Eks Pimpinan KPK Pertanyakan Pengawasan KY di Sidang Tom Lembong
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Saut Situmorang
mempertanyakan
Komisi Yudisial
(KY) dalam mengawasi jalannya sidang kasus impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
Menurut Saut, KY tidak bisa tinggal diam karena vonis 4,5 tahun penjara terhadap
Tom Lembong
sudah menjadi perbincangan publik.
“Bagaimana dengan KY, itu sudah dilaporin loh. Kalau KY enggak hadir juga di sana, dia salah besar tuh. Karena ini kasus sudah dibicarakan di mana-mana,” kata Saut dalam program
Gaspol! Kompas.com
, dikutip pada Sabtu (26/7/2025).
Saut berpandangan, bila berkaca dari jalannya sidang, Tom Lembong semestinya dibebaskan.
Sebab, menurut dia, ada banyak hal yang janggal dari kasus korupsi impor gula yang menjerat Tom Lembong.
Misalnya, ia mempersoalkan Tom Lembong diputus bersalah padahal Tom sama sekali tidak menerima keuntungan dari kebijakan impor gula yang dia teken.
Saut juga menyebutkan bahwa ada banyak menteri perdagangan yang mengambil kebijakan impor serupa, tetapi tidak diseret ke muka hukum seperti Tom Lembong.
“Kalau memang kita mau bertanya kenapa kok seperti saat itu, saya udah ngikutin betul dari awal case ini gitu. Dan saya sudah terbiasa bentuk-bentuk kayak begini. Yang menurut saya, memang Tom Lembong harus dibebaskan,” kata Saut.
Ia mengatakan, jika KY tidak turun tangan atas
vonis Tom Lembong
, hal itu semakin menunjukkan bermasalahnya hukum di Indonesia,
“Kalau KY tidak hadir memantau itu, dan mereka menganggap ini tidak sesuatu abuse of power oleh tiga orang yang logika, nalar, argumentasinya, hukumnya sama,” kata Saut.
“Gue bilang, oh iya benar rupanya. Hakim Indonesia ini memang pendidikannya memang mereka tuh jauh di bawah kalau hakim-hakim di luar negeri,” ujar dia.
Tom Lembong dihukum 4,5 tauhn penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta karena dianggap terbukti melakukan perbuatan korupsi terkait impor gula kristal mentah.
Menurut majelis hakim, kebijakan Tom Lembong mengimpor gula kristal mentah telah merugikan negara sebesar Rp 194.718.181.818,19 atau Rp 194,7 miliar.
Kerugian itu timbul akibat kemahalan harga pembelian gula kristal putih (GKP) PT PPI kepada perusahaan gula swasta yang mengimpor gula kristal mentah (GKM) atas izin Tom Lembong.
Dalam putusan tersebut, hakim juga mempertimbangkan hal-hal meringankan dalam putusan Tom Lembong.
Salah satunya, Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi tersebut.
“Terdakwa tidak menikmati hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan. Terdakwa bersikap sopan di persidangan, tidak mempersulit dalam persidangan,” ujar hakim anggota Alfis Setiawan saat membacakan pertimbangan hukum putusan
Vonis yang dijatuhkan hakim itu lantas menuai kritik dari publik dan pakar hukum.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD berpandangan, Tom semestinya tidak dihukum karena jalannya persidangan tidak menemukan niat jahat atau
mens rea
dalam perbuatan Tom Lembong.
“Untuk menghukum seseorang, selain actus reus (perbuatan pidana), masih harus ada mens rea atau niat jahat. Dalam konteks vonis Tom Lembong ini, ternyata tidak ditemukan
mens rea
atau niat jahat,” kata Mahfud, Selasa (22/7/2025).
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menyinggung kebijakan impor gula yang dilakukan oleh Tom Lembong itu dilakukan atas perintah.
Dengan demikian, kebijakan yang dilakukan Tom Lembong itu berasal dari hulu yang mengalir kepadanya, untuk diteruskan lagi sampai ke hilir.
“Menurut saya, tidak ada unsur mens rea sehingga tidak bisa dipidanakan. Dalilnya ‘
geen straf zonder schuld
‘, artinya ‘tidak ada pemidanaan jika tidak ada kesalahan’. Unsur utama kesalahan itu adalah
mens rea
. Nah, di kasus Tom Lembong tidak ditemukan
mens rea
karena dia hanya melaksanakan tugas dari atas yang bersifat administratif,” kata Mahfud.
Mahfud menambahkan, vonis Tom Lembong juga mempunyai sejumlah kelemahan, misalnya tidak menunjukkan rangkaian logis tentang actus reus atau perbuatan pidana yang dilakukan Tom Lembong.
Pakar hukum tata negara ini juga menilai vonis tersebut lemah karena hakim membuat hitungan kerugian negaranya dengan cara sendiri, bukan merujuk pada perhitungan resmi yang dibuat oleh BPKP.
“Hakim juga bercanda lucu bahwa salah satu yang memberatkan Tom Lembong adalah membuat kebijakan yang kapitalistik. Tampaknya hakim tak paham bedanya ide dan norma,” ujar Mahfud.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Komisi Yudisial
-
/data/photo/2025/07/18/687a2b7c03752.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Eks Pimpinan KPK Pertanyakan Pengawasan KY di Sidang Tom Lembong Nasional 26 Juli 2025
-

Polemik Amendemen KUHAP, Soal Posisi Polisi hingga Isu Penyadapan
Bisnis.com, JAKARTA — Komisi III DPR memastikan amandemen Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak secara spesifik memperkuat posisi polisi.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menuturkan bahwa Pasal 7 ayat 5 dianggap seakan-akan membuat polisi semakin powerfull karena disebut sebagai penyidik utama. Padahal, ujarnya, pihaknya tidak sama sekali membuat seperti itu.
“Kami perlu sampaikan, bahwa pengaturan dalam KUHAP baru sama persis dengan KUHAP lama, tidak memberikan tambahan kewenangan kepada Polri, bahkan mengurangi kewenangan Polri dari yang diatur di KUHAP lama,” katanya dalam konferensi pers di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Jumat (11/7/2025).
Dia menerangkan, dalam KUHAP lama tidak menyebutkan penyidik tertentu seperti misalnya penyidik KPK, penyidik Tipikor, penyidik kejaksaan, hingga penyidik TNI AL. Sementara di KUHAP baru, imbuhnya, mereka akan disebutkan dan dikecualikan.
“Jadi Polri tetap penyidik, iya dong, namanya institusi Polri kan penyidik utamanya polisi. Istilahnya memang dulu nggak disebutkan, sekarang disebut penyidik utama, dipertegas. Tapi tidak ada penambahan kewenangan sama sekali,” ujarnya.
Legislator Gerindra ini melanjutkan, penyidik tertentu seperti yang disebutkannya tadi akan diatur untuk bisa bekerja sendiri tanpa perlu berkoordinasi dengan Polri.
“Tidak perlu berkoordinasi dengan Polri. Jadi tidak benar Polri menjadi lebih powerfull oke,” tegas Habiburokhman.
Soal Klausul Penyadapan
Di sisi lain, Habiburokhman juga menegaskan bahwa revisi KUHAP tidak memuat soal penyadapan yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH).
Hal tersebut dia sampaikan dalam konferensi pers yang dilakukan di Ruang Rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Jumat (11/7/2025).
“Lalu soal penyadapan, bahaya penyadapan sewenang-wenang. Ya Allah, Astaghfirullahaladzim, teman-teman kan tahu, kemarin soal penyadapan, kita sepakati tidak dibahas di KUHAP,” kata dia.
Legislator Gerindra ini melanjutkan, soal penyadapan ini nantinya akan dibahas di Undang-Undang khusus terkait pernyadapan. Prosesnya pun menurut dia akan panjang lagi.
“Nanti prosesnya panjang lagi itu. Kita uji publik, minta partisipasi masyarakat. Tidak ada pengaturan penyadapan di KUHAP ini,” tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, draf revisi KUHAP yang pernah dilihat Bisnis, wewenang penyadapan oleh penegak hukum diatur dalam pasal 124 hingga 129.
Pada pasal 124 ayat (1), KUHAP mengatur bahwa penyidik, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) atau penyidik tertentu dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan.
Kemudian, pada ayat (2), penyadapan harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri (PN).
Sebelumnya pula, Komisi Yudisial mengusulkan adanya sinkronisasi dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) berkenaan aturan penyadapan di luar penegakan hukum pidana.
Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai mengatakan hingga kini materi penyadapan masih belum diatur dalam KUHAP tetapi tersebar di Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektornik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Merujuk ketentuan dua beleid tersebut, Amzulian berujar upaya penyadapan dimungkinkan dalam rangka penyelidikan ataupun penyidikan dalam penegakan hukum pidana.
“Selain untuk kepentingan penegakan hukum, rupanya penyadapan juga mendapatkan peluang penggunaannya untuk kepentingan penegakan disiplin dan pelanggaran etik,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).
Progres Pembahasan
Adapun, saat ini panitia kerja (panja) Komisi III DPR sedang menggelar rapat dengan tim pengurus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin) serta pemerintah guna menyinkronkan revisi KUHAP.
Sebelumnya, panja Komisi III DPR telah merampungkan pembahasan 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam kurun waktu dua hari sejak Rabu (9/10/2025) hingga Kamis (10/10/2025).
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman merincikan 1.676 DIM itu terdiri dari 1.091 DIM tetap, 295 DIM redaksional, 68 DIM diubah, 91 DIM dihapus, 131 merupakan substansi baru.
Dia melanjutkan, tahapan selanjutnya setelah pembahasan DIM selesai adalah pihaknya akan segera mengesahkan revisi KUHAP di tingkat I.
“Iya dong harus segera ya, karena KUHAP yang lama ini kan sangat tidak adil dan harus segera kita ganti dengan KUHAP yang baru,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5281107/original/028817000_1752313951-WhatsApp_Image_2025-07-12_at_16.47.24.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Silaturahmi Pimpinan MPR ke Mahkamah Agung: Dorong Reformasi Hukum dan Konstitusi Modern – Page 3
Tak hanya membahas hukum, dalam diskusi itu muncul pula wacana besar: apakah Indonesia memerlukan konstitusi modern setelah 2045. Wacana ini mengemuka seiring dengan makin dekatnya proyeksi Indonesia Emas 2045.
“Sudah saatnya para pemimpin lembaga negara mulai membuka ruang dialog tentang arah sistem ketatanegaraan Indonesia ke depan, terkait menyongsong Indonesia Emas 2045 itu,” ujarnya.
Ketua MA Sunarto dalam pernyataannya menegaskan pentingnya sinergi antar-lembaga negara dalam menghadapi persoalan bangsa yang semakin kompleks. Menurut dia, masing-masing lembaga memiliki mandat konstitusional yang berbeda, tetapi saling berkaitan dalam mencapai tujuan bernegara sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945.
“Permasalahan bangsa ini terlalu besar untuk ditangani oleh satu institusi. Kolaborasi, kerja sama, dan saling menghormati kewenangan adalah kunci,” kata Sunarto.
Setelah kunjungan ke Mahkamah Agung, Pimpinan MPR dijadwalkan akan melakukan pertemuan serupa ke Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, MK, BPK, dan Komisi Yudisial. Rangkaian silaturahmi ini menjadi bagian dari persiapan menyongsong gelaran Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama Tahun 2025.
-

Komisi III DPR Tegaskan Revisi KUHAP Tidak Atur soal Penyadapan
Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman menegaskan revisi Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memuat soal penyadapan yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH).
Hal tersebut dia sampaikan dalam konferensi pers yang dilakukan di Ruang Rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Jumat (11/7/2025).
“Lalu soal penyadapan, bahaya penyadapan sewenang-wenang. Ya Allah, Astaghfirullahaladzim, teman-teman kan tahu, kemarin soal penyadapan, kita sepakati tidak dibahas di KUHAP,” kata dia.
Legislator Gerindra ini melanjutkan, soal penyadapan ini nantinya akan dibahas di Undang-Undang khusus terkait pernyadapan. Prosesnya pun menurut dia akan panjang lagi.
“Nanti prosesnya panjang lagi itu. Kita uji publik, minta partisipasi masyarakat. Tidak ada pengaturan penyadapan di KUHAP ini,” tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, draf revisi KUHAP yang pernah dilihat Bisnis, wewenang penyadapan oleh penegak hukum diatur dalam pasal 124 hingga 129.
Pada pasal 124 ayat (1), KUHAP mengatur bahwa penyidik, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) atau penyidik tertentu dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan.
Kemudian, pada ayat (2), penyadapan harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri (PN).
Sebelumnya pula, Komisi Yudisial mengusulkan adanya sinkronisasi dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) berkenaan aturan penyadapan di luar penegakan hukum pidana.
Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai mengatakan hingga kini materi penyadapan masih belum diatur dalam KUHAP tetapi tersebar di Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektornik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Merujuk ketentuan dua beleid tersebut, Amzulian berujar upaya penyadapan dimungkinkan dalam rangka penyelidikan ataupun penyidikan dalam penegakan hukum pidana.
“Selain untuk kepentingan penegakan hukum, rupanya penyadapan juga mendapatkan peluang penggunaannya untuk kepentingan penegakan disiplin dan pelanggaran etik,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).
-

Ketua MPR kunjungi MA bahas hukum harus berpihak kepada HAM
Jakarta (ANTARA) – Ketua MPR RI Ahmad Muzani bersama jajaran Pimpinan MPR RI lainnya mengunjungi Mahkamah Agung untuk bersilaturahmi sekaligus membahas terkait penegakan hukum yang perlu berpihak kepada Hak Asasi Manusia (HAM).
Muzani mengatakan bahwa konstruksi hukum perlu berpihak kepada HAM agar keadilan bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat, hingga orang-orang yang kurang mengerti terhadap persoalan hukum.
“Kami sama-sama berdiskusi tentang berbagai macam persoalan termasuk persoalan hukum,” kata Muzani di Gedung MA, Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan bahwa kunjungan tersebut sebagai kunjungan balasan setelah sebelumnya Ketua Mahkamah Agung Sunarto ke MPR RI pada beberapa bulan lalu.
Selain mengenai penegakan HAM, menurut dia, MA juga menyepakati agar penyelesaian beberapa persoalan hukum bisa diupayakan dengan jalan mediasi. Menurut dia, mediasi adalah sesuatu yang dimungkinkan dalam sistem hukum di kita, tetapi mediasi banyak tidak dipilih sebagai cara penyelesaian hukum.
“Jika ini didorong sebagai sebuah cara untuk penyelesaian persoalan hukum, maka beban hukum baik di Mahkamah Agung termasuk problem yang diakibatkan dari sengketa hukum bisa direda,” kata dia.
Namun sebagai lembaga tinggi negara, dia mengaku saling menghormati hak dan kewenangan Mahkamah Agung seperti yang sudah tertuang dalam konstitusi.
Setelah mengunjungi MA, dia mengatakan bahwa MPR RI juga akan mengunjungi sejumlah lembaga negara lainnya, mulai dari Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, hingga Badan Pemeriksa Keuangan.
“Kami akan bersilaturahmi sebagai bagian dari rangkaian menghadapi sidang bersama tanggal 16 Agustus 2025,” kata dia.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Azhari
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
/data/photo/2025/07/09/686df7e3726c0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Saat DPR Semprot MK gara-gara Aturan Pemilu Diutak-atik Nasional
Saat DPR Semprot MK gara-gara Aturan Pemilu Diutak-atik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –Mahkamah Konstitusi
(MK) menjadi sasaran kritik tajam dalam rapat kerja
Komisi III DPR
RI pada Rabu (9/7/2025).
Para anggota dewan mengecam
putusan MK
yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Mereka menilai putusan itu menimbulkan kegaduhan dan menunjukkan inkonsistensi MK.
Padahal rapat yang turut diikuti oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) itu sebenarnya beragendakan pembahasan anggaran.
Anggota Fraksi Partai Nasdem,
Rudianto Lallo
mengatakan, MK saat ini tengah menjadi perbincangan hangat karena telah membuat putusan yang kontroversial dan bahkan menabrak konstitusi.
“MK ini kemudian yang paling banyak didiskusikan hari ini karena ada putusan kontroversi soal pengujian UU. Ya tentu kita berharap MK menjadi penjaga konstitusi kita. Mudah-mudahan tidak ada lagi putusan-putusan yang menjadi polemik di masyarakat,” kata Rudianto di Kompleks Parlemen, Senayan.
Dia pun menyinggung proses legislasi di DPR yang melibatkan waktu panjang dan harus menjaring aspirasi publik. Namun, hasil kerja itu bisa langsung berubah drastis oleh satu putusan MK.
“Kalau tiba-tiba satu pasal dianggap bertentangan tetapi justru amar putusan MK ini bertentangan, ini juga problem konstitusi kita. Nah ini
deadlock
jadinya,” ujar dia.
Nada serupa dilontarkan anggota Fraksi PKB,
Hasbiallah Ilyas
. Dia menyindir dominasi sembilan hakim konstitusi dalam mengubah arah sistem pemilu yang disusun oleh ratusan anggota legislatif.
“Jangan 500 orang ini, Pak, kalah dengan 9 hakim. Ini bikin undang-undang KUHAP saja sudah berapa lama kita belum selesai sampai hari ini. Tolong agak lebih bijaklah,” kata Hasbiallah.
Dia juga mengkritisi inkonsistensi aturan pemilu dari waktu ke waktu yang dinilai menimbulkan kebingungan di masyarakat.
“Misalnya pemilu, berapa kali setiap pemilu itu diubah. Dari tahun 2009 diubah, sekarang diubah lagi, ini yang bikin jadi kegaduhan di masyarakat,” ujar Hasbiallah.
Berkaca dari persoalan ini, Hasbiallah pun mendorong agar proses seleksi calon hakim konstitusi lebih ketat ke depannya.
“Menurut saya perlu diseleksi lebih optimal lagi, jangan sampai adanya MK ini keluar dari norma yang ada,” kata dia.
Dari Fraksi Demokrat, Andi Muzakir juga menyuarakan kekhawatiran soal inkonsistensi MK karena akan berdampak buruk bagi sistem ketatanegaraan.
“Saya hanya satu, Pak, konsisten dalam mengambil keputusan. Jangan setiap periode berubah lagi putusannya. Jadi tidak ada konsistensi dalam mengambil putusan. Tahun ini serempak, berikutnya dipisah. Tidak ada konsistensi. Mau dibawa ke mana negara ini?” ujar dia.
Wakil Ketua Komisi III Dede Indra Permana Soediro turut mengingatkan MK agar menjalankan tugas sebagai penguji, bukan pembentuk norma hukum.
“Sedikit masukan juga kepada MK bahwa sesuai dengan tugas yang sudah ada, bahwa MK adalah penguji norma, bukan membentuk (norma),” kata politikus PDI-P itu.
Menanggapi banyak kritik, Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan menegaskan bahwa putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah dibacakan dan MK hanya tinggal menunggu DPR menindaklanjutinya.
“
Putusan MK
kan sudah diucapkan, kami tinggal menunggu kewenangan DPR untuk menindaklanjuti. Kami tunggu. Karena DPR juga punya kewenangan,” ujar Heru.
Dia pun enggan berkomentar lebih jauh mengenai kritik yang diarahkan ke lembaganya ataupun terhadap putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah.
Sebagai informasi, melalui putusan tersebut, MK memutuskan agar pemilu nasional dan daerah dilaksanakan secara terpisah mulai 2029.
Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Selain itu, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
“Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Meski begitu, MK tidak menentukan secara pasti tenggat waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
MK hanya mengusulkan agar pemilu daerah digelar paling cepat dua tahun setelah pemilu nasional, dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Taufik Basari menyatakan bahwa putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah menimbulkan dilema konstitusional. Pasalnya, pelaksanaan maupun pengabaian putusan MK tersebut akan sama-sama melanggar konstitusi.
“Melaksanakan atau tidak melaksanakan putusan MK akan sama-sama melanggar konstitusi,” ujar Taufik.
Dia mengacu pada Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 yang menyebut pemilu harus dilaksanakan lima tahun sekali, serta Pasal 18 Ayat (3) yang menegaskan DPRD dipilih melalui pemilu.
“Inilah yang saya sebut sebagai dilematis
constitutional deadlock
. Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau,” ucap Taufik.
Sementara itu, Peneliti Politik BRIN Devi Darmawan menilai sikap MK yang langsung menetapkan
pemilu dipisah
menunjukkan ketidakpercayaan terhadap DPR.
“Hal ini menunjukkan sebenarnya ada ketidakpercayaan dari Mahkamah Konstitusi ini kepada kinerja parlemen,” kata Devi dalam diskusi daring.
Menurut Devi, DPR dan pemerintah selama ini lambat merevisi UU Pemilu, sehingga MK mengambil sikap tegas yang tidak memberi pilihan lain.
Namun, dia mengingatkan agar MK tetap berada dalam koridor sebagai penguji konstitusionalitas, bukan pembentuk norma.
“Kalau seperti sekarang berkesan seolah-olah MK agak lebih mendominasi dalam pembuatan peraturan Undang-Undang, khususnya yang terkait dengan sistem kepemiluan,” ucap Devi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati
JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dan dua pengacara serta seorang panitera terkait dugaan suap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO di PN Jakarta Pusat.
Kasus itu menambah daftar panjang kasus terkait mafia peradilan yang telah diungkap oleh penegak hukum. Sebelumnya, Kejagung juga berhasil melakukan operasi tangkap tangan terhadap tiga orang hakim di Pengadilan Negeri Surabaya. Ketiga hakim itu ditangkap atas dasar tuduhan menerima suap dalam proses penanganan perkara pembunuhan dengan terdakwa Gregorius Ronald Tanur.
Tidak berhenti sampai di situ, penyidik berhasil mengembangkan informasi bahwa dalam perkara yang sama, terdapat upaya mempengaruhi proses hukum kasasi yang diajukan oleh Ronald Tanur. Benar saja, tidak lama berselang, pihak yang diduga sebagai makelar kasus akhirnya turut ditetapkan sebagai tersangka, yakni Zarof Ricar, mantan pejabat di Mahkamah Agung.
Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengungkapkan, fenomena suap hakim dan mafia peradilan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang merusak integritas penegakan hukum. Praktik suap, intervensi pihak eksternal, dan kolusi antara penegak hukum, pengacara, dan para pihak berperkara telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Meski pemerintah dan DPR telah berupaya dengan berbagai cara seperti membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) maupun Panitia Kerja (Panja) untuk menyoroti hal ini, namun ternyata kartel hukum ini tidak hilang.
ilustrasi
“Sebenarnya sudah ada komitmen untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan secara lebih terbuka, profesional, dan terpercaya. Seluruh model dan format kajian terhadap independensi, kemandirian, maupun upaya untuk meningkatkan integritas dan kualitas peradilan yang tinggi telah dicoba untuk digalakkan,” ujar Sudirta.
Namun seolah permasalahan itu tidak akan pernah berhenti dan terus menerus terjadi, bahkan semakin marak dan kasat mata. Menurutnya, reformasi peradilan bukan hanya berbicara dari permasalahan suap di pengadilan yang diungkap Kejagung, tapi juga berbicara di seluruh tahap peradilan.
“Ini berarti sistem peradilan pidana misalnya juga menyangkut penyidikan, upaya paksa, penuntutan, hingga putusan itu sendiri. Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi, seluruh tahap seolah memiliki tarif,” imbuhnya.
Dalam praktek di lapangan, banyak modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan. Karena itu, reformasi peradilan tidak hanya berbicara soal struktur dan substansi dari hukum dan peraturan perundang-undangan, namun juga kultur dari hukum dan fenomena tersebut.
Sudirta menjelaskan, permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukan hal baru karena terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal itu teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan, pertama adalah korupsi yang sudah sangat kronis dan sistemik dibarengi dengan lemahnya pengawasan internal dan eksternal.
“Kita sering mendengar adanya penanganan terhadap hakim yang bermasalah, tapi tampaknya tidak juga memberikan dampak yang signifikan. Penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya gesture belaka atau untuk meredam amarah publik,” tuturnya.
Kedua, sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem karir yang seringkali tidak transparan dan banyak “titipan”. Hal ini terasa biasa saja namun berdampak cukup jauh, koneksi masuknya mafia hukum dan peradilan menjadi langgeng dan banyak yang kemudian tersandera dengan “utang budi” tersebut.
“Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada “koneksi”. Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan,” tukas Sudirta.
Ketiga adalah permasalahan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibandingkan dengan beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang. Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, tidak serta merta membuat hakim merasa “aman” dan tercukupi.
Selanjutnya adalah banyaknya intervensi dan minimnya pengawasan karena pengaruh dari luar (mafia) cukup tinggi. Pengawasan internal dan eksternal tidak efektif karena kalah dengan asas kemandirian dan independensi yudikatif; yang bebas dan mandiri. Pengawasan eksternal dari Komisi Yudisial (KY) maupun lembaga pengawas eksternal lainnya akhirnya hanya mengandalkan publik untuk menekan, bukan komitmen dari pengawas yang memegang kewenangan.
Persoalan selanjutnya kata Sudirta, adalah minimnya pendidikan dan pelatihan yang mendorong integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Pelatihan integritas, pembangunan zona integritas dan wilayah bebas korupsi tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan obyektif. Modus operandi penyuapan terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan sebenarnya sudah teridentifikasi, namun tidak memiliki semacam denah (roadmap) untuk penanggulangannya.
Hal yang paling dapat terlihat tentunya adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan atau penegakan hukum. Ketidakpastian berdampak pada sistem ekonomi dan investasi serta pelindungan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian dapat terlihat adanya penyimpangan terhadap tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Hingga kini adagium seperti “keadilan hanya milik penguasa atau orang kaya” atau “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” akan selalu muncul.
Penguatan Sistem Pengawasan Internal dan Eksternal Bisa Menekan Praktik Mafia Peradilan
Sudirta mengatakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan suap dan penyimpangan dalam sistem peradilan di Indonesia. Pertama, reformasi struktur peradilan dan penegakan hukum perlu dijamin. Kedua, penguatan fungsi pengawasan melalui sistem, pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Sistem peradilan pidana misalnya memiliki pengawasan hakim secara internal (Bawas MA), Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, hingga aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) ataupun penegakan hukum.
“Perlu dipikirkan kembali bagaimana sistem dapat secara otomatis mengawasi akuntabilitas dan keakuratannya. Revisi Hukum Acara Pidana harus memungkinkan upaya untuk mengajukan keberatan terhadap beberapa tindakan atau upaya paksa yang telah diatur dalam undang-undang, secara obyektif dan transparan,” terangnya.
Keempat, transparansi dari rekrutmen, pembinaan karir, uji kompetensi, dan peningkatan integritas harus dapat dijamin, diharapkan akan mendorong publik agar ikut mengawasi. Sistem pembinaan karir, mutasi, promosi, demosi, dan pengisian jabatan harus memiliki tolok ukur yang jelas, obyektif, dan kepastian atau ketegasan. Jaminan untuk pembinaan karir dan penempatan di wilayah harus dilakukan dengan sistem pengelolaan Sumber Daya Manusia yang sesuai dengan kompetensi dan profesionalitasnya.
Kelima, perhatian terhadap hakim dan kesejahteraan maupun fasilitas yang mendukung optimalisasi kerja dan profesionalitas. Saat ini, banyak hakim atau aparat yang mengalami kekurangan dari sisi kesejahteraan maupun dukungan sarana dan prasarana kerja. Penanganan terhadap pelanggaran etik maupun hukum harus dapat dilakukan secara terbuka atau membuka ruang publik untuk dapat mengadu dan mendapat tindak lanjut yang jelas.
“Pemanfaatan teknologi informasi juga dapat dioptimalkan untuk pengawasan dan transparansi publik. Hal terkait adalah penggunaan whistleblowing system dapat saling melaporkan penyimpangan tentunya dengan penghargaan jika terbukti dan bermanfaat,” tambah Sudirta.
Keenam, peningkatan keterlibatan masyarakat sipil dalam pemantauan dan pengungkapan praktik mafia hukum dan peradilan. Selain edukasi terhadap seluruh aparat penegak hukum, hakim, dan termasuk advokat; dibutuhkan kejelasan sistem yang dapat memudahkan penanganan pelanggaran seperti hukum dan etik yang sangat berat dan dilakukan melalui SOP atau prosedur yang jelas dan obyektif.
“Reformasi struktural, pemanfaatan teknologi, penegakan hukum tegas, dan peningkatan kesadaran integritas harus dilakukan secara konsisten dan simultan. Tanpa upaya serius, kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia akan terus merosot dan tentunya menghambat pembangunan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia,” tegas politikus dari PDI Perjuangan itu.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya menilai, pengungkapan kasus mafia peradilan seperti pada penangkapan Zarof Ricar bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab modus yang dilakukan oleh Zarof serupa dengan yang dilakukan oleh jaringan mafia peradilan lainnya yang sebelumnya pernah diproses hukum oleh KPK, yakni Sekretaris MA, Nurhadi dan Hasbi Hasan. Sekalipun ketiganya bukan merupakan hakim atau pihak yang menangani perkara, namun dengan pengaruh besar yang dimiliki, mereka memperdagangkan pengaruh itu untuk menjadi perantara suap kepada hakim yang menangani perkara.
“Modus ini juga setidaknya juga menjadi salah satu modus korupsi yang telah dipetakan oleh ICW sejak tahun 2003 silam. Artinya, modus korupsi di sektor peradilan tidak pernah berubah. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa, meski sudah pernah ada jaringan mafia peradilan yang diproses hukum, dan modus-modusnya sudah terpetakan, namun prakteknya masih ada hingga saat ini,” tuturnya.
Menurut Diky, dua kemungkinan penyebab eksistensi mafia peradilan. Pertama, proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK atau penegak hukum lainnya tidak pernah menyasar hingga aktor-aktor intelektualnya. Kedua, tidak ada upaya signifikan yang dilakukan oleh MA untuk melakukan upaya reformasi yang berdampak signifikan untuk menutup ruang gerak bagi hakim, panitera, atau pegawai pengadilan untuk melakukan praktik-praktik bertindak sebagai makelar kasus.
Kondisi ini tentu semakin menunjukkan bahwa moralitas para penegak hukum, khususnya hakim di lembaga peradilan, telah berada di titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Maka tidak berlebihan rasanya jika publik, yang notabene merupakan para pencari keadilan, mengharapkan bahwa pengungkapan Zarof Ricar dijadikan sebagai momentum bagi penegak hukum untuk mengungkap jaringan mafia peradilan yang lebih luas di Mahkamah Agung.
Selain itu, penguatan kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman juga perlu diperkuat. Sebab, prakteknya saat ini, Komisi Yudisial hanya dapat memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan aduan mengenai pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim, dan kewenangan untuk memutusnya tetap di Mahkamah Agung.
“Sebagai langkah menghindari adanya potensi konflik kepentingan, maka Komisi Yudisial perlu diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada hakim. Namun yang paling penting, agar simultan dengan strategi-strategi tersebut, perlu ada terobosan kebijakan dari Ketua MA untuk menjadi orkestrator dalam upaya mereformasi lembaganya guna mengembalikan kembali muruah lembaga peradilan,” tutup Diky.
-

Muslim Arbi Khawatir Kasmudjo Meninggal Mendadak setelah Bantah sebagai Dosen Pembimbing Jokowi: Dia Saksi Kunci
GELORA.CO – Kekhawatiran mendalam disampaikan pengamat politik Muslim Arbi atas keselamatan Kasmudjo, seorang dosen senior dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang kini tengah menjadi sorotan publik. Kasmudjo sebelumnya membuat pengakuan mengejutkan dengan menyatakan bahwa dirinya bukan pembimbing akademik Joko Widodo (Jokowi), mantan Presiden Republik Indonesia.
Pengakuan Kasmudjo yang disampaikan dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu mengguncang narasi yang selama ini dibangun oleh pihak Jokowi mengenai latar belakang akademiknya di UGM. Jokowi sebelumnya menyebut bahwa Kasmudjo adalah pembimbing akademik, bahkan pernah dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa Kasmudjo adalah pembimbing skripsinya—klaim yang kemudian secara terang-terangan dibantah oleh Kasmudjo sendiri.
Dalam keterangannya kepada media, Muslim Arbi menyampaikan kekhawatirannya secara terbuka:
“Saya khawatir Pak Kasmudjo mengalami kejadian tak terduga. Pengakuan beliau sangat penting dalam membongkar kebenaran soal dugaan ijazah palsu Jokowi. Kalau sampai beliau mendadak meninggal, maka satu-satunya saksi kunci yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi akan hilang. Kita tidak ingin kasus ini senyap karena hilangnya bukti hidup,” ujar Muslim Arbi dalam pernyataannya kepada Radar Aktual, Selasa (17/6).
Muslim menambahkan bahwa keselamatan Kasmudjo harus menjadi perhatian publik dan lembaga penegak hukum. Ia bahkan meminta perlindungan hukum dan jaminan keselamatan diberikan kepada dosen tersebut.
Kasmudjo sebelumnya menyampaikan bahwa pada tahun 1985—masa ketika Jokowi diklaim sedang menyusun skripsi—dirinya belum menjadi dosen tetap, melainkan masih berstatus asisten dosen (asdos). Dalam pernyataannya, ia mengatakan:
“Saya tidak pernah menjadi dosen pembimbing akademik Pak Jokowi. Saya juga tidak pernah membimbing skripsinya. Kalau klaim itu beredar, saya harus luruskan. Pada masa itu saya masih asisten dosen,” ujarnya dalam wawancara yang telah viral di media sosial.
Pernyataan itu mempertegas keraguan publik terhadap validitas ijazah Jokowi dari UGM, terlebih setelah tidak ada dokumen SK penunjukan resmi yang menyatakan bahwa Kasmudjo adalah pembimbing akademik Jokowi.
Kasmudjo kini menjadi satu-satunya figur penting yang bisa dimintai keterangan dalam proses hukum menyangkut dugaan pemalsuan ijazah Presiden ke-7 RI tersebut. Sejumlah laporan dari masyarakat sipil dan pengacara independen telah dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi maupun ke Komnas HAM, mendesak pembukaan kembali investigasi terhadap latar belakang akademik Jokowi.
Muslim Arbi menganggap bahwa kehadiran Kasmudjo di persidangan sangat penting dan tidak bisa digantikan oleh dokumen tertulis semata.
“Kasmudjo bukan hanya saksi biasa, tapi saksi utama. Tanpa beliau, publik kehilangan jendela utama untuk mengetahui kebenaran sejarah pendidikan Jokowi,” tegas Muslim.
Kekhawatiran Muslim bukan tanpa alasan. Dalam beberapa kasus besar di Indonesia, saksi-saksi kunci sering kali dikabarkan wafat secara mendadak. Peristiwa semacam itu menimbulkan kecurigaan dan memunculkan istilah “silent operation” untuk menutup kasus yang berpotensi membahayakan elite kekuasaan.
Muslim Arbi mengingatkan, jangan sampai publik kehilangan lagi orang-orang yang menyimpan informasi kunci hanya karena negara tidak memberi perlindungan memadai.
Aktivis dan tokoh masyarakat sipil lain mulai angkat suara, meminta Komisi Yudisial, Komnas HAM, hingga KPK untuk ikut mencermati perkembangan situasi yang menimpa Kasmudjo. Mereka mendesak agar negara menjamin keselamatan pihak-pihak yang memiliki informasi penting mengenai Jokowi, khususnya dalam hal validitas ijazah sarjana yang kerap dikritik publik.
Selain itu, dorongan agar UGM membuka dokumen asli, arsip akademik, dan SK-SK resmi terkait proses akademik Jokowi terus menguat. Jika Kasmudjo sampai meninggal dunia secara mendadak, hal itu bisa mengubur peluang kebenaran terungkap.
“Jangan sampai ini menjadi sejarah kelam. Rakyat berhak tahu siapa yang memimpin mereka dan bagaimana latar belakang akademiknya. Negara tidak boleh tutup mata,” pungkas Muslim Arbi.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Jokowi atau UGM terkait klarifikasi ulang atas status akademik Jokowi maupun keamanan Kasmudjo sebagai saksi kunci.
-

Dukung Kenaikan Gaji Hakim, Waka Komisi III: Bukan Hadiah, Ini Investasi
Jakarta –
Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Sari Yuliati mendukung keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan gaji hakim hingga 280 persen. Adapun keputusan ini dinilai bukan hanya kebijakan fiskal, namun juga pernyataan moral dan arah baru dalam membenahi wajah hukum di Indonesia.
Sari menyampaikan menaikkan gaji hakim bukan soal angka, melainkan soal kehormatan lembaga peradilan. Di tengah derasnya arus tuntutan reformasi peradilan, langkah ini dikatakan menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah ingin menata kembali sendi keadilan dari hulunya melalui kesejahteraan para hakim.
“Hakim adalah simbol keadilan. Bila mereka masih dihimpit kebutuhan hidup dasar, bagaimana bisa kita menuntut putusan yang objektif dan bebas dari pengaruh?” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/6/2025).
Namun, Sari menegaskan kenaikan gaji harus diikuti oleh komitmen kuat dari para hakim untuk menjaga integritas dan independensi. Dalam hal ini, hakim bukan hanya harus merasa cukup secara materi, tetapi juga wajib menjadi contoh melalui moralitas dan keberaniannya dalam menegakkan hukum.
Sari pun meminta Komisi Yudisial untuk tidak pasif dalam hal pengawasan terhadap hakim. Dengan gaji tinggi, pengawasan yang ketat, transparan, dan tegas harus diperkuat, termasuk dengan melibatkan peran serta masyarakat sipil.
Ia menerangkan selama hampir dua dekade mayoritas hakim, terutama di tingkat pertama, tidak mengalami perubahan signifikan dalam kesejahteraannya. Banyak yang tinggal di rumah kontrakan, menggantungkan hidup dari tunjangan minim, dan bekerja di bawah tekanan sistemik.
Sari melihat kebijakan ini sebagai bentuk keseriusan Prabowo dalam meletakkan fondasi negara hukum yang kuat dan adil. Pemerintah tidak hanya ingin membangun infrastruktur fisik, tetapi juga kepercayaan publik melalui penegakan hukum yang berkeadilan.
“Kesejahteraan dan pengawasan harus beriringan. Ini bukan hadiah untuk hakim, ini adalah investasi negara untuk keadilan,” pungkasnya.
(prf/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
