KPAI Dukung Kebijakan Penerapan Jam Malam Dedi Mulyadi, tetapi…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (
KPAI
) mendukung rencana Gubernur Jawa Barat,
Dedi Mulyadi
, untuk menerapkan
jam malam
bagi pelajar.
Aturan soal jam malam berupa pembatasan aktivitas siswa di luar rumah sejak pukul 21.00 WIB hingga 04.00 WIB tercantum dalam Surat Edaran Gubernur Jabar Nomor 51/PA.03/Disdik.
“Saya kira penerapan jam malam adalah langkah positif untuk memberikan perlindungan kepada anak. Tetapi kenapa sasarannya hanya untuk peserta didik,” ujar Komisioner KPAI Aris Adi Leksono kepada Kompas.com, dikutip Rabu (4/6/2025).
Aris menuturkan, surat edaran tersebut tidak menjangkau anak-anak yang tidak berstatus peserta didik, sehingga perlu diberikan penegasan.
“Ini perlu diberikan penjelasan ke publik. Karena angka anak tidak sekolah di Jawa Barat juga tinggi,” tuturnya.
Karena itu, KPAI berharap penetapan kebijakan ini melibatkan unsur ekosistem perlindungan anak di tingkat RT/RW dan Desa.
“Orangtua, PATBM, Puspaga, dan lainnya. Semua komponen sistem harus memahami tata laksana program ini, sehingga efektif penerapannya,” imbuh Aris.
Selain itu, KPAI berharap petugas yang disiapkan untuk mengawal dan mengawasi jalannya jam malam harus memahami serta menerapkan safeguarding atau kebijakan keselamatan anak.
Sebagai informasi, surat edaran mewajibkan semua pelajar, dari tingkat dasar hingga menengah, untuk tidak berada di luar rumah antara pukul 21.00 hingga 04.00 WIB, kecuali untuk keperluan penting atau dalam situasi darurat, seperti kegiatan sekolah atau keagamaan.
Pelajar diperbolehkan berada di luar jika mengikuti kegiatan resmi yang diselenggarakan oleh sekolah atau lembaga pendidikan.
Selain itu, mereka juga dapat berada di luar rumah dalam pendampingan orangtua atau saat menghadapi keadaan darurat, seperti bencana alam.
Regulasi jam malam ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 35 Tahun 2014, yang merupakan amendemen atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sanksi akan dikenakan kepada pelajar yang melanggar aturan ini, berupa pemanggilan ke guru bimbingan konseling (BK) di sekolah mereka.
“Mereka pasti akan dipanggil ke guru BK, dan akan ada proses pendidikan selanjutnya,” ujar Gubernur Dedi Mulyadi pada Selasa (27/5/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: KPAI
-
/data/photo/2025/02/14/67aede66f1e20.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Lewat Bahasa Sehari-hari, Ibu Bongkar Dugaan Pelecehan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Tangsel Megapolitan 2 Juni 2025
Lewat Bahasa Sehari-hari, Ibu Bongkar Dugaan Pelecehan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Tangsel
Tim Redaksi
TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com –
Keluarga korban pelecehan seksual terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) membongkar peristiwa tersebut dengan pendekatan komunikasi yang tidak biasa.
Ibu korban menggali pengakuan sang anak, HP (17), melalui bahasa sehari-hari yang biasa mereka gunakan di rumah. Istilah tersebut yang merujuk pada tindakan pelecehan pada fisik.
Menurut juru bicara keluarga korban, Muhammad Cahyadi, sang anak kemudian membenarkan pertanyaan itu.
“Iya,” jawab korban yang ditiru Cahyadi saat dikonfirmasi
Kompas.com
, Senin (2/6/2025).
Ia menjelaskan, sang ibu sudah mulai merasakan gelagat aneh korban sejak Oktober-November 2024. Saat itu, ibu korban mengatakan ada perilaku yang tidak biasa dari anaknya.
Pasalnya, sang ibu mendapati perubahan perilaku anak yang mengarah pada dugaan tindakan kekerasan seksual.
“Mulai terlihat perilaku negatif dari korban. Ibu korban mencurigai adanya perubahan karena korban mulai menunjukkan perilaku yang belum pernah muncul,” jelas Cahyadi.
Karena keterbatasan komunikasi anak yang termasuk kategori ABK, ibu korban menggunakan pendekatan bahasa internal keluarga untuk memudahkan anak bercerita.
Dari pengakuan anak, nama seorang guru laki-laki disebutkan secara eksplisit dan korban berulang kali menyebut guru tersebut “jahat”.
Temuan ini semakin menguatkan kecurigaan sang ibu terhadap kemungkinan kekerasan seksual yang dialami anaknya di lingkungan sekolah.
Setelah mendengar pengakuan tersebut, orangtua korban segera menghubungi wali kelas dan menyampaikan kecurigaan tersebut kepada pihak sekolah.
Namun menurut Cahyadi, sekolah baru memberikan respons setelah satu minggu laporan disampaikan.
“Namun respons tersebut tidak berupa pertemuan formal, hanya pemanggilan biasa yang belum menyelesaikan permasalahan secara tuntas,” kata dia.
Adapun keluarga korban melaporkan kasus ini ke berbagai lembaga. Laporan pertama disampaikan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) pada 17 Maret 2025.
Satu hari setelahnya, ia melaporkan ke UPTD PPA Tangerang Selatan dan diarahkan untuk melapor ke Polres Tangerang Selatan.
Mereka pun akhirnya membuat laporan pada 18 Maret 2025 sekaligus direkomendasikan untuk melakukan visum di RSUD Serpong.
Laporan itu teregistrasi dengan nomor TBL/B/583/11/2025/SPKT/POLRES TANGERANG SELATAN POLDA METRO JAYA pada Selasa, 18 Maret 2025 sekitar pukul 11.45 WIB.
Kuasa hukum korban, Argus Sagittayama menyebutkan, pihak sekolah telah diberi arahan untuk berkomunikasi secara formal melalui kuasa hukum, namun hingga kini belum ada tindak lanjut atau komunikasi dari pihak sekolah.
”Kalau ingin bicara soal kasus ini, langsung ke pengacara saja,” kata Argus.
Kompas.com telah menghubungi Polres Tangerang Selatan untuk mengkonfirmasi peristiwa ini. Namun hingga berita ini ditayangkan, belum ada pernyataan resmi terkait peristiwa tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

DPR usul sekolah pekerjakan guru beragama minoritas demi siswa
Anggota Komisi X DPR RI Sabam Sinaga (ANTARA/Dokumentasi Pribadi
DPR usul sekolah pekerjakan guru beragama minoritas demi siswa
Dalam Negeri
Editor: Widodo
Sabtu, 31 Mei 2025 – 19:47 WIBElshinta.com – Anggota Komisi X DPR RI Sabam Sinaga mengusulkan setiap sekolah memperkerjakan guru dari agama minoritas demi meningkatkan kesetaraan pelayanan terhadap siswa.
“Sekolah-sekolah di mana pun di seluruh Indonesia ini merujuk pada Pasal 28 kebebasan beragama. Oleh karena itu, sebaiknya ada juga guru-guru yang minoritas itu ditempatkan,” kata Sabam dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, kehadiran guru dari kalangan agama minoritas di setiap sekolah dapat memberikan banyak manfaat.
Pertama, kata dia, sekolah dapat memberikan pemahaman kepada murid akan pentingnya menghargai perbedaan agama.
Dengan demikian, guru di setiap sekolah dapat menghindari perselisihan antarsiswa karena perbedaan agama.
Kehadiran guru dari kalangan agama minoritas, lanjut Sabam, juga dapat memancing sekolah untuk bertindak adil terhadap siswa dari kalangan agama minoritas.
Dengan demikian, setiap siswa dari kalangan agama minoritas akan merasakan pelayanan yang sama sehingga tidak merasa berbeda dari teman-teman yang lain.
Sabam mencontohkan di Papua atau di Manado, mayoritas nonmuslim. Akan tetapi, negara harus menyediakan guru pendidikan agama Islam jika di situ ada siswa beragama Islam.
“Selama ini mereka di luar kelas atau mengikuti kelas begitu saja,” jelas .
Guna memastikan seluruh siswa dari kalangan agama mendapatkan pelayanan yang sama, Sabam juga meminta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan pemantauan dan sosialisasi di sekolah.
Sosialisasi di setiap sekolah itu, menurut dia, perlu agar siswa dan sekolah memahami pentingnya saling menjaga dan menghormati antara umat agama.
Dengan ragam upaya tersebut, Sabam meyakini seluruh siswa dapat menjalankan kegiatan belajar dengan nyaman dan aman di sekolah.
Sumber : Antara
/data/photo/2025/06/03/683f1bbcd2a09.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/05/28/6836b6065d30e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


/data/photo/2025/05/28/6836cfaaaa6b9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5221323/original/014133200_1747316870-WhatsApp_Image_2025-05-15_at_13.21.24.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

