Kementrian Lembaga: Komisi XI DPR RI

  • Bermula dari UU Inisiatif Rezim Jokowi

    Bermula dari UU Inisiatif Rezim Jokowi

    Jakarta, CNN Indonesia

    Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit menjawab pernyataan elite Partai Gerindra yang menilai ada andil PDIP dalam pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menjadi dasar kenaikan PPN jadi 12 persen.

    Dolfie mengatakan UU HPP merupakan inisiatif pemerintah Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang diusulkan ke DPR.

    “UU HPP merupakan UU inisiatif pemerintahan Jokowi, yang disampaikan ke DPR tanggal 5 Mei 2021. Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP,” kata Dolfie sekaligus Ketua Panja RUU HPP, dalam keterangan tertulis, Minggu (22/12).

    Dolfie menyebutkan saat itu sebanyak delapan fraksi partai di DPR RI menyetujui RUU HPP menjadi undang-undang. Hanya PKS yang menolak. Ia mengatakan RUU itu diketok pada 7 Oktober 2021.

    “UU HPP, bentuknya adalah Omnibus Law, mengubah beberapa ketentuan dalam UU KUP, UU PPh, UU PPN, dan UU Cukai. UU ini juga mengatur Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan Pajak Karbon,” tuturnya.

    Ia pun menjelaskan pemerintah saat ini dapat mengusulkan kenaikan atau penurunan dari tarif PPN tersebut. Rentang perubahan tarif itu berada di angka 5-12 persen sesuai ketentuan dalam UU HPP.

    “Sebagaimana amanat UU HPP, bahwa tarif PPN mulai 2025 adalah 12 persen. Pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif tersebut dalam rentang 5 persen sampai dengan 15 persen (bisa menurunkan maupun menaikkan), sesuai UU HPP Pasal 7 Ayat (3), Pemerintah dapat mengubah tarif PPN di dalam UU HPP dengan Persetujuan DPR,” katanya.

    Dolfie menyebutkan pertimbangan kenaikan atau penurunan tarif PPN bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Ia mengatakan pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN.

    Menurutnya, jika pemerintahan Prabowo Subianto tetap ingin menaikkan PPN jadi 12 persen, maka mesti dibarengi dengan penciptaan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat.

    “Maka hal-hal yang harus menjadi perhatian adalah kinerja ekonomi nasional yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi berkualitas, penciptaan lapangan kerja, penghasilan masyarakat meningkat, pelayanan publik yang semakin baik,” tegasnya.

    Sebelumnya, Waketum Partai Gerindra sekaligus Wakil Ketua Komisi VII DPR Rahayu Saraswati heran PDIP kini menolak rencana PPN 12 persen. Padahal, menurut dia, PDIP terlibat dalam panja pembuatan UU HPP. Penolakan PPN 12 persen sempat disampaikan PDIP saat paripurna DPR.

    “Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDIP berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12 persen,” kata Sara kepada wartawan, Minggu (22/12).

    Sara mengatakan sejumlah anggota DPR lainnya juga keheranan dengan penolakan PDIP. Sara mempertanyakan mengapa PDIP baru kini menolak PPN 12% persen.

    “Jujur saja, banyak dari kita saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng ketawa. Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya. Padahal mereka saat itu ketua panja UU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12% ini. Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka ketua panjanya?” imbuh dia.

    (tim/tsa)

    [Gambas:Video CNN]

  • Wakil Ketua Banggar: Kenaikan PPN 12 Persen Diinisiasi PDIP

    Wakil Ketua Banggar: Kenaikan PPN 12 Persen Diinisiasi PDIP

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua Banggar yang juga Anggota Komisi XI DPR Wihadi Wiyanto mengatakan wacana kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Payung hukum itu merupakan produk Legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh partai penguasa PDI Perjuangan (PDIP).

    “Kenaikan PPN 12 persen itu merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” ujar Wihadi kepada wartawan, Minggu (22/12/2024).

    Wihadi mengaku aneh dengan sikap PDIP terhadap kenaikan PPN yang sangat bertolak belakang saat membentuk UU HPP tersebut. Terlebih, panja pembahasan kenaikan PPN yang tertuang dalam UU HPP jelas dipimpin langsung oleh fraksi partai besutan Megawati Soekarnoputri tersebut.

    “Jadi kita bisa melihat dari yang memimpin panja pun dari PDIP, kemudian kalau sekarang pihak PDIP sekarang meminta ditunda ini adalah merupakan sesuatu hal yang menyudutkan pemerintah Prabowo (Presiden Prabowo Subianto),” jelas Wihadi.

    Wihadi justru menegaskan jika Presiden Prabowo sebenarnya sudah ‘mengulik’ kebijakan itu agar tidak berdampak pada masyarakat menengah ke bawah. Salah satunya, dengan menerapkan kenaikan PPN terhadap item-item mewah.  

    “Sehingga pemikiran Pak Prabowo ini bahwa kalangan menengah bawah itu tetap terjaga daya belinya dan tidak menimbulkan  gejolak ekonomi, ini adalah merupakan langkah bijaksana dari Pak Prabowo,” tutur Wihadi.

    Wihadi kembali mengingatkan pihak-pihak tertentu untuk tidak menggiring isu kalau kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo. Dia menekankan bila kebijakan ini diputuskan oleh DPR periode yang dipimpin oleh PDIP.

    “Jadi apabila sekarang ada informasi ada hal-hal yang mengkaitkan ini dengan pemerintah Pak Prabowo yang seakan-akan memutuskan itu adalah tidak benar, yang benar adalah UU ini produk dari pada DPR yang pada saat itu diinisiasi PDIP dan sekarang Pak Presiden Prabowo hanya menjalankan,” tegasnya.

    Wihadi justru menilai sikap PDIP sekarang adalah upaya ‘melempar bola panas’ kepada pemerintahan Presiden Prabowo. Padahal, kenaikan PPN 12 persen yang termaktub dalam UU HPP merupakan produk dari PDIP.

    “Jadi kami dalam hal ini melihat bahwa sikap PDIP ini adalah dalam hal PPN 12 persen adalah membuang muka jadi kami ingatkan bahwa apabila ingin mendukung pemerintahan maka tidak dengan cara seperti ini, tetapi bila ingin melakukan langkah-langkah oposisi maka ini adalah hak daripada PDIP,” pungkas Wihadi.

  • Waka Banggar: Kebijakan kenaikan PPN 12 persen diinisiasi PDIP

    Waka Banggar: Kebijakan kenaikan PPN 12 persen diinisiasi PDIP

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Wihadi Wiyanto mengatakan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) merupakan produk legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh PDI Perjuangan (PDIP).

    “Kenaikan PPN 12 persen itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” kata Wihadi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu.

    Legislator dari Fraksi Gerindra itu mengatakan bahwa Panitia Kerja (Panja) pembahasan kenaikan PPN yang tertuang dalam UU HPP saat itu diketuai oleh Fraksi PDIP.

    Untuk itu, dia menilai sikap PDIP saat ini terhadap penerapan kebijakan PPN 12 persen sangat bertolak belakang saat membentuk UU HPP tersebut.

    “Jadi kita bisa melihat dari yang memimpin Panja pun dari PDIP, kemudian kalau sekarang pihak PDIP sekarang meminta ditunda ini adalah merupakan sesuatu hal yang menyudutkan pemerintah Prabowo (Presiden Prabowo Subianto),” ujar anggota Komisi XI DPR RI itu.

    Dia pun mengingatkan pihak-pihak tertentu untuk tidak menggiring isu bahwa kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebab kebijakan itu menjadi payung hukum yang diputuskan PDIP pada periode 2019-2024.

    “Jadi apabila sekarang ada informasi ada hal-hal yang mengkaitkan ini dengan pemerintah Pak Prabowo yang seakan-akan memutuskan itu adalah tidak benar, yang benar adalah UU ini produk dari pada DPR yang pada saat itu diinisiasi PDI Perjuangan dan sekarang Pak Presiden Prabowo hanya menjalankan,” ucapnya.

    Sebaliknya, dia menilai sikap PDIP saat ini seperti upaya “melempar bola panas” kepada pemerintahan Presiden Prabowo, padahal kenaikan PPN 12 persen yang termaktub dalam UU HPP merupakan produk DPR periode sebelumnya dari PDIP.

    “Jadi kami dalam hal ini melihat bahwa sikap PDIP ini adalah dalam hal PPN 12 persen adalah membuang muka, jadi kami ingatkan bahwa apabila ingin mendukung pemerintahan maka tidak dengan cara seperti ini, tetapi bila ingin melakukan langkah-langkah oposisi maka ini adalah hak daripada PDIP,” tuturnya.

    Dia pun menegaskan jika Presiden Prabowo sedianya sudah “mengulik” kebijakan itu agar tidak berdampak pada masyarakat menengah ke bawah, salah satunya dengan menerapkan kenaikan PPN tersebut dikenakan terhadap barang-barang mewah.

    “Sehingga pemikiran Pak Prabowo ini bahwa kalangan menengah bawah itu tetap terjaga daya belinya dan tidak menimbulkan gejolak ekonomi, ini adalah merupakan langkah bijaksana dari Pak Prabowo,” kata dia.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Guido Merung
    Copyright © ANTARA 2024

  • Dulu Inisiasi PPN 12 Persen Sekarang Malah Menolak, PROJO: PDIP Jangan Cuci Tangan! – Halaman all

    Dulu Inisiasi PPN 12 Persen Sekarang Malah Menolak, PROJO: PDIP Jangan Cuci Tangan! – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Ormas PROJO melihat PDI Perjuangan melemparkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang akan diberlakukan pada Januari 2025 kepada Presiden Prabowo Subianto. 

    “PDIP sebagai pemilik suara terbesar di DPR waktu itu ikut mendorong pemberlakuan PPN 12 persen. Kok, sekarang lempar batu sembunyi tangan,“ kata Wakil Ketua Umum DPP PROJO Freddy Damanik pada Minggu (22/12/2025).

    Freddy menerangkan bahwa RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) disetujui DPR untuk menjadi undang-undang pada 29 Oktober 2021, dan mulai berlaku pada 2022. UU HPP inilah yang mengatur kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. 

    PROJO menilai PDIP sebagai partai pemenang yang berkuasa ketika itu tidak bisa lepas tanggung jawab terhadap rakyat. Ketua DPR waktu itu juga politikus PDIP Puan Maharani, yang kini kembali menjabat Ketua DPR. Namun, para politikus PDIP justru membuat seolah Presiden Prabowo yang menyebabkan munculnya kenaikan tarif PPN 12 persen. 

    “Masyarakat harus tahu bahwa ada tindakan membohongi publik lewat pernyataan-pernyataan yang memojokkan Presiden Prabowo, PROJO mendukung penuh kebijakan pemerintahan Prabowo, “ ujar Freddy Damanik. 

    Menurut Freddy, pemerintah tidak lepas tangan dengan persoalan ini. Presiden Prabowo melaksanakan perintah UU HPP untuk menerapkan tarif PPN 12 persen per 1 Januari 2025. Meski begitu, tarif pajak tersebut hanya dikenakan bagi barang mewah. Ini bukti Presiden Prabowo memahami kondisi dan mencari cara untuk tidak membebani rakyat.

    PROJO berpendapat jika sekarang tidak setuju dengan kenaikan PPN, seharusnya PDIP melakukan mekanisme perubahan undang-undang di DPR. Toh, PDIP adalah fraksi terbesar di parlemen. 

    “Sebaiknya PDIP jangan seperti lempar batu sembunyi tangan, harus bertanggungjawab dengan keputusan yang sudah diambil. PDI P jangan cuci tangan. ” kata  Fredd Damanik.

    Diinisiasi PDIP

    Sebelumnya Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Wihadi Wiyanto mengatakan, wacana kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

    Menurutnya, payung hukum itu merupakan produk Legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh PDI Perjuangan (PDIP).

    “Kenaikan PPN 12 persen, itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” kata Wihadi saat dihubungi wartawan, Jakarta, Sabtu (21/12/2024).

    Anggota Komisi XI DPR RI, itu menilai sikap PDIP terhadap kenaikan PPN sangat bertolak belakang saat membentuk UU HPP tersebut.

    Terlebih, kata dia, panja pembahasan kenaikan PPN yang tertuang dalam UU HPP jelas dipimpin langsung oleh fraksi partai besutan Megawati Seokarnoputri tersebut.

    “Jadi kita bisa melihat dari yang memimpin panja pun dari PDIP, kemudian kalau sekarang pihak PDIP sekarang meminta ditunda ini adalah merupakan sesuatu hal yang menyudutkan pemerintah Prabowo (Presiden Prabowo Subianto),” kata Wihadi.

    Wihadi justru menegaskan jika Presiden Prabowo sebenarnya sudah ‘mengulik’ kebijakan itu agar tidak berdampak pada masyarakat menengah ke bawah. Salah satunya, dengan menerapkan kenaikan PPN terhadap item-item mewah.  

    “Sehingga pemikiran Pak Prabowo ini bahwa kalangan menengah bawah itu tetap terjaga daya belinya dan tidak menimbulkan  gejolak ekonomi, ini adalah merupakan langkah bijaksana dari Pak Prabowo,” kata Wihadi.

    Wihadi kembali mengingatkan pihak-pihak tertentu untuk tidak menggiring isu bahwa kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo. Dia menekankan bila kebijakan ini diputuskan oleh DPR periode yang dipimpin oleh PDIP.

    “Jadi apabila sekarang ada informasi ada hal-hal yang mengkaitkan ini dengan pemerintah Pak Prabowo yang seakan-akan memutuskan itu adalah tidak benar, yang benar adalah UU ini produk dari pada DPR yang pada saat itu diinisiasi PDI Perjuangan dan sekarang Pak Presiden Prabowo hanya menjalankan,” tegasnya.

    Wihadi justru menilai sikap PDIP sekarang adalah upaya ‘melempar bola panas’ kepada pemerintahan Presiden Prabowo. Padahal, kenaikan PPN 12 persen yang termaktub dalam UU HPP merupakan produk dari PDIP.

    “Jadi kami dalam hal ini melihat bahwa sikap PDIP ini adalah dalam hal PPN 12 persen adalah membuang muka jadi kami ingatkan bahwa apabila ingin mendukung pemerintahan maka tidak dengan cara seperti ini, tetapi bila ingin melakukan langkah-langkah oposisi maka ini adalah hak daripada PDIP,” kat Wihadi.

    PDIP Desak Dibatalkan

    Sebelumnya diberitakan, Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka justru meminta Presiden Prabowo Subianto membatalkan rencana kenaikan PPN sebesar 12 persen pada 1 Januari 2025. Keputusan diyakini akan berdampak besar kepada masyarakat.

    Rieke menjelaskan bahwa penundaan kenaikan PPN 12 persen bertujuan untuk menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) akan semakin meningkat. Selain itu, kenaikan PPN juga beepotensi akan menaikan harga kebutuhan pokok.

    “Berdasarkan pertimbangan ekonomi dan moneter antara lain angka PHK meningkat, deflasi selama kurang lebih lima bulan berturut-turut yang harus diwaspadai berdampak pada krisis ekonomi dan kenaikan harga kebutuhan pokok,” ujar Rieke kepada wartawan, Sabtu (21/12/2024).

    Rieke menjelaskan argumentasi pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen sesuai pasal 7 UU Nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan dinilai juga tidak tepat. Dia meminta pemerintah harus mengambil secara utuh aturan tersebut.

    Dalam Pasal 7 ayat (3) UU tersebut, tarif pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen setelah berkonsultasi dengan alar kelengkapan DPR RI.

    Dalam UU itu juga dijelaskan, Menteri Keuangan RI diberikan kewenangan menentukan besaran PPN perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.

    “Saya sangat mendukung Presiden Prabowo menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen,” jelasnya.

    Sebagai gantinya, Rieke mengusulkan pemerintah menerapkan dengan tegas self assessment monitoring system dalam tata kelola perpajakan. 

    Di antaranya, perpajakan selain menjadi pendapatan utama negara, berfungsi sebagai instrumen  pemberantasan korupsi, sekaligus sebagai basis perumusan strategi pelunasan utang negara.

    Selain itu, terwujudnya satu data pajak Indonesia, agar negara mampu menguji SPT wajib pajak,  akurasi pemetaan, perencanaan penerimaan dan pengeluaran negara secara komprehensif, termasuk pendapatan yang legal maupun ilegal.

    “Dan memastikan seluruh transaksi keuangan dan non- keuangan wajib pajak, wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan,” jelasnya.

    Di sisi lain, Rieke juga meminta dana pembangunan infrastruktur wajib dengan skala prioritas  lyang memengaruhi hajat hidup orang banyak.

    “Inovasi dan kreativitas mencari sumber anggaran negara yang tidak membebani pajak rakyat dan membahayakan keselamatan negara, termasuk segera menghimpun dan mengkalkulasikan dana kasus-kasus korupsi, serta segera dikembalikan ke kas negara,” pungkasnya.

  • Gerindra Sindir PDIP Soal Protes PPN 12%: Lempar Batu Sembunyi Tangan

    Gerindra Sindir PDIP Soal Protes PPN 12%: Lempar Batu Sembunyi Tangan

    Bisnis.com, JAKARTA – Gerindra menyindir PDI Perjuangan alias PDIP telah lempar batu sembunyi tangan terkait isu kenaikan tarif PPN menjadi 12%.

    Mereka justru menyebut bahwa partai berlambang banteng tersebut merupakan inisiatif di balik Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias HPP.

    “PDIP terus mencari simpati rakyat, tetapi mereka lupa bahwa merekalah yang mengusulkan soal kenaikan PPN 12 persen itu,” kata anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI Bahtra Banong dilansir dari Antara, Minggu (22/12/2024).

    Bahtra menjelaskan bahwa ketua panitia kerja (panja) mengenai kenaikan PPN 12 persen pada waktu itu adalah kader PDIP sekaligus Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel.

    Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa sikap PDIP saat ini yang memiliki sentimen negatif terhadap keputusan pemerintah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka soal kenaikan PPN merupakan hal yang tidak layak diperlihatkan kepada publik.

    “Mereka minta batalkan, padahal pengusulnya mereka dan bahkan ketua panja adalah kader mereka. Kenapa sekarang ramai-ramai mereka tolak?” katanya.

    Menurut ia, PDIP seharusnya memberikan apresiasi kepada Presiden Prabowo karena bertanggung jawab melaksanakan kebijakan PPN 12 persen tersebut.

    “Mereka seharusnya apresiasi Presiden Prabowo karena berani bertanggung jawab atas sebuah kebijakan yang diusulkan DPR dan pemerintahan sebelumnya, termasuk oleh PDIP pada saat itu,” ujarnya.

  • Gerindra: PDIP seperti lempar batu sembunyi tangan soal PPN 12 persen

    Gerindra: PDIP seperti lempar batu sembunyi tangan soal PPN 12 persen

    Jakarta (ANTARA) – Fraksi Partai Gerindra DPR RI menyebut PDI Perjuangan seperti lempar batu sembunyi tangan saat bersikap mengenai kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen.

    “PDIP terus mencari simpati rakyat, tetapi mereka lupa bahwa merekalah yang mengusulkan soal kenaikan PPN 12 persen itu,” kata anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI Bahtra Banong dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Bahtra menjelaskan bahwa ketua panitia kerja (panja) mengenai kenaikan PPN 12 persen pada waktu itu adalah kader PDIP sekaligus Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel.

    Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa sikap PDIP saat ini yang memiliki sentimen negatif terhadap keputusan pemerintah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka soal kenaikan PPN merupakan hal yang tidak layak diperlihatkan kepada publik.

    “Mereka minta batalkan, padahal pengusulnya mereka dan bahkan ketua panja adalah kader mereka. Kenapa sekarang ramai-ramai mereka tolak?” katanya.

    Menurut ia, PDIP seharusnya memberikan apresiasi kepada Presiden Prabowo karena bertanggung jawab melaksanakan kebijakan PPN 12 persen tersebut.

    “Mereka seharusnya apresiasi Presiden Prabowo karena berani bertanggung jawab atas sebuah kebijakan yang diusulkan DPR dan pemerintahan sebelumnya, termasuk oleh PDIP pada saat itu,” ujarnya.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2024

  • Rupiah Keok Murni karena Teknikal di Pasar

    Rupiah Keok Murni karena Teknikal di Pasar

    Jakarta: Pelemahan rupiah disebut murni karena masalah teknikal di pasar sebagai respon atas kebijakan ekonomi di Amerika Serikat dan faktor kemenangan Donald Trump.
     
    Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengatakan tidak ada hubungan penggeledahan Bank Indonesia (BI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan melemahnya rupiah terhadap USD yang saat ini sedang berjalan. 
     
    “Penyebab utama dari pelemahan yang saat ini terjadi murni karena kebijakan fiskal, kebijakan moneter yg selama ini diambil dan dalam bulan ini karena inflasi di Amerika Serikat juga mengalami penurunan karena kepercayaan pasar pasca terpilihnya Trump sehingga memberikan sentimen negative yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah pada arah pelemahan,” kata Misbakhun dalam keterangan pers, Jumat, 20 Desember 2024.
     

    Misbakhun menjelaskan sebaiknya Bank Indonesia berkonsentrasi penuh melakukan langkah-langkah kebijakan operasi moneter yang konstruktif untuk membuat nilai tukar rupiah kembali menguat terhadap US dollars. 
    Terkait dengan penggeledahan KPK di kantor Bank Indonesia disebut prosedur dari proses hukum yang harus dihormati dalam rangka penegakan hukum atas kasus yang sedang didalami oleh KPK.
     
    “Jadi apa yang terjadi saat ini dengan pelemahan rupiah murni karena masalah teknis tidak ada kaitannya dengan penggeledahan KPK di Bank Indonesia,” jelas Misbakhun.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DEN)

  • Rupiah Melemah Lagi, Ketua Komisi XI DPR Tegaskan Bukan Akibat KPK Geledah BI

    Rupiah Melemah Lagi, Ketua Komisi XI DPR Tegaskan Bukan Akibat KPK Geledah BI

    loading…

    Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menegaskan, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat tidak ada kaitan antara pelemahan tersebut dengan penggeledahan oleh KPK di kantor Bank Indonesia (BI). FOTO/IST

    JAKARTA – Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menegaskan, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) belakangan ini murni disebabkan oleh faktor teknikal di pasar. Menurutnya, tidak ada kaitan antara pelemahan tersebut dengan penggeledahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) di kantor Bank Indonesia (BI).

    “Pelemahan Rupiah saat ini terjadi karena kebijakan fiskal dan moneter yang diambil selama ini, serta dipengaruhi oleh inflasi di Amerika Serikat yang menurun. Kepercayaan pasar pasca-terpilihnya Donald Trump juga memberikan sentimen negatif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah,” ujar Misbakhun dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (19/12).

    Ia menjelaskan langkah kebijakan ekonomi di Amerika Serikat, termasuk penurunan inflasi dan kebijakan fiskal, menjadi faktor utama yang melemahkan rupiah. Sentimen pasar yang berkembang setelah kemenangan Donald Trump turut memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah, sehingga membuatnya bergerak ke arah pelemahan.

    Sebagai solusi, Misbakhun meminta Bank Indonesia untuk fokus pada langkah-langkah kebijakan moneter yang konstruktif guna memperkuat nilai tukar rupiah terhadap USD.

    Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa penggeledahan KPK di kantor BI adalah bagian dari prosedur hukum yang harus dihormati. “Penggeledahan tersebut adalah langkah penegakan hukum atas kasus yang sedang didalami oleh KPK dan tidak ada kaitannya dengan pelemahan rupiah saat ini,” tegasnya.

    Untuk diketahui, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah Kantor Bank Indonesia (BI) pada Senin (16/12/2024). Penyidikmenyita sejumlah dokumen dan bukti elektronik yang diduga terkait kasus dugaan korupsi penggunaan dana corporate social responsibility (CSR) BI.

    “Beberapa dokumen kita temukan, beberapa barang-barang alat bukti elektronik kita juga amankan,” kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Rudi Setiawan di Gedung Juang KPK, Selasa (17/12/2024).

    Rudi menyebutkan, salah satu dokumen yang disita berupa catatan besaran dana CSR hingga siapa saja pihak yang menerima. “Dokumen terkait berapa besaran CSR-nya, siapa-siapa yang menerima dan sebagainya, tentunya itu yang kita cari,” ujarnya.

    Menurutnya, salah satu ruangan yang digeledah adalah milik Gubernur BI Perry Warjiyo. “Di sana ada beberapa ruangan yang kita geledah, di antaranya adalah ruang Gubernur BI,” kata Rudi Setiawan.

    Dalam perkara ini, Rudi menyatakan pihaknya telah menetapkan dua tersangka. Kendati demikian, ia enggan mengungkapkan identitas mereka. “Kita sudah dari beberapa bulan yang lalu telah menetapkan dua orang tersangka yang diduga memperoleh sejumlah dana yang berasal dari CSR-nya Bank Indonesia,” ujarnya.

    (abd)

  • Rupiah melemah bukan karena ada penggeledahan di BI

    Rupiah melemah bukan karena ada penggeledahan di BI

    Sumber Foto: Antara

    Komisi XI DPR: Rupiah melemah bukan karena ada penggeledahan di BI
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 19 Desember 2024 – 22:45 WIB

    Elshinta.com – Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat bukan karena adanya penggeledahan yang dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di Kantor Pusat Bank Indonesia.

    Menurut ia, pelemahan rupiah murni karena masalah teknikal di pasar, sebagai respons atas kebijakan ekonomi di Amerika Serikat dan faktor kemenangan Donald Trump.

    “Tidak ada hubungan penggeledahan BI oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melemahnya rupiah terhadap dolar AS yang saat ini sedang berjalan,” kata Misbakhun dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (19/12).

    Ia menjelaskan penyebab utama melemahnya nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini murni karena kebijakan fiskal dan moneter yang selama ini diambil.

    Selain itu, inflasi di Amerika Serikat juga mengalami penurunan karena kepercayaan pasar setelah terpilihnya Donald Trump, sehingga memberikan sentimen negatif yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah pada arah pelemahan.

    Untuk itu, Misbakhun meminta Bank Indonesia berkonsentrasi penuh melakukan langkah-langkah kebijakan operasi moneter yang konstruktif untuk membuat nilai tukar rupiah kembali menguat terhadap dolar AS.

    “Terkait dengan penggeledahan KPK di kantor Bank Indonesia itu adalah prosedur dari proses hukum yang harus dihormati dalam rangka penegakan hukum atas kasus yang sedang didalami oleh KPK,” katanya.

    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan salah satu ruangan yang diperiksa penyidik dalam penggeledahan di Kantor Pusat Bank Indonesia adalah ruangan Gubernur BI Perry Warjiyo.

    “Di sana ada beberapa ruangan yang kita geledah, di antaranya adalah ruangan Gubernur BI,” kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Rudi Setiawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (17/12).

    Rudi menerangkan penggeledahan tersebut adalah bagian dari penyidikan dugaan korupsi dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) BI, namun tidak menerangkan secara rinci apa saja yang ditemukan penyidik di ruangan Perry Warjiyo.

    Sumber : Antara

  • KPK Geledah Kantor BI Rupiah Langsung Ambruk, DPR:  Tidak Ada Hubungannya! – Halaman all

    KPK Geledah Kantor BI Rupiah Langsung Ambruk, DPR:  Tidak Ada Hubungannya! – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan, pelemahan rupiah murni karena fenomena teknikal di pasar sebagai respon atas kebijakan ekonomi di Amerika Serikat dan faktor kemenangan Donald Trump di Pemilu AS.

    Menurut Misbakhun, tidak ada kaitan antara tren pelemahan rupiah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang menggeledah kantor Bank Indonesia di Jalan Thamrin, Jakarta, Senin (16/12/2025) malam.

    KPK menggeledah kantor BI untuk penyidikan kasus dugaan korupsi dana corporate social responsibility (CSR) BI.

    Nulai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari ini ditutup melemah tajam hingga 215 poin atau 1,34 persen menjadi Rp16.313 per dolar Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya Rp16.098 per dolar AS.

    “Tidak ada hubungan penggeledahan BI oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan melemahnya rupiah terhadap dolar AS yang saat ini sedang berjalan,” ujar Misbakhun di Jakarta, Kamis (19/12/2024).

    Penyebab utama dari pelemahan yang saat ini, kata Misbakhun, terjadi murni karena kebijakan fiskal, kebijakan moneter yan selama ini diambil.

    “Dalam bulan ini karena inflasi di Amerika Serikat juga mengalami penurunan karena kepercayaan pasar pasca terpilihnya Trump sehingga memberikan sentimen negatif yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah pada arah pelemahan,” kata Misbakhun.

    Misbakhun bilang, BI sebaiknya berkonsentrasi penuh melakukan langkah-langkah kebijakan operasi moneter yang konstruktif untuk membuat nilai tukar rupiah kembali menguat terhadap dolar AS

    “Jadi apa yang terjadi saat ini dengan pelemahan rupiah murni karena masalah teknis tidak ada kaitannya dengan penggeledahan KPK di Bank Indonesia,” terang Misbakhun.

    “Terkait dengan penggeledahan KPK di kantor Bank Indonesia itu adalah prosedur dari proses hukum yang harus dihormati dalam rangka penegakan hukum atas kasus yang sedang di dalami oleh KPK,” sambungnya.

    Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari ini ditutup melemah tajam hingga 215 poin atau 1,34 persen menjadi Rp16.313 per dolar Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya Rp16.098 per dolar AS.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Kamis, turut mengalami pelemahan ke level Rp16.277 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.100 per dolar AS.