Kementrian Lembaga: Kompolnas

  • Kasus Perusakan dan Pembakaran Mobil Polisi di Depok, Dua Warga Ditetapkan Jadi Tersangka – Halaman all

    Kasus Perusakan dan Pembakaran Mobil Polisi di Depok, Dua Warga Ditetapkan Jadi Tersangka – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, DEPOK- Polisi menetapkan dua orang sebagai tersangka kasus penyerangan dan pembakaran mobil polisi di wilayah Harjamukti, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat pada Jumat (18/4/2025).

    Kapolres Metro Depok, Kombes Pol Abdul Waras mengatakan polisi mengamankan sejumlah orang yang terlibat dalam kasus tersebut.

    “Kita juga dapat back up langsung dari Polda Metro Jaya, ada dua tersangka yang sudah ditetapkan,” kata Waras, Minggu (20/4/2025).

    Waras menegaskan akan menindak tegas siapapun yang melanggar hukum sesuai dengan perintah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

    “Selaras dengan apa yang disampaikan beliau, bahwa dalam kejadian yang kemarin, perintah jelas dari Bapak Kapolri bahwa tindakan tegas kepada siapa pun, yang melakukan pelanggaran hukum, apakah ormas mana pun, semua sama di mata hukum, proses hukum tetap berjalan,” ungkapnya.

    Dua temuan Kompolnas

    Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Choirul Anam dan Supardi Hamid mengecek lokasi penyerangan dan pembakaran mobil polisi di Kampung Baru, Jalan Dahlan Raya, Kelurahan Harjamukti, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok pada Minggu (20/4/2025).

    Rombongan berjalan kaki menyusuri jalanan di sepanjang Kampung Baru sebelum akhirnya sampai di TKP penangkapan TS.

    TS merupakan tersangka kasus perusakan atau perbuatan tidak menyenangkan dan kasus kepemilikan senjata api.

    Upaya penangkapan TS yang dilakukan anggota Satreskrim Polres Metro Depok pada Jumat (18/4/2025), menjadi sebab terjadinya penyerangan dan pembakaran mobil polisi.

    Komisioner Kompolnas, Choirul Anam menjelaskan, pihaknya menemukan dua peristiwa usai mengecek dan memeriksa lokasi kejadian.

    “Jadi ada dua peristiwa, peristiwa yang ada di portal sama peristiwa yang ada di sini (TKP penangkapan TS),” kata Anam di lokasi.

    Peristiwa pertama di lokasi penangkapan TS, Anam melihat adanya perlawanan terhadap penegak hukum, dalam hal ini aparat kepolisian.

    Perlawanan terhadap penegak hukum atau obstruction of justice, dimungkinkan besar dilakukan oleh kelompok yang sangat dekat dengan TS.

    “Itu memang ada upaya untuk mengkonsolidasi warga walaupun tidak maksimal, nah ini sebelum ada pembakaran ya,” ujarnya.

    “Saya kira memang warga sini juga tahu mana yang petugas kepolisian, mana yang tindakan di luar kepolisian, kalau lihat sampai TS dibawa ke Depok,” sambungnya.

    Untuk peristiwa kedua, Kompolnas mengecek jarak lokasi penangkapan TS dan titik pembakaran mobil polisi yakni portal Kampung Baru.

    Dari hasil pengecekan, jarak antara TKP penangkapan TS dan pembakaran mobil polisi cukup jauh. 

    Saat melakukan penangkapan, pihak kepolisian padahal sudah menjalankan perannya sebagai penegakan hukum. Namun, mereka mendapatkan perlawanan dari sekelompok massa.

    “Jadi sejak awal memang dinyatakan ini fungsi penegakan hukum dan seharusnya memang patuh disitu,” ujarnya.

    Kompolnas akan mendalami peristiwa di lokasi portal melalui video saat penyerangan dan pembakaran mobil polisi terjadi.

    “Sehingga jelas apa yang terjadi, siapa yang terlibat dan sekali lagi kita mohon ayo kita jaga kondusifitas wilayah ini dan rekan-rekan yang ada dalam video tersebut, yang merasa terlibat di sana, datang ke Polres secara kooperatif, itu jauh lebih bagus,” ungkapnya.

    Sebelumnya, Mobil yang dikendarai anggota Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Metro Depok diserang orang tak dikenal (OTK) di wilayah Pondok Ranggon, Kelurahan Harjamukti, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, Jumat (18/4/2025).

    Bahkan, tiga mobil polisi tersebut dirusak oleh segerombolan massa dan satu diantaranya ludes terbakar.

    Kasat Reskrim Polres Metro Depok, AKBP Bambang Prakoso menjelaskan, peristiwa tersebut terjadi saat anggotanya hendak mengamankan pelaku pidana berinisial TS.

    TS dijerat dengan pidana pengrusakan atau perbuatan tidak menyenangkan dan kasus kepemilikan senjata api.

    “Terhadap dua perkara tersebut, seseorang ini sudah dilakukan pemanggilan sebanyak dua kali, untuk tiap-tiap LP nya, namun tidak dipenuhi,” kata Bambang di Mapolres Metro Depok, Jumat siang.

    Penulis: M. Rifqi Ibnumasy

    dan

    Cek Lokasi Pembakaran Mobil Polisi di Cimanggis Depok, Kompolnas Temukan Dua Peristiwa

  • Merasa Janggal, Pihak Korban Pelecehan Eks Rektor Universitas Pancasila Datangi Propam Polri – Halaman all

    Merasa Janggal, Pihak Korban Pelecehan Eks Rektor Universitas Pancasila Datangi Propam Polri – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan mantan Rektor Universitas Pancasila (UP), Edie Toet Hendratno, memasuki babak baru yang penuh ketegangan. Pihak korban, melalui dua pengacaranya, Amanda Manthovani dan Yansen Ohoirat, mendatangi kantor Divisi Propam Polri di Jakarta pada Rabu (16/4/2025).

    Mereka menyampaikan kekecewaan terhadap jalannya penyidikan kasus ini di Polda Metro Jaya yang dirasa janggal dan penuh pelanggaran prosedur.

    Kasus yang telah berjalan lebih dari satu tahun ini, tanpa perkembangan yang signifikan, semakin mencuatkan kejanggalan.

    Pihak korban merasa penyidikan yang dilakukan Polda Metro Jaya tidak sesuai dengan prosedur yang semestinya, dan lebih parahnya, belum ada satu pun tersangka yang ditetapkan.

    Oleh karena itu, mereka meminta pihak Divisi Propam Polri untuk memberikan asistensi dan pengawasan penanganan kasus ini agar tidak terjadi penyelewengan.

    “Kami minta Propam Polri melakukan pengawasan terhadap laporan kami di Polda Metro Jaya, karena tingkatannya kan lebih tinggi,“ kata Yansen kepada wartawan.

    Permintaan asistensi ini setelah pihak korban menemukan kejanggalan dan pelanggaran syarat formil oleh penyidik Polda Metro Jaya.

    Salah satunya, soal waktu pemberian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada 25 Juli 2024 kepada korban, padahal SPDP itu terbit sejak 14 Juni 2024.

    Hal ini dinilai tidak berkesesuian dengan Pasal 14 ayat (1) Perkap 6/2019 yang mengatur bahwa SPDP dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor, dan terlapor dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah diterbitkan surat perintah penyidikan.

    “Ini sudah tidak sesuai dengan kode etik hukum acaranya. Artinya, di sini kita menemui ada syarat-syarat formil yang sudah dilanggar oleh penyidik Polda,” ungkapnya.

    Selain itu, setelah mengadu ke Kompolnas dan Bidang Propam Polda Metro Jaya pada 9 April 2025 lalu, pihaknya melakukan penelusuran berkas di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

    “Kami melakukan penelusuran berkas perkara dan baru kami ketahui, ternyata dalam perkara tersebut terdapat dua SPDP,” tuturnya.

    Selain itu, Yansen juga mempertanyakan sikap penyidik yang dinilai tidak komunikatif. Pasalnya, penyidik ternyata melakukan pemeriksaan saksi dari pihak korban tanpa sepengetahuan dan tanpa pendampingan pengacara.

    “Penyidik lebih suka berkomunikasi dengan klien kami, sehingga ketika kita berkomunikasi dengan penyidik, dia enggan menjawab, penyidik menyampaikan dokumen pun langsung ke rumah atau apartemen klien kami sehingga membuat kami khawatir dan waswas,” ucap Amanda.

    Dalam kasus ini, Edie dilaporkan RZ ke Polda Metro Jaya dengan nomor laporan LP/B/193/I/2024/SPKT/POLDA METRO JAYA pada 12 Januari 2024.

    Selain itu, laporan juga datang dari korban lainnya berinisial DF yang diterima di Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/36/I/2024/SPKT/Bareskrim Polri tertanggal 29 Januari 2024. Namun, kini laporan tersebut sudah dilimpahkan ke Polda Metro Jaya.

    Edie Toet sendiri sejauh ini sudah diperiksa sebanyak dua kali sebagai saksi yakni pada Kamis (29/2/2024) dan Selasa (5/4/2024) yang lalu.

    Klaim Kasusnya Dipolitisasi

    Konferensi pers rektor nonaktif Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno, bersama tim kuasa hukumnya menyusul kasus dugaan pelecehan seksual, Kamis (29/2/2024) (Tribunnews/Fahmi Ramadhan)

    Rektor non aktif Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno sempat mengklaim bahwa dugaan pelecehan seksual yang dilaporkan kepada dirinya merupakan bentuk politisasi.

    Adapun hal itu diungkapkan Edie melalui kuasa hukumnya, Faizal Hafied usai menjalani proses pemeriksaan kasus dugaan pelecehan seksual atas korban RF di Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Kamis (29/2/2024).

    Faizal menjelaskan klaim politisasi yang ia maksud lantaran pelaporan itu beririsan dengan adanya pemilihan rektor baru di kampus tersebut.

    “Ini pasti ada politisasi jelang pemilihan rektor sebagaimana sering terjadi di Pilkada dan Pilpres,” kata Faizal kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Kamis (29/2/2024).

    Selain itu, ia pun mengatakan bahwa laporan polisi (LP) yang dilayangkan terhadap kliennya itu tidak akan terjadi jika tak ada proses pemilihan rektor.

    Bahkan menurutnya, kasus yang saat ini terjadi dinilainya sebagai bentuk pembunuhan karakter kliennya.

    “Sekaligus kami mengklarifikasi bahwa semua yang beredar ini adalah berita yang tidak tepat, dan merupakan pembunuhan karakter untuk klien kami,” pungkasnya.
     

  • 3
                    
                        Polda Jabar Hentikan Pemanggilan 40 Ulama Tasikmalaya, Kuasa Hukum: Siapa Pelapornya?
                        Bandung

    3 Polda Jabar Hentikan Pemanggilan 40 Ulama Tasikmalaya, Kuasa Hukum: Siapa Pelapornya? Bandung

    Polda Jabar Hentikan Pemanggilan 40 Ulama Tasikmalaya, Kuasa Hukum: Siapa Pelapornya?
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com –
    Polda Jawa Barat secara menghentikan pemanggilan terhadap 40 pimpinan lembaga keagamaan di Tasikmalaya, Jabar, terkait dana hibah dari Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya.
    Penghentian ini disampaikan secara lisan kepada ratusan kuasa hukum ulama yang tergabung dalam Tim Advokasi Bela Ulama Tasikmalaya.
    Koordinator Tim Advokasi, Andi Ibnu Hadi, menyatakan bahwa meskipun kasus telah dinyatakan dihentikan, belum ada kejelasan apakah ini bersifat sementara atau akan disusul dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
    “Kami ingin menjaga proses hukum agar berjalan sesuai prinsip keadilan dan konstitusi. Adanya informasi dari Polda Jabar bahwa katanya dihentikan baru secara lisan, masih menjadi tanda tanya besar, apakah dihentikan sementara atau nantinya akan ada SP3 resmi,” kata Andi saat dihubungi, Senin (14/4/2025).
    Sebelumnya, Polda Jabar melalui Direktorat Reserse Kriminal Khusus mengeluarkan surat pemanggilan bertanggal 26 Maret 2025, kepada 40 lembaga keagamaan di Tasikmalaya, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT), dan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI).
    Sejak 28 Maret 2025, sebanyak 20 ulama telah memenuhi panggilan klarifikasi di Polres Tasikmalaya Kota, terkait penggunaan dana hibah Tahun Anggaran 2023.
     
    Namun hingga kini, belum diketahui dasar bukti kesalahan yang dimiliki oleh penyidik.
    Proses penggunaan dana diklaim telah sesuai dengan peruntukannya, dan pihak kepolisian pun dinilai belum memiliki dua alat bukti yang cukup.
    Andi menilai, pemanggilan ini justru mengindikasikan adanya kepentingan tertentu menjelang Pemilihan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Tasikmalaya.
    “Pertama, kita akan laporkan hal ini ke Kompolnas. Kedua, kita akan lakukan upaya hukum mencari siapa dalang di balik ini. Karena sesuai data yang didapatkan, kita sudah tahu siapa dalangnya dan betul adanya kepentingan PSU sebagai kampanye hitam,” ungkap Andi.
    “Biasanya saya sudah banyak kasus menangani, kalau adanya pengaduan pasti dicantumkan pelapornya siapa. Kalau dalam kasus terhadap para ulama ini, tidak disebutkan siapa pelapornya,” lanjutnya.
    Ia pun mendesak aparat penegak hukum untuk bekerja secara profesional, proporsional, dan menjunjung tinggi prinsip due process of law.
    Sementara itu, hingga berita ini ditayangkan, Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Hendra Rochawan belum memberikan pernyataan terkait penghentian pemanggilan ini.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • “Pecat dan Hukum Sebratnya” KPAI Soal Brigadir Ade Kurniawan Intel Polda Jateng Bunuh Bayinya

    “Pecat dan Hukum Sebratnya” KPAI Soal Brigadir Ade Kurniawan Intel Polda Jateng Bunuh Bayinya

    TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Brigadir Ade Kurniawan (AK) diduga menjadi pelaku filisida atau seorang ayah yang membunuh anak kandungnya.

    Ade telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Tengah dengan jeratan pasal pembunuhan dan perlindungan anak.

    Anggota Direktorat Intelijen dan Keamanan Polda Jateng ini juga  akan diseret dalam sidang kode etik profesi polri (KEPP) pada Kamis (10/4/2025). 

    Menanggapi kasus itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah meminta Polda Jateng agar memecat Brigadir AK.

    Alasan tuntutan itu karena Brigadir AK sebagai aparat telah melakukan kebiadaban yakni diduga membunuh anak kandungnya sendiri.

    “Brigadir AK harus dipecat dari kepolisian dan hukum pidananya juga harus seberat-beratnya,” papar Maryati melalui sambungan telepon kepada Tribun, Rabu (9/4/2025).

    Tak hanya memberikan sanksi, Maryati menuntut Polda Jateng agar terbuka dalam proses kasus ini.

    Terutama soal hasil  ekshumasi terhadap jasad bayi atau korban yang harus diungkap kepada publik.

    Hal itu, kata dia, penting untuk diketahui oleh publik supaya terungkap penyebab korban sampai meninggal dunia.

    Pihaknya juga melakukan pengawasan terhadap proses hukum atas kasus tersebut karena korban adalah anak-anak.

    Menurutnya, kekerasan terhadap anak baik ringan, sedang hingga berat bakal diancam oleh Undang-undang Perlindungan Anak.

    “Kami tentu akan melakukan pengawasan dengan saksama terkait proses hukumannya karena korban adalah anak yang mana hukuman bagi pelaku anak adalah sangatlah berat,” jelasnya.

    Dia mengajak pula beberapa lembaga lainnya di antaranya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mengawal kasus ini.

    Kompolnas harus mengawasi proses ini dari semua tingkatan.

    Sementara untuk LPSK bisa turun untuk mendampingi ibu dari korban.

    “Ibu korban jangan sampai luput dari aspek perlindungan karena dia juga dirugikan,” terangnya.

    Kronologi Kasus

    – Peristiwa dugaan pembunuhan bermula ketika Brigadir AK anggota Direktorat Intelijen Keamanan (Ditintelkam) Polda Jawa Tengah bersama kekasihnya seorang perempuan berinisial DJP (24) dan anak hasil hubungan mereka bayi laki-laki berusia 2 bulan berinisial AN  berada di dalam mobil di kawasan Pasar Peterongan, Semarang Selatan, Kota Semarang, Minggu 2 Maret 2025 siang sekira pukul 14.30 WIB.

    – DJP meminta Brigadir AK berhenti di pasar tersebut untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Sebelum turun mobil, mereka sempat berfoto bersama. DJP lantas meninggalkan anaknya bersama  Brigadir AK di dalam mobil tersebut.

    – Selepas berbelanja di pasar, DJP kembali ke dalam mobil. Dia syok melihat anaknya sudah dalam kondisi  bibir membiru dan tak sadarkan diri.

    – DJP lantas panik lalu berusaha menepuk-nepuk anaknya untuk menyadarkannya tetapi tidak ada respon.

    – Keterangan dari  Brigadir AK kepada DJP, anak mereka sempat sempat muntah dan tersedak.

    – Brigadir AK juga mengaku sempat  mengangkat tubuh anaknya lalu menepuk-tepuk punggungnya selepas itu anaknya tertidur.

    – Mereka berdua lantas membawa anaknya ke RS Roemani untuk mendapatkan pertolongan.

    – Satu hari kemudian, bayi laki-laki itu dinyatakan meninggal dunia pada Senin , 3 Maret 2025 pukul 15.00.

    – Keterangan DJP yang diperoleh dari para petugas medis  di rumah sakit tersebut menyatakan anaknya meninggal dunia karena gagal pernapasan.

    – Senin malam , 3 Maret 2025 , bayi AN  dibawa ke Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah untuk dimakamkan.  Purbalingga merupakan tempat asal Brigadir AK.

    – Selepas pemakaman anaknya, Brigadir AK menghilang tanpa kabar. DJP curiga karena Brigadir AK lost contact.

    – DJP lantas memutuskan untuk melaporkan kasus kematian anaknya ke Polda Jateng dengan laporan bernomor LP/B/38/3/2025/SPKT, Polda Jawa Tengah, Rabu 5 Maret  2025. Dia melaporkan Brigadir AK ditemani ibu kandungnya.

    – Menindaklanjuti laporan dari DJP, penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Tengah melakukan ekshumasi atau membongkar makam bayi AN di Purbalingga pada Jumat,  7 Maret 2025.

    – Brigadir AK diamankan oleh Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jateng, Senin, 10 Maret 2025. Sehari kemudian, dia ditahan untuk menjalani penempatan khusus (patsus).

    – Penyidik Ditreskrimum Polda Jateng melakukan pemeriksaaan terhadap Brigadir AK. Hasilnya, mereka menaikan kasus itu dari tahap penyelidikan ke penyidikan, Selasa 11 Maret 2025.

    – Brigadir AK ditetapkan sebagai tersangka , 25 Maret 2025. (Iwn)

  • Kuasa hukum korban pelecehan eks rektor UP temui Kompolnas

    Kuasa hukum korban pelecehan eks rektor UP temui Kompolnas

    Jakarta (ANTARA) – Kuasa hukum korban pelecehan seksual, RZ dan DF yang diduga dilakukan oleh mantan Rektor Universitas Pancasila (UP) berinisial ETH (72) menemui Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) karena kasus itu dinilai “jalan di tempat”.

    “Kalau memang kita lihat dari jenjang waktu dari Januari 2024 sampai dengan saat ini kurang lebih 1 tahun 5 bulan, dalam proses penyelidikan sampai ke penyidikan, ini rentang waktu yang sangat panjang kalau menurut kami,” kata salah satu kuasa hukum korban Yansen Ohoirat dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

    Hal tersebut membawa Yansen menemui Kompolnas untuk mengadu perihal profesionalitas dari tim penyidik dalam mengusut kasus dugaan pelecehan seksual itu.

    Menurut dia, kasus itu telah ditingkatkan ke tahap penyidikan, tetapi dari proses itu sampai dengan kurang lebih 10 bulan, tidak ada kelanjutan perihal siapa tersangkanya.

    “Padahal, ketika perkara itu ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan, itu kan sudah ada. Peristiwa itu ada pidananya,” jelas Yansen.

    Sementara itu kuasa hukum korban lainnya, Amanda Manthovani menyebutkan dirinya sebagai kuasa hukum juga dipertanyakan kredibilitasnya oleh para korban.

    “Karena dari penyidik pun sering tidak kooperatif, apabila kita bertanya melalui pesan WhatsApp atau telepon ke penyidik itu, mungkin hampir tidak menjawab,” katanya.

    Mereka pun berharap laporan ke Kompolnas ini dapat ditindaklanjuti dan dapat diselesaikan kasus ini karena sudah terlalu lama.

    Sebelumnya Polda Metro Jaya menyebutkan kasus pelecehan yang diduga dilakukan oleh mantan Rektor Universitas Pancasila (UP) berinisial ETH (72) terhadap dua wanita berinisial RZ dan DF masih dalam sidik.

    “Masih jalan, proses sidik, belum tersangka. Masih panggil-panggil saksi-saksi,” kata Kepala Subdirektorat Remaja, Anak dan Wanita (Kasubdit Renakta) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya AKBP Evi Pagari saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (1/7/2024).

    Saat dikonfirmasi soal lambatnya penanganan kasus ini oleh Polda Metro Jaya, Evi menjelaskan, pihaknya harus melibatkan pihak lainnya.

    ETH sendiri telah menjalani pemeriksaan “visum et psikiatrikum” di Rumah Sakit (RS) Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat (22/3/2024) atas dua laporan polisi terkait dugaan pelecehan seksual, yakni pelapor berinisial RZ dengan Laporan Polisi Nomor LP/B/193/I/2024/SPKT/Polda Metro Jaya dan pelapor berinisial DF dengan Laporan Polisi Nomor LP/B/36/I/2024/SPKT/Bareskrim Polri.

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

  • Kasus Pelecehan Seksual Mantan Rektor UP Setahun Mandek, Korban Desak Penetapan Tersangka – Halaman all

    Kasus Pelecehan Seksual Mantan Rektor UP Setahun Mandek, Korban Desak Penetapan Tersangka – Halaman all

     TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kuasa hukum korban pelecehan seksual oleh eks Rektor Universitas Pancasila (UP), Edie Toet Hendratno, Yansen Ohoirat mendesak penetapan tersangka kasus yang dialami kliennya RZ dan DF.

    Hal itu disampaikan saat mendatangi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (9/4/2025).

    Yansen mempertanyakan kasus pelecehan seksual yang dilaporkan sejak Januari 2024 dan telah naik penyidikan belum dilakukan penetapan tersangka.

    “Jadi saya berpikir makanya kita bawa ini ke Kompolnas artinya kita mengadukan hal ini bahwa penyidik kami anggap sudah tidak profesional,” ucapnya.

    Menurutnya diduga ada keterlibatan petinggi Polri sehingga kasus ini mandek sudah setahun lebih usai dilaporkan.

    “Sudah ada keberpihakan seperti itu,” tegasnya.

    Yansen memandang ada ketidakwajaran dalam penanganan kasus pelecehan seksual ini.

     

    Dia menyatakan padahal kasus pelecehan ini sudah diketahui ada peristiwa pidana yang terjadi.

    “Nah ketika peristiwa itu sudah ada pidananya mengapa ditahan-tahan penentuan tersangkanya, itu yang kami duga ada intervensi,” pungkasnya.

    Dalam kasus ini, Edie dilaporkan RZ ke Polda Metro Jaya dengan nomor laporan LP/B/193/I/2024/SPKT/POLDA METRO JAYA pada 12 Januari 2024.

    Selain itu, laporan juga datang dari korban lainnya berinisial DF yang diterima di Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/36/I/2024/SPKT/Bareskrim Polri tertanggal 29 Januari 2024. 

    Namun, kini laporan tersebut sudah dilimpahkan ke Polda Metro Jaya.

    Sebelumnya, Eks Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Hendratno mengklaim bahwa dugaan pelecehan seksual yang dilaporkan kepada dirinya merupakan bentuk politisasi.

    Adapun hal itu diungkapkan Edie melalui kuasa hukumnya, Faizal Hafied usai menjalani proses pemeriksaan kasus dugaan pelecehan seksual atas korban RF di Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Kamis (29/2/2024).

    Faizal menjelaskan klaim politisasi yang ia maksud lantaran pelaporan itu beririsan dengan adanya pemilihan rektor baru di kampus tersebut.

    “Ini pasti ada politisasi jelang pemilihan rektor sebagaimana sering terjadi di Pilkada dan Pilpres,” kata Faizal kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Kamis (29/2/2024).

    Selain itu, ia pun mengatakan bahwa laporan polisi (LP) yang dilayangkan terhadap kliennya itu tidak akan terjadi jika tak ada proses pemilihan rektor.

    Bahkan menurutnya, kasus yang saat ini terjadi dinilainya sebagai bentuk pembunuhan karakter kliennya.

    “Sekaligus kami mengklarifikasi bahwa semua yang beredar ini adalah berita yang tidak tepat, dan merupakan pembunuhan karakter untuk klien kami,” pungkasnya. 

  • Prabowo Soal RUU Polri: Polisi Harus Diberi Wewenang yang Cukup

    Prabowo Soal RUU Polri: Polisi Harus Diberi Wewenang yang Cukup

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto mengaku akan mempelajari dan memberikan perhatian khusus terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang tengah disorot publik lantaran bakal memberikan wewenang yang lebih luas.

    Dalam wawancara eksklusif bersama tujuh jurnalis dari tujuh media nasional di kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/4/2025), orang nomor satu Indonesia ini berpendapat sebenarnya bila polisi memang sudah diberikan kewenangan yang cukup untuk melaksanan tugasnya, tidak perlu ada penambahan lagi.

    “Pada prinsipnya polisi harus diberi wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugas. Kalau dia sudah diberi wewenang cukup, ya kenapa harus ditambah? Jadi ini tinggal kita menilai secara arif gradasi itu,” katanya.

    Dia merincikan, wewenang yang cukup adalah ketika polisi bisa melaksanakan tugasnya dalam memberantas kriminalitas, penyelundupan narkoba dan sebagainya, serta melindungi masyarakat, dan menjaga kemanan ketertiban masyarakat.

    Prabowo menuturkan dirinya percaya sepenuhnya terhadap sistem yang ada di Menkopolkam, Polri, dan Kompolnas. Dia pun percaya akan sistem politik yang ada di Indonesia bahwa semua UU yang dibahas itu dilakukan oleh semua partai politik yang dipilih oleh rakyat.

    Lebih jauh, dia mengungkap bahwa dirinya memiliki nilai takaran sebelum menindak internal Polri. Bukan hanya dilihat dari banyaknya kasus yang menarik perhatian publik, tetapi juga keberhasilan Polri dalam menjalankan tugasnya menjadi penilaian tersendiri.

    “Saya umpamanya akan menilai apakah penyelundupan narkoba berkurang, kedua apakah penyelundupan barang-barang berkurang. Intinya itu yang saya sampaikan ke semua Aparat Penegak Hukum, narkoba harus kita perangi, sangat berbahaya untuk anak-anak kita, cucu-cucu kita. Very dangerous is narkoba,” urainya.

    Sebab itu, Prabowo mengatakan bahwa dirinya menangkap concern masyarakat soal RUU Polri tersebut. Dia juga mengaku akan berbicara dari hati ke hati.

    “Saya nangkep concern masyarakat dan saya akan bicara dari hati ke hati, keberhasilan negara yang kuat antara lain keberhasilan daripada tentara dan polisi menjadi baik menjadi unggul, negara itu jadi kuat,” ucapnya.

    Perlu diketahui, saat ini RUU Polri menjadi sorotan publik seusai RUU TNI disahkan pada beberapa waktu lalu. Meski demikan, RUU Polri nyatanya hingga kini belum resmi masuk dalam Prolegnas Prioritas yang siap dibahas di DPR.

  • Polisi Dibegal di Bekasi, Kompolnas Minta Ada Operasi Khusus
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 April 2025

    Polisi Dibegal di Bekasi, Kompolnas Minta Ada Operasi Khusus Megapolitan 4 April 2025

    Polisi Dibegal di Bekasi, Kompolnas Minta Ada Operasi Khusus
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Kepolisian Nasional (
    Kompolnas
    ) meminta ada operasi khusus menangani begal. Operasi khusus yang dimaksud melakukan identifikasi pelaku begal.
    “Saya kira belajar dari penanganan begal dari masa lalu, memang ada baiknya adanya operasi khusus,” kata
    Komisioner Kompolnas

    Mohammad Choirul Anam
    saat dihubungi Kompas.com, Jumat (4/4/2025).
    “Operasi khusus ini ya di titik tertentu dengan melakukan identifikasi siapa yang melakukan pembegalan disiapkan dengan rekam jejak video dan sebagainya,” imbuh dia.
    Setelah melakukan identifikasi, kata dia, polisi melakukan penangkapan pelaku. Namun operasi khusus ini tidak boleh dilakukan secara berlebihan.
    “Sebisa mungkin ya dihindari segala bentuk kekerasan ya, walapun perilaku preman begal ini meresahkan masyarakat. Tapi ya tetap, kendali operasi ini harus tidak boleh berlebihan,” kata dia.
    Selain itu, menurut dia, korban begal tidak hanya berpotensi dialami oleh polisi. Masyarakat pun bisa menjadi korban.
    Oleh sebab itu, kata dia, harus ada penanganan serius terhadap
    kasus begal

    “Ya harus menjadi prioritas penanganan. Ini tidak hanya soal korbannya anggota polisi, tetapi berpotensi pada masyarakat,” kata Anam.
    Menurut dia, penanganan begal juga harus ada pengendalian senjata api karena bisa menghilangkan nyawa seseorang. 
    “Menangani begal harus ada pengendalian terkait penggunaan senjata api, khususnya jika penggunaan senjata api tidak terkendali akibatnya fatal dan tidak bisa dipulihkan,” ungkap Anam.
    Diberitakan sebelumnya, Anggota Sat Samapta Polres Metro Bekasi Briptu Abdul Azis dibegal saat pulang kerja di Jalan Inspeksi Kalimalang, Kampung Pasir Limus, Cikarang Utara pada Rabu (2/4/2025) dinihari.
    “Terkait kasus ini kita masih melakukan penyelidikan,” kata Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi Kompol Onkoseno Grandiarso Sukahar saat dihubungi Kompas.com, Kamis (3/4/2025). 
    Peristiwa tersebut bermula Abdul Azis hendak pulang melintas di Jalan Inspeksi Kalimalang sekitar pukul 05.00 WIB. Saat di lokasi, Abdul Azis dipepet dari belakang sebelah kanan oleh 2 orang yang menggunakan sepeda motor. 
    Lalu korban terjatuh saat kunci kontak motor dimatikan oleh pelaku. Korban kemudian dibacok pada lengan sebelah kiri dan jempolnya menggunakan celurit, sehingga menyebabkan luka robek. 
    “Pelaku membawa kabur motor Briptu Abdul Azis serta meninggalkan Briptu Abdul Azis di lokasi TKP,” katanya. 
    Saat ini Briptu Abdul Azis sedang menjalani perawat di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta untuk mendapatkan penanganan medis.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 8 Pasal RUU Polri yang Dinilai Berbahaya dan Kontroversial, Begini Dampaknya

    8 Pasal RUU Polri yang Dinilai Berbahaya dan Kontroversial, Begini Dampaknya

    PIKIRAN RAKYAT – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) tak kalah memicu polemik besar di kalangan masyarakat.

    Belum kering ‘luka’ pengesahan UU TNI dibuktikan dengan masih banyaknya aksi unjuk rasa, kini muncul polemik RUU TNI. Apa saja pasal yang dinilai berbahaya?

    Pada Selasa, 28 Mei 2024, rapat paripurna DPR RI resmi menetapkan RUU ini sebagai usul inisiatif DPR. Sebagaimana pola pengesahan UU TNI, proses pembentukan RUU Polri juga dinilai terburu-buru. Bahkan aturan ini tidak termasuk dalam Prolegnas 2020-2024.

    Koalisi Masyarakat Sipil menilai revisi RUU ini justru akan melanggengkan impunitas dan menjauhkan Polri dari prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.

    RUU ini menimbulkan kekhawatiran akan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di tangan Polri, serta kurangnya pengawasan yang memadai untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.

    Kritik terhadap RUU ini semakin memperlihatkan adanya kebutuhan untuk desain yang lebih adil dan transparan dalam pengaturan institusi Polri.

    Intinya, keputusan tersebut menuai kritik sebab substansi RUU dianggap akan menjadikan Polri sebagai lembaga “superbody” dengan kewenangan yang berlebihan.

    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian, yang dipublikasikan oleh PSHK, mengungkapkan bahwa RUU ini gagal merancang perbaikan fundamental di institusi Polri dan justru memperluas kekuasaan Polri secara tidak proporsional.

    Berikut adalah rincian pasal-pasal dalam RUU yang menjadi kontroversi:

    1. Pengawasan Ruang Siber

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf b dan Pasal 16 Ayat 1 Huruf q

    RUU ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk mengawasi dan mengamankan ruang siber, termasuk penindakan, pemblokiran, atau perlambatan akses.

    Hal ini berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan privasi warga di dunia digital.

    “Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri,” demikian bunyi laporan PSHK, dikutip Jumat, 28 Maret 2025.

    2. Penggalangan Intelijen oleh Polri

    Sorotan: Pasal 16A dan 16B

    Polri diberi kewenangan untuk melakukan penggalangan intelijen, yang berpotensi disalahgunakan karena tidak ada definisi jelas mengenai “kepentingan nasional”.

    Selain itu, Polri juga dapat memeriksa aliran dana dan meminta bahan keterangan dari kementerian dan lembaga lain, yang bisa tumpang tindih dengan lembaga seperti BIN dan PPATK.

    3. Kewenangan Penyadapan Tanpa Izin

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf o

    Pasal ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penyadapan tanpa mekanisme perizinan yang jelas, berbeda dengan KPK yang wajib meminta izin dari Dewan Pengawas. Hal ini dikhawatirkan bisa membuka celah pelanggaran hak asasi manusia.

    4. Intervensi terhadap Penyidikan Lembaga Lain

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf g dan Pasal 16 Ayat 1 Huruf n, o, dan p.

    Polri diberi kewenangan untuk membina teknis PPNS dan penyidik lembaga lain, termasuk KPK, serta memberikan petunjuk dan rekomendasi dalam penyidikan. Ini berpotensi melemahkan independensi lembaga seperti KPK.

    5. Penguatan Pam Swakarsa

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf g

    RUU ini mengatur pembinaan pengamanan swakarsa oleh Polri, yang dikhawatirkan bisa membuka ruang bagi komersialisasi keamanan dan represifitas sipil, mengingat sejarah kelam Pam Swakarsa di masa lalu.

    6. Perpanjangan Usia Pensiun

    Sorotan: Pasal 30 Ayat 2 dan 3

    Pasal ini menetapkan usia pensiun anggota Polri hingga 60 tahun, dan 62 tahun bagi yang memiliki keahlian khusus, bahkan bisa mencapai 65 tahun untuk pejabat fungsional.

    Hal ini dinilai memperlambat regenerasi di internal Polri dan tidak menyelesaikan masalah penumpukan perwira tinggi.

    7. Kewenangan Hukum Nasional dan Smart City

    Sorotan: Pasal 14 Ayat 1 Huruf e dan Ayat 2 Huruf c

    Polri diberi tugas untuk turut serta dalam pembinaan hukum nasional, yang berpotensi tumpang tindih dengan tugas BPHN.

    Selain itu, Polri juga diberi kewenangan untuk menyelenggarakan smart city bersama pemerintah pusat dan daerah, yang dinilai lebih mengutamakan pendekatan keamanan.

    8. Minimnya Mekanisme Pengawasan

    Sorotan: Pasal 35 hingga Pasal 39

    RUU ini tidak secara tegas memperkuat mekanisme pengawasan eksternal terhadap Polri.

    Dalam Pasal 35 hingga Pasal 39, peran Komisi Kode Etik dan Kompolnas disebut namun tetap diatur lewat Peraturan Presiden atau Peraturan Kepolisian.

    Kedua dasar hukum itu dianggap tidak efektif dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Kapolri dan Panglima TNI Temui Keluarga Polisi Korban Penembakan di Lampung, Lemkapi: Beri Kesejukan – Halaman all

    Kapolri dan Panglima TNI Temui Keluarga Polisi Korban Penembakan di Lampung, Lemkapi: Beri Kesejukan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kehadiran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menemui keluarga Briptu Anumerta M Ghalib Surya Ganta, anggota Polri yang gugur ditembak saat penggerebekan lokasi judi sabung ayam di Way Kanan, Lampung, memberikan kesejukan di tengah masyarakat.

    Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan mengapresiasi kehadiran pimpinan Polri dan TNI tersebut menemui keluarga korban di Lampung Selatan.

    “Kami melihat kehadiran Kapolri dan Panglima TNI di rumah keluarga korban penembakan membawa kesejukan bagi keluarga Ghalib,” kata Edi Hasibuan kepada Tribunnews.com di Jakarta, Kamis (27/3/2025).

    Menurut Edi Hasibuan, kehadiran  Panglima TNI dan Kapolri sejak awal ditunggu masyarakat.

    Kehadiran keduanya menemui korban secara  langsung dapat memberikan  keyakinan kepada masyarakat bahwa kasus penembakan terhadap tiga anggota Polri di Way Kanan akan ditangani secara profesional dan pelakunya akan ditindak tegas serta mendapat hukuman yang seberat-beratnya.

    Terlebih, pimpinan Polri dan TNI berjanji akan menangani kasus penembakan ini  sampai tuntas.

    “Karena kasus penembakan ini ditangani Puspom TNI,  kita minta Panglima TNI terus memantau proses hukum terhadap kasus penembakan tiga anggota Polri yang sedang bertugas ini agar mendapatkan rasa adil kepada keluarga korban dan juga masyarakat,” kata Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta  ini.

    Selain itu, mantan anggota Kompolnas ini memuji sikap Kapolri yang langsung memperhatikan nasib keluarga korban dengan memberikan penghargaan rekrutmen proaktif Bintara Polri kepada Daffa yang notabene sepupu Briptu Ghalib.

    “Penghargaan ini kami lihat sebagai bentuk penghargaan Polri atas pengabdian almarhum Briptu Ghalib kepada bangsa dan negara serta kepada masyarakat,” ucapnya.

    Sebelumnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memberikan penghargaan terhadap sepupu almarhum Briptu Anumerta M Ghalib Surya Ganta yakni rekrutmen proaktif (rekpro) Bintara Polri.

    Hal itu diberikan saat Sigit bertemu dengan pihak keluarga sebagai bentuk penghargaan terhadap Briptu Ghalib yang meninggal ditembak oknum anggota TNI saat sedang menggerebek lokasi perjudian sabung ayam.

    Adapun pertemuan dilakukan di kediaman Briptu Ghalib di wilayah Lampung Selatan bersama Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada Rabu (26/3/2025).

    “Walaupun almarhum sudah tidak ada tapi beliau semua tetap keluarga besar kami dan tentunya kami akan selalu bersama dengan seluruh keluarga,” kata Sigit kepada wartawan.

    KASUS PENEMBAKAN POLISI – Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo bersama Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subianto dan Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal usai menyempatkan datang ke rumah alamarhum Briptu (Anumerta) M Ghalib Surya Ganta di Jalan A Rahman Nomor 61, Kelurahan Pematang Wangi, Kecamatan Tanjung Senang, Kota Bandar Lampung, Rabu (26/3/2025). (Tribun Lampung)

    Dalam kesempatan yang sama, Sigit mengatakan dirinya dan Panglima telah mendengarkan seluruh harapan yang disampaikan keluarga korban.

    Ia juga memastikan akan berkomitmen mengusut tuntas kasus perjudian sabung ayam tersebut serta peristiwa penembakan yang terjadi di dalamnya.

    “Saya dan Pak Panglima mendengarkan apa yang menjadi harapan keluarga dan kita akan melakukan proses penegakan hukum secara tuntas dari sisi saya dan dari sisi Panglima,” tegas mantan Kabareskrim itu.

    Diketahui tiga anggota Polri gugur saat menggerebek lokasi perjudian sabung ayam.

    Insiden terjadi di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung, Senin (17/3/2025) sekitar pukul 16.50 WIB

    Ketiga anggota polisi yang gugur adalah Kapolsek Negara Batin Iptu Lusiyanto, Bripka Petrus, dan Bripda Ghalib.

    Mereka gugur dan mengalami luka tembak di tubuhnya.