Kementrian Lembaga: Komisi XI DPR RI

  • Tarif PPN 12 yang Bakal Berlaku di 2025 Tak Mendadak, 8 Fraksi di DPR Menyetujuinya pada 2021  – Halaman all

    Tarif PPN 12 yang Bakal Berlaku di 2025 Tak Mendadak, 8 Fraksi di DPR Menyetujuinya pada 2021  – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen di 2025 dari sebelumnya 11 persen, sudah terencana sejak lama.

    PPN 12 persen pada tahun depan merupakan implementasi dari dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Melalui UU HPP, pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. 

    Tarif pajak 11 persen ini mulai berlaku pada 1 April tahun 2022. 

    Kemudian, pemerintah akan menaikkan kembali tarif PPN sebesar 12 persen pada tahun 2025. 

    Diketahui, UU HPP disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat Sidang Paripurna pada Kamis (7/10/2024).

    “Kepada seluruh anggota dewan, apakah RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?,” tanya Pimpinan Sidang dan Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar dalam Sidang Paripurna, disambut ucapan setuju para anggota DPR, pada saat itu.

    Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie pada saat itu menuturkan, pembahasan RUU tentang HPP didasarkan pada surat presiden serta surat keputusan pimpinan DPR RI tanggal 22 Juni 2021 yang memutuskan bahwa pembahasan RUU KUP dilakukan oleh komisi XI bersama pemerintah. 

    “Dalam raker komisi XI, terdapat 8 fraksi menerima hasil kerja Panja dan menyetujui agar RUU HPP segera disampaikan kpd pimpinan DPR RI. Sedangkan satu fraksi menolak RUU,” sebut Dolfie. 

    Fraksi yang menyetujui adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PAN, dan PPP. Sedangkan satu fraksi yang menolak adalah PKS. 

    Dalam paparan Dolfie, PKS menolak RUU HPP karena tidak sepakat rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. 

    Menurutnya, kenaikan tarif akan kontra produktif dengan proses pemulihan ekonomi nasional. 

    “Sementara fraksi PDIP menyetujui karena RUU memperhatikan aspirasi pelaku UMKM dengan tetap berkomitmen bahwa bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat, jasa pendidikan, jasa kesehatan, transportasi darat, keuangan, dibebaskan dari pengenaan PPN,” ucap Dolfie. 

    Barang Jasa dan Jasa Kena PPN 12 Persen

    Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut kenaikan tarif PPN 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11 persen.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Dwi Astuti menyebut ada tiga barang dikecualikan, yaitu yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak.

    Tiga barang yang dikecualikan itu adalah minyak goreng curah merek Minyakita, tepung terigu, dan gula industri.

    Tambahan PPN sebesar 1 persen untuk ketiga jenis barang tersebut akan Ditanggung Oleh Pemerintah (DTP).

    “Sehingga, penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut,” kata Dwi dikutip dari keterangan tertulis pada Minggu (22/12/2024).

    Lalu, ia menyebut barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0 persen.

    Barang kebutuhan pokok itu ialah beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

    Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah
    umum.

    “Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum,” ujar Dwi.

    Sebagaimana diketahui, kenaikan PPN ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

    Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen pada 1 April 2022.

    Lalu, PPN akan kembali dinaikkan menjadi sebesar 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.

    Meski demikian, pemerintah sebenarnya masih bisa menunda kenaikan tarif PPN 12 persen itu dengan pertimbangan tertentu.

    Merujuk Pasal 7 ayat (3), tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi sebesar 15 persen. 

  • Jangan Bohongi Publik Terkait PPN 12 Persen

    Jangan Bohongi Publik Terkait PPN 12 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil ketua Banggar DPR sekaligus anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Gerindra, Wihadi Wiyanto, mengkritik pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit, yang menyebut pemerintah dapat mengusulkan penurunan tarif PPN.

    Menurut Wihadi, pernyataan tersebut patut diduga sebagai kebohongan publik karena tidak menjelaskan informasi secara utuh mengenai kebijakan PPN 12 persen dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Wihadi menilai Dolfie, sebagai kader PDIP sekaligus pengusul UU HPP, tidak membaca setiap ketentuan dalam undang-undang tersebut secara menyeluruh.

    “Terkait pernyataan Dolfie, sebagai ketua panja, terlihat ia tidak memahami UU ini. Pada Pasal 7 ayat (3), ia hanya membaca sebagian tanpa memahami ayat (4) secara tuntas,” ujar Wihadi kepada wartawan di Jakarta, Senin (23/12/2024).

    Wihadi menjelaskan Pasal 7 ayat (4) UU HPP menyatakan Peraturan Pemerintah (PP) dapat digunakan untuk menentukan asumsi tarif PPN dalam rentang 5 hingga 15 persen, namun hanya atas dasar persetujuan DPR dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

    Oleh karena itu, pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tidak bisa langsung menurunkan tarif PPN. Terlebih, APBN Tahun Anggaran 2025 telah disepakati oleh pemerintah dan DPR untuk periode 2019-2029.

    “Pada ayat (4) Pasal 7 UU HPP, PP hanya dapat dibuat dengan persetujuan DPR untuk menentukan asumsi penerimaan pajak dalam RAPBN. Jadi, tidak serta-merta tarif PPN dapat dipotong begitu saja,” jelas Wihadi.

    Ia juga menuduh pernyataan Dolfie sebagai bentuk provokasi publik, seolah-olah pemerintah tidak berpihak kepada rakyat. Padahal, UU HPP merupakan produk PDIP saat menjadi partai penguasa.

    “Ini adalah bentuk provokasi yang memanfaatkan kondisi saat ini, sehingga masyarakat terprovokasi untuk menuntut pembatalan PPN ini,” tegas Wihadi.

    Sebelumnya, Dolfie Palit menyebut pemerintah Prabowo dapat mengusulkan perubahan tarif PPN sesuai Pasal 7 ayat (3) UU HPP. Dalam pasal tersebut disebutkan tarif PPN berada dalam rentang 5 hingga 15 persen dan dapat diubah dengan persetujuan DPR.

    “Sebagaimana amanat UU HPP, tarif PPN mulai 2025 adalah 12 persen. Pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif dalam rentang 5 hingga 15 persen, sesuai dengan Pasal 7 ayat (3),” ujar Dolfie dalam keterangan tertulis.

  • Gerindra-PDIP Memanas soal PPN 12 Persen, Pengamat: Politik Kita Mirip Drakor

    Gerindra-PDIP Memanas soal PPN 12 Persen, Pengamat: Politik Kita Mirip Drakor

    loading…

    Pengamat politik Adi Prayitno menyoroti memanasnya hubungan Partai Gerindra dengan PDIP terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen. Menurutnya, politik Indonesia seperti drama Korea (drakor). Ilustrasi/Dok SINDOnews

    JAKARTA – Pengamat politik Adi Prayitno menyoroti memanasnya hubungan Partai Gerindra dengan PDIP terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Menurutnya, politik Indonesia seperti drama Korea ( drakor ).

    “Politik kita kan mirip drakor. Dulu dukung aturan tertentu, tiba-tiba hari ini paling heroik nolak aturan yang disetujui sendiri itu,” kata Adi saat dihubungi, Senin (23/12/2024).

    Kendati demikian, Adi menilai, dinamika politik saat ini masih terbilang wajar. Menurutnya, sikap politik yang kerap berubah acapkali dilakukan semua politisi dan elite politik.

    “Biasalah yang begini-begini di ini negara. Dilakukan semua politisi dan elite. Tergantung posisi politik,” kata Adi.

    Adi menilai, langkah Gerindra dan sejumlah partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) itu didasari lantaran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terkesan seperti ingin cuci tangan dan tampil bak pahlawan atas sikap politik terkait kenaikan PPN 12 persen .

    “KIM Plus ingin bilang bahwa PDIP juga bertanggung jawab terkait dengan kenaikan PPN ini, bukan cari aman bak pahlawan,” tandas Adi.

    Sebelumnya, Wakil ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi Gerindra Wihadi Wiyanto menegaskan, wacana kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ia menyebut, payung hukum itu merupakan produk legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh PDIP.

    Merespons itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit turut membalas sindiran yang dilakukan Partai Gerindra soal kenaikan PPN menjadi 12 persen. Dia mengungkap, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP merupakan inisiatif pemerintah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).

    “UU HPP merupakan UU inisiatif Pemerintahan Jokowi, yang disampaikan ke DPR tanggal 5 Mei 2021. Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP,” kata Dolfie kepada wartawan, Minggu (22/12/2024).

    Dolfie melanjutkan, RUU HPP dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR RI di Komisi XI DPR. Kemudian, disahkan dalam Paripurna tanggal 7 Oktober 2021. Sebanyak delapan fraksi yaitu Fraksi PDIP, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi PPP telah menyetujui UU HPP itu. Satu fraksi yang menolak yakni Fraksi PKS.

    “UU HPP, bentuknya adalah Omnibus Law, mengubah beberapa ketentuan dalam UU KUP, UU PPh, UU PPN, dan UU Cukai. UU ini juga mengatur Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan Pajak Karbon,” ujarnya.

    (zik)

  • Balik Badan soal Kenaikan PPN 12%, PKB Sebut Sikap PDIP Mencla-mencle

    Balik Badan soal Kenaikan PPN 12%, PKB Sebut Sikap PDIP Mencla-mencle

    Jakarta (beritajatim.com) – Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI mempertanyakan sikap PDI Perjuangan yang dinilai “masuk angin” dalam menyikapi kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. PKB pun menuding sikap PDIP mencla-mencle.

    ”Hemat saya PDIP sikapnya mencla mencle. PDIP yang semula menginisiasi dan memimpin panja tentang UU HPP sehingga diputuskan kenaikan PPN 12 persen, kok sekarang balik badan, bahkan terkesan menyerang kebijakan tersebut,” ujar Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid.

    Gus Jazil–sapaan akrab Jazilul Fawaid menegaskan, peran PDIP terkait kenaikan PPN 12 persen sangat besar. Sebab, partai politik yang dipimpin Megawati Soekarnoputri tersebut merupakan inisiator sekaligus memimpin Panitia Kerja (Panja) Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sebagai cikal bakal dari kenaikan PPN 12 persen.

    Dia menilai, perubahan sikap PDIP tersebut terkesan aneh di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI ini berharap, polemik kenaikan PPN 12 persen tidak memicu imbas negatif pada kinerja perekonomian nasional di era Presiden Prabowo Subianto. Sebab, kebijakan ekonomi yang diambil saat ini sudah melalui pertimbangan dan kajian yang matang.

    ”Anehnya, pada saat kepemimpinan Presiden Prabowo, kok sikap PDIP jadi berubah tidak setuju dengan UU yang telah diperjuangkan sendiri,” tuturnya.

    Diketahui, UU HPP yang menjadi dasar kenaikan PPN 12 persen, selama pembahasan rancangan UU-nya, diproses dalam Panja RUU yang diketuai Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDIP saat itu, Dolfie Othniel Fredric Palit.

    Dalam pembahasan tingkat I di Komisi XI DPR bersama pemerintah, sebanyak delapan fraksi setuju RUU itu dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan. RUU HPP diharapkan menjadi komponen penting dalam reformasi perpajakan, terutama dalam menuju sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.

    Namun, belakangan Ketua DPR RI yang juga elite PDIP Puan Maharani mengeluarkan pernyataan bernada ketidaksetujuan terhadap kenaikan PPN 12 persen. Puan menyebut dirinya memahami urgensi peningkatan penerimaan negara melalui tarif PPN ini. Hanya saja, dia tidak ingin masyarakat menjadi korban dari kebijakan ini.

    “Kita harus memahami kondisi rakyat, jangan sampai dengan kenaikan PPN ini malah membuat perekonomian rakyat semakin sulit,” kata Puan dalam keterangan tertulis. [hen/beq]

  • Serangan Balik Koalisi Pendukung Prabowo usai PDIP Kritik PPN 12%

    Serangan Balik Koalisi Pendukung Prabowo usai PDIP Kritik PPN 12%

    Bisnis.com, JAKARTA — Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyesalkan sikap PDI Perjuangan atau PDIP yang menolak kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.

    PSI menjadi partai keempat yang menyerang balik PDIP. Sebelumnya ada Gerindra, PKB, dan Golkar yang telah melontarkan pernyataan dengan nada yang sama kepada partai berlambang banteng tersebut.  

    Juru Bicara PSI, I Putu Yoga Saputra menilai bahwa partai yang dinahkodai Megawati Soekarnoputri itu bak pahlawan kesiangan, padahal sempat terlibat dalam panitia kerja (panja) UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).  Bahkan, Ketua Panja UU HPP berasal dari PDIP.

    “Kami sangat menyesalkan sikap PDIP. Lihat jejak digital, PDIP menjadi pengusul dan terlibat dalam panja UU HPP. Bahkan Ketua Panja dari PDIP. Kalau sekarang mereka menolak, apa namanya? Ya, pahlawan kesiangan,”  katanya lewat rilisnya, Senin (23/12/2024).

    Menurutnya, PPN 12% itu sudah menjadi amanat UU yang apabila tidak dijalankan, justru melanggar hukum dan mengundang risiko sosial.

    “Kenaikan itu bermanfaat dalam jangka panjang terkait peningkatan penerimaan negara untuk membiayai sejumlah hal, termasuk program kesejahteraan sosial. Ujung-ujungnya akan kembali ke rakyat,” ujar Yoga.

    Satu hal lain, Fraksi PDIP adalah fraksi terbesar di DPR RI. Mereka sangat bisa mengarahkan pembahasan sebuah UU. “Kalau mereka tidak ada di parlemen atau fraksi kecil, okelah. PDIP itu fraksi terbesar di DPR. Tidak ada catatan sama sekali mereka menolak saat pembahasan,” pungkas Yoga.

    Gerindra Minta PDIP Oposisi 

    Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan bahkan menyarankan agar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) segera menyatakan diri sebagai oposisi. 

    Sebelum Hergun, politikus Gerindra lainnya yakni Wihadi Wiyanto dan Bahtra Banong juga mengungkapkan hal yang sama. Mereka mempertanyakan sikap PDIP yang berubah menetang tarif PPN 12%..

    Adapun Heru Gunawan menuding bahwa banyak politisi PDIP mengunakan isu PPN untuk menyampaikan kritik kepada pemerintahan Prabowo Subianto atas rencana kenaikan PPN 12% atas barang tertentu.

    Dia menyebut Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga menjabat sebagai Ketua DPR RI menyatakan, kenaikan PPN 12% dapat memperburuk kondisi kelas menengah dan pelaku usaha kecil.

    Termasuk, mantan calon presiden yang diusung PDIP yang juga Ketua DPP PDIP Ganjar Pranowo menyatakan, kebijakan tersebut bisa membuat ngilu kehidupan rakyat.  

    “Menurutnya, PDIP tidak perlu bermain drama dengan berpura-pura membela rakyat kecil. Semua tahu, bahwa kenaikan PPN 12% merupakan tanggung jawab PDIP yang kala itu menjadi pimpinan pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP),” tuturnya lewat rilisnya, Minggu (22/12/2024).

    Politisi yang biasa disapa Hergun itu menyatakan, dasar kenaikan PPN adalah Pasal 7 Ayat (1) UU HPP yang menyatakan tarif PPN sebesar 11% berlaku 1 April 2022 dan tarif 12% berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

    Dia menilai bahwa berdasarkan ketentuan UU HPP, kenaikan tarif PPN dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama sudah dilakukan pada 2022.

    “Waktu itu PDIP paling bersemangat menyampaikan kenaikan PPN dan bahkan mau pasang badan. Sehingga aneh menjelang pemberlakukan tahap kedua, PDIP berpaling muka dan mengkritik dengan keras,” katanya.

    Lebih lanjut, mantan anggota Panja UU HPP itu, menjelaskan bahwa pembahasan tingkat I UU HPP dilakukan di Komisi XI DPR. Waktu itu yang menjabat sebagai Ketua Panja adalah kader PDIP Dolfi OFP.

    Selain itu, sebagai partai terbesar di DPR, PDIP juga mengirim anggotanya paling banyak di Panja. “Pembahasan di tingkat I terbilang lancar. Hampir semua fraksi menyatakan persetujuannya terhadap UU HPP. Lalu, pembahasan dilanjutkan pada tingkat II yaitu di Rapat Paripurna DPR RI. Konfigurasinya tidak berbeda. Perlu diketahui, waktu itu Ketua DPR juga dijabat oleh kader PDIP Puan Maharani,” jelasnya.

    Hergun menyatakan, pembentukan UU HPP sejatinya bertujuan memperkuat fondasi fiskal dan meningkatkan tax ratio Indonesia. Sebagaimana diketahui, tax ratio Indonesia tercatat masih lebih rendah dibanding negara-negara lain.

    “Pada 2021 tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,9%. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata 36 negara Asia Pasifik yang sebesar 19,3%. Tax ratio Indonesia juga tercatat lebih rendah 22 poin persen dibanding negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dengan rata-rata 34%,” jelasnya.

    Jawaban PDIP

    Wakil Ketua Komisi XI DPR RI sekaligus anggota Banggar DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Dolfie Othniel Frederic Palit, menjawab tudingan politikus Gerindra tentang protes kenaikan tarif PPN menjadi 12%. 

    Dolfie bahkan menegaskan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) disetujui oe 8 fraksi di parlemen dalam paripurna 7 Oktober 2021 lalu.

    Adapun, kedelapan fraksi tersebut adalah Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi NasDem, Fraksi PKB, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP menyetujui UU HPP. Dia menyebut hanya Fraksi PKS tidak menyetujui itu.

    “Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP. Selanjutnya RUU HPP dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR RI [Komisi XI]. Disahkan dalam Paripurna tanggal 7 Oktober 2021,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, pada Minggu (22/12/2024).

    Adapun dalam amanat UU HPP, lanjut Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HPP pada kala itu, bahwa tarif PPN mulai 2025 adalah 12%, yang sebelumnya adalah 11%.

    Dia menjelaskan, dalam UU itu, pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif dalam rentang 5% hingga 15% dan bisa menurunkan ataupun menaikkan. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) UU HPP, tambahnya, pemerintah dapat mengubah tarif PPN sesuai dengan persetujuan DPR.

    “Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN [naik atau turun],” jelasnya.

    Kendati demikian, Politikus PDIP ini menyebut jika Pemerintahan Prabowo Subianto tetap menggunakan tarif PPN 12%, ada enam hal yang perlu menjadi perhatian saat membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

    “Kinerja ekonomi nasional yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi berkualitas, penciptaan lapangan kerja, penghasilan masyarakat meningkat, pelayanan publik yang semakin baik, efisiensi dan efektivitas belanja negara,” pungkasnya.

  • Syahganda Anggap Pernyataan Dolfie Othniel PDIP Bisa Picu Instabilitas Politik

    Syahganda Anggap Pernyataan Dolfie Othniel PDIP Bisa Picu Instabilitas Politik

    loading…

    Direktur Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan buka suara menanggapi pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit terkait polemik kenaikan PPN menjadi 12 % mulai 2025. Foto/Istimewa

    JAKARTA – Direktur Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan buka suara menanggapi pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit terkait polemik kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) menjadi 12 % mulai 2025. Dia menilai pernyataan Dolfie bisa memicu instabilitas politik.

    “Menanggapi pernyataan anggota DPR RI Dolfie Othniel bahwa pemerintah Prabowo Subianto dapat menunda kenaikan pajak PPN atau melakukan penyesuaian antara 5-15% jika dipandang perlu, saya menyatakan PDIP harus berhati-hati membuat pernyataan. Sebab, pernyataan Dolfie tersebut dapat memicu instabilitas politik,” ujar Syahganda dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/12/2024).

    Syahganda berpendapat, pernyataan seperti itu terang benderang memprovokasi rakyat, seolah-olah pemerintahan Prabowo tidak mendengar aspirasi masyarakat. “Sebab, kerangka APBN yang disahkan DPR RI pada bulan September lalu telah memasukkan proyeksi penerimaan pajak, termasuk komponen PPN,” tuturnya.

    Dia menuturkan, pada saat penyusunan APBN 2025 dan pembuatan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan 2021, PDIP merupakan motor utama. Dia menuturkan, PDIP adalah partai penguasa dan Ketua Banggar di DPR ketika itu.

    “Pemerintahan baru saat ini yang dipimpin Prabowo Subianto, yang baru saja dua bulan berkuasa terang saja kerepotan jika harus merubah kedua UU di atas, yakni UU APBN dan UU HPP. Perubahan UU akan memakan waktu dan perlu persetujuan DPR,” tuturnya.

    Dia mengatakan, mitigasi yang dilakukan pemerintah saat ini sebenarnya terlihat dari upaya Prabowo Subianto memberikan klasifikasi ketat atas kenaikan PPN 12% tersebut, khususnya hanya ditujukan pada barang-barang mewah yang tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan pokok.

    “Sebaliknya, jika rakyat terus menerus diprovokasi oleh elite-elite PDIP, kemungkinan akan terjadi instabilitas politik. Sebab, isu kenaikan pajak adalah salah satu pemicu kemarahan rakyat,” ucapnya.

    Syahganda menyarankan agar PDIP meminta maaf kepada rakyat karena selama berkuasa mereka telah menaikkan PPN dari 10% sejak 1983 ke 11% di 2022 dan sekarang ke angka 12%. Di samping itu, kata dia, DPR harus mendukung upaya-upaya pemerintah mencari alternatif pembiayaan pembangunan.

    “Seperti mendorong agar pengembalian uang-uang korupsi selama era PDIP dan Jokowi berkuasa, seperti pidato Prabowo di Mesir seminggu lalu, dapat terwujud. Jika uang-uang koruptor dikembalikan, maka pajak PPN bisa saja diturunkan serendah-rendahnya,” pungkasnya.

    (rca)

  • Partai Politik Jangan Cari Muka! Batalkan PPN 12% Lebih Penting Ketimbang Saling Menyalahkan

    Partai Politik Jangan Cari Muka! Batalkan PPN 12% Lebih Penting Ketimbang Saling Menyalahkan

    loading…

    Demo penolakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 %. Foto/SINDOnews TV

    JAKARTA – Dua kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP ) Ganjar Pranowo dan Rieke Diah Pitaloka mengkritik kebijakan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) menjadi 12 %. Rieke menyampaikan kritik tersebut dalam Paripurna Penutupan Masa Sidang Pertama DPR pada Kamis, 5 Desember 2024.

    “Mohon dukungannya sekali lagi dari Ibu Ketua DPR, Wakil Ketua DPR, dan seluruh anggota DPR, seluruh anggota DPRD di seluruh Indonesia, mahasiswa yang ada di belakang, dan rekan-rekan media, kita beri dukungan penuh kepada Presiden Prabowo, saya yakin menunggu kado Tahun Baru 2025 dari Presiden Prabowo batalkan rencana kenaikan PPN 12 %,” kata Rieke diunggah di akun Instagramnya, dikutip Senin (23/12/2024).

    Sedangkan Ganjar melontarkan kritikan melalui video yang diunggah di Channel YouTube-nya beberapa hari lalu dengan judul “PPN 12% Bikin Tambah Miskin?”. “Dengan angka ini, Indonesia menjadi negara yang tertinggi di ASEAN bersama Filipina, jauh di atas Malaysia yang hanya 8%, Singapura 7%, dan Thailand 7%,” kata Ganjar di Channel Youtube-nya.

    “Pajak memang sumber pendapatan utama negara. Namun, dalam situasi ekonomi kita saat ini, keputusan pemerintah menaikkan PPN jadi 12 persen mungkin bukan keputusan tepat. Apakah ini keadilan?” cuit Ganjar di media sosial X (sebelumnya Twitter).

    Sejumlah elite Partai Gerindra pun langsung merespons. “Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDIP berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12%. Jujur saja, banyak dari kita saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng ketawa,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati.

    “Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya. Padahal mereka saat itu Ketua Panja UU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12% ini. Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka Ketua Panjanya?” sambung wanita yang akrab disapa Sara ini.

    Saling MenyalahkanPolitikus Partai Gerindra yang kini menjabat Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Wihadi Wiyanto menjelaskan kenaikan PPN 12% merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Payung hukum itu merupakan produk legislatif periode 2019-2024 dan diinisiasi oleh partai penguasa PDIP.

    Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit turut membalas sindiran yang dilakukan Fraksi Partai Gerindra soal kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Dia mengungkapkan, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menjadi dasar kenaikan PPN 12% merupakan inisiatif pemerintah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).

  • PPN 12%: Saling ‘Lempar Batu Sembunyi Tangan’ di Senayan

    PPN 12%: Saling ‘Lempar Batu Sembunyi Tangan’ di Senayan

    Bisnis.com, JAKARTA — Fraksi-fraksi di Senayan, markas DPR, seakan tidak mau disalahkan atas penerapan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12% yang akan berlaku pada 1 Januari 2025. PDI Perjuangan menyalahkan pemerintahan sebelumnya, tetapi fraksi lain menuduh PDIP ‘lempar batu sembunyi tangan’.

    Belakangan, gelombang penolakan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% memang terus berdatangan. Di platform change.org misalnya, per Senin (23/12/2024), sudah 171.000 lebih orang sudah menandatangani petisi penolakan tarif PPN 12% yang diinisiasi pengguna bernama Bareng Warga.

    Sejumlah pihak menilai kenaikan PPN pada saat kondisi perekonomian belum stabil akan semakin membebankan masyarakat—terutama kelas menengah ke bawah.

    Elite politik misalnya, yang ikut menyatakan penolakan terang-terangan atas penerapan PPN 12% pada tahun depan. Elite-elite politik yang dimaksud berasal dari PDI Perjuangan (PDIP).

    Ketua DPP PDI Perjuangan Ganjar Pranowo menilai PPN 12% akan memaksa masyarakat menengah-bawah mengurangi konsumsi, mengorbankan tabungan, atau bahkan meningkatkan utang.

    “Apakah ini sebuah keadilan? Saya menyampaikan ini karena khawatir bahwa kenaikan PPN 12% yang dimaksudkan sebagai obat justru menyebabkan sejumlah komplikasi,” ujarnya di YouTube Ganjar Pranowo, dikutip pada Senin (23/12/2024).

    Politisi PDIP lainnya seperti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Puan Maharani, hingga Dolfie OFP juga sempat memberikan komentar bernada kritis atas PPN 12%.

    Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI Bahtra Banong tidak habis pikir dengan berbagai pernyataan dari kubu PDIP tersebut. Padahal, menurutnya, PDIP merupakan inisiator Undang-undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengamanatkan kenaikan PPN menjadi 12%.

    “PDIP terus mencari simpati rakyat, tetapi mereka lupa bahwa merekalah yang mengusulkan soal kenaikan PPN 12% itu,” kata Bahtra, dilansir dari Antara, Minggu (22/12/2024). 

    Dia menjelaskan bahwa ketua panitia kerja (panja) RUU HPP waktu itu adalah anggota Fraksi PDIP sekaligus Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie OFP.

    Anggota Fraksi Partai Golkar DPR sekaligus Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun memberi pernyataan serupa. Dia merasa PDIP seakan cuci tangan padahal kadernya merupakan ketua panja RUU HPP.

    “Sikap politik mencla-mencle PDI Perjuangan seperti ini harus diketahui oleh semua rakyat Indonesia banyak. Ketika berkuasa berkata apa, ketika tidak menjadi bagian dari kekuasaan seakan-akan paling depan menyuarakan kepentingan rakyat. Berpolitik lah secara elegan,” kata Misbahkhun dalam keterangannya, Senin (23/12/2024).

    Dia bahkan mengaku Fraksi Partai Golkar sempat tidak dilibatkan dalam beberapa pertemuan lobi dalam pembahasan RUU HPP karena dianggap kritis terhadap beberapa isu penting dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) seperti tarif pajak UMKM yang semula 1% diminta menjadi 0,5%.

    PDIP tidak tinggal diam atas berbagai pernyataan fraksi lain. Dolfie tidak menampik bahwa dirinya merupakan ketua panja pembahasan RUU HPP beberapa tahun lalu.

    Hanya saja, dia mengingatkan bahwa RUU HPP merupakan usulan pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Oleh sebab itu, Fraksi PDIP bukan inisiator RUU HPP.

    Lebih dari itu, sambung Dolfie, terdapat klausul yang memungkinkan pemerintah sekarang mengusulkan perubahan tarif PPN dalam rentang 5%—15%. Dia menegaskan sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) UU HPP, pemerintah dapat mengubah ketentuan kenaikan tarif PPN.

    “Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah diberi ruang untuk melakukan penyesuaian tarif PPN [naik atau turun],” jelasnya, Minggu (22/12/2024).

    Alasan Pemerintah PPN 12% Tetap Jalan

    Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menekankan penerimaan perpajakan sangat diperlukan untuk biaya berbagai program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Akibatnya, PPN harus tetap naik.

    Hanya saja, sebagai mengkompensasi, pemerintah keluarkan kebijakan insentif fiskal agar kenaikan PPN tidak terlalu memberi dampak negatif ke masyarakat.

    “Paket ini dirancang untuk melindungi masyarakat, mendukung pelaku usaha—utamanya UMKM dan padat karya, menjaga stabilitas harga serta pasokan bahan pokok, dan ujungnya untuk kesejahteraan masyarakat,” ujar Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024).

    Berikut Daftar Skema Insentif Fiskal 2025:

    Beras, daging, telur, sayur, buah-buahan, garam, gula konsumsi, tetap bebas PPN
    Jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa transportasi publik tetap bebas PPN
    MinyakKita, tepung terigu, gula industri tetap 11% (1% ditanggung pemerintah)
    PPh Final 0,5% diperpanjang hingga 2025
    PPh Pasal 21 karyawan industri padat karya yang bergaji sampai dengan Rp10 juta, ditanggung pemerintah
    Diskon Listrik 50% untuk pelanggan dengan daya sampai 2.200 VA selama Januari—Februari 2025
    Bantuan pangan/beras tiap keluarga 10 kg untuk 16 juta kader pembangunan manusia (KPM) selama Januari—Februari 2025
    Diskon PPN 100% sampai dengan Rp2 miliar untuk pembelian rumah dengan harga maksimal Rp5 miliar
    Pekerja yang mengalami PHK akan diberikan kemudahan akses jaminan kehilangan pekerjaan dan kartu prakerja
    Subsidi bunga 5% revitalisasi mesin untuk produktivitas di sektor padat karya
    Bantuan 50% untuk jaminan kecelakaan kerja sektor padat karya selama 6 bulan
    Kendaraan listrik berbasis baterai, PPnBM DTP 15% untuk KBLBB CKD dan CBU (kendaraan bermotor listrik berbasis baterai yang diimpor dalam keadaan utuh dan dalam keadaan terurai lengkap)
    PPN ditanggung pemerintah (DTP) 10% KBLBB CKD
    Bea masuk nol untuk KBLBB CBU
    PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah) DTP 3% kendaraan listrik hybrid.

  • Misbakhun Golkar Ingatkan PDIP Tak Cuci Tangan soal PPN 12%

    Misbakhun Golkar Ingatkan PDIP Tak Cuci Tangan soal PPN 12%

    loading…

    Ketua Komisi XI DPR Misbakhun meminta PDIP tidak cuci tangan atas kebijakan PPN 12% yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). FOTO/DOK.DPR

    JAKARTA – Kritikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP ) terhadap kenaikan PPN 12% mendapat serangan balik dari partai politik koalisi pemerintah. Politikus Partai Golkar Misbakhun meminta PDIP tidak cuci tangan atas kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tersebut.

    Ketua Komisi XI DPR itu menjelaskan, kenaikan PPN 2% tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP yang ditetapkan pada periode Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di dalamnya dijelaskan, kenaikan tarif PPN secara bertahap dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 dan naik lagi menjadi 12% pada 1 Januari 2025 nanti.

    “Tidak selayaknya PDI Perjuangan membuat langkah-langkah politik cuci tangan seakan-akan mereka tidak terlibat dalam proses politik ketika membahas UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP),” kata Misbakhun dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/12/2024).

    Sebagai presiden yang dipilih rakyat untuk periode 2024-2029, kata Misbakhun, Presiden Prabowo bersumpah menjalankan konstitusi negara dan menjalankan undang-undang dengan selurus-lurusnya. Untuk itu, menjalankan amanat UU HPP yang memuat kenaikan PPN menjadi 12% merupakan konsekuensi yang harus dijalankan oleh pemerintahan Prabowo. Karena itu, ia heran ada upaya politik balik arah dari PDIP dengan menolak PPN 12%.

    “Berarti mereka mau ‘tinggal glanggang colong playu’. Mereka terlibat dalam proses politik pembuatan UU itu, bahkan kader PDIP Dolfie OFP menjadi Ketua Panja RUU Kententuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) saat pertama kali RUU itu diberikan nama, lalu berubah disetujui menjadi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP),” katanya.

    Menurutnya, sikap politik yang tidak konsisten PDIP harus diketahui semua rakyat Indonesia. Ketika sudah tidak lagi menjadi bagian dari kekuasaan seakan-akan paling depan menyuarakan kepentingan rakyat.

    “Berpolitiklah secara elegan. Saya sebagai anggota Panja RUU tersebut adalah saksi sejarah dan saksi hidup sehingga sangat tahu dinamika pembahasan mengenai kenaikan tarif PPN di RUU tersebut,” katanya.

    Misbakhun mengungkapkan, Fraksi Golkar justru sempat tidak dilibatkan pada beberapa pertemuan lobby dalam pembahasan RUU KUP karena dianggap terlalu memberikan banyak pembahasan dan argumentasi yang bersifat kritis atas beberapa isu penting dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Ketika RUU dibahas, Fraksi Golkar mengusulkan tarif pajak untuk UMKM justru diturunkan dari 1% menjadi 0,5% atau setara dengan penurunan 50%.

    “Ini adalah keberpihakan nyata Partai Golkar untuk masyarakat kelompok usaha mikro kecil dan menengah,” ujarnya.

    Ia menilai arahan Presiden Prabowo soal kenaikan PPN 12% sangat jelas. Sesuai perintah UU HPP yaitu naik 12% untuk selected items hanya pada komponen barang yang selama ini terkena penjualan barang mewah. Arahan itu adalah moderasi politik bijaksana Prabowo, amanat UU tetap dijalankan dengan memperhatikan semua aspirasi masyarkat dan dunia usaha soal situasi ekonomi terkini yang memang membutuhkan banyak insentif dari negara.

    “Untuk itu Partai Golkar selalu memberikan dukungan kepada setiap arahan dan langkah politik Presiden Prabowo,” katanya.

    (abd)

  • NasDem Sebut PDIP Kritik PPN 12 Persen Demi Simpati Publik

    NasDem Sebut PDIP Kritik PPN 12 Persen Demi Simpati Publik

    Jakarta, CNN Indonesia

    Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai NasDem, Fauzi Amro mengkritik sikap PDIP yang terkesan balik badan terkait keputusan pemerintah untuk menaikkan pajak pertambangan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

    Menurut Fauzi, sikap PDIP yang kini menolak kenaikan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan. PDIP dinilai hanya lempar batu sembunyi tangan dan hanya hendak mempolitisasi isu kenaikan PPN untuk meraih simpati publik.

    “Sikap ini seperti ‘lempar batu sembunyi tangan’ dan berpotensi mempolitisasi isu untuk meraih simpati publik,” kata Fauzi dalam keterangannya, Senin (23/12).

    Menurut Fauzi, kenaikan PPN merupakan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah diresmikan DPR pada 7 Oktober 2021. Bahkan, kata dia, PDIP melalui Dolfie Othniel Frederic Palit, memimpin penyusunan UU tersebut.

    “Sekarang PDIP menolak kenaikan PPN 12 persen, berarti mereka mengkhianati atau mengingkari kesepakatan yang dibuat bersama antara Pemerintah dan DPR RI,” katanya.

    Fauzi mengatakan PPN 12 persen adalah bagian dari reformasi perpajakan untuk memperkuat penerimaan negara serta mendukung konsolidasi fiskal.

    Dia menegaskan bahwa fraksi partainya mendukung pelaksanaan kebijakan ini sembari meminta pemerintah untuk memperkuat mekanisme pengawasan agar tidak terjadi distorsi di pasar. Meski begitu, dia juga mendorong program kompensasi atau subsidi bagi kelompok masyarakat rentan untuk meminimalkan dampak kenaikan tersebut.

    “Komisi XI DPR RI akan terus memantau pelaksanaan kebijakan ini dan berkomitmen membuka ruang dialog dengan pemerintah serta pelaku usaha untuk memastikan kebijakan ini berjalan sesuai tujuan tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi rakyat,” kata Fauzi.

    Sementara, Ketua DPP PDIP Deddy Yevry Sitorus membantah kenaikan PPN 12 persen diinisiasi PDIP. Menurutnya, hal itu diusulkan oleh Presiden Jokowi.

    Dia mengakui memang kader PDIP menjadi ketua panja undang-undang yang mengatur kenaikan PPN 12 persen. Namun, menurut Deddy UU HPP merupakan keputusan DPR sebagai lembaga, bukan perorangan.

    Dia menjelaskan saat itu PDIP setuju kenaikan PPN 12 persen karena kondisi perekonomian sedang baik-baik saja. Namun saat ini, kenaikan PPN 12 persen perlu dipertimbangkan ulang karena ekonomi memburuk.

    “Angkanya sekitar 9,3 juta kelas menengah itu sudah tergerus. Lalu kita melihat dolar naik gila-gilaan,” ungkap Deddy.

    “Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, enggak. Karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” imbuhnya.

    (thr/DAL)

    [Gambas:Video CNN]