Kementrian Lembaga: KPK

  • Update Pejabat Terkaya RI Versi KPK: Widiyanti Putri, Rusdi Kirana, Maruarar 3 Besar

    Update Pejabat Terkaya RI Versi KPK: Widiyanti Putri, Rusdi Kirana, Maruarar 3 Besar

    Bisnis.com, JAKARTA – Pejabat publik atau penyelenggara negara di Indonesia wajib melaporkan harta kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap tahun.

    Laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) merupakan bagian dari upaya negara untuk mewujudkan transparansi dan membentuk budaya antikorupsi di antara penyelenggara negara.

    Langkah ini penting pasalnya korupsi masih akut di kalangan peyelenggara negara. Data KPK, misalnya, mengungkap selama tahun 2024 lalu ada sebanyak 154 kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara baik itu dari legislatif, eksekutif, maupun yudikatif di semua level baik pusat maupun daerah.

    Tak hanya itu, LHKPN bekalangan juga membantu penyidik lembaga antikorupsi untuk memitigasi risiko termasuk menindak penyelenggara negara yang memiliki harta melebihi profil pendapatannya.

    Salah satu kasus yang berhasil ditindak oleh KPK adalah mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Rafael Alun Trisambodo. Pengungkapan kasus Rafael Alun tidak lepas dari proses penelaahan laporan harta kekayaannya. Dia terbukti bersalah dan telah berstatus terpidana.

    Adapun, hingga Sabtu (29/3/2025), dari 416.401 wajib lapor, sebanyak 94,8% penyelenggara negara telah melaporkan LHKPN. Sisanya sebanyak 22.581 atau sekitar 5,42% belum melaporkan LHKPN ke KPK.  

    Di antara penyelenggaran negara yang telah lapor LHKPN, terdapat 10 orang yang diketahui memiliki harta cukup besar.

    Berikut daftarnya per 10 Maret 2025:

    Menteri Pariwisata Widiyanti Putri: Rp5,4 triliun  
    Rusdi Kirana (anggota DPR): Rp2,6 triliun
    Maruarar Sirait (Menteri Perumahan dan Pemukiman): Rp1,5 triliun
    Otto Hasibiuan (Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan): Rp1,5 triliun.
    Menpora Dito Ariotedjo: Rp292,2 miliar
    Yusril Ihza Mahendra: Rp269 miliar
    Wali Kota Palu Hadianto Rasyid: Rp266,6 miliar
    Silmy Karim: Rp229, 2 miliar
    Agus Gumiwang Kartasasmita: Rp193,3 miliar
    Suahasil Nazara: Rp129,7 miliar.

  • KPK Periksa Adik Mantan Jubir Terkait Penggeledahan Visi Law Office

    KPK Periksa Adik Mantan Jubir Terkait Penggeledahan Visi Law Office

    Jakarta, Beritasatu.com – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Fathroni Diansyah Edi (FDE) untuk mengonfirmasi dokumen yang ditemukan dalam penggeledahan di firma hukum Visi Law Office.

    Penggeledahan Visi Law Office dilakukan sebagai bagian dari penyidikan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan tersangka mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL).

    “Pemeriksaan dilakukan terkait beberapa dokumen hasil penggeledahan di kantor Visi Law Office, termasuk dokumen konfirmasi biaya bantuan hukum untuk Syahrul Yasin Limpo dan pihak terkait lainnya,” ujar Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Sabtu (29/3/2025).

    Fathroni Diansyah diketahui merupakan adik dari mantan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah. Febri sendiri sebelumnya menjadi bagian dari tim penasihat hukum SYL bersama pengacara Donal Fariz di Visi Law Office.

    Sebelumnya, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan penyidik menduga Syahrul Yasin Limpo menggunakan uang hasil tindak pidana korupsi untuk membayar jasa hukum Visi Law Office.

    “Visi Law Office direkrut oleh SYL sebagai konsultan hukum saat itu. Kami menduga uang hasil tindakan korupsi SYL digunakan untuk membayar jasa tersebut,” ujar Asep dalam konferensi pers, Kamis (27/3/2025).

    Atas dasar dugaan ini, KPK melakukan penggeledahan Visi Law Office pada Rabu (26/3/2025) untuk mengumpulkan bukti tambahan.

    “Kami akan mendalami apakah kontrak antara mereka memang sah atau ada hal-hal lain, seperti penyimpanan dana yang mencurigakan. Semua masih dalam proses penyelidikan,” tambah Asep terkait penggeledahan Visi Law Office.

  • Isu Politik-Hukum Sepekan, Bukber Prabowo hingga Kasus Ridwan Kamil

    Isu Politik-Hukum Sepekan, Bukber Prabowo hingga Kasus Ridwan Kamil

    Jakarta, Beritasatu.com – Sejumlah isu politik dan hukum selama sepekan menjadi perhatian pembaca. Berita buka bersama (bukber) Presiden Prabowo Subianto dengan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka menjadi fokus pembaca.

    Berita politik dan hukum lainnya, KPK yang mulai mengumpulkan bukti dalam kasus dugaan korupsi Bank BJB yang melibatkan Ridwan Kamil, Presiden Prabowo Subianto yang melantik 31 duta besar, lanjutan kasus polisi ditembak TNI di Lampung, hingga polemik UU TNI.

    Isu Politik dan Hukum Sepekan Beritasatu.com

    1. Jokowi Ungkap Isi Pembicaraan dengan Prabowo Saat Bukber di Istana

    Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) mengungkap isi pembicaraannya dengan Presiden Prabowo Subianto saat buka puasa bersama di Istana Merdeka, Jakarta pada Rabu (26/3/2025).

    Menurut Jokowi, pertemuan dengan Prabowo hanya silaturahmi biasa. Ia mengaku keduanya hanya bicara beberapa hal termasuk isu politik.

    Jokowi mengungkapkan pertemuan tersebut berlangsung sekitar dua jam. Jokowi membantah dirinya membahas mengenai Danantara bersama Prabowo.

    2. KPK Kumpulkan Bahan Sebelum Periksa Ridwan Kamil seusai Lebaran

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagendakan pemeriksaan terhadap mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar), Ridwan Kamil (RK) seusai Lebaran tahun ini. Dia hendak dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus pengadaan iklan di lingkungan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJB).

    Disampaikan Tessa, pada prinsipnya tim penyidik KPK mesti memiliki bahan-bahan terlebih dahulu sebelum memeriksa seorang saksi. Bahan tersebut bisa berupa keterangan para saksi lainnya, surat, petunjuk, maupun barang bukti elektronik.

    3. Presiden Prabowo Subianto Resmi Lantik 31 Dubes RI, Ini Nama-namanya

    Selain berita terkait bukber Prabowo dengan Jokowi dan kasus Ridwan Kamil, berita politik dan hukum lainnya yakni Presiden Prabowo Subianto resmi melantik 31 duta besar (dubes) luar biasa dan berkuasa penuh (LBBP) Republik Indonesia di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (24/3/2025).

    Para dubes akan mewakili Indonesia di berbagai kawasan strategis di dunia, termasuk di sejumlah organisasi internasional. Pelantikan dubes didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25/P dan 40/P Tahun 2025 tentang pengangkatan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia.

    4. Kasus Polisi Ditembak di Lampung, Kasad: 2 Prajurit TNI Pasti Dipecat

    TNI AD memastikan dua prajurit TNI AD yang terlibat dalam kasus polisi ditembak di Lampung hingga tewas akan dipecat. Sebanyak tiga polisi tewas saat penggerebekan arena judi sabung ayam, Kampung Karang Manik, Way Kanan, Lampung.

    Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Maruli Simanjuntak menegaskan pemecatan dilakukan karena kedua prajurit tersebut telah menghilangkan nyawa tiga anggota polisi. Namun, ia memastikan proses hukum tetap dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.

    Maruli juga menyampaikan komitmen TNI AD untuk bertindak tegas terhadap prajurit yang melanggar hukum, terutama terkait kasus polisi ditembak di Lampung.

    5. Polemik UU TNI: Perlu Seleksi Transparan Prajurit Duduki Jabatan Sipil

    UU TNI harus diperkuat dengan peraturan teknis untuk memastikan seleksi prajurit aktif yang menduduki jabatan pada 14 kementerian/lembaga benar-benar dilakukan secara demokratis, transparan, dan ketat tanpa mengorbankan supremasi sipil.

    Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan seleksi yang ketat untuk TNI aktif menduduki jabatan sipil perlu diatur secara jelas dalam peraturan teknis.

    Demikian isu politik dan hukum sepekan, di antaranya terkait bukber Prabowo dan Jokowi hingga kasus Ridwan Kamil.

  • Kembali Fitrah dari Korupsi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 Maret 2025

    Kembali Fitrah dari Korupsi Nasional 29 Maret 2025

    Kembali Fitrah dari Korupsi
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    RAMADHAN
    , bulan suci yang oleh banyak orang dianggap sebagai waktu untuk membersihkan diri, menahan hawa nafsu, dan menyaring nurani.
    Di saat jutaan orang menahan lapar dan dahaga sebagai bentuk pengendalian diri, sebagian pejabat negeri ini masih saja rakus, tega mencuri di meja makan rakyat.
    Di ruang-ruang kekuasaan, puasa tak selalu berarti puasa dari kerakusan. Ia tak menghalangi tangan-tangan kotor untuk mencuri, menyogok, dan menjarah uang negara.
    Kita menyaksikan ironi: di saat umat bersimpuh di masjid, ada pejabat yang justru menyusun strategi bancakan anggaran. Di saat masyarakat melafalkan doa dan menahan nafsu, ada pemimpin yang sibuk membagi jatah proyek.
    Ramadhan, mestinya, menjadi ruang kontemplasi bersama: untuk melihat ke dalam, untuk bertanya tentang tanggung jawab kekuasaan, dan untuk kembali kepada fitrah sebagai manusia dan sebagai bangsa.
    Namun, yang terjadi seringkali justru sebaliknya. Simbol-simbol kesalehan dipertontonkan, sementara substansi akhlak ditinggalkan.
    Yang tinggal hanya kosmetik: buka puasa mewah dengan rekanan proyek, sedekah dibarengi pencitraan, dan doa dipakai untuk menutupi kejahatan.
    Korupsi
    , dalam konteks kebangsaan kita hari ini, bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat.
    Dan lebih dari itu, ia adalah tindakan yang mencederai fitrah kemanusiaan: bahwa manusia sejatinya diberi akal untuk menjaga, bukan merusak; diberi amanah untuk melayani, bukan menjarah.
    Jika kita jujur, hampir tidak ada sektor yang bebas dari jeratan
    korupsi
    . Pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, bahkan dana untuk rumah ibadah—semuanya pernah dijamah. Modusnya makin canggih, pelakunya makin lihai, dan hukum sering kali tertinggal jauh di belakang.
    Yang lebih menyedihkan, korupsi tak lagi dipandang sebagai aib. Ia dianggap “wajar”, “risiko jabatan”, atau “bagian dari sistem”.
    Kita hidup dalam realitas yang menyedihkan, di mana pejabat yang jujur dianggap aneh, sementara yang korup dielu-elukan karena “berbagi” kepada konstituen. Ini bukan sekadar krisis integritas, tapi krisis cara pandang.
    Lihatlah bagaimana ironi demi ironi terus terjadi. Seorang pejabat yang tersandung korupsi, tampil tenang di depan kamera, tersenyum saat digiring petugas, dan dalam banyak kasus, tetap dihormati oleh lingkaran politiknya.
    Di luar penjara, para pendukungnya menyanyikan lagu “kriminalisasi”, “dizalimi”, atau “korban politik”. Begitu mudahnya simpati dialihkan, begitu lancarnya ingatan kolektif dikaburkan.
    Sementara itu, lembaga penegak hukum yang semestinya menjadi benteng terakhir, justru pelan-pelan kehilangan gigi.
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dulu digdaya, kini tak ubahnya lembaga administratif. UU KPK yang direvisi pada 2019 menjadi tonggak pelemahan yang sistematis.
    Penyidik-penyidik andal disingkirkan lewat tes yang absurd, dan kasus besar tak lagi digarap dengan daya dobrak seperti dulu.
    Kasus demi kasus pun menguap, atau selesai dengan hukuman ringan. Yang mencuri uang rakyat miliaran rupiah bisa tetap menikmati fasilitas kelas atas.
    Sementara rakyat kecil yang mencuri sandal atau handphone bisa berakhir dalam sel pengap dengan vonis bertahun-tahun. Di sinilah fitrah keadilan benar-benar dirusak.
    Lalu, bagaimana kita kembali kepada fitrah dari korupsi? Jawabannya tidak mudah, tapi juga tidak mustahil.
    Ia memerlukan tiga hal mendasar: pemimpin yang takut pada Tuhan dan hormat pada rakyat, sistem yang menutup celah bagi penyalahgunaan kekuasaan, dan masyarakat yang berani berkata tidak pada suap dan gratifikasi.
    Pertama-tama, kita butuh pemimpin yang menjadikan jabatan sebagai amanah, bukan alat dagang.
    Pemimpin yang tak menumpuk kekayaan selama menjabat. Yang tidak menjadikan proyek sebagai komoditas politik. Yang mengerti bahwa setiap rupiah dalam APBN adalah titipan penderitaan rakyat: petani yang membajak di bawah terik, buruh yang bekerja dari pagi hingga malam, pedagang kecil yang dihantam inflasi.
    Kita juga butuh sistem yang kuat—bukan hanya dari segi regulasi, tapi juga dari segi implementasi.
    Proyek digitalisasi, transparansi anggaran, pelaporan kekayaan pejabat, dan sistem meritokrasi harus dijalankan bukan karena donor asing, tapi karena kesadaran kolektif.
    Kita tak butuh sistem yang sempurna, tapi butuh keberanian untuk menegakkan aturan yang sudah ada.
    Dan yang paling penting: masyarakat harus aktif menjadi pengawas. Jangan diam saat melihat penyimpangan. Jangan ikut arus ketika diminta “uang pelicin”. Jangan bangga mengenal orang dalam.
    Kembali ke fitrah berarti menolak normalisasi korupsi dalam kehidupan sehari-hari.

    Kita perlu menyadari bahwa korupsi bukan hanya soal kerugian negara. Ia merusak sendi-sendi kehidupan.
    Dana pendidikan yang dikorup membuat anak-anak putus sekolah. Dana kesehatan yang diselewengkan membuat warga tak mendapat layanan medis yang layak. Dana bansos yang dikorupsi berarti rakyat kelaparan di tengah pandemi.
    Dan semua itu bermula dari satu hal: nafsu. Nafsu untuk cepat kaya. Nafsu untuk berkuasa terus-menerus. Nafsu untuk mengalahkan semua pesaing tanpa etika.
    Ramadhan datang justru untuk mengajak kita melawan nafsu itu. Untuk mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tak lahir dari harta haram, tapi dari keberkahan yang diraih dengan jalan lurus.
    Sayangnya, pesan ini sering hanya bertahan selama sebulan. Begitu
    Idul Fitri
    tiba, sebagian pejabat kembali sibuk dengan proyek, tender, dan lobi. Uang kembali jadi kompas, bukan nilai. Dan fitrah yang baru saja diraih, hilang dalam sekejap.
    Kita, bangsa yang besar ini, sebenarnya memiliki semua syarat untuk bangkit. Kita punya agama yang kuat, budaya luhur, dan konstitusi yang menjunjung etika. 
    Namun semua itu tak berarti jika kita terus membiarkan korupsi merajalela. Jika kita membiarkan pelaku korupsi bebas melenggang, atau bahkan dipilih kembali dalam jabatan publik.
    Ramadhan harus menjadi momentum untuk membersihkan negeri ini dari penyakit lama yang menahun. Bukan hanya bersih dalam makna spiritual, tapi juga bersih dalam praktik politik, birokrasi, dan hukum.
    Kita tidak bisa berharap pada satu lembaga atau satu tokoh. Gerakan ini harus masif, menyentuh setiap sekolah, kantor pemerintahan, ruang sidang, hingga kampung-kampung.
    Setiap warga adalah bagian dari sistem yang bisa dibersihkan—atau dikotori—oleh pilihan-pilihan kecil mereka.
    Kembali fitrah dari korupsi adalah panggilan zaman. Ini bukan utopia, ini kebutuhan. Karena jika kita terus membiarkan korupsi menggerogoti sendi bangsa, maka cita-cita Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi angka di atas kertas.
    Kita bisa kaya, tapi tidak adil. Kita bisa maju, tapi tidak bermartabat.
    Saatnya kita bertanya dengan jujur: apakah kita masih punya rasa malu? Malu makan dari uang haram? Malu menyalahgunakan kekuasaan? Malu mencederai kepercayaan rakyat?
    Jika kita masih punya rasa malu, maka kita masih punya harapan. Dan dari rasa malu itu, semoga lahir keberanian untuk bersikap. Menolak suap. Membongkar kejahatan. Mengawal kebijakan.
    Dan memilih pemimpin yang tidak hanya tampan di baliho, tapi juga bersih di dompet dan hati.
    Ramadhan akan berlalu. Namun pertarungan melawan korupsi tak boleh berakhir. Kembali ke fitrah bukan hanya soal kembali ke masjid, tapi kembali ke hati nurani.
    Dan nurani yang bersih tahu bahwa mencuri uang rakyat, sekecil apapun, adalah kejahatan terhadap masa depan bangsa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 8 Pasal RUU Polri yang Dinilai Berbahaya dan Kontroversial, Begini Dampaknya

    8 Pasal RUU Polri yang Dinilai Berbahaya dan Kontroversial, Begini Dampaknya

    PIKIRAN RAKYAT – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) tak kalah memicu polemik besar di kalangan masyarakat.

    Belum kering ‘luka’ pengesahan UU TNI dibuktikan dengan masih banyaknya aksi unjuk rasa, kini muncul polemik RUU TNI. Apa saja pasal yang dinilai berbahaya?

    Pada Selasa, 28 Mei 2024, rapat paripurna DPR RI resmi menetapkan RUU ini sebagai usul inisiatif DPR. Sebagaimana pola pengesahan UU TNI, proses pembentukan RUU Polri juga dinilai terburu-buru. Bahkan aturan ini tidak termasuk dalam Prolegnas 2020-2024.

    Koalisi Masyarakat Sipil menilai revisi RUU ini justru akan melanggengkan impunitas dan menjauhkan Polri dari prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.

    RUU ini menimbulkan kekhawatiran akan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di tangan Polri, serta kurangnya pengawasan yang memadai untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.

    Kritik terhadap RUU ini semakin memperlihatkan adanya kebutuhan untuk desain yang lebih adil dan transparan dalam pengaturan institusi Polri.

    Intinya, keputusan tersebut menuai kritik sebab substansi RUU dianggap akan menjadikan Polri sebagai lembaga “superbody” dengan kewenangan yang berlebihan.

    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian, yang dipublikasikan oleh PSHK, mengungkapkan bahwa RUU ini gagal merancang perbaikan fundamental di institusi Polri dan justru memperluas kekuasaan Polri secara tidak proporsional.

    Berikut adalah rincian pasal-pasal dalam RUU yang menjadi kontroversi:

    1. Pengawasan Ruang Siber

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf b dan Pasal 16 Ayat 1 Huruf q

    RUU ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk mengawasi dan mengamankan ruang siber, termasuk penindakan, pemblokiran, atau perlambatan akses.

    Hal ini berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan privasi warga di dunia digital.

    “Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri,” demikian bunyi laporan PSHK, dikutip Jumat, 28 Maret 2025.

    2. Penggalangan Intelijen oleh Polri

    Sorotan: Pasal 16A dan 16B

    Polri diberi kewenangan untuk melakukan penggalangan intelijen, yang berpotensi disalahgunakan karena tidak ada definisi jelas mengenai “kepentingan nasional”.

    Selain itu, Polri juga dapat memeriksa aliran dana dan meminta bahan keterangan dari kementerian dan lembaga lain, yang bisa tumpang tindih dengan lembaga seperti BIN dan PPATK.

    3. Kewenangan Penyadapan Tanpa Izin

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf o

    Pasal ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penyadapan tanpa mekanisme perizinan yang jelas, berbeda dengan KPK yang wajib meminta izin dari Dewan Pengawas. Hal ini dikhawatirkan bisa membuka celah pelanggaran hak asasi manusia.

    4. Intervensi terhadap Penyidikan Lembaga Lain

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf g dan Pasal 16 Ayat 1 Huruf n, o, dan p.

    Polri diberi kewenangan untuk membina teknis PPNS dan penyidik lembaga lain, termasuk KPK, serta memberikan petunjuk dan rekomendasi dalam penyidikan. Ini berpotensi melemahkan independensi lembaga seperti KPK.

    5. Penguatan Pam Swakarsa

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf g

    RUU ini mengatur pembinaan pengamanan swakarsa oleh Polri, yang dikhawatirkan bisa membuka ruang bagi komersialisasi keamanan dan represifitas sipil, mengingat sejarah kelam Pam Swakarsa di masa lalu.

    6. Perpanjangan Usia Pensiun

    Sorotan: Pasal 30 Ayat 2 dan 3

    Pasal ini menetapkan usia pensiun anggota Polri hingga 60 tahun, dan 62 tahun bagi yang memiliki keahlian khusus, bahkan bisa mencapai 65 tahun untuk pejabat fungsional.

    Hal ini dinilai memperlambat regenerasi di internal Polri dan tidak menyelesaikan masalah penumpukan perwira tinggi.

    7. Kewenangan Hukum Nasional dan Smart City

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf e dan Ayat 2 Huruf c

    Polri diberi tugas untuk turut serta dalam pembinaan hukum nasional, yang berpotensi tumpang tindih dengan tugas BPHN.

    Selain itu, Polri juga diberi kewenangan untuk menyelenggarakan smart city bersama pemerintah pusat dan daerah, yang dinilai lebih mengutamakan pendekatan keamanan.

    8. Minimnya Mekanisme Pengawasan

    Sorotan: Pasal 35 hingga Pasal 39

    RUU ini tidak secara tegas memperkuat mekanisme pengawasan eksternal terhadap Polri.

    Dalam Pasal 35 hingga Pasal 39, peran Komisi Kode Etik dan Kompolnas disebut namun tetap diatur lewat Peraturan Presiden atau Peraturan Kepolisian.

    Kedua dasar hukum itu dianggap tidak efektif dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Ridwan Kamil Diperiksa KPK Usai Lebaran, Apakah Berstatus Tersangka?

    Ridwan Kamil Diperiksa KPK Usai Lebaran, Apakah Berstatus Tersangka?

    PIKIRAN RAKYAT – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjadwalkan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Agenda ini berkaitan dengan kasus dugaan korupsi di Bank BJB.

    KPK rencananya akan memanggil Ridwan Kamil setelah momentum perayaan hari raya lebaran Idul Fitri 2025.

    Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika mengonfirmasi hal ini dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis, 27 Maret 2025.

    “Nanti kita tunggu waktunya ya kapan saudara RK akan dipanggil sebagai saksi, tentunya penyidik yang nanti akan memahami timeline-nya,” kata dia, dikutip Jumat, 28 Maret 2025.

    “Yang jelas setelah lebaran, tapi kapannya itu nanti kita akan menunggu,” ujarnya melanjutkan.

    Sebagaimana keterangan Tessa, RK akan dipanggil sebagai saksi dalam kapasitasnya selaku eks Gubernur Jabar saat berlangsungnya kasus.

    Rencana pemanggilan juga sempat disampaikan oleh Plh Harian Direktur Penyidikan KPK, Budi Sokmo, pada Kamis minggu lalu.

    Budi menjelaskan bahwa dalam minggu ini, penyidik akan terlebih dahulu memeriksa pihak internal Bank BJB. Ia juga menyebutkan bahwa penyidik akan mulai menyelidiki pengadaan iklan yang diduga dilakukan secara ilegal.

    “Untuk Pak Ridwan Kamil tentunya akan kita jadwalkan sesegera mungkin setelah saksi-saksi dari internal BJB maupun pihak-pihak vendor yang memenangkan pengadaan tersebut kita selesai lakukan pemeriksaan,” ujarnya.

    5 Tersangka Dugaan Korupsi BJB

    Adapun, lima tersangka kasus korupsi Pengadaan Iklan di Bank BJB di antaranya:

    Yuddy Renaldi (YR) – Mantan Direktur Utama Bank BJB. Widi Hartoto (WH) – Pimpinan Divisi Corporate Secretary Bank BJB. Kin Asikin Dulmanan – Pengendali Agensi Antedja Muliatama dan Cakrawala Kreasi Mandiri. Suhendrik – Pengendali Agensi BSC Advertising dan PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE). Raden Sophan Jaya Kusuma – Pengendali PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB) dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB).

    Dalam konstruksi perkara, Budi mengatakan, kerugian keuangan negara akibat dugaan korupsi pengadaan iklan Bank BJB ini mencapai Rp222 miliar. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • KPK Masih Dalami Sumber Uang yang Disita dari Rumah Djan Faridz

    KPK Masih Dalami Sumber Uang yang Disita dari Rumah Djan Faridz

    KPK Masih Dalami Sumber Uang yang Disita dari Rumah Djan Faridz
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) masih mendalami asal uang yang disita dari rumah eks anggota Dewan Pertimbangan Presiden,
    Djan Faridz
    .
    “Masih didalami,” ujar Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (28/3/2025).
    Hingga saat ini, KPK juga belum membocorkan berapa total uang yang disita dari hasil penggeledahan pada Sabtu (22/3/2025) lalu.
    Namun, Tessa membenarkan penggeledahan Sabtu lalu ini dilakukan untuk mendalami kasus dugaan suap pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR yang menjerat eks calon anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
    Harun Masiku
    , pengacara PDI-P, Donny Tri Istiqomah, dan Hasto.
    “Tidak terinfo jumlahnya. Betul untuk kasus Harun Masiku,” lanjut Tessa.
    Penyidik juga belum menjadwalkan pemeriksaan selanjutnya kepada Djan Faridz.
    Pasalnya, Djan baru diperiksa pada Rabu (26/3/2025).
    “Belum ada jadwal pemanggilan selanjutnya,” kata Tessa lagi.
    Diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut mengamankan uang dalam penggeledahan rumah eks Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Djan Faridz, pada Rabu (22/1/2025).
    “Info terakhir ada uang juga yang diamankan,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika, saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Pusat, Kamis (27/3/2025).
    Namun, Tessa enggan menyebutkan terkait jumlah dan jenis mata uang yang diamankan KPK dalam penggeledahan awal tahun tersebut.
    “Belum tahu saya (berapa jumlah dan jenisnya), tapi infonya ada (diamankan),” imbuh dia.
    Selain uang yang belum diketahui jumlahnya, KPK juga menyita beberapa dokumen dan barang elektronik dari penggeledahan itu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Annisa Mahesa Anak Siapa? DPR Termuda Pertanyakan Manfaat Demo, Separtai dengan Prabowo

    Annisa Mahesa Anak Siapa? DPR Termuda Pertanyakan Manfaat Demo, Separtai dengan Prabowo

    PIKIRAN RAKYAT – Info Annisa Mahesa anak siapa bisa didapat di artikel ini. Ia merupakan Anggota DPR RI termuda yang ternyata satu partai dengan Presiden Prabowo Subianto. Info profil perempuan 23 tahun ini dilengkapi dengan harta kekayaan.

    Belum lama ini, Annisa viral di tengah demo penolakan UU TNI yang baru. Pernyataannya beberapa waktu lalu itu menyebut bahwa diskusi lebih baik daripada demonstrasi yang merupakan kegiatan menyuarakan pendapat secara sah tersebut.

    “Kenapa mesti demo, kenapa nggak diskusi aja. Kalau didemo, aku nggak tahu. Tapi kalau bisa, kita diskusi aja. Dari demo, apakah ada diskusi konkret dan intelektual di antara kita sehingga aku bisa memahami aspirasinya. Aku lebih ingin untuk diskusi secara langsung,” katanya dalam video viral di media sosial X (Twitter) dan Instagram.

    Annisa Mahesa anak siapa? Ini profil Anggota DPR termuda Nama lengkap: Annisa Maharani Alzahra Mahesa TTL: Jakarta, 17 Juli 2001 Partai politik: Gerindra (dipimpin Prabowo Subianto) Orang tua: Desmond Junaidi Mahesa (Anggota DPR 2009-2023) Riwayat pendidikan Annisa Mahesa SMP Kharisma Bangsa Tangerang (2013-2017) SMA Negeri 34 Jakarta (2017-2019) Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI (2019-2021) Bachelor of Commerce University of Melborne (2021-2023) Karier Annisa Mahesa Anggota DPR (2024-sekarang)

    Annisa Mahesa Anggota DPR RI Termuda 23 Tahun, Harta Kekayaan Capai Rp5 Miliar!

    UU TNI Takkan Dicabut meski Unjuk Rasa di Mana-mana? DPR Sebut Rakyat Cuma Salah Paham

    Harta kekayaan Annisa Mahesa

    Berikut harta kekayaan selengkapnya dilansir dari laman e-LHKPN KPK:

    Tanah Seluas 6841 m2 di KAB / KOTA SERANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp684.100.000 Tanah Seluas 17667 m2 di KAB / KOTA SERANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp529.940.000 Tanah Seluas 546 m2 di KAB / KOTA KOTA SERANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp70.000.000 Tanah Seluas 22624 m2 di KAB / KOTA PANDEGLANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp175.000.000 Tanah Seluas 39124 m2 di KAB / KOTA PANDEGLANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp195.620.000 Tanah Seluas 1963 m2 di KAB / KOTA PANDEGLANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp20.000.000 Tanah Seluas 45670 m2 di KAB / KOTA PANDEGLANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp324.285.000 Tanah Seluas 20763 m2 di KAB / KOTA PANDEGLANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp201.000.000 Tanah Seluas 13640 m2 di KAB / KOTA PANDEGLANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp136.400.000 Tanah Seluas 2000 m2 di KAB / KOTA PANDEGLANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp30.000.000
    Tanah Seluas 18010 m2 di KAB / KOTA PANDEGLANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp180.100.000 Tanah Seluas 923 m2 di KAB / KOTA PANDEGLANG, HIBAH TANPA AKTA, Rp25.000.000

    Total tanah dan bangunan: Rp2.571.445.000

    Daftar kendaraan milik Annisa Mahesa MOBIL, LEXUS SEDAN LX570 Tahun 2019, HIBAH TANPA AKTA, Rp2.200.000.000

    Total kendaraan: Rp2.200.000.000

    Daftar harta lainnya milik Annisa Mahesa HARTA BERGERAK LAINNYA: Rp536.500.000 KAS DAN SETARA KAS: Rp562.500.000

    Total harta kekayaan: Rp5.870.445.000

    Demikian info Annisa Mahesa anak siapa, profil, dan harta kekayaan miliknya. Anggota DPR termuda ini mempertanyakan apa manfaat demo, ia mengusulkan lebih baik diskusi untuk menyuarakan pendapat.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • KPK Temukan Uang di Rumah Djan Faridz Saat Cari Bukti Kasus Harun Masiku

    KPK Temukan Uang di Rumah Djan Faridz Saat Cari Bukti Kasus Harun Masiku

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku tim penyidiknya menemukan dan menyita sejumlah uang saat menggeledah rumah bekas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Djan Faridz terkait dengan kasus buron Harun Masiku. 

    Pada Kamis (27/3/2025), Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto mengonfirmasi bahwa uang itu turut ditemukan penyidik di rumah Djan Faridz bersama dengan bukti dokumen maupun elektronik diduga terkait dengan kasus Harun Masiku. 

    “Yang saya bisa jawab dari pertanyaan itu, info terakhir ada uang juga yang diamankan,” ungkapnya kepada wartawan, dikutip Jumat (28/3/2025). 

    Meski demikian, Tessa masih belum memerinci berapa nilai uang yang ditemukan di rumah Djan serta dalam bentuk pecahan mata uang apa. Dia hanya memastikan uang itu kini dijadikan bukti oleh penyidik KPK. 

    Usai penggeledahan yang dilakukan Januari 2025 lalu, KPK belum lama ini telah memeriksa Djan sebagai saksi, Rabu (26/3/2025). Dia diperiksa terkait dengan kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024, untuk tersangka Harun Masiku dan Donny Tri Istiqomah. 

    Pria yang juga mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu pun enggan menjawab pertanyaan wartawan mengenai pemeriksaannya. Baik soal apa yang telah disita penyidik dari rumahnya, maupun kaitan dirinya dengan Harun Masiku. 

    “Tanya sama penyidiknya, kok sama saya, yang meriksa dia,” ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (26/3/2025).

    Untuk diketahui, KPK saat ini masih memburu Harun masiku yang sudah buron sejak 2020 silam. Dia merupakan salah satu tersangka yang ditetapkan pada kasus suap terhadap anggota KPU 2017-2022 Wahyu Setiawan.   

    Pada saat itu, KPK menetapkan Harun dan kader PDIP Saeful Bahri, serta Wahyu dan anggota Bawaslu Agustina Tio Fridelina sebagai tersangka. Namun, hanya Harun yang sampai saat ini belum dibawa ke proses hukum.   

    Pada pengembangan penyidikannya, KPK turut menetapkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan advokat sekaligus kader PDIP Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka. Hasto juga diduga melakukan perintangan penyidikan. Kini, Hasto sudah didakwa di pengadilan. 

  • KPK Sita Duit dari Rumah Djan Faridz Saat Lakukan Penggeledahan

    KPK Sita Duit dari Rumah Djan Faridz Saat Lakukan Penggeledahan

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap ada uang yang disita rumah eks Dewan Pertimbangan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) Djan Faridz yang digeledah Rabu, 22 Januari lalu.

    Temuan ini didapat ketika upaya paksa dilakukan penyidik untuk mencari bukti terkait kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI 2019-2024 yang menyeret Harun Masiku. Hal ini baru disampaikan Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika setelah Djan diperiksa sebagai saksi pada Rabu, 26 Maret.

    “Info terakhir ada uang juga yang diamankan,” kata Tessa kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 27 Maret.

    Meski begitu, Tessa belum bisa memerinci berapa jumlah yang diterima penyidik. “Belum tahu tapi infonya ada (uang, red),” tegasnya.

    Sementara itu, Djan Faridz usai diperiksa tak mau banyak bicara. “Tanya ke KPK,” tegasnya kepada wartawan di lokasi.

    Begitu juga saat disinggung soal penggeledahan rumahnya di Jalan Borobodur, Jakarta Selatan pada 22 Januari lalu. Djan memilih tak banyak bicara dan menyerahkan pada KPK.

    Diberitakan sebelumnya, KPK belum menahan dua tersangka dalam kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024. Mereka adalah Donny Tri Istiqomah selaku pengacara dari PDIP dan Harun Masiku yang masih buron.

    Sedangkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang terseret kasus suap ini sedang menjalani persidangan.

    Dia didakwa melakukan perintangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Jaksa menilai Hasto berperan dalam pelarian Harun saat operasi tangkap tangan (OTT) pada 2020.

    Tak sampai di situ, jaksa juga mendakwa terlibat dalam pemberian suap kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Suap senilai Rp600 juta itu diberikan bersama-sama oleh advokat PDIP Donny Tri Istiqomah, kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio.

    Pemberian ini ditujukan supaya Harun bisa duduk sebagai anggota DPR RI dengan mekanisme pergantian antarwaktu.