Dilarang MK, Polri Malah Buka Jalan Polisi Menjabat di 17 Instansi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dinilai bermasalah.
Lewat aturan tersebut, Kapolri mengatur bahwa polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga, meski hal itu sudah dilarang oleh
Mahkamah Konstitusi
(MK).
MK lewat putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 13 November 2025 melarang anggota Polri menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.
Namun, tak sampai sebulan kemudian, pada 9 Desember 2025, Listyo Sigit justru meneken
Perpol 10/2025
yang membuka pintu bagi polisi aktif untuk menjabat di 17 kementerian/lembaga di luar Polri.
Instansi-instansi dimaksud adalah Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan.
Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan.
Lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Profesor hukum tata negara Mahfud MD menyatakan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan MK di atas.
“Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menurut putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 anggota Polri, jika akan masuk ke institusi sipil harus minta pensiun atau berhenti dari Polri. Tidak ada lagi mekanisme alasan penugasan dari Kapolri,” kata Mahfud kepada
Kompas.com
, Jumat (12/12/2025).
Selain bertentangan dengan putusan MK, Mahfud yang juga mantan Ketua MK ini menilai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan Undang-Undang ASN.
UU ASN mengatur bahwa pengisian jabatan ASN oleh polisi aktif diatur dalam UU Polri, sedangkan di UU Polri sendiri tidak mengatur mengenai daftar kementerian yang bisa dimasuki polisi aktif, ini berbeda dengan UU TNI yang menyebut 14 jabatan sipil yang bisa ditempati anggota TNI.
“Jadi Perpol ini tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya,” kata Mahfud.
Ia juga menekankan, Polri saat ini merupakan institusi sipil, namun itu tidak bisa menjadi landasan bagi polisi aktif untuk masuk ke institusi sipil lainnya.
“Sebab semua harus sesuai dengan bidang tugas dan profesinya. Misalnya meski sesama dari institusi sipil, dokter tidak bisa jadi jaksa, dosen tidak boleh jadi jaksa, jaksa tak bisa jadi dokter,” kata Mahfud.
Senada, advokat Syamsul Jahidin, penggugat UU Polri pada perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025, juga menilai Polri telah membangkangi MK dengan mengeluarkan Perpol Nomor 10 Tahun 2025.
Ia mengingatkan, secara hierarki perundang-undangan, peraturan Polri memiliki posisi di bawah undang-undang atau putusan MK.
“Itu pembangkangan, pengkhianatan terhadap konstitusi atau pengkhianatan terhadap undang-undang. Murni itu makar,” kata Syamsul.
Syamsul pun meminta Polri agar patuh terhadap perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Dasar 1945.
Merujuk pada Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Polri merupakan alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.
Dalam UUD 45, tidak disebutkan Polri punya tugas dan kewenangan untuk membuat aturan seperti Perpol 10/2025 yang isinya menandingi putusan MK.
“Rakyat itu sebenarnya sederhana, Anda (Polri) bertugas sesuai undang-undang dasar,” ujar Syamsul saat dihubungi, Jumat.
Menurut Syamsul, jika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi polisi, ia seharusnya menjalankan tugas selayaknya seorang polisi, bukannya melaksanakan tugas lain, misalnya, dengan masuk ke ranah sipil.
Ia menekankan, jabatan di kementerian dan lembaga seharusnya diisi oleh ASN sesuai dengan keahliannya, bukan polisi yang bukan berstatus ASN.
“Awal mulanya terciptanya parcok (partai cokelat) ini kan gara-gara ini, gara-gara mereka (polisi) menempati jabatan sipil,” kata Syamsul.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam meminta Polri mempertegas fungsi penempatan polisi aktif di 17 kementerian/lembaga.
Menurut Anam, daftar lembaga yang tercantum dalam aturan tersebut perlu dijabarkan hingga ke level fungsi agar tidak menimbulkan tafsir yang keliru.
“Persoalannya sederhana, harus dipastikan juga sebenarnya di fungsi apa? Fungsinya masih enggak ada sangkut-pautnya dengan kepolisian, di level fungsi. Jadi tidak hanya soal kementeriannya, tapi di kementerian itu fungsinya apa? Itu yang harus dipertegas,” kata Anam kepada
Kompas.com
, Jumat.
Anam menjelaskan, Polri memaknai 17 kementerian/lembaga itu sebagai institusi yang memiliki sangkut paut dengan tugas kepolisian.
Secara tata kelola, daftar kementerian dan prosedur penempatan yang diatur dalam Perpol memang memberikan kepastian.
Namun, itu juga belum cukup apabila tidak disertai kejelasan mengenai fungsi yang benar-benar membutuhkan personel polisi aktif.
“Karena memang sangkut-pautnya macam-macam ini ada yang memang disebutkan dalam undang-undang, ada yang tidak, jadi penting untuk kepastian itu,” kata dia.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan, penempatan anggota Polri pada 17 kementerian/lembaga memiliki dasar hukum yang jelas, baik dari undang-undang maupun peraturan pemerintah.
“Polri pada pengalihan jabatan anggota Polri dari jabatan manajerial maupun non-manajerial pada organisasi dan tata kerja Polri untuk dialihkan pada organisasi dan tata kerja K/L berdasarkan regulasi yang sudah berlaku,” kata Trunoyudo kepada
Kompas.com
.
Trunoyudo merinci sejumlah regulasi yang menjadi payung hukum penugasan anggota Polri di luar struktur Polri, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 28 ayat (3), beserta penjelasannya, yang tetap berlaku setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, khususnya Pasal 19 ayat (2b), yang menyebut jabatan ASN tertentu dapat diisi anggota Polri, serta PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, Pasal 147 hingga 150, yang mengatur jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh anggota Polri sesuai kompetensi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Kompolnas
-

Menanti Rekomendasi Komisi Reformasi dan Revisi UU Polri
Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dipimpin oleh pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, bergerak cepat dalam menyusun cetak biru perubahan mendasar bagi institusi kepolisian.
Di tengah tuntutan publik terhadap akuntabilitas penegak hukum, Komisi ini bekerja senyap mengumpulkan data dan perspektif vital demi merumuskan rekomendasi akhir untuk revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Langkah ini difokuskan untuk menata ulang mandat, fungsi pengawasan, dan transparansi korps Bhayangkara.
Jimly Asshiddiqie menggarisbawahi dua prasyarat mutlak dalam proses penyusunan rekomendasi. Pertama, dokumen harus disusun secara menyeluruh (komprehensif), mencakup seluruh temuan yang terungkap selama audiensi. Kedua, persetujuan dan pelaporan kepada Presiden merupakan tahapan esensial sebelum materi reformasi dipublikasikan.
“Kami tentu harus melapor dahulu ke Presiden Prabowo Subianto sebelum diumumkan, materi reformasi untuk dituangkan dalam rancangan revisi Undang-Undang Polri,” tegas Jimly dilansir dari Antara, seperti ditulis Rabu (10/12/2025).
Prosedur ini ditempuh guna menjamin usulan reformasi tersebut selaras penuh dengan visi, prioritas, dan kerangka kebijakan nasional di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Jimly Asshiddiqie menyatakan, fase ini telah dimulai pada pekan ini, dengan agenda pertemuan untuk menggodok kesimpulan akhir yang diharapkan dihadiri banyak pihak terlibat.
Proses perumusan dilakukan secara cermat dan terstruktur, mengingat dokumen rekomendasi ini akan menentukan arah institusi kepolisian untuk dekade mendatang. “Minggu ini kami sudah mulai. Hari Kamis (11/12/2025) mudah-mudahan banyak yang datang, kami mulai membuat kesimpulan,” tegasnya.
Pengawasan dan Kompleksitas Kompolnas
Pada Selasa (9/12/2025), Gedung Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) menjadi lokasi serangkaian pertemuan penting. Komisi Reformasi, dalam sesi maraton, menerima pandangan dari pilar-pilar penting yang terkait langsung dengan kinerja Polri, yakni Kompolnas (pengawas internal), Peradi (organisasi advokat), serta lembaga independen Ombudsman RI (ORI) dan LPSK (perlindungan dan pengawasan kinerja publik).
Diskusi tersebut berhasil menghimpun perspektif unik yang akan menjadi landasan utama perumusan perubahan UU.
Audiensi dengan Kompolnas memakan waktu paling lama karena kompleksitas isu. Jimly menyoroti Kompolnas memiliki rekam jejak dua dekade dalam merumuskan arahan, kebijakan, pengawasan, hingga rekrutmen pimpinan Polri, sehingga posisinya strategis.
“Hasil diskusi dengan Kompolnas menunjukkan bahwa permasalahan paling kompleks terpusat pada lembaga ini, mengingat Kompolnas selama dua dekade terakhir secara rutin terlibat dalam perumusan arahan, kebijakan yang direkomendasikan kepada pemerintah, serta menjalankan fungsi pengawasan dan rekrutmen calon Kapolri. Oleh karena itu, posisinya dinilai sangat strategis,” papar Jimly.
Pernyataan ini tidak hanya menegaskan pentingnya Kompolnas, tetapi juga mengindikasikan permasalahan paling kompleks dalam reformasi justru berada pada ranah pengawasan dan akuntabilitas internal.
Lalu, Komisi Reformasi dan Kompolnas mencapai kesepakatan krusial yang menjadi penguatan lembaga pengawas eksternal Polri tersebut. “Terdapat aspirasi kuat untuk mempertegas dan meningkatkan kapabilitas pengawasan Kompolnas,” jelas Jimly. Peningkatan kapabilitas ini diarahkan untuk mutu kinerja pengawasan terhadap institusi dan aparatur di lapangan yang menjadi kunci peningkatan transparansi.
Penguatan ini secara khusus diarahkan untuk meningkatkan efektivitas fungsi pengawasan Kompolnas, meliputi pengawasan terhadap institusi kepolisian dan aparat di tingkat operasional. Tujuan akhirnya adalah membentuk mekanisme checks and balances yang lebih kuat dan akuntabel.
Peningkatan kapabilitas Kompolnas ini diposisikan sebagai kunci untuk mendorong transparansi institusional, mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang, dan merehabilitasi kepercayaan publik terhadap kinerja kepolisian.
Presiden Prabowo Subianto melantik 10 anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri di Istana Merdeka, Jakarta pada 7 November 2025. Komite ini dibentuk untuk mempercepat pembenahan di tubuh Kepolisian agar semakin profesional dan dipercaya publik – (Antara/Antara)Peran Sentral Lembaga Independen
Selain Kompolnas, Komisi juga menyerap data dari pihak yang mengalami langsung dampak interaksi dengan kepolisian.
“Komisi juga menerima masukan dari entitas independen, termasuk Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Secara substantif, lembaga-lembaga negara ini memiliki peran sentral dalam menangani berbagai laporan dan pengaduan yang berkaitan erat dengan kinerja dan maladministrasi kepolisian,” tutur Jimly.
Masukan dari Peradi sebagai organisasi advokat juga memberikan perspektif praktis mengenai hambatan prosedural dalam penegakan hukum sehari-hari. Keterlibatan lembaga-lembaga ini menjamin revisi UU Polri tidak hanya bersifat normatif, tetapi responsif terhadap masalah struktural di masyarakat.
Keterlibatan ORI dan LPSK memastikan revisi UU Polri bersifat responsif terhadap masalah struktural yang dikeluhkan publik, melampaui sekadar aspek normatif. Pengalaman kedua lembaga ini menjadi indikator kritis yang mencerminkan kebutuhan perbaikan mendasar dalam operasional kepolisian, dari prosedur penanganan perkara hingga jaminan perlindungan saksi dan korban.
Kontribusi dari Peradi, ORI, dan LPSK diharapkan memperkaya substansi revisi UU Polri. Masukan tersebut mencakup dinamika dalam ruang penyidikan, tantangan perlindungan bagi pihak rentan, dan isu penyimpangan prosedur. Upaya ini diarahkan untuk membentuk lembaga kepolisian yang lebih responsif, akuntabel, dan profesional dalam penegakan keadilan. Partisipasi komprehensif seluruh pemangku kepentingan tersebut mengukuhkan keseriusan agenda reformasi.
Sinergi Legislatif dan Eksekutif untuk RUU Polri
Anggota Komisi III DPR Rikwanto meyakini hasil kerja keras Komisi Reformasi akan menjadi bahan utama penyusunan RUU Polri.
“Insyaallah. Hasil kesimpulan Komisi Percepatan Reformasi Polri dan hasil akhir dari panitia kerja (Panja) Komisi III DPR untuk reformasi Polri bisa menjadi bahan untuk RUU Polri nantinya,” kata Rikwanto kepada Beritasatu.com.
Ia menjelaskan, materi reformasi akan diubah menjadi rancangan revisi UU Polri. Proses pelaporan kepada Presiden Prabowo Subianto sebelum diumumkan publik bertujuan untuk menjaga sinergi antara kebijakan legislatif dan eksekutif.
Pengamat hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Riza Alifianto, saat berbincang dengan Beritasatu.com, Rabu (10/12/2025), mendukung langkah tersebut. Ia berharap, revisi UU Polri yang dihasilkan dapat membawa perubahan signifikan, menciptakan kepolisian yang benar-benar menjadi pelindung, pengayom, dan penegak hukum berintegritas tinggi bagi masyarakat.
Komisi Reformasi kini memasuki fase perumusan kesimpulan pada pekan ini. Proses penyusunan rekomendasi ini mencerminkan komitmen untuk memastikan setiap celah, kelemahan, dan potensi perbaikan telah dipertimbangkan. Masa depan akuntabilitas Polri kini bergantung pada detail dan keberanian yang termaktub dalam dokumen rekomendasi ini.
“Masa depan akuntabilitas Polri kini bergantung pada detail dan keberanian yang termaktub dalam dokumen rekomendasi ini,” pungkasnya.
-

Kompolnas Apresiasi ‘HeForShe’ Awards 2025: Polri Perkuat Kesetaraan Gender
Jakarta –
Komisioner Kompolnas Choirul Anam mengapresiasi Polri Award In Support of UN ‘He For She’ Movement 2025. Menurutnya hal ini adalah upaya untuk membangun kesetaraan gender di institusi Polri.
“Yang pertama-tema yang paling penting adalah banyak inisiatif baik yang kami temukan di daerah-daerah yang itu kita tidak bisa membayangkan bagaimana segala upaya di wilayah maupun di kesatuan kerja di nasional untuk membangun kesetaraan di level internal jadi setara dalam konteks Polwan-Polki dan sebagainya dan terutama juga bagi masyarakat untuk kepentingan terbaik bagi perempuan,” kata Choirul Anam atau Cak Anam seusai penganugerahan di Hotel The Tribrata, Jakarta Selatan, Kamis (27/11/2025).
Cak Anam menambahkan, acara penganugerahan ini bukan inisiatif baru di kepolisian. Dia menyebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit sudah mendapat kepercayaan soal kesetaraan gender dari organisasi internasional.
“Inisiatif baik ini sudah lama, apalagi pada tahun 2023 Pak Kapolri sendiri juga memenangkan penghargaan secara internasional di organisasi perempuan polisi seluruh dunia,” jelasnya.
Dia menjelaskan, penghargaan yang diterima Kapolri kemudian diikuti dengan tindakan nyata untuk para anggotanya. Hal ini juga suatu gerakan pelindungan perempuan, kesetaraan termasuk juga pelindungan perempuan kepada seluruh masyarakat.
Dia melanjutkan, inisiatif yang dilakukan dalam kesetaraan gender ini membuat Kapolri membuat pos khusus untuk penanganan anak dan perempuan. Sehingga soal itu tak hanya terkait praktik sehari-hari.
“Salah satu yang paling penting adalah kebijakan untuk membuat direktorat tersendiri untuk penanganan perempuan dan anak,” katanya.
(lir/lir)
-
/data/photo/2025/11/26/6926e05c9cdf2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Komisi Reformasi Polri Kaji Usul Pembentukan Pengawas Eksternal Kepolisian yang Lebih Independen
Komisi Reformasi Polri Kaji Usul Pembentukan Pengawas Eksternal Kepolisian yang Lebih Independen
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri Badrodin Haiti mengatakan, bakal mengkaji terkait usulan pembentukan lembaga pengawas eksternal Polri yang lebih independen dari Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas.
Hal itu disampaikan Badrodin menanggapi usulan para pegiat lingkungan dalam audiensi yang dilakukan dengan Komisi Reformasi
Polri
di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (26/11/2025).
“Nanti kita bawa dalam diskusi, apakah nanti kita memang perlu perbaikan. Tapi, bagaimana cara perbaikannya itu melalui proses diskusi, tidak kita sendiri gitu. Karena kita komite, komite ini akan diskusikan semua nanti,” ujar Badrodin, dikutip dari
Antaranews
, Rabu.
Badrodin mengatakan, kritik terhadap
Kompolnas
yang dinilai tidak netral, tak hanya datang dari aktivis lingkungan, tetapi juga dari kalangan pers yang menilai pengawasan eksternal kerap berpihak pada institusi
kepolisian
.
Menurut dia, masukan tersebut menjadi catatan penting bagi Komisi
Reformasi Polri
dalam merumuskan desain baru terhadap pengawasan eksternal Polri ke depan.
“Itu jadi masukan buat kita, bagaimana nanti desain Kompolnas ke depan. Itu salah satu poin yang memang perlu menjadi satu sorotan kita dalam perbaikan kinerja
polisi
ke depan,” katanya.
Audiensi
Komisi Reformasi Polri
dengan perwakilan pegiat lingkungan dihadiri Jimly Asshiddiqie, Badrodin Haiti, Ahmad Dofiri, serta Nico Afinta yang mewakili Supratman Andi Agtas.
Dalam audiensi tersebut, Manager Hukum dan Pembelaan WALHI Nasional, Teo Reffelsen menyampaikan usulan membentuk badan pengawas eksternal Kepolisian yang independen. Sebab, Kompolnas saat ini dinilai tidak efektif untuk mengawasi polisi.
“Kita juga meminta supaya tim percepatan reformasi polisi ini juga tidak hanya mereformasi polisi secara institusional, tapi juga menyiapkan satu badan pengawas eksternal yang independen, imparsial, dan tidak diisi oleh anasir-anasir kepolisian,” ujar Teo usai audiensi di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu.
Kemudian, lembaga pengawas eksternal tersebut juga diusulkan tak hanya berada di pusat, tetapi sampai ke daerah.
“Sehingga kemudian badan pengawas eksternal inilah nanti diberikan kewenangan yang kuat untuk mengawasi polisi, kemudian juga diberikan struktur-struktur sampai ke daerah-daerah dan diberikan anggaran yang kuat supaya kemudian ke depan pengawasan polisi jadi lebih efektif dan berkeadilan,” kata Teo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Tim Reformasi Terima Usulan Polri Masuk di bawah Kementerian Keamanan
Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Percepatan Reformasi Polri telah mendapatkan usulan terkait pembentukan Kementerian Keamanan untuk menaungi Polri.
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie mengatakan usulan muncul setelah melakukan audiensi dengan pengamat politik Faizal Assegaf.
Dia menjelaskan, ide itu muncul karena berkaca pada TNI yang berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dalam urusan anggaran hingga rekrutmen.
“Polisi, dulu karena pemisahan dari TNI, memang enggak ada karena di konstitusi kan ada Kementerian Pertahanan, polisi kan tidak ada. Maka muncul ide bagaimana kalau dibikin Kementerian Keamanan,” ujar Jimly di PTIK, Rabu (19/11/2025).
Selanjutnya, Jimly juga mendapatkan ulusan soal penguatan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) agar melakukan urusan seperti Kemenhan.
Selain itu, ada juga usulan soal koordinasi Polri yang dibagi ke beberapa kementerian. Misalnya, urusan hukum ke Kementerian Hukum (Kemenkum) dan koordinasi lainnya ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Ada lagi usul lain ‘Ini dibagi aja. Untuk penegakan hukum koordinasinya ke menteri hukum, koordinasi yang itu ke menteri dalam negeri’,” imbuh Jimly.
Namun demikian, Jimly memastikan bahwa hingga saat ini belum ada usulan yang dieksekusi. Dia hanya mengatakan tim reformasi Polri masih melakukan belanja masalah alias menampung sejumlah masukan dari seluruh pihak.
“Itu alternatif. Tidak apa apa, nanti kami bahas. Sabar-sabar,” pungkasnya.
-

Kompolnas Nilai Polisi Masih Bisa Ditugaskan di Luar Struktur: Asal Berkaitan
Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan anggota aktif masih bisa menjabat di luar struktur kepolisian meski sudah diputus Mahkamah Konstitusi (MK).
Komisioner Kompolnas, Choirul Anam berpandangan putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 hanya mengikat pada frasa atau kalimat yang mendasarkan tidak penugasan dari Kapolri.
Dengan demikian, kata Anam, selagi penugasan itu masih ada kaitannya dengan tugas pokok kepolisian, maka masih boleh dijabat anggota aktif.
“Kalimat yang lain masih berlaku, artinya yang memaknai bahwa penugasan di luar struktur itu, makna penugasan di luar struktur itu adalah yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepolisian. Kalau masih ada sangkut pautnya dengan kepolisian itu artinya boleh,” ujar Anam saat dihubungi, Minggu (16/11/2025).
Di samping itu, Anam juga menyinggung soal dissenting opinion yang diungkap oleh Hakim MK Arsul Sani yang memperbolehkan penugasan anggota jika masih ada keterkaitan dengan tupoksi kepolisian.
“Bahkan beliau [Arsul] juga mencontohkan lembaga-lembaga yang memang tupoksinya itu sangat lekat dengan kepolisian,” imbuhnya.
Adapun, Anam menilai putusan MK ini telah memberikan batasan yang jelas mana saja lembaga/kementerian yang bisa diisi anggota kepolisian.
Dengan demikian, putusan ini bisa sejalan dengan dengan undang-undang aparatur sipil negara (ASN) yang direspon Polri melalui Perpol.
“Oleh karenanya pasca putusan MK ini, ya maknanya boleh dengan batasan. Dan batasanya ada pentingnya memang me-listing lembaga yang memang erat sekali hubungan dengan kepolisian,” pungkasnya.
Sebelumnya, MK menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif.
Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).
-

Choirul Anam Sebut Polsi Masih Bisa Duduki Jabatan Sipil, Said Didu: Kompolnas Digaji Negara untuk Membodohi Rakyat?
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Aktivis sosial, Muhammad Said Didu, merespons pernyataan Komisioner Kompolnas, Mohammad Choirul Anam, yang menyebut anggota Polri masih bisa menduduki jabatan sipil meski putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah melarangnya.
Said Didu tidak menutupi kekesalannya. Ia menyemprot pernyataan Anam dan menyebutnya berpotensi menyesatkan publik dan merusak tatanan hukum yang telah digariskan.
“Bangsa kita rusak karena pejabat seperti ini, membodohi rakyat,” ujar Said di X @msaid_didu, Minggu (16/11/2025).
Ia menegaskan, putusan MK bersifat final dan mengikat. Karena itu, menurutnya, tafsir yang diberikan Kompolnas dinilai menabrak aturan yang sudah jelas.
“Putusan MK tuh melarang polisi aktif bekerja di luar jabatan kepolisian, termasuk ASN,” lanjutnya.
Said Didu bilang, jika ada anggota Polri yang ingin beralih menjadi pejabat sipil, caranya bukan dengan tetap berstatus polisi aktif, melainkan harus meninggalkan jabatan kepolisian terlebih dahulu. “Kalau mau silakan mundur sebagai polisi,” ujarnya.
Pria kelahiran Kabupaten Pinrang ini juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Aparatur Sipil Negara sudah mengatur syarat yang harus dipenuhi oleh setiap calon ASN.
Karena itu, menurutnya, tidak boleh ada pengecualian bagi anggota Polri aktif.
“UU ASN mengatur persyaratan jadi ASN. Kalau polisi aktif dilarang maka tidak boleh,” tegasnya.
Tidak berhenti di situ, ia bahkan mempertanyakan fungsi lembaga Kompolnas yang menurutnya tidak semestinya mengeluarkan pernyataan yang justru membingungkan masyarakat.
-

Kompolnas Sebut Polri Tetap Bisa Duduki Jabatan Sipil, Choirul Anam Beri Alasan Ini
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan anggota polri untuk mengundurkan diri atau pensiun jika mendudukan jabatan sipil, tampaknya masih akan menimbulkan perdebatan.
Pasalnya, masih ada pihak yang menilai bahwa anggota polri tetap bisa menduduki jabatan sipil, asalkan jabatan yang diembang tersebut masih memiliki keterkaitan dengan tugas kepolisian.
Pernyataan itu bahkan disampaikan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) saat merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memerintahkan anggota kepolisian menduduki jabatan sipil untuk mengundurkan diri atau pensiun.
Kompolnas menyatakan bahwa anggota Polri tetap bisa menduduki jabatan sipil yang kaitannya erat dengan tugas kepolisian.
“Ya kalau mencermati putusan konstitusi yg dinyatakan tidak berlaku, tidak mengikat, itu ya frasa atau kalimat ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’, kalimat yang lain masih berlaku,” kata Komisioner Kompolnas, Mohammad Choirul Anam dilansir JawaPos.com, Minggu (16/11).
“Ya kalau mencermati putusan konstitusi yang dinyatakan tidak berlaku, tidak mengikat, itu ya frasa atau kalimat ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri, kalimat yang lain masih berlaku,” sambungnya.
Dia menyebut, polri memang seharusnya mengundurkan diri jika jabatan sipil yang diemban tidak ada kaitannya dengan tugas kepolisian. Hanya saja kata dia, terdapat lembaga yang berkaitan erat dengan tugas kepolisian, seperti BNN dan BNPT.
“Kalimat yang berlaku itu artinya, memaknai penugasan di luar struktur itu adalah yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepolisian. Kalau masih ada sangkut pautnya dengan kepolisian itu artinya boleh,” tegasnya.
-
/data/photo/2025/09/05/68babeaac05ea.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Polisi Aktif Dinilai Tetap Boleh Isi Jabatan Sipil, Asalkan…
Polisi Aktif Dinilai Tetap Boleh Isi Jabatan Sipil, Asalkan…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun memantik kembali perdebatan soal batasan keterlibatan polisi di instansi non-kepolisian.
Menurut Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (
Kompolnas
) Mohammad Choirul Anam atau Cak Anam menegaskan bahwa aturan tetap membuka ruang tertentu bagi anggota Polri aktif untuk mengisi jabatan sipil, dengan syarat yang ketat.
Undang-Undang Kepolisian memang membatasi penempatan
polisi
aktif pada jabatan sipil yang tidak memiliki relevansi dengan tugas pokok Polri.
“Menurut undang-undang kepolisian, itu memang dilarang kalau tidak berkaitan,” ujar Cak Anam kepada
Kompas.com
, Sabtu (15/11/2025).
Namun, ia menegaskan bahwa penempatan berbasis kebutuhan tetap dimungkinkan selama jabatan tersebut berkaitan erat dengan tugas penegakan hukum atau memerlukan keahlian kepolisisian.
“Kalau yang berkaitan memang boleh. Itu ada aturannya dalam undang-undang ASN yang diatur di PP. Jika berkaitan, memang dibolehkan,” kata Cak Anam.
Ia mencontohkan lembaga-lembaga yang dalam praktiknya membutuhkan personel Polri karena karakteristik pekerjaannya.
“Misalnya BNN, BNPT, KPK, atau lembaga lain yang memang erat kaitannya dengan kerja-kerja kepolisian. Khususnya penegakan hukum yang tidak bisa tergantikan,” ujarnya.
Cak Anam merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN sebagai dasar hukum yang memperbolehkan anggota Polri mengisi jabatan tertentu di instansi sipil.
Pasal 19 menyatakan:
1. Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN.
2. Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Polri yang dilaksanakan pada instansi pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai TNI dan Undang-Undang mengenai Polri.
Sementara Pasal 20 mengatur sebaliknya:
Pegawai ASN dapat menduduki jabatan di lingkungan TNI dan Polri sesuai kompetensi yang dibutuhkan.
Hal ini yang menurut Cak Anam membuka ruang bagi anggota Polri untuk mengisi jabatan sipil, selama sifat jabatannya relevan dan dibutuhkan.
Pengamat kepolisian dan mantan Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menilai polemik “polisi vs jabatan sipil” muncul karena adanya salah kaprah mengenai kedudukan polisi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Yang saya heran adalah dikotomi polisi dan jabatan sipil. Seolah polisi itu bukan sipil dan ‘memaksakan diri’ duduk di jabatan sipil,” kata Poengky kepada
Kompas.com
, Sabtu.
Ia menegaskan, sejak Reformasi 1998, Polri telah menjadi institusi sipil sepenuhnya.
Hal ini ditegaskan melalui TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
“Polisi itu sipil, bukan militer, bukan kombatan seperti tentara. Polisi juga tunduk pada peradilan umum. Jadi semakin jelas sipilnya,” tegas Poengky.
Putusan MK menjadi sorotan karena saat ini banyak perwira tinggi Polri aktif yang menduduki jabatan strategis di kementerian dan lembaga negara, termasuk yang tidak berkaitan langsung dengan penegakan hukum.
Mereka juga menjadi pihak yang namanya tercantum dalam permohonan uji materi yang dikabulkan MK.Berikut nama-nama polisi aktif yang menduduki jabatan sipil dan tertuang dalam berkas permohonan ke MK:
1. Komjen Pol Setyo Budiyanto – Ketua KPK
2. Komjen Pol Rudy Heriyanto Adi Nugroho – Sekjen Kementerian KKP
3. Komjen Pol Panca Putra Simanjuntak – Lemhannas
4. Komjen Pol Nico Afinta – Sekjen Kementerian Hukum
5. Komjen Pol Suyudi Ario Seto – Kepala BNN
6. Komjen Pol Albertus Rachmad Wibowo – Wakil Kepala BSSN
7. Komjen Pol Eddy Hartono – Kepala BNPT
8. Irjen Pol Mohammad Iqbal – Inspektur Jenderal DPD RI
Polisi aktif lain yang menduduki jabatan sipil:
1. Brigjen Sony Sanjaya – Wakil Kepala Badan Gizi Nasional
2. Brigjen Yuldi Yusman – Plt Dirjen Imigrasi, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
3. Kombes Jamaludin – Kementerian Haji dan Umrah
4. Brigjen Rahmadi – Staf Ahli Kementerian Kehutanan
5. Brigjen Edi Mardianto – Staf Ahli Mendagri
6. Irjen Prabowo Argo Yuwono – Irjen Kementerian UMKM
7. Komjen I Ketut Suardana – Irjen Kementerian Perlindungan Pekerja Migran
Sejumlah jabatan tersebut dinilai tidak seluruhnya memiliki keterkaitan langsung dengan penegakan hukum, sehingga keberadaannya dipertanyakan setelah putusan MK keluar.
Pada Kamis pekan lalu, MK mengabulkan seluruh permohonan uji materi perkara 114/PUU-XXIII/2025 terkait Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Putusan tersebut menegaskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun dari institusi.
“Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo, Kamis.
Hakim konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat mutlak untuk menduduki jabatan sipil.
Sementara penambahan frasa dalam penjelasan pasal “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru mengaburkan norma tersebut.
Frasa itu memperluas makna aturan dan menyebabkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil maupun bagi ASN yang bersaing mengisi jabatan serupa.
Menurutnya, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” kata Ridwan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2015/06/30/1420471011-fot0149780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/04/69319ea3aca5b.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)