Kementrian Lembaga: KPI

  • Koalisi Perempuan Indonesia Desak Polres Sumenep Gunakan Pasal Berlapis Jerat Pelaku

    Koalisi Perempuan Indonesia Desak Polres Sumenep Gunakan Pasal Berlapis Jerat Pelaku

    Sumenep (beritajatim.com) – Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sumenep mendesak Polres untuk menggunakan pasal berlapis dalam menjerat hukuman pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menyebabkan korban meninggal dunia.

    “Penyidik Polres harusnya tidak cukup hanya menjerat pelaku dengan undang-undang KDRT. Pelaku sudah layak dijerat dengan pasal pembunuhan berencana,” kata Ketua KPI Sumenep, Nunung Fitriana, Jumat (11/10/2024).

    Ia menjelaskan, kasus KDRT oleh suami terhadap istri hingga menyebabkan istrinya meninggal, belakangan ini beberapa kali terjadi di Sumenep secara beruntun. Mulai peristiwa suami mencekik istri di Batuputih, kemudian suami menganiaya istri hingga tega mencopot selang oksigennya di Batang-batang, dan yang baru saja terjadi di Desa Gadding Manding, suami menebas istrinya dengan celurit.

    “Kalau undang-undang KDRT maksimal hukumannya 15 tahun penjara. Beda dengan KUH Pidana tentang pembunuhan, apalagi pembunuhan berencana. Ini supaya memberi efek jera pada pelaku,” ujarnya.

    Ia mengaku segera melakukan komunikasi dengan penyidik Polres terkait kasus tersebut. Ia berjanji akan mengawal penanganan kasus penganiayaan suami terhadap istri tersebut. Selain itu, ia juga akan mengunjungi keluarga korban KDRT untuk menggali lebih dalam, apa yang sebenarnya melatarbelakangi KDRT tersebut.

    “Kami akan mencari ‘second opinian’. Tidak hanya sekedar keterangan pelaku di hadapan penyidik Polres. Mungkin setelah 7 hari meninggalnya korban, baru kami akan mengunjungi keluarga korban. Karena kalau tradisi di Madura ini kan setelah 7 harinya baru bisa diajak bicara,” terang Nunung.

    Ia mengaku prihatin dengan kasus-kasus KDRT yang terjadi di Sumenep. Menurutnya, pernikahan yang tidak dipersiapkan dengan matang dari sisi mental, maka akan rawan mengalami ‘guncangan’ di tengah perjalanan.

    “Ini persoalan mental pasangan suami istri. Harus benar-benar dipersiapkan menjelang pernikahan agar bisa melewati persoalan-persoalan yang muncul di tengah perjalanan pernikahan,” tukasnya.

    Sementara Kasi Humas Polres Sumenep, AKP Widiarti S mengaku pihaknya siap untuk menuntaskan pengungkapan kasus KDRT suami terhadap istri yang menyebabka sang istri meninggal dunia.

    Ketika ditanya kemungkinan menjerat pelaku dengan pasal pembunuhan berencana, Widiarti mengatakan, tim penyidik Polres Sumenep masih mendalami kasus itu.

    “Masih kami dalami dan kami kembangkan kemungkinan-kemungkinannya. Ditunggu saja hingga proses penyidikan ini selesai. Yang jelas, pasti akan kami tuntaskan proses hukum dalam kasus ini,” tandasnya. (tem/kun)

  • Perempuan Korban Penganiayaan di Bojonegoro Tolak Damai

    Perempuan Korban Penganiayaan di Bojonegoro Tolak Damai

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Seorang perempuan berinisial AG (18) menjadi korban penganiayaan. Sebagai terlapor, seorang pria berinisial AP yang juga pemilik kafe di Jalan Meliwis Putih, Kecamatan/ Kabupaten Bojonegoro.

    Atas kejadian yang dialami, korban asal Desa Jatiblimbing Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro kemudian melaporkan itu ke Mapolres Bojonegoro.

    Saat ini korban atau pelapor sedang dimintai keterangan oleh penyidik Satreskrim Polres Bojonegoro. Karena korban menolak damai dengan pelaku, kasus tersebut akan didalami secara hukum.

    “Hari ini dimintai keterangan sama penyidik. Alhamdulillah, saat ini sudah didampingi pengacara,” ujarnya, Jumat (13/9/2024).

    Sementara itu, Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Bojonegoro, AKP Bayu Adjie Sudarmono mengatakan, bahwa kasus tersebut kini masih didalami oleh pihaknya.

    “Hari Rabu malam sebenarnya korban bersama 2 orang saksi mau dimintai keterangan, tapi sudah terlalu malam, kita agendakan hari ini,” ungkapnya.

    Sebelumnya, peristiwa penganiayaan ini berlangsung di cafe Jalan Meliwis Putih, Kelurahan Ngrowo, Kecamatan Kota Bojonegoro, pada 29 Juli 2024 kemarin.

    Korban yang notabene merupakan mantan pekerja di kafe milik pelaku mengaku ditampar dan ditendang. Korban mengalami luka di bagian wajah dan perut.

    Sementara, Presidium Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur Nafidatul Himma mengapresiasi keberanian korban melapor ke pihak berwenang atas kejadian yang dialaminya.

    Hal itu dinilai bisa menjadi contoh baik bagi perempuan yang menjadi korban untuk berani speak up.

    “Kita mengapresiasi korban yang berani speak up, karena biasanya korban perempuan banyak yang takut, apalagi yang melakukan ini mantan bosnya,” kata Nafidatul.

    Menurut perempuan yang juga sebagai koordinator Aliansi Peduli Peremuan dan Anak (APPA) Bojonegoro ini, pihak kepolisoan seharunya juga mengapresiasi keberanian korban, dengan segera memproses laporan tersebut.

    “Kasus ini katanya kan sudah sebulan lebih dilaporkan, kenapa ko agak lama, seharusnya bisa lebih cepat,” pungkasnya. [lus/but]

  • Kompers Tolak RUU Penyiaran: Demi Lindungi Kebebasan Berekspresi

    Kompers Tolak RUU Penyiaran: Demi Lindungi Kebebasan Berekspresi

    Surabaya (beritajatim.com) – Puluhan massa dari Koalisi Masyarakat dan Pers (Kompres) turun ke jalan hari ini untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap RUU Penyiaran yang dinilai berpotensi membungkam kebebasan pers dan berekspresi. Aksi damai ini digelar di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, pada Selasa (28/5/2024).

    Demo ini mendesak DPR RI untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang sarat pasal-pasal bermasalah. Beberapa pasal yang dikhawatirkan aktivis antara lain:

    – Memberikan kewenangan berlebihan kepada KPI untuk mengatur konten media, berpotensi mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik.
    – Mengandung ancaman pidana bagi jurnalis yang memberitakan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kepentingan tertentu.
    – Membatasi ruang gerak media dan mengancam kebebasan berekspresi warga negara.
    – Berpotensi menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif seperti tim konten Youtube, podcast, dan pegiat media sosial.

    Menurut Suryanto, Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya, revisi UU Penyiaran ini bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi. “Pasal-pasal ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi yang telah kita perjuangkan bersama,” tegasnya.

    Senada dengan Suryanto, Eben Haezer Panca, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, mengungkapkan bahwa RUU ini mengancam independensi media dan berpotensi merusak keberimbangan pemberitaan.

    “Kami menuntut dan menyerukan agar seluruh insan pers, pekerja kreatif, dan pegiat media sosial di Surabaya khususnya, untuk turut serta menolak RUU Penyiaran ini,” seru Eben.

    Lebih lanjut, Koordinator Kontras Surabaya, Fatkhul Khoir, menduga RUU Penyiaran ini merupakan upaya pemerintah untuk melemahkan demokrasi dan membungkam kritik.

    “RUU Penyiaran ini kami menduga bahwa ini adalah upaya dari rezim Jokowi di akhir periodenya sengaja memberikan kado buruk untuk membungkam praktik demokrasi di Indonesia,” kata Fatkhul.

    Ia juga menilai RUU ini sebagai alat untuk melanggengkan impunitas pelanggaran HAM masa lalu. “Jadi dengan adanya revisi UU Penyiaran ini yang kemudian isinya melarang jurnalisme investigasi dan sebagainya, ini kan upaya-upaya agar masyarakat tidak kritis terhadap pemerintah,” pungkasnya. [beq]

  • Kapolres Pamekasan: Pers Bagai Pelita dan Harus Cerdaskan Publik

    Kapolres Pamekasan: Pers Bagai Pelita dan Harus Cerdaskan Publik

    Pamekasan (beritajatim.com) – Kapolres Pamekasan, AKBP Jazuli Dani Iriawan menilai pers sebagai pelita, sekaligus diminta agar selalu bisa mencerdaskan publik.

    Hal tersebut disampaikan disela kegiatan Simposium yang digagas Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pamekasan, di Wahana Bina Praja Pemkab Pamekasan, Jl Kabupaten 107 Pamekasan, Kamis (23/5/2024).

    Dalam kegiatan yang mengusung tema ‘Menguatkan Kebebasan Pers di Pamekasan’ gagasan salah satu organisasi profesi tersebut, AKBP Jazuli Dani Iriawan juga dianugerahi sebagai ‘Pimpinan Institusi Peduli Kebebasan Pers’.

    Bahkan saat mendapatkan penghargaan tersebut, ia juga mengaku sangat terharu, sekalipun ia masih belum genap setahun bertugas di Pamekasan . “Kepercayaan (anugerah PWI Pamekasan) ini, akan kami pegang teguh selama kami bertugas,” kata AKBP Jazuli Dani Iriawan.

    Tidak hanya itu, pihaknya juga menyampaikan beberapa pesan sekaligus kesan khususnya bagi seluruh insan pers di Pamekasan. Salah satunya dengan mengajak untuk selalu memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara melalui salah satu pilar demokrasi, yakni pers.

    “Bagi kami, pers harus bisa menjadi pelita, pers harus bisa mencerdaskan, harus selalu bisa memberikan informasi berdasarkan fakta, serta harus selalu bisa melakukan kritik konstruktif,” pungkasnya.

    Sebelumnya Ketua PWI Pamekasan, Khairul Anam menyampaikan penghargaan tersebut diberikan berdasar beberapa indikator yang disebar dalam bentuk kuisioner atau angket kepada wartawan yang tergabung dalam organisasi yang dipimpinnya.

    Beberapa indikator tersebut, di antaranya jalinan komunikasi intens dengan insan pers, sekaligus menjadi satu-satunya pimpinan institusi yang tekan Memorandum of Understanding (MoU) dengan ketua-ketua wartawan di Pamekasan.

    Selain itu, AKBP Dani juga selalu berkenan sharing and hearing bersama PWI berkaitan dengan menangkal informasi hoaks, dan selalu melayani pendalaman materi terkait hukum dan kriminal usai konferensi pers.

    Bahkan ia juga selalu siap dikritik hingga dihubungi wartawan selama 24 jam, termasuk memberikan dukungan kepada jurnalis Pamekasan, yang mendatangi DPR RI, Dewan Pers, dan KPI guna menyuarakan penolakan terhadap RUU Penyiaran. [pin/kun]

  • Alasan PWI Pamekasan Beri Penghargaan untuk AKBP Jazuli Dani Iriawan

    Alasan PWI Pamekasan Beri Penghargaan untuk AKBP Jazuli Dani Iriawan

    Pamekasan (beritajatim.com) – Persatuan Wartawan Pamekasan (PWI) Pamekasan, memberikan penghargaan kepada Kapolres Pamekasan, AKBP Jazuli Dani Iriawan sebagai bentuk anugerah ‘Pimpinan Institusi Peduli Kebebasan Pers’.

    Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Ketua PWI Pamekasan, Khairul Anam kepada Kapolres Pamekasan, AKBP Jazuli Dani Iriawan disela program Simposium bertema ‘Menguatkan Kebebasan Pers di Pamekasan’, di Wahana Bina Praja Pamekasan, Kamis (23/5/2024).

    “Penghargaan ini kami berikan bukan tanpa dasar, sebab kami merilis angket atau kuesioner dengan beberapa indikator berbeda. Sehingga AKBP Dani (sapaan akrab Jazuli Dani Iriawan) dinyatakan layak,” kata Khairul Anam.

    Dari beberapa indikator tersebut, di antaranya jalinan komunikasi intens dengan insan pers. “Kapolres Pamekasan saat ini, merupakan satu-satunya pimpinan institusi yang tekan MoU dengan ketua-ketua wartawan di Pamekasan,” ungkapnya.

    “Selain itu, beliau berkenan sharing and hearing bersama PWI berkaitan dengan menangkal informasi hoaks, juga selalu melayani pendalaman berita oleh wartawan usai konferensi pers. Termasuk pendalaman materi liputan terkait hukum dan kriminal, bahkan juga selalu siap dikritik hingga dihubungi wartawan selama 24 jam,” imbuhnya.

    Tidak hanya itu, ia juga memberikan dukungan kepada jurnalis Pamekasan, yang mendatangi DPR RI, Dewan Pers, dan KPI guna menyuarakan penolakan terhadap RUU Penyiaran. “Tidak jarang beliau juga membuka dialog saat konferensi pers, dan tidak hanya sebatas tanya jawab,” tegasnya.

    Sementara Kapolres Pamekasan, AKBP Jazuli Dani Iriawan sangat terharu atas penghargaan tersebut. Sekalipun ia masih belum setahun bertugas di Pamekasan . “Kepercayaan (anugerah PWI Pamekasan) ini, akan kami pegang teguh selama kami bertugas,” ungkapnya.

    “Bagi kami, pers harus bisa menjadi pelita, pers harus bisa mencerdaskan, harus selalu bisa memberikan informasi berdasarkan fakta, serta harus selalu bisa melakukan kritik konstruktif,” pungkasnya. [pin/ian]

  • Elemen Masyarakat Sipil Surabaya: Proses RUU Penyiaran Salah

    Elemen Masyarakat Sipil Surabaya: Proses RUU Penyiaran Salah

    Surabaya (beritajatim.com) – Elemen masyarakat sipil Surabaya menolak keberadaan RUU Penyiaran yang saat ini tengah dibahas di DPR RI. Mereka menyatakan RUU tersebut diproses melalui mekanisme yang salah.

    “Kami sepakat bahwa RUU Penyiaran ini harus ditolak, prosesnya sudah salah, kontennya banyak yang bermasalah,” ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer, dalam keterangan tertulis diterima beritajatim.com, Rabu (22/5/2024).

    Penolakan tersebut dinyatakan dalam konsolidasi yang diikuti perwakilan antaranya AJI Surabaya, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Surabaya, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera, LBH Surabaya, Aksi Kamisan, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), akademisi, seniman, konten kreator dan elemen masyarakat sipil lainnya.

    Eben menyatakan ada prosedur yang salah dalam pembahasan RUU Penyiaran. Hal itu diiringi dengan kemunculan sejumlah pasal aneh yang bertentangan dengan kemerdekaan pers.

    Salah satu contoh yang diutarakan Eben yaitu munculnya Pasal 50b ayat 2c. Pasal itu secara jelas memuat larangan penayangan konten investigasi yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

    “Ini melanggar kepentingan publik, karena hak publik untuk tahu adalah hak asasi manusia, dan tugas itu amanah itu dititipkan kepada jurnalis,” kata dia.

    Eben juga mengungkapkan ada banyak pasal di RUU Penyiaran yang juga bermasalah. Seperti hilangnya aturan kepemilikan media, pasal berbahaya bagi demokratisasi media, serta pasal ancaman terhadap perlindungan kelompok minoritas.

    Meski begitu, Eben menegaskan bukan berarti sikap penolakan RUU tersebut menandakan penerimaan terhadap UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Menurut dia, UU tersebut masih bermasalah hingga saat ini.

    “Kami menganggap itu harus dikaji ualng dari awal dengan melibatkan partisipasi publik,” kata dia,

    Ketua IJTI Korda Surabaya Falentinus Hartayan yang hadir pada forum konsolidasi itu mengatakan, RUU Penyiaran yang sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini sebaiknya tak buru-buru untuk disahkan.

    “IJTI sendiri menilai, jangan terburu-buru RUU penyiaran ini menjadi undang-undang, karena ada banyak atau ada beberapa poin pasal-pasal yang kontroversial dan bermasalah,” kata Falen.

    Contohnya, kata Falen, yakni pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi. Yakni di Pasal 50b ayat 2c. Menurutnya bakal aturan itu akan membunuh roh jurnalisme mereka.

    “Padahal jurnalisme investigasi itu adalah roh dari kerja-kerja jurnalistik kami,” tuturnya.

    Masalah lain ialah Pasal 42 ayat 2 yang memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengeketa jurnalistik penyiaran.

    “Di pasal itu KPI bisa menangani sengketa, itu bertentangan dengan UU 40 tahun 1999 tentang Pers, yang di mana fungsi dari Dewan Pers menyelesaikan sengeketa pers. Jadi di sini ada tumpang tindih,” ujar dia.

    Sementara itu, Koordinator Kontras Surabaya, Fathul Khoir mengatakan, RUU Penyiaran ini terindikasi memiliki niat jahat untuk membunuh demokrasi, memberangus kemerdekaan pers serta membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat.

    “Dalam diskusi tadi ada beberapa poin penting. Salah satunya bahwa RUU ini ada indikasi untuk membungkam demokrasi dan kebebasan berekspresi,” kata Fatkhul.

    Fatkhul menyebut salah satu poin yang krusial ialah aturan yang membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa mengawasi ‘platform digital penyiaran’.

    Istilah ‘platform digital penyiaran’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A meliputi layanan siaran suara atau layanan siaran suara-gambar. Hal ini masih tidak didefinisikan secara jelas dan rancu. Artinya,  wewenang KPI berpotensi melakukan penyensoran di berbagai layanan internet, termasuk yang dibuat oleh konten kreator.

    Dengan demikian, kata dia, semua produk dari pelaku budaya, kesenian, atau konten kreator yang muncul dalam platform-platform digital akan diawasi dan diatur oleh KPI, serta harus tunduk pada larangan yang sangat normatif dan berpotensi memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi.

    “Ini kan rentan kemudian dipakai penguasa sebagai alat untuk melakukan sensor terhadap lembaga penyiaran atau konten digital,” ucapnya.

    Maka tidak akan ada lagi ruang alternatif bagi para seniman untuk mendistribusikan karya tanpa kekangan negara. Selama ini, UU Penyiaran sudah mempersempit ruang berkesenian di kanal publik (TV dan radio) dan UU Perfilman memberlakukan sensor di bioskop.

    “Kami enggak bisa membayangkan bagaimakan konten kreator yang bekerja sendiri kemudian dia harus melaporkan setiap konten yang dimiliki ke KPI. Lali KPI akan melakukan sensor apakah ini layak atau tidak layak, ini yang kemudian saya bilang adalah ruang untuk membatasi,” ujarnya.

    Jadi, problem RUU Penyiaran ini bukan hanya soal pers saja. Tapi kata Fathul, RUU ini membatasi hak publik untuk mendapatkan akses informasi yang benar. Hal itu jelas melanggar hak asasi manusia.

    Setelah konsolidasi ini, Fatkhul berharap seluruh elemen masyarakat sipil untuk bergerak melakukan kajian dan aksi menolak RUU Penyiaran ini.

    “Kami akan terus mengkaji. Karena memang kita tahu bahwa revisi terhadap UU tidak bisa dihindarkan, tapi kemudian bukan seperti ini cara untuk membuat revisi UU, karena memang dari awal revisi ini tidak melibatkan partisipasi publik dan bahkan kami duga tidak melibatkan orang-orang yang punya kompetensi di dunia jurnalis,” pungkasnya. [beq]

  • Wartawan Sampang Gelar Unjuk Rasa Tolak RUU Penyiaran

    Wartawan Sampang Gelar Unjuk Rasa Tolak RUU Penyiaran

    Sampang (beritajatim.com) – Puluhan wartawan yang bertugas di Kabupaten Sampang, Madura, menggelar aksi menolak Rancangan Undang Undang (RUU) penyiaran di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat,Senin (20/5/2024).

    Dalam aksinya, mereka membawa poster dan replika keranda mayat. Kamaluddin Harun, koordinator lapangan mengatakan, larangan penayangan hasil peliputan jurnalisme investigasi mengancam kebebasan pers.

    “Dengan tegas kami menolak RUU Penyiaran. Selain itu penyelesaian sengketa pers di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan tumpang tindih dengan kewenangan Dewan Pers,” katanya di depan gedung DPRD Sampang.

    Ia menambahkan, revisi UU Penyiaran secara nyata membatasi kerja jurnalistik. Oleh sebab itu pihaknya berharap pemerintah dan DPR meninjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran itu.

    “Larangan penayangan hasil liputan investigasi dalam revisi RUU Penyiaran jelas membungkam karya jurnalistik yang berkualitas,” imbuhnya.

    Menanggapi demo para wartawan tersebut, Ketua DPRD Sampang H.Aulia Rahman menyepakati apa yang disampaikan oleh para jurnalis tentang penolakan RUU penyiaran. “Kami mendukung kawan-kawan jurnalis untuk menolak RUU penyiaran karena mencederai kebebasan pers,” ujarnya.

    Pihaknya juga berjanji akan komitmen untuk membawa surat dan petisi para jurnalis ke DPR-RI. “Kami akan mengawal keinginan teman-teman jurnalis hingga ke pusat,” janjinya. [sar/suf]

  • Tolak RUU Penyiaran, Jurnalis Pamekasan: Alarm Bahaya bagi Pers Indonesia

    Tolak RUU Penyiaran, Jurnalis Pamekasan: Alarm Bahaya bagi Pers Indonesia

    Pamekasan (beritajatim.com) – Jurnalis Pamekasan menilai Rencana Undang-Undang (RUU) Penyiaran, membungkam kebebasan pers sekaligus menjadi alarm berbahaya bagi pers di Indonesia.

    Hal tersebut disampaikan Mohammad Khairul Umam, saat berorasi dalam aksi damai menolak RUU Penyiaran di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pamekasan, Jl Kabupaten 107 Pamekasan, Jum’at (17/5/2024).

    Terlebih RUU tersebut merupakan salah satu upaya revisi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, justru sangat berpotensi membunuh kebebasan pers.

    Apalagi terdapat beberapa poin yang menjadi atensi dari kalangan insan pers, khususnya di Pamekasan, di antaranya Pasal 56 Ayat 2 berisi larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

    Termasuk juga Pasal 42 Ayat 2 berbunyi penyelesaian sengketa jurnalistik yang seharusnya menjadi wewenang Dewan Pers, justru dialihkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

    “Kondisi ini tentu menjadi alarm bahaya bagi pers di Indonesia, sebab investigasi adalah puncak penugasan jurnalistik dan larangan justru akan membungkam kami,” kata Mohammad Khairul Umam.

    Penolakan serupa juga terkait sengketa jurnalistik yang selama ini ditangani Dewan Pers, justru akan dialihkan dan ditangani KPI. Bahkan kondisi tersebut dinilai sarat akan kepentingan.

    “Jika KPI justru berpotensi mendapat intervensi dari pihak tertentu, sehingga penyelesaian sengketa kemungkinan tidak independen,” ungkap jurnalis yang tercatat sebagai Ketua Aliansi Jurnalis Pamekasan (AJP).

    Dari itu pihaknya meminta wakil rakyat di wilayah setempat, agar segera meneruskan tuntutan insan pers. “Maka dari itu kami meminta kepada DPRD Pamekasan, segera menindak lanjuti sekaligus melanjutkan tuntutan kami ke DPR Pusat (DPR RI) agar RUU tersebut tidak disahkan, dan wajib diperbaiki lagi,” pungkasnya. [pin/ian]

  • Cara Jurnalis Pamekasan Tolak RUU Penyiaran, Tuntut DPRD Sampaikan ke Pusat

    Cara Jurnalis Pamekasan Tolak RUU Penyiaran, Tuntut DPRD Sampaikan ke Pusat

    Pamekasan (beritajatim.com) – Sejumlah jurnalis dari berbagai komunitas di Pamekasan menolak Rencana Undang-Undang Penyiaran karena dinilai membungkam kebebasan pers.

    Penolakan tersebut dilakukan dalam aksi damai di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pamekasan, Jl Kabupaten 107 Pamekasan, Jumat (17/5/2024).

    Bahkan koordinator aksi, Mohammad Khairul Umam menilai jika RUU sebagai upaya revisi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, justru sangat berpotensi membunuh kebebasan pers.

    Terdapat beberapa poin yang menjadi sorotan dalam aksi tersebut, di antaranya Pasal 56 Ayat 2 berisi larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, serta Pasal 42 Ayat 2 berbunyi penyelesaian sengketa jurnalistik yang seharusnya menjadi wewenang Dewan Pers, justru dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

    “Kondisi ini tentu menjadi alarm bahaya bagi pers di Indonesia, sebab investigasi adalah puncak penugasan jurnalistik dan larangan justru akan membungkam kami,” kata Mohammad Khairul Umam.

    Penolakan serupa juga terkait sengketa jurnalistik akan ditangani KPI yang selama ini ditangani Dewan Pers. “Jika KPI justru berpotensi mendapat intervensi dari pihak tertentu, sehingga penyelesaian sengketa kemungkinan tidak independen,” ungkapnya.

    “Maka dari itu kami meminta kepada DPRD Pamekasan, segera menindak lanjuti sekaligus melanjutkan tuntutan kami ke DPR Pusat (DPR RI) agar RUU tersebut tidak disahkan, dan wajib diperbaiki lagi,” sambung jurnalis yang tercatat sebagai Ketua Aliansi Jurnalis Pamekasan (AJP).

    Dalam aksi tersebut, para insan pers juga menunggu konfirmasi langsung dari wakil rakyat, sehingga Wakil Ketua DPRD Pamekasan, Hermanto berjanji segara meneruskan tuntutan jurnalis ke DPR RI.

    “Kebetulan anggota (DPRD Pamekasan) yang lain sedang perjalanan dinas, namun kami pastikan tuntutan dari rekan-rekan akan segera kami antarkan ke Jakarta,” pungkasnya. [pin/ian]

  • PWI, AJI, IJTI Hingga PFI Tolak Revisi UU Penyiaran di Gedung DPRD Kota Malang

    PWI, AJI, IJTI Hingga PFI Tolak Revisi UU Penyiaran di Gedung DPRD Kota Malang

    Malang (beritajatim.com) – Puluhan pekerja media di Malang Raya yang tergabung dalam lintas organisasi mulai dari PWI, AJI, IJTI, PFI dan pers mahasiswa menggelar aksi damai menolak Revisi UU Penyiaran. Demo digelar di depan Gedung DPRD Kota Malang, pada Jumat, (17/5/2024).

    Mereka menolak RUU Penyiaran karena dianggap mengekang kebebasan pers. Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers tidak boleh dibatasi. Sebab, pembatasan pers sama dengan pengekangan demokrasi.

    “Gabungan lintas organisasi menjadi satu kekuatan, kami meminta jaminan kebebasan pers. Kebebasan pers adalah kontrol demi hal yang lebih baik,” ujar Ketua PWI Malang Raya, Cahyono.

    Ketua AJI Malang, Benni Indo menyebut, larangan penayangan eksklusif konten investigasi membatasi kebebasan pers. Dalam hal jurnalistik investigasi yang disiarkan dibatasi dengan keharusan mematuhi UU penyiaran dan turunan dalam P3 SIS. Pelarangan dijelaskan secara spesifik pada investigasi dengan seleksi melalui KPI.

    “Investigasi adalah roh dari jurnalisme. Pelarangan penayangan eksklusif konten investigasi sama dengan membatasi kebebasan pers,” ujar Benni Indo.

    Sedangkan, Ketua IJTI Malang Raya, Moch Tiawan mengatakan, setelah menggelar aksi mereka akan mengirim surat rekomendasi kepada DPRD se Malang Raya. Mulai dari Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu. “Nantinya kita akan mengirim surat rekomendasi kepada DPRD se Malang Raya. Agar rekomendasi itu diteruskan ke DPR RI,” ujar Tiawan. (luc/kun)