Kementrian Lembaga: KPI

  • KPID Jatim Ingatkan Lembaga Penyiaran Berjaringan yang Tak Penuhi Kuota Siaran Lokal

    KPID Jatim Ingatkan Lembaga Penyiaran Berjaringan yang Tak Penuhi Kuota Siaran Lokal

    Surabaya (beritajatim.com) – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur menyelenggarakan Evaluasi Program Siaran Lokal bagi lembaga penyiaran berjaringan.

    Evaluasi ini merupakan tindak lanjut atas hasil pantauan Tim Monitoring KPID Jawa Timur dan juga temuan di aplikasi Sistem Siaran Jaringan (SSJ) terkait pelanggaran Lembaga Penyiaran Swasta Sistem Siaran Jaringan (LPS SSJ).

    “Melalui kegiatan evaluasi hari ini, mari kita bersama-sama berdiskusi sampai pada titik kendala apa saja yang dihadapi oleh lembaga penyiaran berjaringan dan bagaimana solusi untuk mengatasi kendala tersebut,” kata Ketua KPID Jawa Timur Immanuel Yosua Tjiptosoewarno, Kamis (28/3/2024).

    Yosua menyampaikan kegiatan Evaluasi Program Siaran Lokal ini menjadi bentuk pertanggungjawaban KPID Jawa Timur untuk memastikan ketaatan regulasi. Dia mengatakan, KPID Jawa Timur adalah mitra bagi lembaga penyiaran sehingga lembaga penyiaran dapat lebih terbuka terkait keadaan yang sedang dihadapi.

    Belasan lembaga penyiaran berjaringan hadir dalam evaluasi program siaran lokal. Lembaga penyiaran televisi berjaringan se-Jawa Timur yang hadir antara lain Metro TV Jatim, TV One Jatim, ANTV Jatim, SCTV Jatim, Indosiar Jatim, Moji, Mentari, Kompas Jatim, MNC Jatim, iNews Jatim, RCTI Jatim, GTV Jatim, Trans TV Jatim, Trans7 Jatim, CNN Jatim, RTV Jatim, Net Jatim, Garuda TV Jatim, dan Jawa Pos TV Jatim.

    KPID Jawa Timur memberikan kesempatan bagi lembaga penyiaran televisi berjaringan di Jawa Timur untuk memaparkan berkaitan dengan pola siar program siaran lokal, proses produksi program siaran lokal, jenis program siaran lokal, dan pelibatan sumber daya manusia lokal.

    Hal tersebut bertujuan untuk memetakan permasalahan yang dialami dan mencari solusi atas permasalahan itu. Temuan akan disampaikan ke KPI Pusat untuk pertimbangan sanksi pelanggaran.

    Menanggapi paparan mereka, Koordinator Bidang Isi Siaran KPID Jatim Sundari menyampaikan, berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 46 dan Standar Program Siaran (SPS) Pasal 68 disebutkan lembaga penyiaran televisi berjaringan wajib menyiarkan program siaran lokal minimal 10 persen atau minimal 2 jam 24 menit untuk televisi jika bersiaran secara 24 jam.

    Adapun penayangan program siaran lokal wajib ditayangkan dalam rentang waktu pukul 05.00 WIB – 22.00 WIB. LPS SSJ juga wajib menayangkan di jam prime time sebanyak 30 persen dari total kewajiban jam program siaran lokal. Prime time adalah waktu siaran dengan jumlah pemirsa terbanyak di jam-jam lain.

    “Kami menemukan banyak lembaga penyiaran yang belum memenuhi kuota konten lokal. Adapun beberapa menayangkan konten lokal di jam hantu alias jam dini hari yang jarang ditonton orang. Hal ini perlu menjadi catatan kita bersama. Selain itu, pelibatan sumber daya lokal dalam memproduksi konten lokal juga perlu diperhatikan,” kata Sundari. [asg/neq] 

  • KPID Jatim Ingatkan Lembaga Penyiaran Berjaringan yang Tak Penuhi Kuota Siaran Lokal

    Masyarakat Penyiaran Jatim Dukung Perpanjangan Masa Jabatan KPID

    Surabaya (beritajatim.com) – Masyarakat penyiaran di Jawa Timur (Jatim) menyatakan dukungan terhadap perpanjangan masa jabatan Komisioner KPI/KPID dari 3 tahun menjadi 5 tahun. Hal ini disampaikan oleh Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Jatim Ismed Jauhari dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia (ARSSLI) Khusnul Arif pada Rabu (20/3/2024).

    Menurut Ismed, masa jabatan 3 tahun terlalu singkat bagi KPI/KPID untuk beradaptasi dengan dinamika penyiaran yang terus berkembang. Ia pun mencontohkan lembaga negara lain seperti KPK, Komnas HAM, dan OJK yang memiliki masa jabatan 5 tahun.

    “Kami di daerah membutuhkan KPID di tengah dinamika penyiaran. Kalau terlalu cepat pergantiannya kami harus adaptasi. Kalau lembaga lain seperti KPK, Komnas HAM, OJK dan yang lain 5 tahun kenapa KPI dan KPID tidak?” kata Ismed.

    Senada dengan Ismed, Khusnul Arif menambahkan bahwa masa jabatan 5 tahun akan memungkinkan KPI/KPID untuk lebih fokus dalam memperhatikan keberlanjutan usaha radio dan peningkatan SDM radio.

    “Selama ini, KPID Jatim sering menggelar pelatihan peningkatan kapasitas SDM penyiaran dan rutin menggelar diskusi untuk kebijakan penyiaran lokal,” kata Khusnul.

    Dukungan terhadap perpanjangan masa jabatan KPI/KPID juga datang dari pakar media dan komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo. Menurutnya, masa jabatan 3 tahun saat ini kurang efektif untuk menjalankan fungsi dan kewenangan KPI/KPID.

    “Perpanjangan periode jabatan komisioner menjadi 5 tahun seperti beberapa komisi lainnya penting untuk meningkatkan kapasitas lembaga penyiaran lokal. Waktu 3 tahun terlalu singkat untuk memperkuat lembaga penyiaran lokal,” ujar Suko.

    Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (UB) Anang Sujoko pun sepakat dengan perpanjangan masa jabatan KPI/KPID. Ia menilai masa jabatan 3 tahun tidak sinkron dengan lembaga penyiaran lain dan boros anggaran negara.

    “Masa jabatan KPI yang hanya 3 tahun pemborosan anggaran dalam proses seleksi. Masa jabatan 3 tahun tidak sinkron dengan dengan lembaga-lembaga lain baik itu lembaga penyiaran, mengingat berlakunya izin penyiaran untuk radio 5 tahun dan izin penyiaran televisi untuk 10 tahun,” ujar Anang.

    Permohonan judicial review terkait masa jabatan KPI/KPID saat ini tengah diajukan oleh Komisioner KPID Jawa Barat Syaefurrochman Achmad ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK dijadwalkan akan membacakan putusannya pada 21 Maret 2024.

    Menanggapi aspirasi masyarakat penyiaran, Ketua KPID Jawa Timur Immanuel Yosua Tjiptosoewarno menegaskan bahwa permohonan judicial review ini bukan semata-mata tentang ego sektoral atau motif ekonomi.

    “Soal masa jabatan itu hanya pintu masuk saja. Ketidaksetaraan dengan lembaga negara lainnya seperti KPK, OJK, KPPU dan OJK yang masa jabatannya 5 tahun menjadi alasan utama. Penyetaraan juga membuktikan bahwa urusan frekuensi publik dan hak masyarakat mendapatkan demokrasi informasi setara dengan urusan lain seperti keuangan maupun persaingan usaha,” kata Yosua.

    Yosua pun berharap MK dapat mengabulkan permohonan judicial review ini dan memberikan keadilan bagi KPI/KPID di seluruh Indonesia. [beq]

  • Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Belum Jadi Program Strategis di Bojonegoro

    Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Belum Jadi Program Strategis di Bojonegoro

    Bojonegoro (beritajatim.com) –  Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak layak menjadi program strategis bagi pemerintah daerah. Mengingat jumlah kasusnya masih tinggi. Hal itu diungkapakan Ketua Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) Kabupaten Bojonegoro Nafidatul Himah.

    “Negara belum hadir sama sekali. Sangat miris, karena Bojonegoro sudah darurat kekerasan dengan APBD yang cukup tinggi tapi isu kekerasan ini belum tersentuh,” ujarnya, Jumat (29/12/2023).

    Kenapa kemudian, Hima, panggilan akrabnya, menyatakan bahwa pemerintah kabupaten (Pemkab) Bojonegoro belum hadir, karena sejauh ini belum ada perdaturan daerah yang melindungi perempuan dan anak dari kasus kekerasan seksual, KDRT, maupun bentuk kejahatan yang lain.

    “Isu ini belum menjadi pembahasan bahkan atau belum menjadi program. Mungkin sudah ada tapi itu hanya formalitas saja saya melihatnya,” terangnya.

    Perempuan yang juga aktif dalam Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur itu melanjutkan, ia menilai lembaga pelayanan yang ada di Kabupaten Bojonegoro ini setiap ada laporan hanya setengah hati dalam setiap penanganan atau advokasinya.

    Hal itu terbukti, kadang sudah lapor DP3A KB tidak secara maksimal mendampingi secara psikologi maupun bantuan hukum kepada korban. “Ke depan, masukannya kalau negara harus hadir dengan adanya Perda yang melindungi perempuan dan anak, kedua anggaran untuk penanganan kasus,” pungkasnya.

    Sekadar diketahui, dalam laporan akhir tahun 2023, kasus kejahatan terhadap perempuan dan anak yang ditangani Polres Bojonegoro sebanyak 58 perkara. Dari jumlah itu, rinciannya kasus KDRT sebanyak 20 kasus, persetubuhan 20 kasus, pencabulan 3 kasus, penganiayaan anak 6 kasus, perkosaan 1 kasus, dan pengeroyokan 8 kasus. [lus/suf]

  • 20 Kasus KDRT Diproses Polres Bojonegoro Sepanjang 2023

    20 Kasus KDRT Diproses Polres Bojonegoro Sepanjang 2023

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sepanjang 2023 di wilayah hukum Polres Bojonegoro mengalami peningkatan jika dibanding tahun sebelumnya (2022). Kebanyakan, penyebab KDRT itu karena perselingkuhan dan ekonomi.

    “Penyebab terjadinya keretakan rumah tangga dan KDRT, terbanyak terutama karena faktor perselingkuhan dan ekonomi,” ujar Kapolres Bojonegoro AKBP Mario Prahatinto, Jumat (29/12/2023).

    Kasus KDRT yang ditangani Polres Bojonegoro sepanjang 2023 sebanyak 20 perkara. Sedangkan untuk tahun 2022 ada 13 perkara. Selain KDRT, jumlah kejahatan perempuan dan anak yang lain juga meningkat.

    “Untuk penanganan perkara KDRT tahun ini mengalami peningkatan sebesar 53,84 persen jika dibanding tahun 2022,” ujar lulusan Akpol (Akademi Polisi) 2004 itu.

    Sedangkan untuk kasus kejahatan perempuan dan anak yang lain, seperti persetubuhan meningkat 17,64 persen dari tahun 2022 ada 17 perkara dan tahun 2023 terdapat 20 perkara. Kasus lain, seperti pencabulan stabil dengan jumlah 3 perkara.

    “Penganiayaan anak mengalami penurunan, dari tahun 2022 sebanyak 16 kasus, menjadi 6 kasus pada 2023,” ungkapnya.

    Selain itu tren kasus pemerkosaan mengalami penurunan, dari tahun 2022 ada 3 perkara menjadi hanya 1 perkara di tahun 2023.  Sedangkan kasus pengeroyokan stabil pada 8 perkara dan satu kasus pembuangan bayi pada 2022.

    Meningkatnya jumlah perkara kekerasan perempuan dan anak ini, pihaknya mengaku akan terus berkoordinasi dengan masyarakat maupun organisasi yang bergerak di bidang perlindungan anak dan perempuan agar kasusnya bisa ditekan.

    “Hukuman terhadap pelaku ini semoga juga bisa membuat efek jera bagi pelaku maupun yang lain agar tidak melakukan kasus yang sama,” pungkasnya.

    Sementara salah satu perkara KDRT yang saat ini masih dalam proses penanganan yakni laporan dari korban seorang dosen yang melaporkan suaminya karena diduga melakukan KDRT. Kasus tersebut rencananya akan digelar perkara pada awal 2024.

    Menanggapi meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, Pengurus Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur, Nafidatul Himah mengatakan, sudah saatnya negara hadir untuk melindungi masyarakat dari ancaman kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    “Melihat dua data itu dan keduanya naik terutama kasus KDRT berarti secara tidak langsung Bojonegoro ini sudah darurat kekerasan perempuan dan anak,” ungkapnya.

    Sehingga pihaknya sangat menyayangkan dengan tingginya kasus kekerasan perempuan dan anak ini belum menjadi perhatian khusus bagi pemerintah daerah. “Sudah saatnya negara hadir untuk melindungi masyarakatnya,” pungkasnya. [lus/suf]