Kementrian Lembaga: KPAI

  • LBH Surabaya Catat Banyak Kasus Salah Tangkap dan Kekerasan Selama Demonstrasi Agustus 2025

    LBH Surabaya Catat Banyak Kasus Salah Tangkap dan Kekerasan Selama Demonstrasi Agustus 2025

    Surabaya (beritajatim.com) – Gelombang demonstrasi yang berlangsung di Surabaya pada 29 hingga 31 Agustus 2025, memunculkan masalah serius terkait prosedur penangkapan oleh aparat kepolisian.

    Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mengungkapkan bahwa mereka menerima banyak pengaduan terkait salah tangkap dan dugaan tindak kekerasan terhadap peserta aksi maupun warga sekitar. Direktur LBH Surabaya, Habibus Sholihin, menyatakan bahwa penangkapan yang acak dan tidak terstruktur ini menunjukkan kurangnya profesionalitas dari pihak kepolisian.

    Habibus mengingatkan pentingnya penegakan standar prosedur dalam pengendalian massa aksi. “Ada beberapa kewajiban dan larangan dari pihak aparat, sehingga di situ di dalamnya (Perkap 2019) juga harus memperhatikan hak asasi manusia,” ujarnya, mengacu pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) tahun 2019 tentang pengendalian huru-hara.

    Menurut catatan LBH Surabaya, setidaknya ada 5-10 orang yang menjadi korban salah tangkap selama gelombang demonstrasi. Para korban tersebut berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pekerja hingga warga yang kebetulan berada di sekitar lokasi aksi.

    “Salah satu korban adalah kurir ekspedisi yang mengenakan jaket hitam. Selain itu, ada juga warga yang terjebak di sekitar lokasi demonstrasi dan mereka yang hendak membeli nasi goreng di dekat BRI Tower,” kata Habibus menambahkan, Jumat (5/9/2025).

    Meskipun korban salah tangkap akhirnya dibebaskan setelah menjalani pemeriksaan 1×24 jam, hal tersebut tidak mengurangi kesalahan aparat dalam melakukan penangkapan tanpa dasar yang jelas. Kejadian ini menambah daftar panjang kekhawatiran mengenai profesionalisme aparat kepolisian dalam menangani demonstrasi.

    Selain kasus salah tangkap, LBH Surabaya juga mencatat adanya laporan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap peserta aksi. Sekitar 10-12 orang melaporkan luka-luka akibat tindakan aparat, seperti memar di bibir, kaki, punggung, dan luka bakar yang diduga disebabkan oleh sundutan rokok.

    “Jadi pertama, kami tetap fokus terhadap satu soal masalah para korban dulu karena para korban ini masih ada beberapa yang memang luka,” ungkapnya.

    Tidak hanya itu, LBH Surabaya juga mencatat bahwa sejumlah anak di bawah umur yang terlibat dalam aksi dan ditangkap mengalami trauma berat dan membutuhkan pemulihan psikologis. “Ada beberapa yang masih statusnya pelajar sangat takut, ada pemulihan trauma dan segala macamnya,” tambahnya.

    Di sisi lain, LBH Surabaya mengkritik kurangnya transparansi dari aparat kepolisian dalam memberikan informasi terkait jumlah orang yang ditangkap.

    “Kami masih mempertanyakan transparansi Polda. Apakah Polda hanya mendapatkan laporan semata, sementara fakta di lapangan seperti apa?” katanya, yang menyatakan bahwa tidak ada data pasti mengenai jumlah orang yang diamankan selama demonstrasi.

    Berdasarkan catatan Tim Advokasi LBH, setidaknya 110 orang ditangkap hingga 31 Agustus 2025, dengan 80 orang ditahan di Polrestabes Surabaya dan 30 orang di Polda Jatim. Meski sebagian besar telah dibebaskan, namun terdapat sejumlah orang yang nasibnya masih belum jelas, termasuk dua orang yang masih menjalani pemeriksaan di Polda Jatim.

    LBH Surabaya yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Rakyat Jawa Timur (TAWUR) menegaskan bahwa tindakan represif aparat kepolisian selama gelombang aksi tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, hukum, dan prinsip-prinsip demokrasi. [rma/suf]

    LBH Surabaya mengusung enam tuntutan kepada pihak kepolisian, antara lain:

    1.Mengutuk keras praktik kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian terhadap masyarakat yang mengakibatkan korban luka-luka di jawa timur.

    2.Mengecam praktik penangkapan sewenang-wenang dan upaya kriminalisasi terhadap warga yang tidak bersalah.

    3.Mendesak Kapolri untuk meminta jajaran kepolisian memberikan akses bantuan hukum, dan membebaskan masyarakat yang ditangkap tanpa prosedur atau aturan yang berlaku tanpa syarat.

    4.Mendesak Kapolri untuk segera memulihkan semua masyarakat yang menjadi korban dari tindak kekerasan aparat dan berikan rehabilitasi serta restitusi yang maksimal.

    5.Mendesak Lembaga Negara pengawas seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, KPAI untuk bekerja melakukan pengawasan sesuai dengan mandat maupun penyelidikan independen terkait dengan berbagai peristiwa kekerasan yang mengarah pada pelanggaran ham berat.

    6.Mendesak Pemerintah untuk tidak abai terhadap berbagai tuntutan rakyat diantaranya terkait dengan penolakan terhadap berbagai kebijakan yang merugikan rakyat dan kegagalan DPR RI menjalankan fungsinya.

     

  • KPAD Imbau Sekolah Tak Keluarkan Siswa yang Terlibat Kericuhan di Kota Bekasi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 September 2025

    KPAD Imbau Sekolah Tak Keluarkan Siswa yang Terlibat Kericuhan di Kota Bekasi Megapolitan 4 September 2025

    KPAD Imbau Sekolah Tak Keluarkan Siswa yang Terlibat Kericuhan di Kota Bekasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi mengimbau pihak sekolah untuk tidak mengeluarkan siswa yang terlibat dalam sejumlah aksi kericuhan di wilayah Bekasi.
    “Memang ada indikasi (sekolah hendak mengeluarkan pelajar terlibat aksi kericuhan). Beberapa yang diinfokan nanti akan dikeluarkan. Saya juga mohon kepada pihak sekolah tidak mengeluarkan anak-anak ini,” ucap Ketua KPAD Kota Bekasi, Novrian, saat dikonfirmasi, Kamis (4/9/2025).
    Menurut Novrian, sekolah harus membina siswa yang ikut terlibat dalam kericuhan, bukan malah menghukum dengan mengeluarkannya.
    “Karena memang tugas dan fungsi sekolah itu bukan hanya mengeluarkan, tapi bagaimana membina ketika ada anak-anak yang melakukan kekerasan,” tuturnya.
    Ia menambahkan, sebagian besar pelajar yang ikut kericuhan duduk di bangku SMP dan SMA.
    Mereka diduga terlibat karena faktor ketidaktahuan dan sekadar ingin menunjukkan eksistensi diri.
    “Yang mungkin mereka juga tidak direncanakan, ketidaktahuan mereka. Itu harusnya dibina, bukan untuk dikeluarkan. Karena tugas fungsi pendidikan adalah membina, bukan ketika ada anak yang salah, hukumannya adalah mengeluarkan,” tutupnya.
    Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi menyebut sejauh ini masih ada 10 anak yang diperiksa polisi terkait kerusuhan di sejumlah titik di Kota Bekasi.
    Ketua KPAD Kota Bekasi, Novrian mengatakan, sembilan anak ditangkap di TKP Polsek Pondok Gede, dan satu di TKP Polres Metro Bekasi Kota.
     
    “Memang ada 10 anak yang masih digali keterangannya dan terus kita dampingi. Mudah-mudahan sih bisa segera dipulangkan dalam konteks nanti akan ada pembinaan di keluarga maupun di sekolah,” ujar Novrian ketika dikonfirmasi, Rabu (3/9/2025).
    Hasil dari asesmen KPAI dan keterangan polisi, anak di bawah umur itu terindikasi ingin membakar serta melempar molotov.
    Bahkan, salah satu anak yang masih diproses hukum itu masih ada yang duduk di bangku SMP.
    “Memang ada anak SMP, tapi mayoritas dari SMA ya, usia di atas 14 tahun ya,” kata Novrian.
    “Itu kebanyakan saat penyerangan di Pondok Gede,” imbuh dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Buntut Pembakaran DPRD, 2 Pelajar di Blitar Ajukan Tahanan Kota Agar Bisa Lanjut Sekolah

    Buntut Pembakaran DPRD, 2 Pelajar di Blitar Ajukan Tahanan Kota Agar Bisa Lanjut Sekolah

    Blitar (beritajatim.com) – Dua remaja berstatus pelajar yang terseret kasus kerusuhan dan pembakaran Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Blitar, kini berjuang untuk mendapatkan haknya kembali. Mereka adalah RSN (15) dan MRS (16), dua dari belasan tersangka yang ditetapkan polisi.

    Melalui kuasa hukumnya, mereka mengajukan permohonan agar status penahanannya dialihkan menjadi tahanan kota. Permintaan ini memiliki satu tujuan mulia yakni agar mereka tetap bisa melanjutkan pendidikan di sekolah.

    Wahyu Chandra Triawan, kuasa hukum kedua pelajar tersebut, menjelaskan bahwa permohonan ini telah disampaikan kepada Polres Blitar. Saat ini, RSN dan MRS ditahan di Lapas Anak Blitar.

    “Penanganan anak berkonflik dengan hukum seharusnya mengedepankan keadilan restoratif,” ujar Chandra, Kamis (4/9/2025).

    Menurut Chandra, keterlibatan kedua remaja ini tidak signifikan. Chandra juga menambahkan bahwa kedua murid tersebut hanya “ikut-ikutan” karena masih labil secara emosional.

    Sebagai pelajar SMP di Garum dan SMK di Kota Blitar, mereka berkomitmen untuk tidak melarikan diri dan siap mengikuti seluruh proses hukum. Untuk meyakinkan pihak kepolisian, orang tua, lurah, dan pihak sekolah juga turut menjadi penjamin.

    Chandra berharap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bisa memberikan perhatian khusus pada kasus ini. Ia menambahkan, sebenarnya anak-anak ini juga merupakan korban bujukan atau hasutan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

    “Keduanya juga tidak akan melarikan diri selama proses penyidikan maupun penuntutan, serta komitmen tidak mempersulit proses hukum dan siap hadir dalam setiap proses pemeriksaan,”paparnya.

    Sebelumnya, Polres Blitar telah menetapkan 12 tersangka terkait aksi massa yang berakhir dengan perusakan, pencurian, dan pembakaran pada 30 Agustus 2025. Dari 12 tersangka, 11 di antaranya adalah anak di bawah umur. Sembilan orang ditahan, sementara tiga lainnya tidak karena masih berusia 13 tahun.

    Kini, nasib RSN dan MRS berada di tangan pihak kepolisian. Akankah permohonan mereka dikabulkan, dan mereka bisa kembali ke bangku sekolah atau tidak.

    “Karena anak-anak tersebut sebenarnya juga korban dari bujukan, ajakan dan hasutan oknum-oknum yang memanfaatkannya,” tandasnya. [owi/beq]

  • KPAD Imbau Sekolah Tak Keluarkan Siswa yang Terlibat Kericuhan di Kota Bekasi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 September 2025

    Ricuh di Kota Bekasi, 10 Anak Masih Diperiksa Polisi Megapolitan 3 September 2025

    Ricuh di Kota Bekasi, 10 Anak Masih Diperiksa Polisi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi menyebut sejauh ini masih ada 10 anak yang diperiksa polisi terkait kerusuhan di sejumlah titik di Kota Bekasi.
    Ketua KPAD Kota Bekasi, Novrian mengatakan, sembilan anak ditangkap di TKP Polsek Pondok Gede, dan satu di TKP Polres Metro Bekasi Kota.
    “Memang ada 10 anak yang masih digali keterangannya dan terus kita dampingi. Mudah-mudahan sih bisa segera dipulangkan dalam konteks nanti akan ada pembinaan di keluarga maupun di sekolah,” ujar Novrian ketika dikonfirmasi, Rabu (3/9/2025).
    Hasil dari asesmen KPAI dan keterangan polisi, anak di bawah umur itu terindikasi ingin membakar serta melempar molotov.
    Bahkan, salah satu anak yang masih diproses hukum itu masih ada yang duduk di bangku SMP.
    “Memang ada anak SMP, tapi mayoritas dari SMA ya, usia di atas 14 tahun ya,” kata  Novrian.
    “Itu kebanyakan saat penyerangan di Pondok Gede,” imbuh dia.
    KPAI berupaya agar 10 anak tersebut bisa dikembalikan melalui
    restorative justice
    .
    Sedangkan 13 anak lainnya sudah dipulangkan ke keluarga masing-masing.
    “Karena memang tidak terbukti mereka melakukan tindakan kekerasan di lapangan. Nah itu anak-anak yang dipulangkan, yang menonton atau yang tidak melakukan tindakan,” kata dia.
    Sebelumnya, berdasarkan data dari Polres Metro Bekasi Kota, terdapat 23 anak yang ditangkap. Sebanyak 14 anak ditangkap di TKP Polres Metro Bekasi Kota, sedangkan 9 anak di TKP Polsek Pondok Gede.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • LBH-YLBHI Ungkap Massa Aksi yang Ditangkap Aparat Keamanan Capai 3.337 Orang, 10 Meninggal

    LBH-YLBHI Ungkap Massa Aksi yang Ditangkap Aparat Keamanan Capai 3.337 Orang, 10 Meninggal

    Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat hingga 1 September 2025, sedikitnya 3.337 orang ditangkap, 1.042 mengalami luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit, serta 10 orang meninggal dunia akibat tindakan represif aparat kepolisian dan TNI terhadap massa aksi di berbagai daerah dalam menangani demonstrasi.

    “Hingga hari ini LBH-YLBHI mencatat setidaknya 3337 orang ditangkap, 1042 mengalami luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit, serta 10 Orang Meninggal,” tulis pernyataan resmi LBH-YLBHI, dikutip Selasa (2/9/2025).

    Organisasi ini menilai pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto telah menggunakan aparat untuk menyebarkan ketakutan terhadap warga negara sendiri. Penggunaan kekerasan, tuduhan kriminalisasi, penangkapan massal, penembakan gas air mata hingga ke dalam kampus, serta pengerahan tentara dalam patroli dinilai sebagai bentuk represi sistematis.

    Pasca instruksi Presiden Prabowo pada 31 Agustus 2025 agar aparat melakukan penindakan tegas terhadap massa, intensitas represi dilaporkan meningkat. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahkan disebut mengeluarkan perintah tembak terhadap massa yang masuk ke kantor polisi. 

    Di lapangan, LBH-YLBHI melaporkan penangkapan terjadi di sedikitnya 20 kota, termasuk Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Bali, Pontianak, dan Sorong. Aparat disebut tidak hanya menangkap massa aksi, tetapi juga warga sekitar lokasi. Selain itu, pengacara publik LBH di beberapa daerah mengalami intimidasi, penangkapan, hingga penganiayaan ketika mendampingi massa yang ditahan.

    YLBHI juga menyoroti adanya pembatasan akses informasi dengan pelarangan liputan media dan pemblokiran konten media sosial, yang dinilai mengganggu hak masyarakat atas informasi sekaligus aktivitas ekonomi.

    Atas berbagai peristiwa itu, LBH-YLBHI menyatakan delapan sikap, di antaranya mengutuk penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat, mengecam penangkapan sewenang-wenang, serta mendesak pemerintah menarik keterlibatan TNI dari penanganan keamanan sipil. LBH-YLBHI juga meminta Kapolri Listyo Sigit mundur dari jabatannya dan memulihkan hak korban kekerasan.

    Selain itu, YLBHI meminta lembaga negara pengawas seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman, dan KPAI melakukan penyelidikan independen terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat.

    “Mendesak Pemerintah untuk tidak abai terhadap berbagai tuntutan rakyat diantaranya terkait dengan penolakan terhadap berbagai kebijakan yang merugikan rakyat dan kegagalan DPR RI menjalankan fungsinya,” tertulis dalam pernyataan resmi LBH-YLBHI.

  • Polda Metro Sebut Pelaku Anarkis Pakai Narkoba untuk Hilangkan Rasa Takut

    Polda Metro Sebut Pelaku Anarkis Pakai Narkoba untuk Hilangkan Rasa Takut

    Jakarta

    Polda Metro Jaya mengungkapkan ada sebanyak 22 orang dianggap perusuh yang positif mengonsumsi narkoba dalam kericuhan yang terjadi di Jakarta. Penggunaan narkoba maupun obat keras ini disebut untuk menambah motivasi hingga menghilangkan rasa takut para perusuh.

    “Mereka menggunakan obat obat itu memang tujuannya niatnya untuk menambah motivasi dan menghilangkan rasa takut dalam pelaksanaan unjuk rasa,” kata Dirresnarkoba Polda Metro Jaya Kombes Ahmad David dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (2/9/2025).

    David menjelaskan mereka menggunakan atau mengonsumsi narkoba sejak 3-7 hari sebelum peristiwa demo ricuh. Hal ini diketahui setelah dilakukan pemeriksaan.

    “Setelah kita lakukan pemeriksaan dan dilakukan assessment, bahwasanya mereka menggunakan 3-7 hari sebelum pelaksanaan unjuk rasa ataupun kerusuhan,” jelas David.

    Dia menyampaikan barang haram yang dikonsumsi oleh para perusuh ini pun beragam. Namun dia menjamin bahwa 22 perusuh yang positif narkoba akan direhabilitasi hingga pulih.

    Seperti diketahui, polisi mengamankan 337 orang terkait aksi anarkis di gedung DPR/MPR pada 25 Agustus 2025. Polisi kemudian mendata orang yang diamankan. Pelaku anak-anak kemudian dikembalikan ke orang tuanya.

    “Kemudian terhadap massa yang diamankan dilakukan pendataan, pemeriksaan urine, komunikasi, pemisahan dengan klaster anak, anak adalah yang berusia di bawah 18 tahun, kemudian dilakukan konseling terhadap anak dengan mengundang stakeholder, mengundang KPAI, dinas terkait, mengundang orang tuanya, menghubungi pihak sekolahnya, keesokan harinya anak-anak ini dikembalikan ke orang tuanya, ke keluarganya masing-masing,” tutur dia.

    (fca/fca)

  • Kriminal Kemarin, Kapolri minta maaf hingga 7 polisi diamankan

    Kriminal Kemarin, Kapolri minta maaf hingga 7 polisi diamankan

    Irjen Polisi Abdul Karim memastikan penanganan kasus kendaraan taktis (rantis) yang menabrak dan melindas pengemudi ojek online (ojol) hingga tewas dilakukan secara transparan

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah peristiwa berkaitan dengan kriminal dan keamanan terjadi di Jakarta pada Kamis (28/8), mulai dari Kapolri minta maaf hingga pengamanan tujuh polisi soal rantis tabrak ojol.

    Berikut rangkuman berita selengkapnya:

    1. Kapolri minta maaf secara langsung kepada keluarga ojol yang tewas

    Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo meminta maaf secara langsung kepada keluarga pengemudi ojek online (ojol) yang tewas tertabrak kendaraan taktis (rantis) Brimob, saat mendatangi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jumat dini hari.

    Baca di sini

    2. Massa aksi demo di DPR bentrok dengan aparat pengamanan

    Ratusan massa yang melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR RI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis, mulai bentrok dengan aparat keamanan.

    Baca di sini

    3. Anak sekolah dimobilisasi oleh alumninya untuk ikut aksi di DPR

    Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pihak Kepolisian untuk mengusut mobilisator atau pihak yang mengerahkan anak sekolah untuk mengikuti unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI, Senayan, Jakarta.

    Baca di sini

    4. Polri pastikan tangani kasus rantis tabrak ojol secara transparan

    Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Polisi Abdul Karim memastikan penanganan kasus kendaraan taktis (rantis) yang menabrak dan melindas pengemudi ojek online (ojol) hingga tewas dilakukan secara transparan.

    Baca di sini

    5. Propam Polri amankan tujuh anggota terkait insiden rantis tabrak ojol

    Kadiv Propam Polri Irjen Pol Abdul Karim mengatakan, saat ini sedang memeriksa tujuh anggota Satbrimob Polda Metro Jaya terkait insiden kendaraan taktis (rantis) yang menabrak seorang pengemudi ojek online (ojol).

    Baca di sini

    Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
    Editor: M. Tohamaksun
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DKI Kemarin, aksi unjuk rasa hingga perang petasan-gas air mata

    DKI Kemarin, aksi unjuk rasa hingga perang petasan-gas air mata

    KPAI meminta pihak Kepolisian untuk memisahkan anak-anak dari massa unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI dengan cara persuasif dan humanis

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah berita seputar aksi unjuk rasa di Jakarta pada Kamis (28/8) masih layak untuk disimak hari ini, antara lain Massa aksi demo di DPR bentrok dengan aparat pengamanan hingga Letusan petasan dan tembakan gas air mata bersahutan di Pejompongan.

    Berikut ulasan selengkapnya:

    1. Massa aksi demo di DPR bentrok dengan aparat pengamanan

    Ratusan massa yang melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR RI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis, mulai bentrok dengan aparat keamanan.

    Baca di sini

    2. Kelompok tak dikenal langsung bertindak anarkis saat aksi di DPR

    Polda Metro Jaya mengidentifikasi adanya sekelompok orang tak dikenal dan tanpa koordinator lapangan langsung melakukan tindakan anarkis saat berlangsung unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI di Senayan, Jakarta.

    Baca di sini

    3. Dua pelajar bawa bom molotov ditangkap saat hendak unjuk rasa di DPR

    Kepolisian telah menangkap dua pelajar yang kedapatan membawa sejumlah bom molotov di dalam tas mereka saat akan mengikuti unjuk rasa di Gedung DPR/MPR/DPD RI pada Kamis.

    Baca di sini

    4. KPAI minta anak dipisahkan dari massa aksi dengan cara humanis

    Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pihak Kepolisian untuk memisahkan anak-anak dari massa unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI dengan cara persuasif dan humanis.

    Baca di sini

    5. Letusan petasan dan tembakan gas air mata bersahutan di Pejompongan

    Letusan petasan serta batu dan tembakan gas air mata saling bersahutan dalam bentrokan antara massa aksi dengan personel kepolisian di kawasan Pejompongan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Kamis petang.

    Baca di sini

    Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
    Editor: M. Tohamaksun
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KPAI Ungkap Ada Pelajar yang Dapat Kekerasan Aparat Saat Demo DPR, Tak Ikut Aksi tetapi Ditangkap
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Agustus 2025

    KPAI Ungkap Ada Pelajar yang Dapat Kekerasan Aparat Saat Demo DPR, Tak Ikut Aksi tetapi Ditangkap Nasional 27 Agustus 2025

    KPAI Ungkap Ada Pelajar yang Dapat Kekerasan Aparat Saat Demo DPR, Tak Ikut Aksi tetapi Ditangkap
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sylvana Maria Apituley, mengungkapkan, ada pelajar yang mengalami kekerasan fisik dari aparat karena ikut demonstrasi di Gedung DPR, Senin (25/8/2025) lalu.
    Hal ini diketahui Sylvana usai mendampingi 196 anak di bawah umur yang ditangkap aparat kepolisian Polda Metro Jaya saat mengikuti demonstrasi di area Gedung DPR/MPR RI, pada hari yang sama.
    “Lima anak menyatakan dirinya dan temannya mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum, yang berdampak luka di tubuh dan benjol di kepala,” kata Sylvana kepada Kompas.com saat dikonfirmasi, Rabu (27/8/2025).
    Kemudian, lanjut Sylvana, ada pelajar yang bersaksi bahwa ia dan dua temannya ikut diamankan meski mereka tidak ikut demo.
    “Mereka ikut diamankan dan menanggung risiko kelelahan selama di PMJ, padahal mereka hanya kebetulan berada di lokasi dan tidak bermaksud ikut aksi,” ucapnya.
    Sylvana menuturkan, ia mengapresiasi pihak PMJ yang terbuka memfasilitasi KPAI agar dapat melakukan tugas pengawasan terhadap ratusan anak yang ditangkap.
    Namun, KPAI mencatat bahwa selama di PMJ, anak-anak tidak mendapat pendampingan sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
    “Ini diakui oleh pihak PMJ dengan alasan karena anak-anak yang diamankan tidak diperiksa dan di-BAP, melainkan hanya diminta bercerita secara lisan dan tertulis pengalamannya dalam melakukan aksi,” ucapnya.
    KPAI menyimpulkan bahwa anak-anak yang diamankan di PMJ telah mengalami berbagai bentuk pengabaian dan pelanggaran hak-hak dasarnya yang dilindungi Konstitusi dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
    Di antaranya yakni hak bebas dari kekerasan, hak hidup, hak tumbuh kembang, hak untuk berpartisipasi, hak untuk tidak dieksploitasi dalam kegiatan politik, bebas dari pelibatan dalam kerusuhan sosial, dan bebas dari kegiatan yang mengandung unsur kekerasan.
    Adapun, data dari Polda Metro Jaya (PMJ) mencatat ada 196 anak laki-laki yang diamankan selama kurang lebih 20 jam di PMJ.
    Usia anak-anak yang ditangkap berkisar antara 12 hingga 17 tahun, berasal dari wilayah Jakarta, Tangerang-Banten, dan Bekasi-Jawa Barat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4 Kali Ganti Kanit-Penyidik Polres Metro Bekasi Kota tapi Pelaku Belum Ditangkap

    4 Kali Ganti Kanit-Penyidik Polres Metro Bekasi Kota tapi Pelaku Belum Ditangkap

    BEKASI – Keluarga korban R (8) meminta Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi menuntaskan kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan segera menangkap terduga pelaku berinisial DP (64) yang telah ditetapkan polisi sebagai daftar pencarian orang.

    “Sejak laporan dibuat, kasus ini sudah berganti empat kali Kanit dan penyidik. Setiap kali pergantian, keluarga harus kembali melapor dari awal,” kata ibu korban Q (34) usai mendatangi Mapolres Metro Bekasi bersama Komisioner KPAI, Antara, Rabu, 27 Agustus.

    Dirinya mengaku kecewa atas proses hukum yang terkesan lamban terhadap perkara tindak pidana kekerasan seksual yang menimpa anaknya tersebut padahal kasus ini sudah dilaporkan sejak Juni 2023.

    Dia menjelaskan konstruksi awal kasus tersebut bermula pada dua tahun lalu. Semula, putrinya disuruh menyentuh alat kelamin pelaku di rumahnya dengan modus iming-iming mainan, jajanan dan menonton YouTube lewat telepon genggam pelaku.

    Dirinya meyakini kejadian itu baru tahap awal dan berlanjut dengan tindakan-tindakan kekerasan seksual lain yang menimpa putrinya hingga pihak keluarga akhirnya mengetahui serta melaporkan ke aparat berwajib.

    “Saya yakin kejadian bukan sekali, karena anak saya sampai trauma ketika buang air kecil. Bahkan adiknya juga sempat melihat langsung kejadian saat itu,” katanya.

    Akibat peristiwa itu, korban mengalami trauma berat hingga kini, menjadi takut saat bertemu laki-laki yang tidak dikenal bahkan saat di sekolah tidak mau dengan dengan guru laki-laki.

    Ia mengaku sempat berpapasan langsung dengan terduga pelaku pada Agustus 2024 hingga merekam video pertemuan itu dan menyerahkan ke penyidik. Namun hingga kini, tersangka belum ditangkap.

    “Polisi bilang pelaku sudah tidak di sini, tapi warga masih sering melihat dia. Saya sendiri sempat menemui langsung dan mengajaknya ke kantor polisi. Nyatanya tidak ada tindak lanjut. Lambat sekali penanganannya,” ucapnya.

    Ibu korban berharap kasus ini mendapat atensi khusus langsung dari Kapolres Metro Bekasi hingga Kapolri dan berharap kejadian serupa tidak menimpa anak-anak di Indonesia.

    “Pesan untuk Pak Kapolri dan Kapolres, mohon untuk kasus-kasus anak di bawah umur ini agar menjadi perhatian khusus, karena ini sudah dua tahun berlalu dan tidak menutup kemungkinan di tempat lain dia tinggal, ada korban-korban bermunculan yang bisa jadi orang tuanya pun tidak berani untuk speak up. Untuk Pak Kapolres, saya mohon juga atensi, karena Kabupaten Bekasi itu banyak sekali kasus-kasus seperti ini, tapi tidak mendapat perhatian lebih,” katanya.

     

    Kapolres Metro Bekasi Kombes Mustofa saat diminta keterangan secara terpisah menyatakan bahwa terduga pelaku saat ini sudah masuk ke dalam daftar pencarian orang atau DPO kepolisian.

    “Tersangka DPO,” ujar Kapolres.