Kementrian Lembaga: Kompolnas

  • Mendagri: Pengawasan terbaik Polri adalah pengawasan internal

    Mendagri: Pengawasan terbaik Polri adalah pengawasan internal

    tantangan pengelolaan keamanan di Indonesia berbeda dibanding negara lain, karena bentuk geografisnya. Jika negara-negara berpenduduk besar seperti Tiongkok, India, dan Amerika Serikat merupakan land mass atau negara daratan, maka Indonesia adalah ne

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menekankan pentingnya memperkuat pengawasan internal terhadap institusi Polri dan menekankan pengawasan terbaik adalah pengawasan internal.

    “Sebetulnya pengawasan yang terbaik adalah pengawasan internal, yang terbaik. Karena kalau pengawasan internalnya bagus, maka otomatis kepercayaan publik akan tinggi. Karena dianggap satu lembaga bisa mengawasi diri sendiri,” Tito saat membuka Rapat Koordinasi Pengawasan (Rakorwas) Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bersama Polri Tahun 2025 di Jakarta, Rabu.

    Tito yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Kompolnas mendorong penguatan sistem pengawasan internal di tubuh Polri. Menurutnya, jika hal tersebut berjalan dengan baik, maka kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian akan meningkat.

    Mantan Kapolri itu juga menjelaskan bahwa tantangan pengelolaan keamanan di Indonesia berbeda dibanding negara lain, karena bentuk geografisnya.

    Jika negara-negara berpenduduk besar seperti Tiongkok, India, dan Amerika Serikat merupakan land mass atau negara daratan, maka Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.

    Kondisi ini membuat mobilisasi, koordinasi, dan pelaksanaan fungsi kepolisian menjadi jauh lebih kompleks dibanding negara daratan yang memiliki infrastruktur darat sehingga memudahkan mobilitas untuk melaksanakan tugas kepolisian.

    “Kita sadari bahwa memang tugas yang tidak mudah untuk mengawasi Polri. Kenapa? Karena Polri ini adalah lembaga kepolisian nasional nomor dua terbesar didunia dan menjalankan fungsi kepolisian di negara demokrasi nomor 3 didunia setelah India dan Amerika Serikat” ujarnya.

    Mendagri menggarisbawahi bahwa pengawasan bukan sekadar responsif menunggu laporan dan keluhan masyarakat, tetapi harus dilakukan secara proaktif dan sistematis.

    Ia mencontohkan pentingnya respons cepat terhadap keluhan publik, sebagaimana diterapkan dalam dunia pelayanan jasa. Menurutnya, pendekatan tersebut relevan dalam konteks mewujudkan kepolisian yang profesional dan humanis.

    “Penting untuk melakukan respons cepat supaya permasalahan tidak berlarut-larut, namun juga lebih dari itu perlu langkah-langkah proaktif untuk mencegah pelanggaran anggota dan meningkatkan pelayanan kepada publik lebih baik” tambahnya.

    Tito juga menilai pentingnya kunjungan lapangan Kompolnas ke satuan kerja (satker) untuk mencocokkan paparan program dengan kenyataan di lapangan, termasuk dalam menilai pelayanan publik Polri kepada masyarakat dalam aspek penegakan hukum, pemeliharaan kamtibmas, dan pelindungan masyarakat.

    “Dengan koordinasi kepada Pimpinan Polri, sebaiknya satker-satker yang ada di Mabes Polri dan Polda-Polda diundang dan didatangi untuk diskusi dan dialog. Mereka memaparkan tentang strategi kebijakan mereka dalam melakukan tugas di Satker itu atau di Polda itu. Dan apa KPI-nya, key performance index, ukuran keberhasilannya apa yang mau ditarget, misalnya angka kejahatan akan turun, angka [kecelakaan] lalu lintas akan turun. Dialog tersebut akan membuat satker dan polda akan meminimalkan pelanggaran satuannya yang pada gilirannya akan membuat anggotanya juga menghindari pelanggaran atau misuse of power,” ungkapnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Paradoks Pemberantasan Narkoba

    Paradoks Pemberantasan Narkoba

    Paradoks Pemberantasan Narkoba
    Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor

    Pemberantasan narkoba omong kosong! Bagaimana polisi di Nunukan bisa memberantas narkoba kalau mereka sendiri terlibat penyelundupan?

    DEMIKIANLAH
    banyak komentar yang saya temukan dari berbagai pembicaraan hangat masyarakat Nunukan, Kalimantan Utara. Ironi melukai nurani dalam paradoks pemberatasan narkoba di perbatasan negeri.
    Di garis batas negeri, pemberantasan narkoba menjelma paradoks yang mencengkeram. Polisi, yang disumpah sebagai benteng hukum, justru terseret dalam pusaran kejahatan penyelundupan narkoba.
    Nunukan, jantung perbatasan Indonesia-Malaysia, sorot lampu perang melawan narkotika memantul pada bayang-bayang pengkhianatan: oknum penegak hukum menjadi pelaku.
    Bagaimana mungkin mereka yang memegang tameng keadilan justru menikamnya dari belakang?
    Ketika sabu merayap melalui jalur tikus dan dermaga gelap, pertanyaan dari rakyat yang selalu terzholimi menggema: apakah musuh sejati ada di luar sana, atau justru bersemayam dalam seragam yang seharusnya melindungi?
    Kisah tragis “polisi tangkap polisi” mengaburkan garis antara pemburu dan buruan, mengungkap luka sistemik yang melemahkan perjuangan melawan narkoba di perbatasan negeri.
    Pada Rabu, 9 Juli 2025, kabar mengejutkan terkait penangkapan polisi itu datang. Tim gabungan dari Direktorat Tindak Pidana
    Narkoba
    Bareskrim Polri dan Divisi Propam menangkap empat oknum polisi, termasuk Iptu Sony Dwi Hermawan, Kepala Satuan Reserse Narkoba (Kasat Reskoba) Polres Nunukan, terkait dugaan penyelundupan sabu di wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia.
    Peristiwa ini bukan sekadar kasus hukum biasa, melainkan cerminan krisis integritas yang mengguncang Institusi Kepolisian, terutama dalam misi pemberantasan narkoba di kawasan rentan seperti di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan. 
    Penangkapan berlangsung di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah, wilayah perbatasan yang dikenal sebagai jalur rawan penyelundupan narkotika.
    Operasi ini dilakukan secara senyap oleh Tim Mabes Polri, dengan pengawalan ketat yang bahkan melibatkan jenderal bintang dua, menunjukkan tingkat keseriusan kasus.
    Kapolda Kalimantan Utara, Irjen Pol Hary Sudwijanto, membenarkan penangkapan tersebut dan menegaskan bahwa keempat oknum polisi diduga terlibat penyalahgunaan narkoba.
    Ironi mengingat mereka bertugas di Satuan Reserse Narkoba yang seharusnya menjadi garda terdepan melawan peredaran gelap narkotika.
    Informasi awal menyebutkan tujuh polisi ditangkap. Namun, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Eko Hadi Santoso, meluruskan bahwa hanya empat polisi yang diciduk, semuanya dari Polres Nunukan, tanpa melibatkan warga sipil.
    Penggeledahan juga dilakukan di rumah Iptu Sony, meskipun belum ada keterangan resmi mengenai barang bukti yang ditemukan. Kasus ini masih dalam pengembangan, dengan keempat polisi dibawa ke Mabes Polri di Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut.
    Kasus ini menyoroti krisis integritas di tubuh kepolisian, khususnya di unit yang bertugas menangani narkoba. Iptu sony, sebagai kasat reskoba, memiliki tanggung jawab besar untuk memimpin operasi pemberantasan narkotika di wilayah perbatasan yang strategis.
    Namun, dugaan keterlibatannya dalam penyelundupan sabu-sabu justru memperlihatkan bagaimana oknum di posisi kunci dapat melemahkan upaya penegakan hukum.
    Data dari Badan Narkotika Nasional menunjukkan bahwa Kalimantan Utara, khususnya Nunukan, merupakan salah satu pintu masuk utama narkotika dari Malaysia, dengan sabu sebagai komoditas utama.
    Pada 2024, BNN mencatat lebih dari 50 kasus penyelundupan narkoba di wilayah perbatasan kalimantan, dengan nilai barang bukti mencapai puluhan miliar rupiah.
    Fakta bahwa oknum polisi, termasuk pimpinan satuan narkoba, diduga terlibat dalam jaringan penyelundupan menunjukkan adanya celah besar dalam pengawasan internal.
    Divisi Propam, yang turut terlibat dalam operasi ini, seharusnya menjadi benteng pencegahan pelanggaran etik dan pidana oleh polisi.
    Namun, kasus ini menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan internal masih sangat lemah. Laporan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada 2024 mencatat bahwa pelanggaran etik oleh polisi meningkat 15 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan sebagian besar kasus terkait penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
    Wilayah perbatasan seperti Pulau Sebatik, Nunukan memiliki tantangan unik dalam pemberantasan narkoba.
    Lokasi geografis yang berbatasan langsung dengan Malaysia, ditambah dengan banyaknya jalur tikus dan dermaga tradisional, mempermudah penyelundupan narkoba.
    Data dari Polda Kaltara menunjukkan bahwa pada 2023, lebih dari 60 persen kasus narkoba di wilayah ini melibatkan lintas batas, dengan sabu sebagai barang yang paling banyak diselundupkan.
    Faktor ini diperparah minimnya sumber daya, seperti personel dan teknologi pengawasan, di wilayah terpencil seperti Sebatik.
    Namun, tantangan terbesar bukan hanya pada logistik, melainkan integritas aparat. Kasus penangkapan empat polisi ini menegaskan bahwa ancaman narkoba tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam institusi penegak hukum itu sendiri.
    Ketika oknum polisi yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi bagian dari masalah, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian semakin terkikis.
    Survei Indikator Politik Indonesia pada 2024 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap polri hanya 65 persen, turun dari 72 persen pada 2022, dengan salah satu penyebab utama adalah kasus-kasus pelanggaran oleh oknum polisi.
    Kasus “polisi tangkap polisi” di Kabupaten Nunukan bukanlah insiden terisolasi. Pada 2023, kasus serupa juga pernah terjadi di Polda Sumatera Utara, di mana seorang perwira polisi ditangkap karena melindungi jaringan narkoba.
    Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini bersifat sistemik dan memerlukan reformasi mendalam.
    Menurut penulis, dengan melihat fakta yang terjadi, ada beberapa hal urgen yang harus dibenahi terkait sistem yang ada di institusi Polri.
    Pertama, Polri perlu memperkuat mekanisme pengawasan internal. Divisi propam harus dilengkapi teknologi dan wewenang lebih besar untuk mendeteksi dini potensi pelanggaran, seperti melalui audit rutin terhadap anggota di unit-unit strategis seperti Satresnarkoba.
    Kedua, seleksi dan pelatihan personel untuk penempatan di wilayah perbatasan harus lebih ketat. Polisi yang bertugas di area rawan seperti
    nunukan
    harus memiliki integritas tinggi dan dilatih untuk menghadapi godaan finansial dari sindikat narkoba.
    Ketiga, kerja sama lintas instansi, seperti dengan BNN dan Bea Cukai, harus diperkuat untuk menutup celah penyelundupan di perbatasan.
    Data BNN menunjukkan bahwa kerja sama lintas instansi pada 2024 berhasil menggagalkan 30 persen lebih banyak kasus penyelundupan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal seperti ini harus lebih ditingkatkan.
    Keempat, hukuman tegas wajib diterapkan bagi polisi yang melanggar hukum, seperti kolusi dengan sindikat narkoba. Sanksi ringan, misalnya teguran atau shalat lima waktu, tidak efektif.
    Data Propam Polri 2023 menunjukkan hanya 10 persen pelaku pelanggaran berat dipecat, sisanya mendapat hukuman ringan. Pemecatan dan tuntutan pidana harus diterapkan konsisten untuk menegakkan integritas Polri.
    Kasus ini harus menjadi pembelajaran bagi publik bahwa pemberantasan narkoba bukan hanya tugas polisi, tetapi juga tanggung jawab bersama.
    Masyarakat di wilayah perbatasan dapat berperan sebagai mata dan telinga dengan melaporkan aktivitas mencurigakan, seperti yang menjadi cikal bakal pengungkapan kasus ini.
    Selain itu, masyarakat juga perlu memahami bahwa krisis integritas dalam kepolisian tidak boleh digeneralisasi sebagai kegagalan seluruh institusi.
    Saya akui banyak polisi yang bekerja dengan dedikasi, tapi ulah oknum seperti yang terlibat di Nunukan mencoreng nama baik mereka.
    Lebih jauh lagi, kasus ini mengingatkan kita akan kompleksitas perang melawan narkoba. Ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga tentang membangun sistem yang mampu menahan godaan dari “lahan basah” dan penyalahgunaan wewenang.
    Publik harus menuntut transparansi dan akuntabilitas dari Polri, sambil mendukung reformasi yang memastikan aparat penegak hukum bebas dari keterlibatan dalam kejahatan yang mereka lawan.
    Penangkapan empat polisi di Nunukan adalah tamparan keras bagi Polri dan publik. Ini menunjukkan bahwa pemberantasan narkoba di perbatasan tidak hanya menghadapi tantangan eksternal, tetapi juga ancaman dari dalam.
    Dengan memperkuat pengawasan internal, meningkatkan seleksi personel, dan melibatkan masyarakat, Polri dapat memulihkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa kasus seperti ini tidak terulang.
    Publik, di sisi lain, harus melihat kasus ini sebagai panggilan untuk bersama-sama menjaga integritas dalam perang melawan narkoba. Hanya dengan kerja sama dan komitmen kolektif, perbatasan Indonesia dapat menjadi benteng yang kokoh melawan ancaman narkotika.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Top 3 News: Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi, Saling Klaim dan Adu Persepsi – Page 3

    Top 3 News: Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi, Saling Klaim dan Adu Persepsi – Page 3

    Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) bersikukuh menyatakan ijazah Jokowi palsu, sementara kepolisian telah berpegangan pada hasil penyelidikan yang menyimpulkan ijazah Presiden Ke-7 Jokowi dipastikan keasilannya.

    Hasil penyelidikan itu pun mematahkan laporan yang dilaporkan oleh TPUA ke Bareskrim Polri. Laporan tercatat dengan surat nomor Khusus/TPUA/XII/2024 dan nomor LI/39/IV/RES.1.24./2025/Dittipidum tanggal 9 April 2025.

    Belakangan, TPUA meminta Bareskrim Polri melakukan gelar perkara khusus. Permintaan itu diamini, sehingga diadakan di salah satu ruangan di Bareskrim Polri pada Rabu, 9 Juli 2025.

    Dari kubu pelapor, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) diwakili Eggi Sudjana, Rizal Fadhilah, Roy Suryo, hingga akademisi Rismon Sianipar.

    Dari pihak terlapor, Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi diwakili kuasa hukumnya, Yakup Hasibuan. Sedangkan, dari pihak eksternal hadir Kompolnas, Ombusman dan Komisi III DPR RI.

     

    Selengkapnya…

  • Kompolnas Sebut Kasus Kematian Brigadir MN Harus Diungkap Secara Terang – Page 3

    Kompolnas Sebut Kasus Kematian Brigadir MN Harus Diungkap Secara Terang – Page 3

    Kasus kematian Brigadir MN alias Nurhadi telah memasuki babak baru. Polda NTB telah menahan dua perwira polisi berinisial Kompol Y dan Ipda HC yang sudah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan.

    “Kami tahan di Tahti Polda NTB untuk 20 hari pertama,” kata Kepala Subdit III Bidang Jatanras Reskrimum Polda NTB AKBP Catur Erwin Setiawan di Mataram, Senin (7/7/2025).

    Catur memastikan bahwa penahanan kedua mantan perwira Polri ini dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penahanan (SPHan) Nomor 81 dan 82.

    Penyidik menahan mantan kedua atasan Brigadir Nurhadi tersebut setelah melakukan pemeriksaan sebagai tersangka. Penahanan keduanya dilakukan secara terpisah di lantai 2 di kamar nomor 4 dan 5.

    “Jadi, yang bersangkutan kami tahan setelah pemeriksaan usai/selesai, dan melalui prosedur tes kesehatan. Mereka berdua dalam kondisi sehat,” ujarnya.

    Direktur Perawatan Tahanan dan Barang Bukti Polda NTB AKBP M. Rifai membenarkan adanya penahanan terhadap dua dari tiga tersangka tersebut. Ia memastikan bahwa tiga tersangka dalam kasus ini menjalani penahanan di ruang tahanan berbeda.

    “Satu orang untuk satu ruang tahanan,” ungkapnya.

    Tiga tersangka dalam kasus ini, selain Kompol Y dan Ipda HC, merupakan perempuan berinisial M yang sudah lebih dahulu menjalani penahanan di Rutan Polda NTB.

    Selain penahanan, progres penanganan kasus kini telah masuk ke tahap pelimpahan berkas ke jaksa peneliti pada Kejati NTB.

  • Sesumbar Roy Suryo soal Ijazah Palsu, Kubu Jokowi Anggap Tak Buktikan Apa-apa
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 Juli 2025

    Sesumbar Roy Suryo soal Ijazah Palsu, Kubu Jokowi Anggap Tak Buktikan Apa-apa Nasional 10 Juli 2025

    Sesumbar Roy Suryo soal Ijazah Palsu, Kubu Jokowi Anggap Tak Buktikan Apa-apa
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kesangsian Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) dan
    Roy Suryo
    dkk terhadap ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) masih terus bergulir hingga digelarnya gelar perkara khusus oleh Bareskrim Polri, Rabu (9/7/2025).
    Gelar perkara khusus ini digelar atas permintaan TPUA yang meragukan hasil penyelidikan Bareskrim Polri yang sebelumnya menyatakan
    ijazah Jokowi
    asli.
    TPUA selaku pemohon memboyong sejumlah ahli digital forensik untuk membuktikan kalau ijazah Jokowi palsu, antara lain, Roy Suryo, Rismon Sianipar, Eggy Sudjana, dan Tifauzia Tyassuma.
    Sementara, Jokowi diwakili oleh kuasa hukumnya,
    Yakup Hasibuan
    . Gelar perkara juga dipantau oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
    Sebelum mengikuti gelar perkara, Roy sempat memberikan presentasi singkat di hadapan awak media dan mengutarakan keyakinannya bahwa ijazah Jokowi 99,9 persen palsu.
    “Saya bersama dokter Rismon nanti akan menjelaskan secara teknis. Intinya nanti akan saya sampaikan seperti ini, ini ringkasannya. Jadi, judulnya adalah analisis teknis ijazah dan skripsi 99,9% palsu,” ujar Roy saat konferensi pers di Lobi Bareskrim Polri, Rabu.
    Kesimpulan ini Roy ambil setelah menganalisis ijazah Jokowi yang beredar di sosial media alias melalui medium digital.
    Ada dua versi ijazah Jokowi yang dianalisis Roy dan kawan-kawan. Pertama, dari unggahan Politikus PSI Dian Sandi.
    Ijazah Jokowi
    yang terlihat warnanya ini sempat diklaim Sandi adalah ijazah asli Jokowi.
    Lalu, ijazah kedua adalah tampilan fotokopi ijazah Jokowi yang diperlihatkan Bareskrim Polri dalam konferensi pers pada Kamis (22/5/2025) lalu.
    Dalam analisisnya, Roy menggunakan dua metode atau alat, yaitu
    error level analysis
    (ELA) dan
    face recognition
    .
    Pada proses analisis ini, Roy menggunakan ijazah UGM miliknya sebagai pembanding.
    Ia mengatakan, berdasarkan hasil analisis ELA, ijazah Jokowi tidak lagi terlihat detail di dalam kertas ijazah yang dianggap sebagai suatu
    error
    .
    “Kalaupun ELA itu
    full
    Itu masih akan tetap kelihatan ijazahnya. Lihat, teman-teman bisa lihat. Ini masih ada bekas-bekasnya Tulisan-tulisannya masih ada. Logonya pun juga masih ada,” kata Roy menunjukkan gambar analisis ijazahnya.
    Roy menilai, ketiadaan logo dan pas foto di hasil analisis ELA pada ijazah Jokowi menguatkan dugaan terjadinya pemalsuan.
    Selain itu, berdasarkan analisis
    face recognition
    , foto Jokowi di ijazahnya dinilai tidak cocok dengan foto Jokowi saat ini.
    Menurut dia, foto di ijazah itu dinilai mirip dengan sosok berinisial DBU yang kerap disinggung orang-orang.
    “Tapi, foto Joko Widodo yang ada di ijazah kemudian yang ada sekarang adalah not match. Tidak sama foto di ijazah. Tidak sama dengan aslinya sekarang,” kata Roy.
    Roy dkk juga melakukan analisis terhadap tampilan di muka ijazah, misalnya perbedaan pada letak huruf dan penulisan gelar dekan yang menandatangani ijazah.
    Kala itu, Dekan Fakultas Kehutanan UGM dijabat oleh Achmad Sumitro.
    Roy mengatakan, di ijazah Jokowi yang tertulis terbit tahun November 1985, nama Sumitro sudah disematkan gelar Profesor.
    “Padahal yang benar, Profesor Achmad Sumitro baru mengucapkan pidato guru besarnya pada bulan Maret 86,” kata Roy lagi.
    Sementara itu, Yakup Hasibuan yang mewakili Jokowi menilai TPUA tidak berhasil membuktikan adanya kecacatan dalam proses penyelidikan yang dilakukan Bareskrim.
    “Mereka tidak berhasil menunjukkan di mana cacatnya penyelidikan Bareskrim,” kata Yakup saat konferensi pers di Lobi Bareskrim Polri, Rabu.
    Lebih lanjut, analisis Roy dkk dinilai tidak bisa diterima karena objek analisisnya berbeda dengan yang menjadi sampel Bareskrim.
    Ahli digital forensik yang dihadirkan kubu Jokowi, Joshua Sinambela, beralasan bahwa analisis Roy Suryo dkk hanya berdasar pada ijazah Jokowi yang gambarnya dilihat secara digital.
    Sementara, yang dipermasalahkan adalah ijazah asli alias fisik atau analog.
    “Karena ijazah ini adalah produk analog makanya ahli digital forensik tidak ada hubungannya. Nah jadi, apa yang dilakukan oleh ahli dari pihak pelapor itu sama sekali tidak berdasar,” kata Joshua.
    Joshua menegaskan, seorang ahli forensik atau digital semestinya tidak berhak untuk memeriksa produk analog.
    “Jadi sebagai ahli digital forensik kita hanya berhak memeriksa dokumen-dokumen digital. Bukan produk analog,” jelas Joshua.
    Yakup menegaskan, meski ada perbedaan objek analisis, pihaknya tidak akan memperlihatkan ijazah asli Jokowi kepada TPUA.
    Alasannya, menunjukkan ijazah Jokowi tidak akan menyelesaikan permasalahan karena pihak TPUA bersikeras mau menganalisis ijazah asli Jokowi ini meski sudah diperlihatkan secara langsung.
    “Tadi saya sampaikan juga pada saat gelar khusus. kalau kita tunjukkan pun (ijazah asli), walaupun kami juga tidak ada kewajiban hukum ya, kalau kita tunjukkan pun apakah anda (TPUA) punya otoritas untuk menentukan ini asli atau tidak,” kata Yakup.
    Ia mengaskan, saat ini sudah banyak pihak yang menyatakan ijazah Jokowi asli, tetapi TPUA masih terus meragukannya.
    Yakup pun mempertanyakan mengapa TPUA merasa percaya diri melakukan analisis sendiri, sedangkan Pusat Laboratoritum Forensik (Puslabfor) Polri juga sudah mengambil kesimpulan terkait keaslian ijazah Jokowi.
    “UGM yang mengeluarkan (ijazah) sudah menyatakan ini asli. KPU yang memverifikasi sudah mengatakan ini asli. Mereka (TPUA) lapor polisi. Mereka (penyelidik) juga bilang ini asli identik, tidak ada dugaan tindak pidana,” kata Yakup.
    “Jadi, menurut mereka ini Puslabfor tidak benar. Apa iya semua dokumen itu keaslian yang harus melalui verifikasi mereka dulu? Jadi lebih percaya mana? Puslabfor atau laboratorium Roy Suryo?” imbuh dia.
    Komisioner Kompolnas Choirul Anam mengatakan, Kompolnas dilibatkan dalam gelar perkara khusus dan diberikan kesempatan untuk bertanya soal proses penyelidikan kasus ijazah Jokowi.
    “Jadi kalau mereka mengambil barang dari UGM misalnya, mengambil bukti dari UGM, (kami bertanya) mana berita acaranya, mana dokumentasinya dan sebagainya, termasuk juga mekanisme kerja di labfornya,” ujar Choirul Anam.
    Para pihak pengawas eksternal ini juga sempat bertanya terkait dengan standar operasi prosedur (SOP) yang digunakan penyelidik
    “Ada yang agak mepet dengan simbol UGM-nya, ada yang agak jauh gitu ya A-nya. Oh, itu ada penjelasannya. Dan dijelaskan dengan cukup baik, dijelaskan dengan bukti cukup baik, dan menurut kami penjelasan itu masuk akal,” kata Anam.
    Selain mendapatkan penjelasan dari para penyelidik, Anam mengatakan, sejumlah dokumentasi proses penyelidikan juga ditampilkan dalam gelar perkara khusus.
    “Kami tidak hanya diberikan penjelasan informatif, tapi kami ditunjukkan buktinya, kami ditunjukkan bukti prosesnya, dokumentasi prosesnya, kami juga ditunjukkan alat yang digunakan, juga itu bisa kami terima,” lanjutnya.
    Setelah proses pendalaman ini selesai, Biro Pengawas Penyidikan (Wassidik) Polri akan mengambil suatu kesimpulan.
    Hingga kini, baik Wassidik maupun Divisi Humas Polri belum menyebutkan kapan kesimpulan ini akan dibacakan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gelar Perkara Khusus Dugaan Ijazah Palsu, Tim Jokowi: Tak Ada Bukti Baru

    Gelar Perkara Khusus Dugaan Ijazah Palsu, Tim Jokowi: Tak Ada Bukti Baru

    Bisnis.com, JAKARTA — Gelar perkara khusus terkait dengan tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) di Bareskrim Polri digelar hari ini Rabu (9/7/2025).

    Gelar perkara itu turut menghadirkan pelapor, saksi yang diajukan pelapor, kuasa hukum Jokowi, hingga pengawas internal maupun eksternal di Bareskrim Polri.

    Usai menghadiri gelar perkara khusus itu, kedua belah pihak saling memberikan klaimnya masing-masing. Misalnya, kuasa hukum Jokowi, Yakup Hasibuan mengatakan bahwa dalam gelar perkara ini masih dalam kesimpulan sebelumnya.

    Kesimpulan itu yakni mengonfirmasi bahwa ijazah Jokowi itu merupakan asli. Oleh sebab itu, Yakup menilai pelapor tidak bisa memberikan bukti baru dalam gelar perkara ini.

    “Jadi case close. kita tidak melihat lagi chance. Karena begini mereka tidak berhasil menunjukkan di mana cacatnya penyelidikan Bareskrim. Mereka juga tidak berhasil untuk memberikan novum bukti baru,” ujar Yakup.

    Dia menambahkan, gelar perkara ini dibagi menjadi dua pihak. Pada tahap pertama dihadirkan pihak yang berkaitan. Yakup mengklaim bahwa dalam gelar tersebut tidak ada dalil yang menyatakan ada pelanggaran dalam penyelidikan kasus tudingan Jokowi.

    Sementara itu, pada tahap selanjutnya terdapat pihak pengawas internal seperti Itwasum hingga Propam sementara itu pengawas eksternal seperti Kompolnas, Ombudsman hingga DPR RI.

    “Jadi tadi sangat, kalau kami bisa bilang itu semua pihak, elemen-elemen semua dihadirkan. Kompolnas juga. Ada Kompolnas juga, dan ahli-ahli juga.Banyak sekali ahli-ahli dari Polri juga,” pungkasnya.

    Ketua TPUA Walk Out

    Di lain sisi, Ketua TPUA, Eggi sudjana menyampaikan bahwa dalam gelar perkara khusus ini kubu Jokowi tidak menunjukkan ijazah asli kepada pihaknya. Oleh sebab itu, menyatakan walk out dalam gelar ini.

    “Saya bicara kalau kesimpulan gelar perkara ini Tidak menunjukkan ijazah asli Jokowi Gelar perkara ini nothing. Saya nyatakan walk out. Makanya saya keluar duluan,” ujar Eggi.

    Sementara itu, Wakil Ketua TPUA, Rizal Fadillah mengatakan bahwa kesimpulan dalam gelar perkara ini seharusnya berbeda dengan sebelumnya. Sebab, dalam gelar ini terdapat ahli yang dihadirkan, seperti Roy Suryo hingga Rismon Sianipar.

    Oleh karena itu, Rizal meminta agar penyidik Bareskrim Polri meningkatkan status tudingan ijazah Jokowi ini menjadi penyidikan.

    “Oleh karena itu tidak ada alasan sebenarnya pihak Karo Wassidik untuk menyimpulkan sama dengan dulu, penghentian penyelidikan. Kalau sekarang seharusnya, penyelidikan ditingkatkan ke penyidikan karena itu merupakan sesuatu yang baru, yang kami sampaikan,” tutur Rizal.

    Dalam hal ini, Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan langkah selanjutnya dari gelar perkara khusus ini masuk ke tahap pendalaman oleh pihak pengawas eksternal dan internal.

    “Masih pendalaman oleh internal dan eksternal,” ujar Djuhandhani.

    Dia menekankan, bahwa pihaknya belum bisa menjelaskan secara detail terkait gelar ini. Pasalnya, Djuhandhani mengatakan bahwa pihaknya dalam posisi objek yang dipersoalkan.

    “Saya kan objek nanti silahkan mungkin dari pengawas eksternal dan internal,” tutur Djuhandhani.

  • Polkam usul anggaran naik jadi Rp728,8 M, Rp250 M untuk Command Center

    Polkam usul anggaran naik jadi Rp728,8 M, Rp250 M untuk Command Center

    “Saat ini belum terdapat untuk alokasi program koordinasi pelaksanaan kebijakan padahal fungsi ini merupakan inti peran Kemenko sebagai pengampu operasional lintas sektor maupun kementerian dan lembaga,”

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenkopolkam) mengusulkan kepada Badan Anggaran DPR RI agar rancangan anggaran untuk 2026 naik menjadi Rp728,8 miliar, yang Rp250 miliar di antaranya dibutuhkan untuk membangun command center.

    Menkopolkam Budi Gunawan mengatakan bahwa Kemenkopolkam memperoleh pagu indikatif untuk anggaran tahun 2026 sebesar Rp126,5 miliar. Angka tersebut, menurut dia, belum mencakup belanja untuk pelaksanaan tugas koordinatif yang menjadi inti daripada mandat Kementerian Koordinator (Kemenko)

    “Saat ini belum terdapat untuk alokasi program koordinasi pelaksanaan kebijakan padahal fungsi ini merupakan inti peran Kemenko sebagai pengampu operasional lintas sektor maupun kementerian dan lembaga,” kata Budi di kompleks parlemen, Jakarta, Senin.

    Dia menjelaskan bahwa usulan anggaran sebesar Rp728,8 m, di antaranya untuk program koordinasi pelaksanaan kebijakan sebesar Rp195,3 miliar. Rinciannya, anggaran untuk koordinasi politik dalam negeri sebesar Rp29 miliar.

    Koordinasi politik luar negeri Rp23,5 miliar, koordinasi pertahanan negara dan satuan bangsa Rp34,5 miliar, koordinasi keamanan dan ketertiban sebesar Rp41,3 miliar, koordinasi komunikasi informasi dan komunikasi sebesar Rp30 miliar, Kompolnas Rp20 miliar, dan Komisi Kejaksaan Rp12 miliar.

    Kemudian, kata dia, usulan anggaran itu diperlukan untuk program dukungan manajemen sebesar Rp533,5 miliar. Dari angka tersebut, sebesar Rp250 miliar dibutuhkan untuk membangun Command Center Politik dan Keamanan.

    Menurut dia, command center diperlukan oleh Kemenkopolkam dan jajaran, bukan sekedar hanya infrastruktur fisik semata, tapi juga merupakan pusat pengelolaan data dan pemantauan situasi strategis nasional secara real time.

    Dia mengatakan bahwa tantangan negara saat ini semakin bersifat kompleks. Menurut dia, dunia cepat berubah secara simultan, diakibatkan eskalasi konflik, ancaman digital, gangguan ketertiban, hingga tekanan geopolitik regional maupun internasional.

    “Command center akan menjadi mata dan otak Kemenkopolkam dan jajarannya dalam memantau mengantisipasi dan mengkoordinasikan lintas kementerian lembaga,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kompolnas nilai inovasi hingga kepemimpinan Polsek Pesanggrahan

    Kompolnas nilai inovasi hingga kepemimpinan Polsek Pesanggrahan

    Jakarta (ANTARA) – Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai inovasi hingga kepemimpinan Polsek Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang masuk dalam nominasi “Kompolnas Award 2025”.

    “Penilaian kami, yakni inovasi, peran Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), peran media, kepemimpinan (leadership) Kapolres dan penyelesaian masalah (problem solving) terhadap situasi di wilayah,” kata anggota Kompolnas Ida Oetari dalam peninjauan di Polsek Pesanggrahan Jakarta, Kamis.

    Ida mengatakan, Polsek Pesanggrahan masuk dalam lima nominasi terbaik dari 317 Polsek se-Indonesia untuk “Kompolnas Award 2025”.

    Dia menyatakan, kedatangannya untuk memastikan apakah data penilaian disampaikan sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.

    Kegiatan itu mengundang anggota DPRD DKI Astrid Kuya, tokoh masyarakat seperti camat, tokoh agama, perwakilan masyarakat hingga Kelompok Kerja Wartawan Jakarta Selatan (Pokja Jaksel).

    “Kami meminta masukan dari masyarakat apa sih inovasi yang dilakukan Polsek ini untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Itu yang paling penting inovasinya,” katanya.

    Dia menilai dari hasil peninjauannya terbukti masyarakat menerima kehadiran Polsek Pesanggrahan karena terlayani dengan baik.

    Anggota Kompolnas Ida Oetari meninjau Polsek Pesanggrahan dalam penilaian nominasi “Kompolnas Award 2025”, Jakarta, Kamis (3/7/2025). ANTARA/Luthfia Miranda Putri.

    Salah satunya disebutkan terciptanya “Program Zero Tawuran” melalui pendirian “Pos Pantau Cegah Tawuran”.

    “Mereka merasa nyaman dilayani dengan baik, dulu ada tawuran sekarang tidak ada. Itu inovasi Polsek Pesanggrahan sehingga layak menjadi nominasi ‘Kompolnas Award 2025’,” ujarnya.

    Kapolsek Pesanggrahan AKP Seala Syah Alam mengatakan, pihaknya optimis memenangkan “Kompolnas Award 2025” melalui beragam inovasi yang dilaksanakan.

    “Kami merevitalisasi total wilayah gedung Polsek Pesanggrahan, pelayanan SPKT dan SKCK berbasis digital hingga indeks kepuasan masyarakat menggunakan tablet,” ujar Seala.

    Kemudian, kantor Polsek juga menyediakan fasilitas berupa ruang anak, laktasi dan bagi penyandang disabilitas dengan tersedia jalan khusus hingga kursi roda.

    Saat ini Polsek Pesanggrahan dalam tahap pengembangan teknologi menggunakan teknologi kecerdasan artifisial (AI) untuk pelaporan aduan serta pendataan setiap kegiatan masyarakat.

    Polsek Pesanggrahan mencatat sepanjang bulan Januari-April tahun 2025, telah menyelesaikan sebanyak 80 kasus melalui mekanisme penyelesaian masalah dan 103 publikasi pemberitaan media.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MK Diminta Bubarkan Kompolnas, Begini Respons Komisioner

    MK Diminta Bubarkan Kompolnas, Begini Respons Komisioner

    Bisnis.com, Jakarta — Komisi Kepolisian Nasional RI (Kompolnas) akhirnya angkat bicara terkait uji materi untuk membubarkan lembaga pengawas Polri itu di Mahkamah Konstitusi (MK).

    Komisioner Kompolnas RI Chairul Anam mengatakan Kompolnas selama ini sudah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Bahkan, selama dirinya jadi Komisioner Kompolnas, banyak kasus yang melibatkan oknum kepolisian dituntaskan dengan cepat dan transparan serta kredibel. 

    “Seperti contohnya kasus DWP, kasus di Jaksel, kasus Solo, kasus Semarang, itu semua Kompolnas ikut serta terlibat agar kasusnya tuntas,” ujarnya kepada Bisnis di Jakarta, Rabu (2/7).

    Menurut Anam, masyarakat yang secara langsung terlibat dalam perkara itu, malah mengapresiasi kinerja Kompolnas yang berhasil membuat kasus terkait oknum Polisi berjalan dengan transparan dan tuntas

    “Jadi kalau Kompolnas ini dianggap tidak efektif atau pengawasan dari Kompolnas kurang, itu di sebelah mananya. Pada level apa? Kebijakan kah? Atau undang-undang atau apanya?,” katanya. 

    Anam berharap masyarakat dan elemen lain bisa bahu-membahu memperkuat kinerja pengawasan Kompolnas terhadap Polri agar semakin profesional.

    “Kita harus bahu-membahu memperkuat Kompolnas. Kompolnas juga menggandeng pengawas internal, Propam, Irwasum agar polisi makin profesional,” ucapnya. 

  • Pengawasan ke Polri Lemah, MK Diminta Bubarkan Kompolnas

    Pengawasan ke Polri Lemah, MK Diminta Bubarkan Kompolnas

    Bisnis.com, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk membubarkan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang tidak pernah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengawas Polri.

    Pihak Pemohon, Syamsul Jahidin menyatakan pihaknya telah mengajukan uji materi ke MK untuk menguji Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

    Alasannya, kata Syamsul, Kompolnas saat ini dinilai hanya menjadi beban negara dan juru bicara sekaligus kepanjangan tangan dari Polri. Padahal, Syamsul mengemukakan bahwa tugas Kompolnas seharusnya adalah menjadi pengawas dan mengontrol semua tindakan Polri yang dianggap melanggar hukum.

    “Keberadaan Kompolnas hanya menambah beban negara karena hanya menjadi juru bicara dan/atau perpanjangan tangan Polri. Akibatnya, menimbulkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi lemahnya kontrol hukum terhadap Polri,” tuturnya di Jakarta, Rabu (2/7/2025).

    Dia juga menjelaskan bahwa Pasal 37 ayat (2) pada UU Polri yang kini tengah diuji di MK terkait pembentukan Kompolnas dinilai tidak logis. Pasal tersebut, kata Syamsul, menempatkan Kompolnas sebagai lembaga yang terus menghamburkan uang negara dan tidak pernah berhasil menjadi lembaga pengawas Polri.

    “Lemahnya pengawasan dari Kompolnas ini berpotensi memungkinkan aparat bertindak represif terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan dugaan atau kecurigaan subjektif, tanpa didasarkan pembuktian yang objektif. Hal ini bertentangan dengan prinsip presumption of innocence yang dijamin UUD 1945 dan penghormatan instrumen hak asasi manusia,” katanya.

    Maka dari itu, Syamsul Jahidin dan Ernawati mengajukan uji materi ke MK dan meminta MK menyatakan Pasal 37 ayat (2) UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

    “Kami juga meminta Mahkamah Konstitusi memerintahkan Presiden Republik Indonesia untuk membubarkan Kompolnas seketika sejak dibacakan dalam putusan,” ujarnya.