Kementrian Lembaga: KPK

  • KPK Baru Temukan Aset Sitaan Kasus PGN (PGAS) US Juta dari Total US Juta

    KPK Baru Temukan Aset Sitaan Kasus PGN (PGAS) US$1 Juta dari Total US$15 Juta

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut pengembalian aset dari penanganan kasus dugaan korupsi jual beli gas antara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. atau PGN (PGAS) dan PT Inti Alasindo Energi (IAE), baru mencapai US$1 juta. 

    Nilai itu setara dengan Rp16,8 miliar sesuai dengan kurs Jisdor Bank Indonesia (BI) Rp16.862 per dolar Amerika Serikat (AS). 

    Sementara itu, total kerugian keuangan negara pada kasus tersebut berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai US$15 juta (atau setara Rp252 miliar). 

    Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, pihaknya saat ini tengah menelusuri aset diduga hasil korupsi tersebut guna upaya pengembalian aset atau asset recovery kasus tersebut. 

    “Hasil perhitungan pengembalian keuangan negara yang sudah terbit ya, dari BPK itu jumlahnya US$15 juta. Sementara saat ini yang baru bisa kita temukan yang lumayan sita, itu baru US$1 juta. Masih ada sekitar US$14 juta. Ini sedang kami dalami,” jelas Asep kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (22/4/2025). 

    Salah satu saksi yang diperiksa oleh KPK terkait dengan pengembalian aset itu adalah Komisaris Utama PT IAE Arso Sadewo, hari ini, Selasa (22/4/2025). 

    Asep mengatakan, saksi Arso diperiksa oleh penyidik guna menemukan ke mana aliran dana uang korupsi US$14 juta itu. Pihak KPK lalu nantinya akan menyita aset-aset yang diduga hasim korupsi jual beli gas antara PGN dan IAE. 

    “Kemana nanti akan kita lakukan upaya paksa untuk mengembalikan aset-aset negara yang seharusnya itu menjadi milik negara, yang saat ini dikorupsi oleh para oknum  tersebut,” jelas perwira tinggi Polri bintang satu itu. 

    Sebelumnya, KPK telah menetapkan dua orang tersangka pada kasus tersebut yaitu Direktur Komersial PGN 2016-2019 Danny Praditya serta Komisaris PT IAE 2006-2023 Iswan Ibrahim. Keduanya sudah ditahan sejak 11 April 2025. 

    Kerugian keuangan negara sebesar US$15 juta itu adalah uang muka yang dibayarkan PGN kepada IAE untuk melakukan pembelian gas. PT Isargas, selalu induk PT IAE, namun menggunakan uang tersebut untuk membayar utang ke sejumlah pihak, alias di luar kebutuhan pasokan gas ke PGN. 

    Pasokan gas PT IAE yang dijual ke PGN berasal dari alokasi gas bumi Husky Cnooc Madura Ltd. (HCML). Rencana penyerapan gas PT IAE itu pada 2017 sebesar 10 million standard cubic feet per day (MMSCFD), 15 MMSCFD pada 2018 dan 40 MMSCFD pada 2019.

    Uang muka itu lalu tetap dibayarkan PGN ke PT Isargas, kendati Iswan mengetahui bahwa pasokan gas bumi PT IAE dari HCML tidak akan dapat memenuhi kontrak perjanjian jual beli gas (PJBG) yang ditandatangani.

    Alhasil, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) dalam rangka Perhitungan Kerugian Negara atas Transaksi Jual beli Gas antara PT PGN dan PT IAE tahun 2017-2021 dengan Nomor: 56/LHP/XXI/10/2024, tanggal 15 Oktober 2024, terjadi kerugian negara sebesar US$15 juta.

    Kedua tersangka dijerat dengan pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • KPK Bakal Tetapkan Tersangka di Kasus CSR BI Dalam Waktu Dekat

    KPK Bakal Tetapkan Tersangka di Kasus CSR BI Dalam Waktu Dekat

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bakal segera menetapkan pihak tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana corporate social responsibility atau CSR Bank Indonesia (BI). 

    Untuk diketahui, lembaga antirasuah telah memulai proses penyidikan kasus tersebut pada 2025 lalu. Namun, berbeda dengan sebagian besar kasus-kasus yang ditangani KPK lainnya, penyidikan kasus CSR BI dimulai tanpa sudah menetapkan tersangka. 

    Kemarin, Senin (21/4/2025), KPK memeriksa anggota DPR Fraksi Partai Nasdem Satori. Politisi yang dulu menjabat di Komisi XI atau Komisi Keuangan DPR pada 2019–2024 telah diperiksa sebanyak tiga kali. 

    Saat ditanya mengenai status hukumnya, KPK tak memberikan respons lebih lanjut. Namun, lembaga itu memastikan tak lama lagi akan menetapkan tersangka pada kasus rasuah tersebut. 

    “Belum [berubah status hukum], sedang [proses]. Nanti sebentar lagi, sebentar lagi,” ungkap Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (22/4/2025). 

    Asep menyebut seorang saksi bisa berkali-kali diperiksa untuk pendalaman suatu kasus. Dalam hal ini Satori, pria yang kini kembali menjabat sebagai anggota DPR 2024–2029 itu kemarin diperiksa KPK terkait dengan penggunaan dana CSR. 

    Adapun Asep mengungkap, Satori merupakan salah satu penerima dan pengguna dana CSR atau Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) melalui yayasan yang dimilikinya. 

    “Jadi, beliau kan salah satu yang penerima dan pengguna. Sebetulnya penerimanya itu adalah Yayasan, tapi Yayasan itu diajukan oleh bersangkutan. Jadi, yang bersangkutan itu dipanggil ke sini, kita konfirmasi lagi terkait dengan penggunaan dari dana CSR, terangnya. 

    Sementara itu, Satori bukan satu-satunya anggota DPR yang sudah pernah diperiksa KPK terkait dengan kasus tersebut. Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan, yang juga kolega Satori di Komisi XI 2019–2024, sudah pernah diperiksa sebagai saksi. 

    Rumah Satori dan Heri pun telah digeledah penyidik KPK. Selain rumah keduanya, penyidik telah di antaranya menggeledah ruangan kerja Gubernur BI Perry Warjiyo serta kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

    Asep menjelaskan, peran Heri dan Satori sama yakni sebagai pemilik yayasan yang menerima dan menggunakan dana CSR BI. Yayasan keduanya berbeda satu sama lain, dan berada di daerah pemilihan (dapil) masing-masing politisi tersebut. Ke depan, penyidik KPK bakal menjadwalkan pemeriksaan Heri. 

    “Nanti kita akan memanggil Bapak HG untuk CSR yang digunakan oleh Pak HG,” terang perwira tinggi Polri bintang satu itu. 

    Sejauh ini, terang Asep, lembaganya menduga bahwa yayasan penerima CSR BI yang dimiliki Satori dan Heri tidak menggunakan dana bantuan itu sesuai dengan fungsinya. 

    Misalnya, apabila awalnya dana CSR ditujukan untuk membangun rumah rakyat 50 unit, kenyataan di lapangan rumah yang dibangun tidak sampai jumlah tersebut. 

    “Tidak 50-nya dibangun. Tapi hanya misalkan 8 atau 10. Terus yang 40-nya ke mana? Ya itu tadi. Yang 40-nya dalam bentuk uangnya tidak dibangunkan rumah. Akhirnya dibelikan properti. Yang baru ketahuan baru seperti itu,” kata Asep. 

    Sementara itu, Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso memastikan bahwa penyaluran CSR BI dilakukan dengan tata kelola/ketentuan yang benar.

    “Proses pemberian PSBI senantiasa dilakukan sesuai tata kelola/ketentuan yang benar, mencakup tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dengan menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan kemanfaatan,” tuturnya, Minggu (29/12/2024).

  • Sosok Hasbi Hasan, Mantan Sekretaris MA di Panggil Mahkamah Agung soal Kasus Dugaan Pencucian Uang – Halaman all

    Sosok Hasbi Hasan, Mantan Sekretaris MA di Panggil Mahkamah Agung soal Kasus Dugaan Pencucian Uang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Nama Hasbi Hasan saat ini sedang menjadi perbincangan.

    Hal ini lantaran Hasbi Hasan dipanggil oleh Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Pemeriksaan atas Hasbi Hasan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih.

    Ia diperiksa sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di lingkungan Mahkamah Agung.

    Lantas siapa Hasbi Hasan sebenarnya ?

    Berikut Tribunnews rangkum terkait sosok Hasbi Hasan menurut pantauan Tribunnews:

    Hasbi Hasan memiliki nama dan gelar lengkap Prof. Dr. H. Hasbi Hasan., S.H., M.H..

    Hasbi Hasan adalah mantan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia.

    Sebelum menjabat sebagai Sekretaris MA, Hasbi Hasan diketahui mengisi posisi sebagai Kepala Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia.

    Nama Hasbi Hasan juga diketahui pernah menjadi Direktur Pembinaan Administrasi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.

    Ia juga pernah menduduki jabatan sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Agama Palu.

    Hasbi Hasan juga dikenal sebagai seorang akademisi.

    Ia merupakan guru besar bidang ilmu peradilan dalam ekonomi Islam Universitas Lampung, dilansir Wikipedia. 

    Sepak Terjang

    Hasbi Hasan dikenal memiliki karier yang moncer.

    Selain sebagai birokrat, Hasbi Hasan juga diketahui pernah menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.

    Ia pernah menjadi dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan.

    Kemudian di tahun 1991 hingga 1992, Hasbi Hasan menjadi dosen Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mastal Mutsammid.

    Hasbi lalu menjadi dosen Politeknik Manufaktur Timah, Bangka-Belitung pada tahun 1996-1998.

    Dilanjut dengan menjadi dosen Ma‘had ‘Aly Ashiddiqiyyah, Jakarta dan dosen Pascasarjana IAIN Raden Intan.

    Hasbi juga seorang dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya dan Guru Besar Universitas Lampung.

    Karya

    Masih dilansir dari sumber yang sama, Hasbi Hasan pernah menerbitkan beberapa buku.

    Berikut daftar buku yang diterbitkan oleh Hasbi Hasan :

    Naskah Akademis Hukum Terapan Peradilan Agama (2004)
    Sejarah Mahkamah Agung (2005)
    Anotasi Putusan Peradilan Agama (2005)
    Usia Ideal Perkawinan (2006)
    Jejak Langkah dan Dinamika Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat (2007)
    Hukum Ekonomi Syariah (2008)
    Bagir Manan sebagai Penegak Hukum (2008)
    Judicial System of Republic of Indonesia (2008)
    Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah (2010)
    Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer (2012)

    (Tribunnews/Ika Wahyuningsih/Ilham Rian Pratama)

  • Laporan Dugaan Suap Pemilihan Ketua DPD Mandek, Pelapor Surati KPK Minta Kejelasan

    Laporan Dugaan Suap Pemilihan Ketua DPD Mandek, Pelapor Surati KPK Minta Kejelasan

    PIKIRAN RAKYAT – Pelapor kasus dugaan suap di lingkungan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Muhammad Fithrat Irfan secara resmi menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Selasa, 22 April 2025. Dalam surat tersebut, ia mempertanyakan perkembangan terbaru atas laporan yang telah diajukan sejak 5 Desember 2024.

    Irfan yang didampingi tim kuasa hukumnya menyatakan bahwa selama lima bulan laporan tersebut belum menunjukkan progres signifikan. Menurutnya, hingga saat ini kasus tersebut belum naik ke tahap penyelidikan.

    “Kasus suap senator DPD RI yang dilaporkan pada tanggal 5 Desember 2024 lalu, sampai dengan hari ini sudah 5 bulan. Jadi belum ada tindak lanjut yang serius untuk naik ke tahap penyelidikan,” kata Irfan kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 22 April 2025.

    Sebelumnya Irfan melayangkan laporan soal dugaan suap dalam pemilihan ketua DPD RI dan pimpinan MPR dari unsur DPD periode 2024-2029. Mantan staf ahli anggota DPD RI, menegaskan telah menyerahkan bukti awal dan dokumen pendukung secara lengkap ke pengaduan masyarakat (dumas) KPK.

    Irfan menilai respons KPK terhadap laporan masyarakat terkesan lamban. Ia menyebutkan, komunikasi terakhir dengan bagian dumas KPK hanya mengulang jawaban normatif terkait pengayaan informasi tanpa ada proses verifikasi terhadap pihak terlapor.

    “Sementara pihak terlapor pun belum ada yang diverifikasi satu pun. Makanya kita ingin menanyakan keseriusan KPK dalam menanggapi aduan-aduan masyarakat yang ada,” tutur Irfan.

    Bagaimana Langkah Selanjutnya?

    Tak hanya berhenti pada surat resmi, Irfan menyatakan akan melanjutkan aduan ini ke Dewan Pengawas KPK (Dewas KPK), dengan harapan mendapat respons lebih serius.

    “Akan melaporkan hal ini ke Dewas KPK terkait aduan ini yang belum ada tanggapan lanjutan soal laporan saya di KPK,” ujarnya.

    Irfan berharap adanya keseriusan dari KPK dalam menanggapi setiap laporan masyarakat, terlebih jika sudah dilengkapi dengan data awal yang valid.

    “Karena sampai detik ini pun dari pihak yang dilaporkan itu belum ada gerakan sama sekali dari pengaduan masyarakat untuk menindak itu,” ucapnya.

    Lebih lanjut, Irfan mengaku mendapat intimidasi usai melaporkan dugaan praktik suap dalam proses pemilihan Pimpinan DPD RI. Pihak yang mengintimidasi meminta agar dirinya mencabut laporan di KPK. Namun, intimidasi tersebut tidak membuat Irfan Goyah.

    “Saya sudah melaporkan video call itu yang saya rekam dan saya kirim ke dumas juga, yang mengancam, mengintimidasi, mengintervensi, dan memaksa saya untuk mencabut laporan di KPK,” ucap Irfan.

    KPK Tak Akan Diam

    Sebelumnya, KPK menyatakan bakal mengusut kasus dugaan suap terkait pemilihan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan pimpinan MPR dari unsur DPD periode 2024-2029. Laporan dari masyarakat sudah masuk ke Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM).

    Adapun laporan itu sedang diverifikasi dan divalidasi. Nantinya, apabila ditemukan bukti permulaan cukup, maka kasus tersebut akan diproses ke tahap penyelidikan dan penyidikan.

    “Dalam pemilihan DPD. Informasi yang kami terima itu sudah dilaporkan. Sepengetahuan saya belum masuk ke penindakan dan eksekusi. Ini masih di dumas atau PLPM. Ditunggu saja,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu kepada wartawan, dikutip Rabu, 26 Februari 2025.

    Senada dengan Asep, Ketua KPK Setyo Budiyanto juga mengonfirmasi bahwa laporan skandal dugaan suap di DPD RI sedang diverifikasi oleh Direktorat PLPM. Hasil verifikasi akan menentukan langkah KPK selanjutnya.

    “Harapannya proses itu bisa ditentukan apakah jadi kewenangan KPK. Kemudian apakah menyangkut penyelenggara negara, (hasil verifikasi) itu kemudian dipresentasikan apakah bisa ditingkatkan ke tahap selanjutnya,” kata Setyo Budiyanto kepada wartawan, Jumat, 21 Februari 2025.

    Setyo mengatakan, pihaknya membuka peluang memeriksa 95 anggota DPD yang diduga terlibat suap. Akan tetapi, sebelum memanggil puluhan senator tim pengaduan masyarakat (dumas) akan terlebih dulu mempresentasikan laporan yang diterima dari masyarakat.

    “Oleh karena itu kami berharap bahwa yang memberikan informasi tersebut bisa secara terbuka, meskipun medsos sudah ramai, tapi kan perlu memastikan keterangan yang disampaikan melalui medsos itu dukungan dokumennya, dukungan kepastiannya,” ujar Setyo.

    “Kemudian dukungan beberapa saksi yang lain, yang mngetahui atau bahkan mengalami secara langsung, mendengar nah itu pasti dibutuhkan oleh para tim penyelidik dan dumas,” ucapnya menambahkan.

    Setyo menegaskan, pihaknya tidak pandang bulu dalam memproses hukum semua pihak yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, termasuk memeriksa 95 senator. Menurutnya, setiap orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.

    “Kalau misalnya tahapan verifikasi dan validasi itu dilakukan dumas akurat. Kami memastikan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum,” kata Setyo.

    95 Senator Diduga Terima 13.000 Dolar AS

    Dari total 152 anggota DPD RI, 95 senator di antaranya diduga menerima aliran uang dalam pemilihan pimpinan DPD RI dan pimpinan MPR dari unsur DPD RI periode 2024-2029.Pengacara Irfan, Aziz Yanuar mengatakan kliennya menyerahkan bukti-bukti tambahan ke KPK untuk melengkapi alat bukti yang sebelumnya sudah diserahkan pada Desember 2024. Bukti tersebut berupa rekaman pembicaraan antara Irfan dengan seorang petinggi partai politik.

    “KPK dalam waktu dekat akan melanjutkan proses ini kepada pemeriksaan lebih lanjut kepada pihak-pihak yang terkait, baik itu dari anggota DPD ataupun pihak-pihak yang ada hubungan dengan pelaporan tersebut,” kata Aziz kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Selasa, 18 Februari 2025.

    Aziz mengatakan, adanya bukti rekaman suara itu menguatkan dugaan bahwa gratifikasi tidak hanya melibatkan anggota DPD tetapi juga petinggi partai politik. Aziz menyebut kliennya sempat mendapat intimidasi serta ancaman supaya menghentikan laporan ini.

    “Proses gratifikasi itu melibatkan beberapa pihak dan juga dalam hal tersebut ada dana-dana yang disediakan. Kemudian juga pihak tersebut meminta Pak Irvan untuk tidak melanjutkan hal ini. Ada intimidasi dan dugaan ancaman,” ucap Aziz.

    Adapun Irfan merupakan mantan staf ahli anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah, Rafiq Al-Amri (RAA). Pada 6 Desember 2024, Irfan mengaku sempat melaporkan eks bosnya itu ke KPK lantaran diduga ikut menerima uang suap.

    “Indikasinya itu beliau (RAA) menerima dugaan suap untuk kompetisi pemilihan Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI unsur DPD. Itu melibatkan 95 orang yang ada, yang anggota Dewan yang ada di DPD RI dari 152 totalnya,” ucap Irfan.

    “Bosnya itu satu di antara 95 yang diduga menerima juga,” ujar Aziz menimpali pernyataan Irfan.

    Irfan mengungkapkan, untuk pemilihan Ketua DPD RI, setiap senator diduga menerima suapsekira 5.000 dolar Amerika Serikat, sedangkan untuk pemilihan Wakil Ketua MPR dari unsur DPD, jumlah yang diterima sekira 8.000 dolar Amerika Serikat.

    Sehingga total dugaan suap yang diterima setiap senator termasuk RAA mencapai 13.000 dolar Amerika Serikat. Mengenai mekanisme penyerahan uang, Irfan menyebut uang itu didistribusikan secara door to door atau dari kamar ke kamar anggota DPD.

    “Jadi dari dolar ke rupiah konversinya. Setelah itu masing-masing dari kita, para staf ini diminta untuk setorkan di bank anggota dewan itu,” ujar Irfan.

    Irfan menjelaskan uang tersebut digunakan untuk menukar suara dalam pemilihan ketua DPD dan wakil ketua MPR dari unsur DPD. Senator yang menerima uang tersebut kemudian memilih pasangan calon tertentu.

    “Uang itu ditukarkan dengan suara hak mereka-mereka untuk memilih salah satu dari pasangan calon ini, memilih Ketua DPD dan Wakil Ketua MPR dari unsur DPD,” kata Irfan.***

     

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • KPK Geledah Dinas PUPR Lampung Tengah Terkait Tangkap Tangan di OKU
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        22 April 2025

    KPK Geledah Dinas PUPR Lampung Tengah Terkait Tangkap Tangan di OKU Regional 22 April 2025

    KPK Geledah Dinas PUPR Lampung Tengah Terkait Tangkap Tangan di OKU
    Tim Redaksi
    LAMPUNG, KOMPAS.com
    – Penyidik
    Komisi Pemberantasan Korupsi
    (
    KPK
    ) menggeledah kantor Dinas Permukiman dan Perumahan Rakyat (PUPR)
    Lampung Tengah
    .
    Juru bicara KPK, Tessa Mahardika, menginformasikan adanya penggeledahan tersebut pada Selasa (22/4/2025).
    “Penyidik sedang melakukan tindakan penggeledahan di Kabupaten Lampung Tengah,” kata Tessa saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Selasa siang.
    Dia menjelaskan, penggeledahan tersebut terkait perkara dugaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan
    Dinas PUPR
    Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, tahun anggaran 2024 – 2025.
    “Untuk detailnya akan disampaikan setelah rangkaian kegiatan selesai,” kata dia.
    Diketahui, KPK sempat melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di OKU pada medio Maret 2025 lalu.
    OTT tersebut terkait penerimaan hadiah atau janji dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas PUPR.
    Enam orang menjadi tersangka dalam pengusutan kasus itu, yakni FJ, MFR, dan UM selaku anggota DPRD Kabupaten OKU.
    Kemudian, NOP selaku Kepala Dinas PUPR Kabupaten OKU, serta MFZ dan ASS selaku pihak swasta.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Disebut di Dakwaan, Ade Bhakti Siap Buka-bukaan soal Kasus Mbak Ita
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        22 April 2025

    Disebut di Dakwaan, Ade Bhakti Siap Buka-bukaan soal Kasus Mbak Ita Regional 22 April 2025

    Disebut di Dakwaan, Ade Bhakti Siap Buka-bukaan soal Kasus Mbak Ita
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com
    – Sekretaris Damkar Kota Semarang, Jawa Tengah, Ade Bhakti Ariawan siap buka-bukaan soal kasus korupsi mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryati Rahayu alias Mbak Ita. 
    Seperti diketahui, nama Ade Bhakti mencuat dalam sidang perkara korupsi Mbak Ita, di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (21/4/2025). 
    Pria yang pernah menjabat sebagai Camat Gajahmungkur itu disebut sebagai salah satu pejabat pemberi gratifikasi. 
    Meski demikian, tindakan Sekretaris Dinas Pemadam Kebakaran Kota Semarang itu dilakukan atas permintaan Mbak Ita.

    Tunggu mawon
    (saja) keterangan saya dan 15 camat lain di persidangan,” kata Ade Bhakti saat dikonfirmasi, Selasa (22/4/2025). 
    Dia menceritakan bahwa saat itu Ketua Paguyuban Camat merupakan Eko Yuniarto yang juga menjabat sebagai Camat Pedurungan pada Desember 2022. 

    Tunggu mawon,
    keterangan ketua paguyuban camat waktu itu Mas Eko beserta saya dan 14 camat lain di persidangan,” ujarnya.
    Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum KPK, Rio Vernika Putra, membeberkan bagaimana mantan Wali Kota Semarang,
    Hevearita Gunaryanti Rahayu
    alias Mbak Ita, bersama suaminya, Alwin Basri yang juga menjabat Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah diduga mengatur proyek pembangunan di lingkungan Pemkot Semarang.
    Semua bermula pada 2022, ketika keduanya disebut mulai merancang pengondisian proyek di berbagai kelurahan dan kecamatan. 
    Pada 2023, Pemkot menggelontorkan dana senilai Rp 16 miliar untuk pembangunan tingkat kelurahan dan kecamatan, dengan masing-masing kecamatan mendapatkan Rp 82,9 juta. 
    Karena nilainya tergolong kecil, proyek-proyek tersebut tak perlu melalui proses lelang.
    Kesempatan ini diduga dimanfaatkan oleh Mbak Ita dan Alwin untuk menunjuk langsung Martono, Ketua Gapensi Kota Semarang, agar menggarap proyek-proyek tersebut.
    “Martono setuju, tapi dengan syarat. Ia meminta
    fee
    sebesar 13 persen dari nilai proyek, yang akan diteruskan ke Mbak Ita dan Alwin,” ungkap Rio dalam persidangan.
    KOMPAS.COM/Muchamad Dafi Yusuf Sekretaris Damkar Kota Semarang, Ade Bhakti saat ditemui di Kota Semarang, Jawa Tengah. 
    Untuk memuluskan skema ini, Martono menunjuk sejumlah koordinator lapangan di tiap kecamatan. 
    Di Kecamatan Gajahmungkur, misalnya, peran itu dijalankan oleh Ade Bhakti.
    Ia lalu mengarahkan para lurah agar turut mengelola proyek dan mengumpulkan ‘setoran’ untuk para terdakwa dan Martono.
    Hasilnya, pada 15 April 2023, Ade Bhakti menyerahkan uang sebesar Rp 148,5 juta kepada Mbak Ita dan Alwin. 
    Tak berhenti di situ, jaksa mengungkap bahwa pasangan ini juga menerima aliran uang dari camat-camat lainnya di Kota Semarang. 
    Dalam surat dakwaan jaksa, nama camat lainnya seperti Eko Yuniarto yang menjabat sebagai Camat Pedurungan juga disebut dalam persidangan. 
    “Terdakwa II (Alwin) melakukan pertemuan dengan Martono, Eko Yuniarto selaku Ketua Paguyuban Camat dan Suroto selaku Camat Genuk. Terdakwa II minta uang dari pekerjaan senilai Rp 16 miliar,” ucap jaksa. 
    Gratifikasi itu berlangsung dalam kurun waktu panjang, dari November 2022 hingga Januari 2024, dengan total mencapai Rp 2,2 miliar.
    Para pemberi di antaranya termasuk nama-nama seperti Suwarno, Gatot Sunarto, hingga Eny Setyawati.
    Selain skema proyek kelurahan, Mbak Ita dan Alwin juga dijerat kasus korupsi lainnya. 
    Mereka didakwa menerima
    fee
    atas proyek pengadaan meja dan kursi fabrikasi SD di Dinas Pendidikan Kota Semarang tahun anggaran 2023. 
    Dari proyek itu, pasangan ini disebut menerima suap senilai Rp 2 miliar dari Martono dan tambahan Rp 1,7 miliar dari Rachmat Utama Djangkar, Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa.
    Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan tiga dakwaan yang menjerat Mbak Ita dan suaminya, Alwin Basri. 
    Mereka diduga melakukan korupsi dengan total nilai mencapai Rp 9 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hendrar Prihadi Bantah Tuduhan 'Wariskan' Potongan Insentif Pemkot Semarang di Kasus Korupsi Mbak Ita Regional 22 April 2025

    Hendrar Prihadi Bantah Tuduhan Wariskan Potongan Insentif Pemkot Semarang di Kasus Korupsi Mbak Ita
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com — Eks Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi atau Hendi, membantah tuduhan bahwa dirinya mewariskan praktik pemotongan insentif pajak pegawai yang kini menyeret penerusnya, Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita, dan suaminya, Alwin Basri, ke meja hijau.  
     
    Hendi menegaskan bahwa dirinya tak pernah membuat kebijakan seperti yang disangkakan oleh kuasa hukum Mbak Ita. 
    “Nggaklah, saya enggak pernah buat kebijakan seperti itu,” kata Hendi yang pernah menjabat Wali Kota Semarang periode 2016-2022, Selasa (22/4/2025). 
    Hendi yang menjabat Wali Kota Semarang periode 2016-2022 membantah tudingan tersebut.
    Meski demikian, dia tetap menghormati proses hukum yang berlaku. Hendi juga siap ketika sewaktu-waktu diminta keterangannya oleh pengadilan. 
    “Belum tahu, kita hormati saja proses hukum yang sedang berjalan, nggih,” ujar Hendi saat ditanya apakah siap hadir di persidangan.
    Sebelumnya, dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (21/4/2025), kuasa hukum Mbak Ita dan Alwin, Erna Ratnaningsih, menyebut bahwa praktik pemotongan insentif pajak itu bukanlah inisiatif baru dari kliennya.  
     
    Menurut Erna, kebijakan tersebut sudah berlangsung sejak era kepemimpinan wali kota sebelumnya. 
    “Bu Ita sebagai Plt Wali Kota itu hanya meneruskan kebijakan dari wali kota lama,” kata Erna kepada wartawan usai sidang.
    Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Mbak Ita dan Alwin diduga memotong pembayaran insentif yang seharusnya diterima ASN Pemkot Semarang, dengan total kerugian negara mencapai sekitar Rp 3 miliar.  
    Erna menambahkan bahwa dana yang disebut sebagai “iuran kebersamaan” itu sebenarnya sudah dikembalikan jauh sebelum KPK menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) pada Juli 2024.  
     
    “Uang itu sudah dikembalikan oleh Terdakwa I dan Terdakwa II kepada Bu Iin (Kepala Bapenda) sejak Desember 2022,” terang Erna.  
     
    Bahkan, menurut informasi yang dia peroleh, dana tersebut kemudian digunakan untuk keperluan rekreasi ke Bali. 
    “Informasinya, uang yang dikembalikan itu sudah dipakai untuk plesir ke Bali,” tambahnya.
    Kasus ini kini masih bergulir di Pengadilan Tipikor Semarang, dengan Mbak Ita dan Alwin Basri menghadapi tiga dakwaan terkait dugaan tindak pidana korupsi senilai total Rp 9 miliar.
    Eks Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi atau Hendi saat ditemui di UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Geledah Kantor Dinas Perkim Lampung Tengah Terkait Korupsi Proyek PUPR OKU – Page 3

    KPK Geledah Kantor Dinas Perkim Lampung Tengah Terkait Korupsi Proyek PUPR OKU – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menggeledah kantor Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Perkim) di wilayah Lampung Tengah pada, Selasa (21/4/2025) hari ini.

    Penggeledahan tersebut sehubungan dengan kasus korupsi proyek pada lingkungan Dinas PUPR Kabupaten Ogan Kemering Ulu (OKU) Sulawesi Selatan.

    “Penyidik sedang melakukan tindakan Penggeledahan di Kabupaten Lampung Tengah terkait perkara dugaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Provinsi Sumatera Selatan, tahun anggaran (TA) 2024 sampai dengan 2025,” kata Jubir KPK, Tessa Mahardika Sugiarto kepada wartawan, Selasa (21/4/2025).

    Tessa mengatakan, penggeledahan saat ini masih berlangsung, sehingga dia belum bisa menyampaikan barang bukti yang disita KPK dari kasus korupsi proyek tersebut.

    “Untuk detailnya akan disampaikan setelah rangkaian kegiatan selesai,” ujar dia.

    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan enam tersangka kasus dugaan suap proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan. Mereka ditetapkan sebagai tersangka usai operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Sabtu, 15 Maret 2025.

    “Berdasarkan bukti permulaan yang cukup terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji dalam pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR Kabupaten Ogan Komering Ulu tahun 2024-2025, semua sepakat untuk dinaikkan ke tahap penyidikan dan menetapkan status tersangka,” jelas Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam konferensi pers, Minggu (16/3/2025).

     

  • KPK Geledah Kantor Dinas Perkim di Kabupaten Lampung Tengah
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        22 April 2025

    KPK Geledah Kantor Dinas Perkim di Kabupaten Lampung Tengah Nasional 22 April 2025

    KPK Geledah Kantor Dinas Perkim di Kabupaten Lampung Tengah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) menggeledah kantor Dinas Perumahan dan Permukiman (Dinas Perkim) di Kabupaten
    Lampung Tengah
    pada Selasa (22/4/2025).
    Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, penggeledahan tersebut terkait dengan
    kasus suap
    proyek di
    Dinas PUPR
    Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
    “Penyidik sedang melakukan tindakan penggeledahan di Kabupaten Lampung Tengah terkait perkara dugaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Provinsi Sumatera Selatan, tahun anggaran (TA) 2024-2025,” kata Tessa dalam keterangannya, Selasa.
    Tessa mengatakan, KPK akan menyampaikan informasi terbaru setelah rangkaian penggeledahan selesai.
    “Untuk detilnya akan disampaikan setelah rangkaian kegiatan selesai,” ujarnya.
    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 6 orang tersangka dalam kasus suap proyek di Dinas PUPR Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Sabtu (15/3/2025).
    Mereka adalah Kepala Dinas PUPR OKU Nopriansyah (NOP); Anggota Komisi III DPRD OKU Ferlan Juliansyah (FJ); Ketua Komisi III DPRD OKU M Fahrudin (MFR); dan Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati (UH).
    Kemudian dua orang tersangka dari kalangan swasta yaitu MFZ (M Fauzi alias Pablo) dan ASS (Ahmad Sugeng Santoso).
    Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan, tiga anggota DPRD diduga meminta jatah fee proyek di Dinas PUPR OKU Sumsel kepada Kepala Dinas PUPR Nopriansyah (NOP).
    Ketiganya adalah Anggota DPRD OKU Sumsel yaitu Anggota Komisi III DPRD OKU Ferlan Juliansyah (FJ), Ketua Komisi III DPRD OKU M Fahrudin (MFR) dan Ketua Komisi II DPRD OKU Umi Hartati (UH).
    Ia mengatakan, NOP menjanjikan akan memberikan fee tersebut sebelum Hari Raya Idul Fitri melalui pencairan uang muka 9 proyek yang sudah direncanakan sebelumnya.
    “Pada kegiatan ini, patut diduga bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh, pertemuan dilakukan antara anggota dewan, kemudian Kepala Dinas PUPR juga dihadiri oleh pejabat bupati dan Kepala BPKD,” kata Setyo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (16/3/2025).
    Setyo mengatakan, fee proyek sudah disepakati dalam pembahasan RAPBD OKU pada Januari 2025.
    Dia mengatakan, jatah fee bagi anggota DPRD tetap disepakati sebesar 20 persen dari nilai proyek Dinas PUPR sebesar Rp 35 miliar sehingga total fee-nya adalah sebesar Rp7 miliar.
    Selain itu, NOP selaku Kepala Dinas PUPR Kabupaten OKU mengatur pemenangan 9 proyek dengan komitmen fee sebesar 22 persen, yaitu 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD.
    Para tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 huruf f dan Pasal 12B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Sementara dua tersangka dari pihak swasta yakni MFZ dan ASS disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Tipikor.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Bantah Moge Ridwan Kamil Belum Dibawa ke Gudang Sitaan karena Efisiensi Anggaran

    KPK Bantah Moge Ridwan Kamil Belum Dibawa ke Gudang Sitaan karena Efisiensi Anggaran

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah efisiensi anggaran menjadi penyebab motor gede bermerek Royal Enfield milik mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil belum dibawa ke gudang sitaansampai dengan hari ini. 

    Untuk diketahui, motor Royal Enfield milik Ridwan alias RK itu disita oleh tim penyidik KPK dari rumahnya saat penggeledahan terkait dengan kasus dugaan korupsi pengadaan iklan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. atau BJB (BJBR), pada Maret 2025 lalu. 

    KPK menyebut motor RK saat ini masih dititipkan di Bandung, Jawa Barat. Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto menyebut motor itu belum dibawa ke Rumah Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan (Rupbasan) KPK hingga saat ini karena kendala teknis. 

    “Ya saya pikir masalah teknis aja itulah, kalau kendala teknisnya terselesaikan nanti ya pasti akan dilakukan sama dengan barbuk [barang bukti] lain,” ujarnya kepada wartawan saat ditemui di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, dikutip Selasa (22/4/2025). 

    Fitroh membantah efisiensi anggaran menjadi alasan kenapa motor RK belum dibawa sampai dengan saat ini. Sitaan aset berupa kendaraan bermotor seperti mobil mewah memerlukan biaya tambahan untuk perawatan. 

    Perawatan itu guna menjaga nilai barang sitaan itu agar nantinya bisa dilelang apabila terbukti di pengadilan sebagai hasil tindak pidana korupsi. 

    Hal serupa pernah terjadi pada saat KPK menunda untuk membawa belasan mobil mewah milik Ketua Umum Pemuda Pancasila (PP) Japto Soerjosoemarno terkait dengan kasus gratifikasi dan pencucian uang mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Rita Widyasari. KPK mengakui saat itu lembaga terkendala efisiensi anggaran sehingga menunda untuk mengangkut mobil-mobil tersebut ke Rupbasan. 

    Namun demikian, Fitroh membantah kendala yang sama terjadi pada penyitaan motor gede milik RK. 

    “Enggak ada kendala anggaran. Kalau kendala anggaran saya pikir engga terlalu ini lah. Kalau yang operasional ke luar daerah mungkin ada pembatasan tapi kendala anggaran soal ini, engga kok enggak,” ujar pimpinan KPK berlatar belakang jaksa itu. 

    Sebelumnya, Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto mengatakan bahwa saat ini motor gede tersebut sudah tidak lagi berada di rumah RK. Dia tidak menjelaskan secara spesifik di mana, kecuali masih dalam wilayah Kota Bandung. 

    “Sudah digeser ke lokasi aman oleh penyidik yang tempatnya belum bisa disampaikan saat ini oleh penyidik. Masih di Bandung,” kata Tessa kepada wartawan.

    Sebagaimana diketahui, Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 terkait dengan efisiensi anggaran kementerian/lembaga. KPK ikut terdampak. 

    Adapun lembaga antirasuah dalam kasus pengadaan iklan di BJB telah menetapkan lima orang tersangka. Dua di antaranya adalah internal BJB yakni mantan Direktur Utama BJB Yuddy Renaldi (YR) serta Pimpinan Divisi Corporate Secretary (Corsec) BJB Widi Hartono (WH).  

    Tiga orang tersangka lainnya merupakan pengendali agensi yang mendapatkan proyek penempatan iklan BJB di media massa yaitu Ikin Asikin Dulmanan (ID), pengendali agensi Antedja Muliatama (AM) dan Cakrawala Kreasi Mandiri (CKM); Suhendrik (S), pengendali agensi BSC Advertising dan Wahana Semesta Bandung Ekspress; serta Sophan Jaya Kusuma (SJK), pengendali agensi Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB) dan Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB). 

    KPK menduga penempatan iklan itu dilakukan oleh total enam agensi untuk penayangan iklan di media televisi, cetak maupun elektronik. Tiga orang tersangka pengendali agensi itu masing-masing merupakan pemilik dua agensi yang memenangkan pengadaan penempatan iklan di BJB. 

    Terdapat dugaan bahwa kasus korupsi itu merugikan keuangan negara hingga Rp222 miliar. Nilai itu merupakan biaya yang dikeluarkan secara fiktif oleh para tersangka kasus tersebut, dari total keseluruhan biaya pengadaan iklan di BJB yakni Rp409 miliar.