulang, penahanan, atau penjemputan paksa terhadap Ita dan Alwin Basri.
“Ditunggu saja nanti, saya belum bisa buka saat ini. Bisa jadi (tindakannya) pekan depan,” ujar Tessa.
Selain Ita, di hari yang sama penyidik juga akan memanggil satu kader PDIP lainnya yakni Hasto Kristiyanto. Dia akan diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan.
Tessa memastikan surat panggilan sudah dikirim kepada Hasto. Sebelumnya, Hasto mangkir dari agenda pemeriksaan pada Senin, 17 Februari 2025. Dia tidak mau hadir di kantor KPK dengan alasan sedang mengajukan praperadilan kedua di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
“Sudah (surat panggilan dikirim ke Hasto). Kamis (pemeriksaan),” kata Tessa dalam keterangannya, Selasa, 18 Februari 2025.
KPK Sebut Praperadilan Tidak Bisa Jadi Alasan Hasto Mangkir
Tessa menegaskan proses praperadilan berbeda dengan tindakan penyidikan yang dilakukan KPK. Oleh karena itu, praperadilan bukan alasan yang patut dan wajar bagi Hasto untuk tidak menghadiri agenda pemeriksaan sebagai tersangka.
“Proses praperadilan berbeda dengan proses penyidikan yang ditangani oleh aparat penegak hukum, baik itu di KPK, di Kepolisian maupun di Kejaksaan,” ucap Tessa.
Senada dengan Tessa, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak juga menyatakan, adanya permohonan praperadilan tidak bisa menghalangi pemeriksaan terhadap Hasto. Kecuali hakim memerintahkan KPK untuk menunda pemeriksaan hingga ada putusan final.
“Kalau menurut ketentuan hukum, adanya praperadilan tidak menghalangi proses pemeriksaan kecuali ada penetapan hakim praperadilan yang menyatakan agar pemeriksaan perkara yang dimohonkan praperadilan ditunda sampai dengan adanya putusan,” kata Johanis Tanak dalam keterangannya, Senin, 17 Februari 2025.
Tanak menuturkan, sebagai warga negara yang baik, Hasto Kristiyanto seharusnya hadir memenuhi panggilan penyidik. Menurutnya, jika tidak ada panggilan pemeriksaan selama proses praperadilan bukan berarti upaya hukum yang ditempuh Hasto menghalangi proses penyidikan di KPK.
“Kalaupun penyidik tidak memanggil dan memeriksa, itu semata-mata untuk menghormati jalannya proses sidang prapid saja agar dapat berjalan lancar,” ucap Tanak.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-
/data/photo/2025/02/18/67b4aa692ffb8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Eks Staf Laporkan Dugaan Suap Pemilihan Pimpinan DPD ke KPK
Eks Staf Laporkan Dugaan Suap Pemilihan Pimpinan DPD ke KPK
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Seorang mantan staf di Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Muhammad Fithrat Irfan
melaporkan kasus
dugaan suap
terkait pemilihan
Ketua DPD
periode 2024-2029 ke
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Irfan mengaku melaporkan mantan atasannya, dalam hal ini senator asal Sulawesi Tengah (Sulteng) berinisial RAA, yang diduga menerima suap dalam proses pemilihan Ketua DPD.
“Saya melaporkan salah satu anggota DPD asal Sulawesi Tengah inisial RAA. Indikasinya itu beliau menerima dugaan suap untuk kompetisi pemilihan
ketua DPD
dan wakil ketua MPR unsur DPD. Itu melibatkan 95 orang yang ada, anggota dewan yang ada di DPD dari 152 totalnya,” kata Irfan bersama kuasa hukumnya, Aziz Yanuar, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Irfan mengatakan, seorang anggota DPD diduga mendapat 13.000 Dollar Amerika Serikat (AS), di mana uang sebesar 5.000 Dollar AS untuk memberikan suara pada pemilihan ketua DPD, sementara 8.000 Dollar AS lainnya untuk pemilihan wakil ketua MPR dari unsur DPD.
“Untuk Ketua DPD RI itu ada nominal 5.000 Dollar AS per orang dan untuk wakil ketua MPR itu ada 8.000 Dollar AS. Jadi ada 13.000 Dollar AS total yang diterima (mantan) bos saya,” ujarnya.
Irfan menjelaskan, pemberian uang dilakukan secara
door to door
ke tiap ruangan anggota DPD. Kemudian, uang suap itu disetorkan ke rekening bank.
“Saya berempat semuanya, saya, Saudara RAA bos saya, ada dua perwakilan yang dititipkan dari ketua DPD yang terpilih ini. Nah, itu diposisikan sebagai
bodyguard
. Satu
bodyguard
, satu
driver
untuk mengawal uang ini biar enggak bisa tertangkap OTT di jalan. Jadi uang itu ditukarkan dengan suara hak mereka untuk memilih salah satu dari pasangan calon ini,” ucap dia.
Secara terpisah, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, pihaknya tidak memiliki akses untuk mengetahui laporan yang diadukan ke Pelayanan Laporan Pengaduan Masyarakat (PLPM) karena bersifat rahasia.
Namun, Tessa mengatakan, laporan tersebut biasanya akan diverifikasi terlebih dahulu.
“Secara umum, pelaporan yang masuk akan diverifikasi, telaah, dan pulbaket terlebih dahulu. Dan akan dinilai apakah ada yang perlu dilengkapi dari pelapor atau bisa ditindaklanjuti ke tahap Penyelidikan,” kata Tessa saat dihubungi, Selasa (18/7/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Satori Akui Sudah Terbuka Saat Diperiksa KPK Soal Kasus Dana CSR BI
Jakarta, Beritasatu.com – Anggota DPR Satori (S) mengakui telah mengungkapkan semua informasi diketahuinya alias terbuka saat diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (18/2/2025). Pemeriksaan tersebut kasus dugaan korupsi dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI).
Satori meninggalkan ruang pemeriksaan Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 18.56 WIB. Saat ditanya awak media mengenai materi pemeriksaan, ia memilih irit bicara. “Tadi sudah saya ceritakan semua kepada penyidik,” kata Satori.
Namun, ia enggan menjawab soal keterangannya sebelumnya terkait dugaan aliran dana CSR BI kepada Komisi XI DPR. Dia hanya menegaskan seluruh informasi telah ia sampaikan kepada penyidik. “Sudah saya ceritakan semua ke penyidik,” tegasnya.
Sebelumnya, KPK mengungkap dana CSR BI yang disalurkan kepada Komisi XI DPR mencapai angka triliunan rupiah. “Triliunan ya. Jumlah pasnya nanti ya,” ujar Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur dikutip Rabu (22/1/2025).
KPK saat ini tengah menelusuri keterangan Satori, yang menyebut seluruh anggota Komisi XI DPR menerima korupsi dana CSR BI. Dana tersebut diduga ditampung dalam sebuah yayasan sebelum disalurkan.
“Berdasarkan keterangan dari saudara S, seluruh anggota Komisi XI menerima dana CSR BI. Itu yang sedang kita dalami,” kata Asep.
KPK mendalami kemungkinan penyimpangan dalam penyaluran dana CSR BI. Lembaga antikorupsi ini menemukan indikasi penggunaan dana tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya.
“Kita sudah menemukan dari data-data yang ada, CSR yang diberikan kepada para penyelenggara negara melalui yayasan ini tidak sesuai dengan peruntukkannya,” ungkap Asep.
Namun, KPK juga akan memastikan apakah ada pihak yang benar-benar menggunakan dana CSR BI sesuai amanahnya. “Kalau penerima menggunakan dana CSR sesuai tujuan, seperti membangun sekolah, maka tidak ada penyimpangan. Namun, yang kita peroleh saat ini sudah ada indikasi penyimpangan,” tutur Asep.
Saat ini, KPK masih terus memetakan siapa saja pihak yang terlibat dalam dugaan penyalahgunaan korupsi dana CSR BI.

