Kementrian Lembaga: KPK

  • Survei INDEF: Publik Jenuh dengan Praktik Polisi Rangkap Jabatan Sipil

    Survei INDEF: Publik Jenuh dengan Praktik Polisi Rangkap Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Continuum INDEF menyampaikan hasil survei analisis big data terkait sentimen publik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi melarang anggota polisi mengisi jabatan sipil. Dari hasil survei, publik sudah jenuh dengan isu rangkap jabatan.

    Business Head Continuum INDEF, Arini Astari menjelaskan survei dilakukan dengan mengamati perbincangan di YouTube sebanyak 3.471 dan X sebanyak 8.165. Survei menganalisis sentimen publik, topik perbincangan, dan eksposur perbincangan. Survei telah memfilter akun-akun buzzer dan media sehingga murni opini publik.

    “Publik sudah lama jengah melihat rangkap jabatan yang dianggap mengurangi kesempatan kerja bagi orang lain dan membuka peluang konflik kepentingan,” kata Arini dilansir akun YouTube INDEF, dikutip Senin (24/11/2025).

    Arini menyebut, 16,04% publik memberikan sentimen negatif terhadap putusan MK. Sentimen yang dimaksud adalah mengkritisi putusan MK bahwa larangan rangkap jabatan seharusnya dilakukan untuk kementerian atau lembaga lain.

    Sebab, kata Arini, tidak menutup kemungkinan terjadi kecemburuan antara instansi, lembaga, maupun kementerian karena putusan tersebut. 

    “Publik juga ternyata banyak menyinggung tentang instansi lain seperti TNI, KPK, DPR, dan BNN. TNI instansi paling banyak disorot setelah kepolisian dengan tuntutan agar prinsip yang sama larangan rangkap jabgan sipil juga diberlakukan,” ujarnya.

    Survei juga menghasilkan bahwa 83,96% Publik menyampaikan sentimen positif terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang anggota polisi mengisi jabatan sipil atau rangkap jabatan.

    Arini menjelaskan, putusan MK sekaligus memperkuat supermasi sipil dan mendorong putusan segera dilaksanakan.

    Publik juga menilai putusan menekan angka konflik kepentingan di tubuh lembaga atau kementerian dan memperjelas batas antara fungsi penegakan hukum dan jabatan administratif.

    “Banyak warga net mengaitkan putusan ini dengan harapan tata kelola negara yang lebih sipil, transparan, dan akuntabel,” pungkasnya.

  • Rektor Universitas Paramadina Soroti Memburuknya Penegakan Hukum: ‘Pengadilan Sesat’

    Rektor Universitas Paramadina Soroti Memburuknya Penegakan Hukum: ‘Pengadilan Sesat’

     

    Jakarta (beritajatim.com) — Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, kembali menyoroti kondisi penegakan hukum di Indonesia yang menurutnya kian menunjukkan tanda-tanda judicial misconduct atau pengadilan sesat.

    Ia menyebut kasus hukum yang menimpa jajaran direksi PT ASDP Indonesia Ferry sebagai contoh nyata kekeliruan proses peradilan yang dapat merusak ekosistem ekonomi nasional.

    Prof. Didik menegaskan bahwa sistem hukum idealnya menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi, memberikan kepastian kontrak, penegakan aturan yang adil, serta proses peradilan yang dapat diprediksi. Namun, ia melihat situasinya kini berbalik.

    “Ketika seorang eksekutif BUMN terpidana tidak menerima aliran uang satu sen pun, tidak pernah dilakukan audit dari BPK atau BPKP perihal kerugian negara (bahkan keuntungan perusahaan meningkat), tidak ada mens rea dari para terpidana, dan hanya dikategorikan lalai pada putusan PN, lalu divonis sebagai koruptor. Pengadilan seperti ini pantasnya disebut pengadilan apa? Sudah banyak para ahli sampai awam yang menjawab di publik, itu adalah pengadilan sesat,” tegasnya.

    Kasus ASDP Dinilai Mengacaukan Ekosistem Bisnis

    Menurut Prof. Didik, kondisi seperti ini menimbulkan ketakutan para pelaku usaha dan profesional yang kini cenderung menahan investasi dan enggan mengambil keputusan strategis.

    Ia menjelaskan bahwa direksi ASDP melakukan aksi korporasi berupa akuisisi perusahaan sejenis untuk meningkatkan kapasitas layanan penyeberangan. Langkah tersebut, kata Prof. Didik, berhasil dan terbukti meningkatkan pelayanan bagi masyarakat.

    “Laba ASDP meningkat hingga Rp637 miliar pada 2023, tertinggi sepanjang sejarah perusahaan, ASDP masuk peringkat 7 BUMN terbaik di Indonesia, tidak ada aliran dana mencurigakan, sebagaimana ditegaskan KPK, PPATK tidak menemukan transaksi korupsi, BPK sudah melakukan audit dengan opini Wajar Dengan Pengecualian hanya untuk dua kapal dengan opportunity loss sekitar Rp4,8–10 miliar,” paparnya.

    Namun ia menilai proses hukum justru memutarbalikkan fakta dengan mengkategorikan pembelian kapal sebagai “besi tua” dan menyimpulkan adanya kerugian negara Rp1,25 triliun.

    Angka tersebut, kata Prof. Didik, “absurd” mengingat BPK hanya menemukan opportunity loss maksimal Rp10 miliar.

    “Aksi korporasi seperti ini sudah dipermasalahkan dengan kaca mata hukum yang picik sehingga akan banyak CEO di masa mendatang tidak akan melakukan apa pun karena takut menghadapi aparat hukum yang naif,” ujarnya.

    Soroti Melemahnya KPK dan Intervensi Politik

    Prof. Didik juga menyebut kerusakan penegakan hukum telah merambat lebih luas. Ia menilai aparat hukum banyak yang korup, proses peradilan rentan intervensi politik, dan lembaga-lembaga penegak hukum melemah.

    “Sejak Jokowi dan kekuatan politik di sekitarnya mencabik-cabik KPK, maka wajah lembaga hukum yang lahir dari rahim reformasi ini sudah compang-camping dan penuh culas karena bersekutu dengan kepentingan-kepentingan picik,” ungkapnya.

    Ia mengingatkan bahwa skor rule of law Indonesia yang hanya 0,52 (skala 0–1) menjadi indikator serius bahwa sistem hukum belum mampu menopang agenda ekonomi nasional, termasuk yang hendak dijalankan Presiden Prabowo Subianto.

    Peringatan Soal Risiko Anarki Hukum

    Prof. Didik menegaskan bahwa pengadilan seharusnya tidak mencampuradukkan keputusan bisnis dengan tindak kriminal.

    “Pengadilan tidak boleh mencampuradukkan keputusan bisnis yang mengandung risiko dengan kriminalitas. Jika dibiarkan, kita akan menghadapi anarki hukum di masa depan,” pungkasnya. (ted)

     

  • GENTA Indonesia Peringatkan Risiko Korupsi dari Rekomendasi Pelepasan Aset EV Pertamina di Surabaya

    GENTA Indonesia Peringatkan Risiko Korupsi dari Rekomendasi Pelepasan Aset EV Pertamina di Surabaya

    Surabaya (beritajatim.com) – Aktivis ’98 yang tergabung dalam Gerakan Nasional Penyelamat Aset dan Anti-korupsi Indonesia (GENTA Indonesia) meluncurkan seruan aksi dan kajian strategis terkait penyelesaian sengketa lahan Eigendom Verponding (EV) Pertamina di Surabaya.

    Mereka menilai rekomendasi pelepasan aset negara menjadi hak milik (SHM) membawa risiko politik, hukum, dan korupsi yang sangat besar.

    Koordinator GENTA Indonesia, Trio Marpaung, menegaskan bahwa status lahan EV 1305 dan EV 1278 telah berubah menjadi aset negara sejak nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda melalui Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958.

    Menurutnya, sekalipun Pertamina lalai mengubah status lahan sesuai ketentuan modern pasca UUPA 1960, tanah tersebut tetap menjadi aset negara yang tidak otomatis dapat dimiliki warga.

    “Tanah tersebut tidak otomatis menjadi milik warga yang menduduki, melainkan harus menunggu keputusan negara untuk redistribusi,” tegasnya, Minggu (23/11/2025).

    Peringatan kepada Presiden Prabowo: Jangan Buka “Kotak Pandora”

    GENTA Indonesia meminta Presiden Prabowo Subianto agar tidak tergesa-gesa menanggapi desakan politik jangka pendek terkait penyelesaian sengketa EV.

    Trio Marpaung menyampaikan bahwa pemberian SHM kepada warga di atas aset Pertamina berpotensi membuka efek domino secara nasional.

    “Kami sangat menghargai niat baik Presiden untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat. Namun jika dilakukan secara gegabah, misalnya melalui skema hibah atau pemberian SHM gratis, akan memicu risiko hukum dan politik besar yang bisa menjatuhkan marwah Presiden,” ujar Trio.

    Ia menambahkan bahwa keputusan melepas aset Pertamina bisa menjadi preseden bagi jutaan hektare tanah milik PT KAI, PTPN, Pelindo, hingga TNI yang saat ini ditempati masyarakat.

    “Jika tanah Pertamina dilepas, seluruh pendudukan di tanah aset negara akan menuntut hal serupa. Presiden akan dicatat sejarah sebagai pemimpin yang meruntuhkan aset strategis negara. Tapi kami percaya Presiden tidak akan terjebak dalam hal ini,” lanjutnya.

    Risiko Kerugian Negara hingga Rp 267 Triliun

    Dalam kajian GENTA Indonesia, total luas lahan sengketa mencapai 534 hektare. Dengan asumsi nilai tanah Rp 50 juta per meter persegi, negara berpotensi mengalami kerugian fantastis mencapai Rp 267 triliun. Bahkan pada asumsi paling rendah, Rp 10 juta/m², potensi kerugian tetap berada di angka Rp 53,4 triliun.

    Trio Marpaung juga mengungkap adanya indikasi keterlibatan pengembang dan spekulan yang diduga ingin mengambil keuntungan besar melalui skema legalisasi massal SHM.

    “Kami mencermati bahwa kasus ini bukan hanya melibatkan warga miskin, tetapi juga pengembang yang mencoba menguasai tanah negara dengan harga murah. Kami mendesak aparat untuk menginvestigasi dugaan pejabat yang paling getol mendorong pelepasan SHM, namun justru memiliki properti di lokasi sengketa,” tegas Trio.

    Kritik untuk Wali Kota Surabaya

    GENTA Indonesia turut menyoroti peran aktif Wali Kota Surabaya dalam mendampingi warga. Mereka menilai sikap tersebut kontradiktif karena Pemerintah Kota Surabaya selama bertahun-tahun justru menghambat ribuan warga dalam menaikkan status Surat Ijo menjadi SHM.

    “Yang dilakukan Wali Kota Surabaya itu sungguh ironi. Surabaya satu-satunya daerah yang masih ngotot mempertahankan Surat Ijo. Jelas sekali ini tidak fair,” ujar Indra Agus, Sekjen Forum Aktivis ’98 Jatim.

    Keputusan RDP Dianggap Berbahaya

    Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang melibatkan Komisi II DPR RI, Pemkot Surabaya, FATWA, BPN, dan Pertamina telah menghasilkan rekomendasi pelepasan hak, pembukaan blokir aset, dan delisting. Namun GENTA Indonesia menilai implementasi rekomendasi tersebut rawan menjadi ladang korupsi.

    “Jika aset negara dilepas tanpa filter ketat, ini bukan lagi soal risiko, tapi desain korupsi yang sempurna,” jelas Trio.

    GENTA Indonesia menguraikan tiga fase rawan korupsi: pra-pelepasan, proses pelepasan, dan pasca-pelepasan, yang disebut dapat dimanfaatkan spekulan dan oknum pejabat.

    Dasar Hukum yang Menguatkan Status Aset Negara

    GENTA Indonesia menegaskan bahwa lahan EV Pertamina merupakan aset negara berdasarkan tiga undang-undang:

    UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda.
    UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
    UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

    Dengan demikian, pelepasan aset negara tanpa prosedur hukum yang benar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

    Empat Seruan GENTA Indonesia kepada Pemerintah

    Dalam pernyataannya, GENTA Indonesia menyampaikan empat tuntutan resmi:

    Presiden RI diminta menolak skema pelepasan SHM atas aset pertamina EV di Surabaya.
    KPK dan Kejaksaan Agung diminta melakukan investigasi mendalam terkait data warga penghuni lahan.
    Menolak praktik “serakahnomics” yang memanfaatkan warga untuk kepentingan pihak tertentu.
    Mendesak Presiden untuk menerbitkan Keppres skema HGB di atas HPL sebagai solusi legal tanpa mengorbankan aset negara.

    Trio menegaskan bahwa Presiden hanya perlu menjamin legalitas hunian, bukan memberikan hak kepemilikan atas aset negara.

    “Pemberian HGB atau Hak Pakai adalah solusi fundamental yang akan menyelamatkan martabat Presiden dari jerat hukum dan melindungi aset vital BUMN dari efek domino kerugian,” pungkasnya. (ted)

     

  • INDEF: 83,96% Publik Puji Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil

    INDEF: 83,96% Publik Puji Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Survei yang dilakukan Continuum INDEF menyebutkan 83,96% Publik menyampaikan sentimen positif terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota polisi mengisi jabatan sipil atau rangkap jabatan.

    Metode survei menyasar sentimen publik di media sosial X sebanyak 8.165 perbincangan dan YouTube sebanyak 3.471 perbincangan. Survei menggunakan analisis eksposur perbincangan, analisis sentimen, dan analisis topik perbincangan. Waktu survei berlangsung 13-17 November 2025.

    Business Head Continuum INDEF, Arini Astari menjelaskan, dalam pelaksanaan survei telah menyingkirkan akun buzzer dan akun media sehingga sehingga memperoleh opini publik yang organik.

    “Dari sisi sentimen, ada 83,96% percakapan bernada positif terhadap putusan MK. Sementara 16,04% ini bernada negatif. Jadi ini menunjukkan publik secara umum mengapresiasi putusan ini terutama di tengah krisis kepercayaan terhadap kinerja pemerintah dan praktik rangkap jabatan yang dinilai merusak tata kelola birokrasi,” katanya dikutip akun YouTube INDEF, Minggu (23/11/2025).

    Arini menjelaskan, apresiasi publik tidak lepas dari banyaknya kasus rangkap jabatan di berbagai instansi. Selain itu, putusan MK sekaligus memperkuat supremasi sipil dan mendorong putusan segera dilaksanakan.

    Publik juga menilai putusan menekan angka konflik kepentingan di tubuh lembaga atau Kementerian pelat merah dan memperjelas batas antara fungsi penegakan hukum dan jabatan administratif.

    Pada sisi sentimen negatif, mengkritik bahwa putusan ini seharusnya diberlakukan untuk instansi lainnya, kemudian berpotensi memicu kecemburuan antar instansi, serta banyak masyarakat yang sudah jengah dengan praktik rangkap jabatan.

    “Publik sudah lama jengah melihat rangkap jabatan yang dianggap mengurangi kesempatan kerja bagi orang lain dan membuka peluang konflik kepentingan dan di sini perlu kita pahami bersama bahwa narasi kritis ini penting diberitakan bukan sebagai penolakan keputusan, tetapi sebagai dorongan agar reformasi tidak berhenti di satu institusi saja,” jelas Arini.

    Adapun publik mendesak agar rangkap jabatan juga tidak terjadi di TNI, KPK, DPR, dan BNN.

  • KPK Beberkan Penyebab Akuisisi PT JN oleh ASDP Rugikan Negara Rp1,25 triliun

    KPK Beberkan Penyebab Akuisisi PT JN oleh ASDP Rugikan Negara Rp1,25 triliun

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengemukakan alasan kerugiaan negara di kasus korupsi proses akuisisi kapal PT Jembatan Nusantara (PT JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).

    Salah satu pihak yang terseret dalam kasus ini adalah mantan Dirut ASPD, Ira Puspadewi periode 2017-2024. Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan sebagaimana putusan pengadilan bahwa akuisisi mengakibatkan kerugian negara senilai Rp1,25 triliun.

    Budi menjelaskan, nilai kerugian yang besar merupakan selisih antara harga transaksi dengan nilai yang diperoleh PT ASDP. Pernyataan ini sekaligus menepis isu di masyarakat yang membela Ira karena dinilai telah menguntungkan PT ASDP dari proses akusisi tersebut.

    “Kerugian negara yang terjadi merupakan dampak dari perbuatan melawan hukum dalam proses akusisi termasuk diantaranya pengkondisian proses dan hasil penilaian Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang melakukan valuasi kapal dan valuasi perusahaan secara keseluruhan,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Minggu (23/11/2025).

    Budi menyampaikan bahwa pengkondisian akusisi diketahui oleh Direksi PT ASDP, sedangkan nilai valuasi saham disesuaikan dengan keinginan Direksi, termasuk penentuan Discount on Lack of Marketability (DLOM) yang lebih rendah dari opsi yang tersedia.

    Lembagai antirasuah juga menilai akuisisi kapal terjadi ketika kondisi kesehatan keuangan PT JM mengalami kontraksi berupa menurunnya rasio profitabilitas, serta macetnya kemampuan penyelesaian kewajiban lancar atau rasio likuiditas.

    “Hal tersebut tidak menjadi pertimbangan Direksi dan tidak dievaluasi bersama dengan konsultan due diligence untuk menilai kelayakan akuisisi,” lanjut Budi.

    PT JN memiliki utang sebesar Rp580 miliar. Budi menuturkan bahwa proses dan hasil due diligence tidak berlangsung objektif sehingga berdampak pada harga transaksi yang terlalu mahal.

    Terlebih, kata Budi, 95% kapal yang diakuisisi berusia di atas 30 tahun yang nilai bukunya telah dinaikkan sehingga memengaruhi biaya pemeliharaan kapal hingga transaksi pembelian kapal antar afiliasi tanpa transaksi pembayaran riil.

    Budi menambahkan, berdasarkan penghimpunan data, investasi ini dianggap tidak layak karena seperti mengejar keuntungan 4,99% dengan modal yang bunganya sebesar 11,11%.

    “Perhitungan nilai saham perusahaan PT JN oleh Tim AF dengan menggunakan metode pendapatan atau discounted cash flow atas dasar data tersebut menghasilkan nilai saham PT JN sebesar -383 miliar. Sementara dengan metode asset bersih atau net asset yang akhirnya digunakan dalam Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atau PKKN ini, nilai saham PT JN sebesar -96,3 miliar,” jelasnya.

    Pihaknya juga menjelaskan adanya kewajiban PT JN tersebut juga berdampak kepada PT ASDP dimana PT ASDP harus memberikan shareholder loan kepada PT JN agar PT JN mampu untuk melunasi sebagian kewajibannya.

    “Dengan nilai saham/perusahaan negatif tersebut (sejalan dengan hasil analisis), maka jika ada pembayaran atas pengambil alihan saham PT JN, kerugian tidak hanya sebesar nilai pembayaran tersebut namun ditambahkan dengan nilai negatif saham, yakni sebesar Rp96,3 miliar,” pungkas Budi.

  • KPK Tegaskan Korupsi ASDP Terkait Ira Puspadewi Rugikan Negara Rp 1,25 T

    KPK Tegaskan Korupsi ASDP Terkait Ira Puspadewi Rugikan Negara Rp 1,25 T

    KPK Tegaskan Korupsi ASDP Terkait Ira Puspadewi Rugikan Negara Rp 1,25 T
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa kasus korupsi Kerja Sama Usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019-2022 terbukti menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 1,25 triliun.
    Juru Bicara
    KPK
    , Budi Prasetyo, mengatakan fakta tersebut disampaikan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atau Pengadilan Tindak Pidana
    Korupsi
    (Tipikor) dalam sidang putusan pada Kamis, 20 November 2025.
    “Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa Terdakwa Saudari
    Ira Puspadewi
    , selaku Direktur Utama
    PT ASDP
    periode 2017–2024, terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kerja sama akuisisi PT JN oleh PT ASDP. Atas perbuatan tersebut, menimbulkan kerugian keuangan negara senilai Rp 1,25 triliun,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Minggu (23/11/2025).
    Budi menjelaskan bahwa kerugian negara yang terjadi merupakan dampak dari perbuatan melawan hukum dalam proses akuisisi, termasuk pengkondisian proses dan hasil penilaian Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang melakukan valuasi kapal dan valuasi perusahaan secara keseluruhan.
    “Pengkondisian kapal tersebut terjadi atas sepengetahuan Direksi PT ASDP, sementara nilai valuasi saham/perusahaan, KJPP menyesuaikan dengan ekspektasi Direksi ASDP, termasuk penentuan Discount on Lack of Marketability (DLOM) yang lebih rendah dari opsi yang tersedia,” ujarnya.
    Budi mengatakan bahwa selain tidak terlihat dari perubahan versi kertas kerja penilaian, perbandingan nilai kapal serupa dengan kapal PT ASDP yang setara ukuran dan usianya, serta asumsi yang digunakan konsultan, terdapat pula bukti percakapan para pihak yang menguatkan fakta pengkondisian tersebut.
    Selain itu, kondisi kesehatan keuangan PT Jembatan Nusantara atau JN sebagai perusahaan yang diakuisisi dalam periode sebelum diakuisisi (2017-2021) menunjukkan tren menurun, yang terlihat dari rendahnya dan semakin menurunnya rasio profitabilitas atau Return on Assets, serta kemampuan penyelesaian kewajiban lancar atau rasio likuiditas, yang sering disebut dengan istilah
    current ratio
    .
    “Hal tersebut tidak menjadi pertimbangan Direksi dan tidak dievaluasi bersama dengan konsultan
    due diligence
    untuk menilai kelayakan akuisisi,” tuturnya.
    Di sisi aset, Budi mengatakan bahwa lebih dari 95 persen nilai aset merupakan kapal berusia di atas 30 tahun yang nilai bukunya sudah dinaikkan sehingga
    overstated
    melalui skema akuntansi kapitalisasi biaya pemeliharaan, revaluasi nilai kapal, dan transaksi pembelian kapal antar-afiliasi tanpa transaksi pembayaran riil.
    KPK mengatakan bahwa di sisi kewajiban, masih terdapat utang bank sebesar Rp 580 miliar pada saat menjelang akuisisi.
    Dia mengatakan bahwa, selain berdasarkan analisis laporan dan data keuangan PT JN, masalah keuangan yang dihadapi PT JN tersebut juga diketahui dalam percakapan antara Manajer Akuntansi dan Keuangan PT JN dengan atasannya.
    “Proses dan hasil
    due diligence
    yang tidak obyektif tersebut tidak hanya berdampak pada harga transaksi yang kemahalan, justru pertimbangan bisnis akuisisi juga turut menjadi tanda tanya,” kata dia.
    Budi juga mengatakan bahwa, berdasarkan data-data aktual, keputusan investasi ini secara realistis tidak layak, karena sama saja seperti mengejar keuntungan sebesar 4,99 persen, dengan menggunakan modal yang tingkat bunganya sebesar 11,11 persen.
    “Kerugian akan semakin menggulung di masa depan,” ujar Budi.
    Budi mengatakan bahwa perhitungan nilai saham perusahaan PT JN oleh Tim AF dengan menggunakan metode pendapatan atau
    discounted cash flow
    atas dasar data tersebut menghasilkan nilai saham PT JN sebesar -383 miliar.
    Sementara dengan metode aset bersih atau net asset yang akhirnya digunakan dalam Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) ini, nilai saham PT JN menjadi sebesar -96,3 miliar.
    Adapun perhitungan
    net asset
    tersebut dilakukan dengan mengurangkan total aset dan total kewajiban PT JN setelah nilai kapal PT JN disesuaikan dengan valuasi ahli teknik perkapalan.
    “Dengan nilai saham/perusahaan negatif tersebut (sejalan dengan hasil analisis), maka jika ada pembayaran atas pengambilalihan saham PT JN, kerugian tidak hanya sebesar nilai pembayaran tersebut namun ditambahkan dengan nilai negatif saham, yakni sebesar Rp 96,3 miliar,” kata dia.
    Lebih lanjut, Budi mengatakan bahwa dalam akuisisi PT JN oleh PT ASDP, yang didapatkan oleh PT ASDP tidak hanya aset yang dimiliki oleh PT JN, tetapi juga termasuk kewajiban PT JN seperti utang bank, utang pembiayaan, utang usaha, dan lainnya.
    Sehingga, kata dia, nilai sebesar Rp 19 miliar bukanlah nilai kapal, melainkan nilai perusahaan setelah dikurangi kewajiban-kewajiban yang harus ditanggung oleh manajemen PT JN sebagai anak perusahaan PT ASDP.
    Budi mengatakan bahwa kewajiban PT JN tersebut juga berdampak kepada PT ASDP yang harus memberikan
    shareholder loan
    kepada PT JN agar PT JN mampu untuk melunasi sebagian kewajibannya.
    “Sampai dengan 31 Desember 2024, PT JN masih belum mampu untuk membayar kembali
    shareholder loan
    tersebut kepada PT ASDP. Singkatnya, sampai dengan saat ini PT JN sebagai anak perusahaan PT ASDP masih rugi dan masih punya kewajiban atau utang yang harus dilunasi,” ucap dia.
    Sebelumnya, Eks Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
    Majelis hakim menyatakan bahwa Ira terbukti bersalah dalam kasus korupsi terkait proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.
    “Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara, dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara,” ujar hakim ketua Sunoto saat membacakan amar putusan dalam sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).
    Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi yakni 8,5 tahun penjara.
    Majelis hakim menilai bahwa Ira terbukti memperkaya pemilik PT JN, Adjie, senilai Rp 1,25 triliun melalui proses akuisisi PT JN oleh PT ASDP.
    Meski terbukti memperkaya orang lain atau korporasi, Ira dinilai tidak menerima keuntungan pribadi sehingga tidak dikenakan pidana berupa uang pengganti.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Gali Peran Sesditjen Kemenkes Terkait Kasus Korupsi RSUD Kolaka Timur

    KPK Gali Peran Sesditjen Kemenkes Terkait Kasus Korupsi RSUD Kolaka Timur

    KPK Gali Peran Sesditjen Kemenkes Terkait Kasus Korupsi RSUD Kolaka Timur
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami peran Sekretaris Ditjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Andi Saguni terkait Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC).
    Materi tersebut didalami
    KPK
    saat memeriksa
    Andi Saguni
    sebagai saksi terkait kasus dugaan
    korupsi
    proyek pembangunan
    RSUD Kolaka Timur
    (Koltim), pada Jumat (21/11/2025).
    “Penyidik mendalami saksi AS (Andi Saguni) terkait perannya sebagai Sesditjen dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Win Presiden ini,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Minggu (23/11/2025).
    Selain itu, Budi mengatakan, KPK juga memeriksa Thian Anggy Soepaat selaku staf gudang KSO PT PCP, PT RBM, dan PT PA.
    Dia mengatakan, penyidik mendalami pengetahuan Thian terkait penyerahan uang ke salah satu tersangka kasus korupsi tersebut.
    “Sedangkan saksi TAS (Thian Anggy Soepaat), didalami pengetahuannya terkait penyerahan uang dari pemberi kepada salah satu tersangka dalam perkara ini,” ujar dia.
    Sebelumnya, KPK menetapkan lima tersangka korupsi proyek pembangunan RSUD Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, salah satunya adalah Bupati Abdul Azis.
    “KPK menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan lima orang sebagai tersangka,” kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, Asep Guntur Rahayu, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (9/8/2025) dini hari.
    Berikut adalah lima orang tersangka kasus ini:
    1. Abdul Azis (ABZ) selaku Bupati Kolaka Timur atau Kotim.
    2. Andi Lukman Hakim (ALH) selaku Person In Charge (PIC) atau penanggung jawab Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk Pembangunan RSUD.
    3. Ageng Dermanto (AGD) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek RSUD Koltim.
    4. Deddy Karnady (DK) selaku pihak swasta PT Pilar Cerdas Putra (PCP).
    5. Arif Rahman (AR) selaku pihak swasta Kerja Sama Operasi (KSO) PT PCP.
    Berdasarkan keterangan Asep Guntur Rahayu, Deddy Karnady dan Arif Rahman dari pihak swasta diduga memberi suap.
    “Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” kata Asep.
    Adapun Abdul Azis dan Andi Lukman Hakim adalah pihak penerima suap.
    “Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” kata Asep.
    Para tersangka ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK Gedung Merah Putih.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jerat Hukum Kembali Menanti Nadiem Makarim di Kasus Google Cloud

    Jerat Hukum Kembali Menanti Nadiem Makarim di Kasus Google Cloud

    Bisnis.com, JAKARTA — Perkara dugaan korupsi Google Cloud kembali menjadi sorotan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengemukakan calon tersangka yang merupakan pihak sama ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) di kasus dugaan korupsi pengadaan Laptop Chromebook, yakni Nadiem Makarim (NM).

    Jika menarik mundur, perkara Google Cloud sempat redup dari pemberitaan media massa. Sebab, KPK menyatakan belum bisa menjelaskan secara detail konstruksi perkara karena masih tahap penyelidikan.

    Eks Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) itu terakhir kali diperiksa oleh lembaga antirasuah pada bulan 7 Agustus 2025. Kala itu, dia didampingi Hotman Paris Hutapea.

    Nadiem diperiksa sekitar 9 jam mulai dari 09.20 WIB hingga 18.35 WIB. Usai pemeriksaan, Nadiem mengatakan pemeriksaannya berlangsung lancar dan mengapresiasi KPK dalam pengusutan kasus ini.

    “Tadi baru saja alhamdulillah sudah selesai saya diminta memberikan keterangan mengenai pengadaan Cloud di Kemendikbud. Alhamdulillah lancar saya bisa berikan keterangan dan saya ingin berikan apresiasi sebesar-besarnya kepada KPK juga telah berikan kesempatan untuk melakukan keterangan,” kata Nadiem, Kamis (7/8/2025).

    Nadiem enggan menjawab pertanyaan dari awak media terkait materi pemeriksaan. Dia mengatakan ingin segera menemui keluarga dan langsung bergegas menuju mobil untuk segera meninggalkan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

    Semenjak pemeriksaan itu, KPK tidak memanggil kembali Naidem Makarim. Di sisi lain, Kejaksaan Agung mulai menjalankan penyidikan dugaan korupsi Laptop Chromebook yang turut menyeret Nadiem. 

    Pada dasarnya Google Cloud dan Laptop Chormebook merupakan kasus yang saling beririsan. Google Cloud dari aspek software, sedangkan Laptop Chromebok aspek Hardware.

    Nadiem beberapa kali diperiksa oleh Kejagung untuk dimintai keterangan. Pada Kamis, 4 September 2025, Nadiem ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan Laptop Chromebook.

    Dalam catatan Bisnis, Nadiem keluar dengan mengenakan baju hijau tua yang dibalut dengan rompi pink khas tahanan Kejaksaan RI.

    Usai ditetapkan sebagai tersangka, Nadiem nampak geram serta muka sedikit memerah. Dia menyatakan bahwa dirinya tidak pernah melakukan tindak pidana apapun.

    “Saya tidak melakukan [tindak pidana] apapun. Tuhan akan melindungi saya. Kebenaran akan keluar,” ujar Nadiem di Kejagung, Kamis (4/9/2025).

    Dia terus meneriakkan bahwa tuhan mengetahui kebenaran dalam perkara yang menyeretnya ini. Dia juga menekankan bahwa dirinya menerapkan kejujuran di sepanjang hidupnya selama ini.

    Nadiem melalui kuasa hukumnya mengajukan praperadilan atas status tersangka yang ditetapkan Kejagung.

    Penasihat Hukum Nadiem Makarim, Hana Pertiwi menilai bahwa penyidik Kejaksaan Agung tidak memiliki alat bukti yang cukup dan belum ada laporan kerugian negara dari lembaga yang berwenang untuk menetapkan Nadiem Makarim tersangka dan langsung ditahan.

    “Jadi yang kami permasalahkan itu belum ada 2 alat bukti yang cukup dan belum ada bukti kerugian negara dari lembaga yang berwenang,” tuturnya di PN Jaksel, Selasa (23/9/2025).

    Pada 13 Oktober 2025, sidang praperadilan dilaksanakan. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan untuk menolak permohonan gugatan praperadilan dari mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim

    “Mengadili dan menolak permohonan praperadilan pemohon,” kata Hakim Tunggal I Ketut Darpawan. Darpawan di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (13/10/2025).

    Darpawan menilai penetapan tersangka Tom oleh penyidik Kejagung telah sesuai dengan prosedur dan sah menurut hukum yang berlaku, artinya status tersangka Nadiem tetap sah dan tidak digugurkan.

    Terbaru, Kejagung telah limpahkan tersangka dan barang bukti (tahap II) kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook ke Kejari Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).

    KPK Umumkan Calon Tersangka Google Cloud

    Awak media sempat menanyakan beberapa hal terkait kasus Google Cloud, tapi tidak ada perkembangan yang signifikan. Barulah pada Selasa, 18 November 2025. Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkapkan sosok tersangka di kasus Google Cloud.

    Setyo mengatakan sosok tersangka perkara Google Cloud adalah pihak yang sama ditetapkan oleh Kejagung.

    “Ya, tersangkanya sama,” ujar Ketua KPK Setyo Budiyanto di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (18/11/2025).

    Setyo menyebut para calon tersangka tersebut akan dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung saat KPK menyerahkan penanganan kasus Google Cloud.

    “Tiap pihak yang dimintai pertanggungjawaban dari hasil koordinasi sama, makanya sudah dikoordinasikan, dan nanti proyeksinya akan diserahkan,” katanya.

    Tak hanya itu, Setyo turut mengemukakan bahwa kasus ini akan dilimpahkan ke Kejagung. Pelimpahan juga sekaligus meningkatkan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan. Artinya setelah pelimpahan perkara akan naik ke penyidikan.

    “Dari hasil koordinasi untuk Google Cloud itu, nanti penanganannya akan diserahkan kepada Kejaksaan Agung karena irisannya sangat besar dengan proses Google Cloud yang sudah ditangani oleh Kejaksaan Agung,” ujar Setyo.

    Nama Nadiem begitu kuat sebagai calon tersangka setelah diungkapkan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu.

    Senada dengan Setyo, Asep menyampaikan sosok tersangka adalah pihak yang sama ditetapkan oleh Kejagung. Bahkan Asep menyebut inisial tersangka yaitu NM

    “Cloud ini sama. Ya yang sama itu NM, kemudian stafsusnya,” kata,” kata Asep saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (20/11/2025).

    Kendati demikian, Kuasa Hukum Nadiem, Dodi S. Abdulkadir, membantah kliennya terlibat kasus dugaan korupsi pengadaan Google Cloud. 

    Dodi mengatakan, Nadiem telah menjelaskan kepada penyidik KPK bahwa pengadaan Google Cloud merupakan wewenang pelaksana operasional di Kemendikbudristek, dalam hal ini adalah Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin).

    “Sehingga tidak ada keterlibatan Pak Nadiem sebagai Mendikbudristek saat itu,” kata Dodi dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (23/11/2025).

    Terlebih, kata Dodi, sampai saat ini Nadiem belum dipanggil kembali mengenai kelanjutan kasus Google Cloud oleh KPK. 

    Dodi menilai, dalam kasus Google Cloud keputusan berada ditingkat operasional, bukan tingkat menteri sehingga tidak ada perbuatan hukum dari kliennya.

  • Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara

    Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara

    Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara
    Pemerhati masalah politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan internasional. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.
    BEBERAPA
    bulan terakhir publik sempat menarik napas lega setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang sebelumnya dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara dalam perkara kebijakan impor gula. Meski tidak terbukti memperkaya diri, kebijakan yang ia ambil dinilai merugikan keuangan negara ratusan miliar rupiah.
    Putusan itu memicu kontroversi nasional: apakah seorang pejabat publik harus dipidana meski niatnya adalah menjaga stabilitas pasokan pangan dan mencegah lonjakan harga di tengah ancaman krisis global?
    Di tengah proses banding itu, Presiden Prabowo menggunakan hak prerogatifnya untuk menghentikan penuntutan, yang oleh sebagian pihak dibaca sebagai bentuk koreksi terhadap kekakuan hukum formal.
    Di tengah refleksi publik terhadap kasus Tom Lembong itulah, bangsa ini kembali diguncang oleh vonis 4 tahun 6 bulan penjara terhadap mantan Direktur Utama PT
    ASDP
    Indonesia Ferry,
    Ira Puspadewi
    .
    Vonis tersebut bukan hanya soal satu orang, satu kasus, atau satu keputusan akuisisi korporasi. Ia menjelma menjadi cermin lebih besar tentang cara negara ini memperlakukan para profesional yang bekerja di sektor publik, tentang batas kabur antara risiko bisnis dan tindak pidana korupsi, serta tentang ketakutan baru yang mengancam keberanian melakukan transformasi di tubuh Badan Usaha Milik Negara.
    Kasus ini menjadi perhatian luas setelah konten kreator dan analis kebijakan publik, Ferry Irwandi, membacakan surat pribadi Ira dari balik Rutan KPK. Dalam surat tersebut, Ira menyampaikan kepedihan yang mencabik nalar publik, dimana dirinya divonis meski tidak ditemukan satu rupiah pun aliran dana pribadi dari keputusan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).
    PPATK, KPK, hingga penggeledahan kantor dan rumah tidak menemukan bukti penerimaan pribadi atau indikasi memperkaya diri. Namun hukuman tetap jatuh atas dasar kelalaian yang dianggap menguntungkan pihak lain.
    Paradoks inilah yang membuat peristiwa ini mengguncang kepercayaan publik. Sebab selama kepemimpinan Ira, ASDP mencatatkan laba tertinggi dalam sejarah perusahaan, keluar dari kondisi “mati suri” menjadi perusahaan feri negara yang agresif, modern, dan berdaya saing.
    Transformasi itu tidak tercapai melalui retorika, tetapi melalui keputusan bisnis yang berani dan penuh risiko. Dan di saat keberanian itu membawa keuntungan bagi negara, keterlibatan hukum pidana justru menghentikannya dengan palu vonis.
    Di sinilah ironi terbesar muncul. Aksi korporasi yang didesain untuk memperkuat kemampuan ASDP dalam menjaga layanan publik bagi daerah Terdepan, Tertinggal, dan Terluar kini ditafsirkan sebagai tindakan melawan hukum.
    ASDP selama ini melayani lebih dari 300 lintasan kapal feri, di mana lebih dari 70 % di antaranya merupakan rute rugi, tetapi tetap harus dijalankan demi logistik pangan, obat-obatan, pendidikan, dan stabilitas harga di wilayah 3T.
    Dalam suratnya, Ira menulis, “Kalau ASDP berhenti melayani daerah 3T, harga telur bisa naik tiga kali lipat.” Artinya, setiap keputusan bisnis ASDP tidak semata soal laba, tetapi soal pengabdian dan mandat konstitusional negara.
    Namun keputusan akuisisi PT JN yang bertujuan memperkuat portofolio kapal untuk menjaga keberlanjutan lintasan subsidi, berakhir menjadi dakwaan kerugian negara. Bagian paling janggal terletak pada perbedaan valuasi yang nyaris tak masuk akal. Konsultan internasional seperti Deloitte dan PYC menilai nilai PT JN berada di kisaran Rp 1,2 triliun, sementara auditor KPK menilai nilai perusahaan tersebut hanya Rp 19 miliar.
    Bagaimana mungkin perusahaan dengan pendapatan sekitar Rp 600 miliar per tahun dinilai hanya Rp 19 miliar? Di sinilah letak persoalan mendasarnya. Apakah kita sedang menilai kerugian negara atau sedang memproduksi kerugian logika publik?
    Majelis hakim dalam amar putusannya mengakui tidak ada indikasi motif memperkaya diri maupun aliran dana pribadi. Namun tetap menjatuhkan vonis berdasarkan argumentasi bahwa keputusan tersebut termasuk kelalaian yang menguntungkan pihak lain. Pada titik ini, garis pemisah antara tindak pidana dan risiko manajerial menjadi kabur.
    Jika semua keputusan bisnis harus bebas dari risiko, maka bisnis tidak lagi mungkin dilakukan. Jika pemimpin dipenjara karena keputusan yang memberikan manfaat tetapi berada dalam wilayah interpretasi berbeda, maka tidak ada ruang untuk
    inovasi
    . Dan jika setiap keputusan berani dapat dihadapkan pada ancaman pidana, maka akan jauh lebih aman untuk tidak mengambil keputusan sama sekali.
    Reaksi publik pun terbagi tajam. Aparat penegak hukum menyambut putusan sebagai aksi pemberantasan korupsi, sementara akademisi dan praktisi manajemen justru melihatnya sebagai sinyal berbahaya bagi iklim profesionalisme di
    BUMN
    .
    Salah satu suara paling keras datang dari Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, yang mengaku heran dan sedih. Menurutnya, keputusan akuisisi adalah aksi korporasi yang wajar dan strategis, bukan tindakan kriminal. Ia memperingatkan bahwa keputusan seperti ini akan membuat para profesional terbaik enggan kembali mengabdi pada negara.
    Bayangkan seorang diaspora Indonesia yang sudah sukses di New York diminta pulang untuk membenahi BUMN yang sedang sekarat, mengerahkan kemampuan terbaiknya, menghasilkan laba tertinggi sepanjang sejarah, tetapi kemudian dipenjara karena perbedaan tafsir nilai aset. Apakah setelah menyaksikan kasus seperti ini, masih ada orang yang mau kembali?
    Dampak kasus ini tidak berhenti pada satu tokoh. Ia berpotensi melumpuhkan keberanian para direksi dan pemimpin manajemen di BUMN. Jika setiap aksi transformasi berujung risiko penjara, maka pilihan paling aman adalah bersikap pasif, menjaga status quo, menghindari inovasi, dan membiarkan perusahaan berjalan tanpa arah.
    Akibatnya, BUMN kembali tenggelam dalam pola lama, yaitu bersifat birokratis, lamban, dan tanpa terobosan. Negara akan kehilangan kemampuan bersaing, dan masyarakat akan menjadi korban dari stagnasi itu.
    Kasus ini juga menguji sejauh mana hukum di Indonesia mampu menimbang keadilan substantif di atas keadilan prosedural. Keadilan tidak boleh hanya sebatas aturan hitam di atas putih, tetapi harus mempertimbangkan niat, dampak publik, dan konteks sosial. Kasus Ira adalah contoh nyata dari apa yang pernah digambarkan Lon L. Fuller dalam karyanya
    The Morality of Law
    (1964) sebagai benturan antara aturan hukum yang prosedural dengan moralitas kebijakan publik.
    Fuller mengingatkan bahwa hukum tidak boleh hanya benar secara tekstual dan prosedural, tetapi harus mengabdi pada tujuan moral dan rasionalitas publik. Jika seorang pengambil kebijakan bertindak dalam itikad baik, berlandaskan kepentingan umum dan prinsip tata kelola yang baik, memidana tindakan tersebut justru bertentangan dengan moralitas hukum itu sendiri.
    Dalam teori administrasi publik modern, Michael Lipsky (1980) menjelaskan bahwa kebijakan publik sering lahir di zona abu-abu, di tengah kondisi tekanan dan kompleksitas di mana kepatuhan mekanistik terhadap aturan tidak selalu menghasilkan keputusan yang paling baik bagi masyarakat. Para pengambil keputusan publik kerap menghadapi dilemma, memilih tindakan aman secara birokratis, atau mengambil keputusan berisiko demi menyelamatkan kepentingan publik yang lebih besar.
    Karena itu, perlu koreksi terhadap penggunaan hukum pidana yang terlalu mekanistik, sebagai penegasan bahwa hukum tidak boleh melukai akal sehat dan tujuan keadilan substantif. Jika manajemen profesional yang berintegritas dihukum tanpa bukti keuntungan pribadi, maka hukum kehilangan arah moralnya.
    Penegakan hukum anti korupsi memang mutlak penting, tetapi lebih penting lagi kemampuan untuk membedakan korupsi yang nyata dengan kegagalan atau risiko bisnis yang tidak memiliki motif kriminal. Tanpa perbedaan itu, kita mengorbankan esensi pembangunan nasional dan menakut-nakuti para pembawa perubahan.
    Kasus Ira Puspadewi kini telah menjadi metafora perjalanan bangsa. Apakah Indonesia ingin membangun BUMN progresif yang berani mengambil risiko demi kepentingan nasional, atau memilih untuk mengekang transformasi dan memerangkap mereka yang berniat baik? Apakah negara ingin pemimpin visioner yang berlari cepat, atau birokrat penakut yang hanya menjaga keamanan jabatan?
    Peristiwa ini mengajukan pertanyaan paling penting yang harus dijawab bersama: Apakah kita siap kehilangan orang-orang terbaik yang masih berani memperbaiki negeri ini? Jika aksi korporasi dipidana dan inovasi dibalas dengan penjara, maka masa depan BUMN hanya akan berisi ketakutan, bukan keberanian. Dan di titik itu, bangsa ini bukan hanya menghukum seorang individu, tetapi menghukum dirinya sendiri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Dalami Peran Sesditjen Kemenkes pada Kasus Korupsi Pembangunan RSUD Kolaka Timur

    KPK Dalami Peran Sesditjen Kemenkes pada Kasus Korupsi Pembangunan RSUD Kolaka Timur

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa dua saksi perihal kasus dugaan korupsi proyek pembangunan RSUD Kolaka Timur.

    Dari informasi yang dihimpun, saksi petama adalah Andi Saguni (AS) selaku Sekretaris Ditjen Pelayanan Kesehatan 2024 – 2025. Dia didalami terkait perannya di program Quick Win.

    “Penyidik mendalami saksi AS terkait perannya sebagai Sesditjen dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Win Presiden ini,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (22/11/2025).

    Kemudian untuk saksi kedua Thian Anggy Soepaat (TAS) selaku Staf Gudang KSO PT PCP, PT RBM dan PT PA. Dia diperiksa perihal penyerahan uang ke salah satu tersangka.

    “Sedangkan saksi TAS, didalami pengetahuannya terkait penyerahan uang dari pemberi kepada salah satu tersangka dalam perkara ini,” lanjut Budi.

    Keduanya diperiksa di Gedung Merah Putih KPK Jakarta Selatan pada Jumat (21/11/2025).

    Sebagai informasi, program Quick Wins di bidang kesehatan dirancang dalam akselerasi implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, di mana salah satu poinnya adalah menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan gratis, menuntaskan kasus TBC, dan membangun rumah sakit lengkap berkualitas di kabupaten

    Adapun dana alokasi Kemenkes 2025 untuk program peningkatan kualitas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dari tipe D menjadi tipe C mencapai Rp4,5 triliun, diantaranya untuk proyek peningkatan kualitas pada 12 RSUD dengan menggunakan dana Kemenkes dan 20 RSUD yang menggunakan dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan.

    Pada Kabupaten Kolaka Timur mendapatkan DAK Rp126,3 miliar. Namun terjadi kasus dugaan suap penerimaan yang melibatkan Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis karena telah mengatur penentuan perusahan yang akan menggarap proyek tersebut, sehingga dirinya menjadi tersangka

    KPK pun menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yaitu: Pertama, Bupati Koltim periode 2024–2029 Abdul Azis. Kedua, ALH (Andi Lukman Hakim), PIC Kemenkes untuk pembangunan RSUD. Ketiga, AGD (Ageng Dermanto), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek RSUD Koltim. Keempat, DK (Deddy Karnady), pihak swasta dari PT Pilar Cerdas Putra (PT PCP). Kelima, AR (Arif Rahman), pihak swasta dari KSO PT PCP.