Kementrian Lembaga: KPK

  • Diduga Terima Suap Rp 12 M, Pejabat DJKA Medan Atur Pemenang Lelang Proyek Rel

    Diduga Terima Suap Rp 12 M, Pejabat DJKA Medan Atur Pemenang Lelang Proyek Rel

    Jakarta

    KPK menahan Inspektur Prasarana Perkeretaapian Ahli Muda Direktorat Prasarana Perkeretaapian Muhammad Chusnul (MC) terkait proyek pembangunan jalur kereta api (KA) di lingkungan Direktorat Jenderal Kereta Api (DJKA) Medan. Chusnul diduga mengkondisikan pemenang lelang pada 2021 untuk paket proyek pembangunan jalur Bandar Tinggi-Kuala Tanjung dan Jalur Kisaran-Mambang Muda.

    Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan Chusnul secara sepihak menentukan calon pelaksana pengerjaan proyek. Dia memutuskan berdasarkan rekam jejak rekanan perusahaan yang sudah lama bermitra. Salah satu yang dipilih perusahaan milik Dion Renato Sugiarto (DRS) yang sudah ditahan lebih dulu.

    “Dari sejumlah rekanan pemenang lelang proyek, perusahaan milik Dion, menjadi salah satu yang terpilih. Dalam prosesnya, Chusnul juga menunjuk Dion sebagai ‘lurah’ yang bertugas mengumpulkan dan mengkoordinir permintaannya kepada para rekanan,” kata Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (15/12/2025).

    Asep mengatakan Chusnul kemudian bertemu masing-masing calon rekanan pemenang lelang di Semarang sebelum lelang berlangsung. Rekanan dijanjikan menang lelang.

    “Hal ini, dilakukan karena sebagian besar rekanan yang diproyeksikan akan memenangkan pelelangan adalah perusahaan yang berdomisili di Kota Semarang,” ujarnya.

    “Selain itu, MC juga menyerahkan Harga Perkiraan Sementara (HPS) dan spesifikasi teknis, salah satunya perusahaan milik DRS dan rekanan lainnya, sehingga para rekanan dapat memenuhi kualifikasi lelang proyek yang dimaksud,” ujar Asep.

    Dalam pelaksanaan lelang, MC berkoordinasi dengan Pihak Kelompok Kerja (Pokja) untuk memberikan pesan agar rekanan tertentu yang akan dimenangkan dalam lelang diberikan perhatian.

    Asep mengungkap Chusnul selama bertugas sebagai PPK di BTP Kelas II Wilayah Sumatera Bagian Utara/BTP Kelas 1 Medan tahun 2021-2024 diduga telah menerima total Rp12,12 miliar. Rinciannya selama periode 20 September 2021-10 April 2023 dari Dion senilai Rp7,2 miliar dan dari rekanan pelaksana pekerjaan lainnya sebanyak Rp 4,8 miliar.

    “Atas perbuatannya, Chusnul diduga kuat telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ucapnya.

    Sebelumnya, KPK juga telah melakukan penahanan terhadap tiga orang tersangka yaitu ASN pada Direktorat Keselamatan Perkeretaapian DJKA Kemenhub RI atau PPK di Balai Teknik Perkeretaapian Medan 2021-2024, Muhlis Hanggani Capah (MHC); Wiraswasta, Eddy Kurniawan Winarto (EKW) dan Dion Renato Sugiarto (DRS).

    (tsy/eva)

  • Kapolri Klaim Perpol 10/2025 Justru Perjelas Putusan MK: Apa yang Dilanggar?

    Kapolri Klaim Perpol 10/2025 Justru Perjelas Putusan MK: Apa yang Dilanggar?

    Kapolri Klaim Perpol 10/2025 Justru Perjelas Putusan MK: Apa yang Dilanggar?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – K
    apolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan, aturan mengenai polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga justru mempertegas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengisian jabatan aparatur sipil negara (ASN) oleh polisi aktif.
    Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
    “Di situ kan klausanya sudah jelas dan tentunya akan dilakukan perbaikan. Di situ kan yang dihapus dalam putusan MK, penugasan oleh Kapolri, kemudian frasa yang terkait dengan tugas-tugas kepolisian kan sudah jelas di situ,” kata Kapolri di Kompleks Istana, Jakarta, Senin (15/12/2025).
    “Untuk itu, kemudian itu harus diperjelas limitatifnya seperti apa. Jadi, apa yang dilanggar? Ya, saya kira cukup ya,” imbuh dia.
    Perpol 10/2025 ini menjadi sorotan karena mengatur polisi bisa menjabat di 17 instansi di luar Polri, padahal MK menyatakan bahwa polisi harus mundur atau pensiun dari Polri sebelum menjabat di jabatan luar Polri.
    Kapolri mengeklaim bahwa Polri menghormati putusan MK tersebut.
    Oleh karena itu, Polri menindaklanjutinya dengan melakukan konsultasi terhadap kementerian/lembaga terkait yang berujung pada penerbitan Perpol 10/2025.
    “Jadi Perpol yang dibuat oleh Polri, tentunya dilakukan dalam rangka menghormati dan menindaklanjuti putusan MK. Saya kira itu,” tegasnya.
    Sigit juga memastikan, aturan soal polisi bisa menduduki
    jabatan di kementerian
    /lembaga ini akan ditingkatkan dalam peraturan pemerintah (PP) dan revisi Undang-Undang (UU) Polri.
    “Perpol ini tentunya nanti akan ditingkatkan menjadi PP dan kemudian kemungkinan akan dimasukkan direvisi undang-undang,” tutur dia.
    Diberitakan sebelumnya, keputusan Kapolri meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dinilai bermasalah.
    Lewat aturan tersebut, Kapolri mengatur bahwa polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga, meski hal itu sudah dilarang oleh
    Mahkamah Konstitusi
    (MK).
    MK lewat putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 13 November 2025 melarang anggota Polri menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.
    Namun, tak sampai sebulan kemudian, pada 9 Desember 2025, Listyo Sigit justru meneken Perpol 10/2025 yang membuka pintu bagi polisi aktif untuk menjabat di 17 kementerian/lembaga di luar Polri.
    Instansi-instansi dimaksud adalah Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan.
    Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan.
    Lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Profesor hukum tata negara Mahfud MD menyatakan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan MK di atas.

    Perpol Nomor 10 Tahun 2025
    itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menurut putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 anggota Polri, jika akan masuk ke institusi sipil harus minta pensiun atau berhenti dari Polri. Tidak ada lagi mekanisme alasan penugasan dari Kapolri,” kata Mahfud kepada
    Kompas.com
    , Jumat (12/12/2025).
    Selain bertentangan dengan putusan MK, Mahfud yang juga mantan Ketua MK ini menilai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan Undang-Undang ASN.
    UU ASN mengatur bahwa pengisian jabatan ASN oleh polisi aktif diatur dalam UU Polri, sedangkan di UU Polri sendiri tidak mengatur mengenai daftar kementerian yang bisa dimasuki polisi aktif, ini berbeda dengan UU TNI yang menyebut 14 jabatan sipil yang bisa ditempati anggota TNI.
    “Jadi Perpol ini tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya,” kata Mahfud.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Sita Uang Dolar hingga Rupiah Usai Geledah Rumdin Plt Gubernur Riau

    KPK Sita Uang Dolar hingga Rupiah Usai Geledah Rumdin Plt Gubernur Riau

    Jakarta

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sejumlah uang dolar Singapura hingga usai dalam penggeledahan rumah dinas Plt Gubernur Riau SF Hariyanto hari ini. Penggeledahan itu terkait dengan operasi tangkap tangan (OTT) Gubernur Riau nonaktif Abdul Wahid dalam kasus permintaan fee terhadap bawahannya di UPT Dinas PUPR Riau.

    “Penyidik mengamankan sejumlah uang di rumah pribadi milik Wakil Gubernur atau yang saat ini menjabat sebagai PLT/PJ Gubernur diamankan sejumlah uang tunai dalam bentuk rupiah dan mata uang asing,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, Senin (15/12/2025).

    Selain rumah dinas, KPK juga menggeledah rumah pribadi milik SF Hariyanto. Sejumlah dokumen turut diamankan dalam penggeledahan di lokasi tersebut.

    “Dalam penggeledahan hari ini penyidik mengamankan beberapa dokumen yang berkaitan dengan perkara, yaitu dugaan tindak pemerasan terkait dengan penambahan anggaran di dinas PUPR,” kata Budi.

    Budi menjelaskan dalam kasus ini setiap UPT mendapatkan tambahan anggaran. Kemudian Gubernur Riau Abdul Wahid meminta jatah dari proyek dinas PUPR sebesar 15%-20%.

    Selanjutnya, KPK akan melakukan pemeriksaan terkait temuan ini kepada SF Hariyanto maupun Abdul Wahid. Penyidik akan mengkonfirmasi temuan-temuan tersebut.

    “Dari penggeledahan hari ini tentu nanti penyidik akan mengkonfirmasi temuan-temuannya kepada para pihak terkait baik nanti kepada para tersangka ataupun kepada pemilik yang diamankan dari Wakil Gubernur artinya nanti penyidik membutuhkan keterangan juga nanti akan melakukan penjatuhan pemeriksaan kepada yang bersangkutan,” sambung dia.

    Fee tersebut terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP dari awalnya Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.

    KPK menduga Abdul Wahid mengancam bawahannya jika tak menyetor duit yang dikenal sebagai ‘jatah preman’ senilai Rp 7 miliar tersebut. Setidaknya, ada tiga kali setoran fee jatah pada Juni, Agustus, dan November 2025.

    KPK menduga uang itu akan digunakan Abdul Wahid saat melakukan lawatan ke luar negeri. Selain Abdul Wahid, KPK menetapkan Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Abdul Wahid dan Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau M Arief Setiawan sebagai tersangka dalam kasus ini.

    Abdul Wahid saat ini telah ditahan KPK dan dicopot dari jabatan Gubernur Riau. Wakil Gubernur SF Hariyanto lalu diangkat menjadi Plt Gubernur Riau.

    (tsy/eva)

  • KPK Dalami Percakapan Zarof Ricar dengan Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan

    KPK Dalami Percakapan Zarof Ricar dengan Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan

    Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Kepala Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar (ZR) telah diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Dia dimintai keterangan terkait percakapannya dengan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan (HH) dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di lingkungan MA. 

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan pendalaman tersebut berasal dari barang bukti elektronik yang telah disita oleh tim penyidik lembaga antirasuah tersebut. 

    “Hari ini penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi saudara ZR Penyidik mendalami terkait dengan percakapan-percakapan yang ter-capture dalam barang bukti elektronik yang dilakukan oleh, yang bersangkutan dengan saudara HH dan juga pihak-pihak lain yang terkait,” kata Budi kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (15/12/2025).

    Budi menjelaskan hasil pemeriksaan akan dianalisis untuk mendalami informasi dan tidak menutup kemungkinan bahwa Zarof diperiksa kembali, jika penyidik menemukan informasi lainnya.

    Usai diperiksa KPK, Zarof menyebut telah dicecar 15 pertanyaan mengenai Hasbi Hasan. Sebab, katanya, Hasbi Hasan adalah bekas anak buahnya.

    Ketika ditanyai wartawan mengenai aliran dana, Hasbi Hasan mengaku nominalnya lebih dari Rp1 triliun tapi tidak mencapai Rp2 triliun.

    Zarof menuturkan ada informasi yang disampaikan kepada penyidik hanya saja dia tidak menjelaskan secara detail.

    “Saya ada yang saya bicarakan juga dengan penyidik [KPK],” ujar Zarof.

    Sekadar informasi, Hasbi Hasan sudah divonis bersalah menerima suap Rp11,2 miliar serta gratifikasi Rp630 juta terkait pengurusan perkara di MA. Dia dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.

    Sedangkan, Zarof Ricar telah divonis selama 18 tahun penjara dengan kewajiban membayar denda Rp1 miliar. Awalnya, Zarof divonis selama 16 tahun penjara pada pengadilan di tingkat pertama atau di PN Tipikor Jakarta Pusat.

    Vonis Zarof di tingkat banding diperberat menjadi 18 tahun. Adapun, Zarof juga sempat mengajukan upaya hukum kasasi. Namun, hakim Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menolak kasasi yang diajukan oleh Zarof Ricar pada (12/11/2025).

  • KPK Geledah Rumah Dinas Plt Gubernur Riau terkait Kasus Pemerasan dan Gratifikasi

    KPK Geledah Rumah Dinas Plt Gubernur Riau terkait Kasus Pemerasan dan Gratifikasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah dinas Plt. Gubernur Riau, SF Hariyanto terkait kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Pemerintahan Provinsi Riau.

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menjelaskan penggeledahan ini merupakan tindak lanjut dari penangkapan Gubernur Riau, Abdul Wahid yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

    “Benar, tim sedang melakukan giat penggeledahan di rumah dinas SFH, Plt. Gubernur Riau. Terkait penyidikan perkara dugaan tindak pemerasan dan gratifikasi di lingkungan pemerintah provinsi Riau, yang bermula dari kegiatan tertangkap tangan pada awal November lalu,” kata Budi dalam keterangan tertulis.

    Kendati demikian, Budi belum menyampaikan apa saja barang bukti yang telah diamankan untuk mendalami perkara tersebut.

    Pada perkara ini, Abdul Wahid diduga meminta ‘jatah preman’ sebesar Rp7 miliar. Fee berasal dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP dari awalnya Rp71,6 miliar, menjadi Rp177,4 miliar. Ada kenaikan Rp106 miliar.

    Uang diberikan secara berangsur, pada Juni 2025, Ferry selaku Sekda PUPR PKPP Riau mengumpulkan uang dari kepala UPT dengan total Rp1,6 miliar. 

    Dari uang tersebut, atas perintah Arief sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry menyalurkan uang Rp1 miliar melalui Dani M Nursalam untuk diserahkan kepada Abdul Wahid.

    Ferry juga memberikan Rp600 juta kepada kerabat Arief. Pada Agustus 2025, Dani menginstruksikan melalui Arief, agar Ferry mengumpulkan uang dengan total Rp1,2 miliar.

    Atas perintah Arief, uang tersebut didistribusikan untuk driver pribadinya sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp300juta.

    KPK juga menetapkan tersangka dan menahan Abdul Wahid, M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dan Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.

  • KPK Geledah Rumah Dinas Plt Gubernur Riau, SF Hariyanto
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        15 Desember 2025

    KPK Geledah Rumah Dinas Plt Gubernur Riau, SF Hariyanto Regional 15 Desember 2025

    KPK Geledah Rumah Dinas Plt Gubernur Riau, SF Hariyanto
    Tim Redaksi
    PEKANBARU, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di Rumah Dinas Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau, SF Hariyanto, di Kota Pekanbaru, Senin (15/12/2025).
    Penggeledahan tersebut terkait
    dugaan pemerasan
    dan
    gratifikasi
    .
    Juru Bicara
    KPK
    , Budi Prasetyo membenarkan penggeledahan tersebut.
    Ia menyampaikan bahwa tim penyidik saat ini masih berada di lokasi.
    “Benar, tim sedang melakukan giat penggeledahan di rumah dinas SFH (
    SF Hariyanto
    , Plt Gubernur
    Riau
    ),” kata Budi Prasetyo saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Senin.
    Budi menyampaikan, penggeledahan dilakukan dalam rangka penyidikan perkara dugaan tindak pidana pemerasan dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.
    Perkara tersebut berawal dari kegiatan tangkap tangan yang dilakukan
    KPK
    pada awal November 2025 lalu.
    Saat itu, KPK melakukan OTT terhadap
    Gubernur Riau
    Abdul Wahid, terkait dugaan pemerasan.
    Selain Abdul Wahid, KPK menangkap Kadis PU Riau dan seorang staf ahli.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Zarof Ricar Tiba di KPK Ngaku Dimintai Keterangan untuk Hasan Hasbi

    Zarof Ricar Tiba di KPK Ngaku Dimintai Keterangan untuk Hasan Hasbi

    Bisnis.com, JAKARTA – Zarof Ricar tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (15/12/2025). Dia mengaku dimintai keterangan terkait mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Hasan Hasbi.

    Dari pantauan Bisnis di lokasi, Zarif tiba pukul 10.44 WIB menggunakan mobil tahanan KPK dengan tangan diborgol. Kepada wartawan dia mengatakan diperiksa terkait Hasan Hasbi.

    “Jadi dimintai keterangan mengenai pak Hasbi,” kata Zarof.

    Zarof membantah menitipkan sejumlah kasus kepada Hasan Habi.

    Terpisah, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan pemeriksaan Zarof terkait kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di lingkungan Mahkamah Agung.

    Pemeriksaan Zarof dalam kapasitasnya sebagai saksi dan mantan Kepala Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan MA.

    Dalam putusan kasasi, Hasbi Hasan sudah divonis bersalah menerima suap Rp11,2 miliar serta gratifikasi Rp630 juta terkait pengurusan perkara di MA. Dia dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.

    Sedangkan, Zarof Ricar telah divonis selama 18 tahun penjara dengan kewajiban membayar denda Rp1 miliar. Awalnya, Zarof divonis selama 16 tahun penjara pada pengadilan di tingkat pertama atau di PN Tipikor Jakarta Pusat.

    Kemudian, vonis Zarof di tingkat banding diperberat menjadi 18 tahun. Adapun, Zarof juga sempat mengajukan upaya hukum kasasi. Namun, hakim Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menolak kasasi yang diajukan oleh Zarof Ricar pada (12/11/2025).

    Sidang kasasi ini diadili oleh ketua majelis hakim Yohanes Priyana dengan anggota Arizon Mega Jaya dan Noor Edi Yono.

  • Aturan Baru Kapolri Picu Polemik Putusan MK Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

    Aturan Baru Kapolri Picu Polemik Putusan MK Larangan Polisi Isi Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi menutup celah hukum penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, tetapi dalam penerapannya menuai perdebatan karena bersinggungan dengan aturan sektoral dan kebijakan internal Polri.

    Hasil dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta kembali menjadi panggung bagi satu perdebatan lama yang tak pernah benar-benar selesai sejak Reformasi 1998 sejauh mana batas antara polisi dan jabatan sipil dalam negara demokratis.

    Ketukan palu Ketua MK Suhartoyo menandai dibacakannya Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang secara tegas menyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian selama masih berstatus aktif.

    Frasa kunci yang dipersoalkan mengenai “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Putusan ini langsung mengguncang satu praktik yang selama bertahun-tahun berlangsung nyaris tanpa perdebatan serius penempatan perwira aktif Polri di kementerian dan lembaga sipil.

    Namun, sebagaimana banyak putusan MK lainnya, palu hakim tidak otomatis mengakhiri polemik. Dia justru membuka babak baru perdebatan tafsir, benturan regulasi, dan tarik-menarik kepentingan antara supremasi sipil dan kebutuhan koordinasi negara.

    Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyebut keberadaan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” sebagai sumber ketidakpastian hukum.

    Norma tersebut, menurut MK, justru memperluas makna Pasal 28 ayat (3) yang sejatinya sudah tegas bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi aparatur sipil negara di luar kepolisian,” ujar Ridwan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    MK juga menilai frasa itu berpotensi melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan satu kalimat penjelasan, seorang polisi aktif dapat menduduki jabatan yang tertutup bagi warga sipil lain.

    Putusan ini tidak bulat. Dua hakim Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah menyampaikan dissenting opinion. Hakim Arsul Sani mengajukan concurring opinion. Namun, mayoritas hakim bersepakat bahwa norma penugasan Kapolri telah melampaui batas konstitusional.

    Gugatan Warga dan Bayang-bayang Dwifungsi

    Perkara ini diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, dua warga negara yang memandang praktik penugasan polisi aktif di jabatan sipil sebagai ancaman serius bagi netralitas aparatur negara.

    Dalam permohonannya, mereka menyinggung sederet contoh: anggota Polri aktif yang menduduki posisi strategis di KPK, BNN, BNPT, BSSN, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan tanpa mengundurkan diri atau pensiun.

    Menurut para pemohon, praktik ini tidak hanya menciptakan ketimpangan kesempatan bagi warga sipil, tetapi juga membuka kembali bayang-bayang dwifungsi Polri sebuah konsep yang secara ideologis ingin dikubur pasca-Reformasi.

    Polisi, dalam kerangka negara demokratis, memang ditempatkan sebagai alat negara yang bersifat sipil. Namun, ketika seragam kepolisian tetap melekat di ruang-ruang birokrasi sipil, garis pembatas itu kembali kabur.

    Legislator: Hormati MK, Tapi Jangan Tergesa

    Di Senayan, putusan MK disambut dengan sikap hati-hati. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem Rudianto Lallo menyatakan menghormati putusan MK, tetapi menilai implementasinya tidak bisa serta-merta dilakukan tanpa penyelarasan regulasi.

    “Putusan MK itu ya kita menghormati. Tapi tidak serta-merta diberlakukan begitu saja. Kita harus lihat dulu norma-norma yang ada di undang-undang lain,” ujarnya, Jumat (13/11/2025).

    Rudianto menyoroti bahwa UU Polri masih memberikan ruang penugasan perwira aktif, selama berkaitan dengan fungsi kepolisian dan dilakukan atas perintah Kapolri. Dengan pendekatan acontrario, dia menilai jabatan yang relevan dengan tugas kepolisian masih dimungkinkan diisi perwira aktif.

    Bagi Rudianto, penugasan lintas lembaga justru bagian dari penguatan sinergi antarinstitusi, sejalan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 tentang fungsi keamanan negara.

    Namun, sikap ini juga menegaskan satu hal: putusan MK belum sepenuhnya menjadi titik temu, melainkan awal dari perdebatan legislasi baru.

    Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2025

    Di tengah dinamika itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah lebih dulu menandatangani Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 tentang anggota Polri yang melaksanakan tugas di luar struktur organisasi.

    Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menegaskan bahwa peraturan tersebut masih sejalan dengan regulasi yang berlaku, bahkan setelah putusan MK.

    Menurut Trunoyudo, sejumlah aturan masih membuka ruang penugasan, antara lain mulai dari UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, khususnya Pasal 28 ayat (3); UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang memungkinkan jabatan tertentu diisi anggota Polri; dan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

    Berdasarkan regulasi tersebut, Polri mencatat 17 kementerian/lembaga yang dapat diisi anggota Polri, mulai dari Kemenko Polkam hingga lembaga strategis seperti BNN, BIN, BSSN, OJK, PPATK, dan KPK.

    Untuk mencegah rangkap jabatan, Polri melakukan mutasi struktural, menjadikan perwira tersebut sebagai pati atau pamen dalam penugasan khusus.

    Namun, di titik inilah polemik kembali mengeras apakah pengalihan jabatan administratif dapat menghapus status “polisi aktif”?

    Mantan Kapolri Badrodin Haiti melihat persoalan ini secara lebih lugas. Menurutnya, implementasi putusan MK sepenuhnya berada di tangan Kapolri.

    “Kalau secara hukum, sudah banyak pakar yang bicara. Bunyinya jelas dan harus dilaksanakan. Tapi dilaksanakan atau tidak, itu tergantung Kapolri,” ujarnya.

    Badrodin mengingatkan bahwa sejak pemisahan TNI dan Polri pada 2000, polisi secara formal sudah menjadi bagian dari sipil. Namun, dalam praktik, kultur kepolisian masih belum sepenuhnya mencerminkan civilian police.

    “Budaya militernya masih kental. Ini sering menjadi problem dalam pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat,” katanya.

    Pandangan senada sebelumnya pernah disampaikan Mahfud MD, mantan Ketua MK dan mantan Menko Polhukam. Dalam berbagai kesempatan, Mahfud menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, serta harus menjadi rujukan utama dalam penataan relasi sipil-militer-polisi.

    Menurut Mahfud, penempatan aparat bersenjata aktif di jabatan sipil berpotensi melahirkan konflik kepentingan dan distorsi tata kelola demokrasi.

    “Kalau mau jabatan sipil, ya lepaskan dulu status kepolisian. Itu prinsip negara hukum,” kata Mahfud.

    Data Mabes Polri menyebutkan sekitar 300 anggota Polri aktif saat ini menduduki jabatan manajerial di kementerian dan lembaga. Angka itu berasal dari total 4.132 personel yang ditugaskan di luar struktur Polri.

    Di ruang publik, sentimen masyarakat relatif jelas. Survei big data Continuum INDEF menunjukkan 83,96 persen publik mendukung putusan MK, sementara 16,04 persen bersikap kritis.

    Menariknya, publik juga menuntut prinsip yang sama diberlakukan pada institusi lain, terutama TNI.

    Polemik polisi aktif mengisi jabatan sipil sesungguhnya bukan sekadar soal tafsir hukum. Dia adalah cermin dari ketegangan lama dalam demokrasi Indonesia: antara kebutuhan koordinasi negara dan tuntutan supremasi sipil.

    Putusan MK telah memberi garis tegas di atas kertas. Namun, bagaimana garis itu ditegakkan dalam praktik, akan menentukan arah reformasi kepolisian ke depan.

    Apakah Indonesia akan melangkah menuju polisi sipil sepenuhnya, atau tetap membiarkan ruang abu-abu tempat seragam dan jabatan sipil saling bertukar? Jawaban itu, kini, bukan lagi di tangan hakim konstitusi melainkan di ruang kebijakan, kepemimpinan, dan keberanian menegakkan prinsip negara hukum.

  • KPK Panggil Zarof Ricar jadi Saksi pada Kasus TPPU di Mahkamah Agung

    KPK Panggil Zarof Ricar jadi Saksi pada Kasus TPPU di Mahkamah Agung

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Zarof Ricar (ZR) terkait kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di lingkungan Mahkamah Agung.

    Pemeriksaan dijadlwakan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (15/12/2025). Zarif diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi dan mantan Kepala Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan MA.

    “KPK menjadwalkan pemanggilan pemeriksaan terhadap Sdr. ZR, Mantan Kepala Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan MA, dalam kapasitas sebagai saksi, pada penyidikan perkara dugaan tipikor/TPPU terkait pengurusan perkara di MA,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Senin (15/12/2025).

    Budi belum bisa menjelaskan detail materi pemeriksaan hingga Zarof diperiksa oleh penyidik lembaga antirasuah. Adapun perkara ini berkaitan dengan kasus Hasbi Hasan, mantan Sekretaris MA.

    Dalam putusan kasasi, Hasbi Hasan sudah divonis bersalah menerima suap Rp11,2 miliar serta gratifikasi Rp630 juta terkait pengurusan perkara di MA. Dia dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.

    Sedangkan, Zarof Ricar telah divonis selama 18 tahun penjara dengan kewajiban membayar denda Rp1 miliar. Awalnya, Zarof divonis selama 16 tahun penjara pada pengadilan di tingkat pertama atau di PN Tipikor Jakarta Pusat.

    Kemudian, vonis Zarof di tingkat banding diperberat menjadi 18 tahun. Adapun, Zarof juga sempat mengajukan upaya hukum kasasi. Namun, hakim Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menolak kasasi yang diajukan oleh Zarof Ricar pada (12/11/2025).

    Sidang kasasi ini diadili oleh ketua majelis hakim Yohanes Priyana dengan anggota Arizon Mega Jaya dan Noor Edi Yono.

  • KPK Panggil Zarof Ricar jadi Saksi pada Kasus TPPU di Mahkamah Agung

    KPK Panggil Zarof Ricar jadi Saksi pada Kasus TPPU di Mahkamah Agung

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Zarof Ricar (ZR) terkait kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di lingkungan Mahkamah Agung.

    Pemeriksaan dijadlwakan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (15/12/2025). Zarif diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi dan mantan Kepala Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan MA.

    “KPK menjadwalkan pemanggilan pemeriksaan terhadap Sdr. ZR, Mantan Kepala Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan MA, dalam kapasitas sebagai saksi, pada penyidikan perkara dugaan tipikor/TPPU terkait pengurusan perkara di MA,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Senin (15/12/2025).

    Budi belum bisa menjelaskan detail materi pemeriksaan hingga Zarof diperiksa oleh penyidik lembaga antirasuah. Adapun perkara ini berkaitan dengan kasus Hasbi Hasan, mantan Sekretaris MA.

    Dalam putusan kasasi, Hasbi Hasan sudah divonis bersalah menerima suap Rp11,2 miliar serta gratifikasi Rp630 juta terkait pengurusan perkara di MA. Dia dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.

    Sedangkan, Zarof Ricar telah divonis selama 18 tahun penjara dengan kewajiban membayar denda Rp1 miliar. Awalnya, Zarof divonis selama 16 tahun penjara pada pengadilan di tingkat pertama atau di PN Tipikor Jakarta Pusat.

    Kemudian, vonis Zarof di tingkat banding diperberat menjadi 18 tahun. Adapun, Zarof juga sempat mengajukan upaya hukum kasasi. Namun, hakim Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk menolak kasasi yang diajukan oleh Zarof Ricar pada (12/11/2025).

    Sidang kasasi ini diadili oleh ketua majelis hakim Yohanes Priyana dengan anggota Arizon Mega Jaya dan Noor Edi Yono.