Kementrian Lembaga: Komisi XI DPR RI

  • Programmer Coretax Lulusan SMA, Komisi XI DPR Cecar Dirjen Pajak

    Programmer Coretax Lulusan SMA, Komisi XI DPR Cecar Dirjen Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi XI DPR meminta klarifikasi dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait dengan sistem administrasi perpajakan Coretax yang disebut dikerjakan oleh programmer lulusan setingkat SMA. 

    Pada rapat dengan Dirjen Pajak Kemenkeu dan jajarannya, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyoroti pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa beberapa waktu lalu terkait dengan masalah yang dihadapi Coretax. 

    Salah satunya terkait dengan pemrograman sistem administrasi perpajakan itu. Purbaya saat itu mengatakan bahwa programmer dari LG yang menggarap pemrograman Coretax merupakan lulusan SMA. 

    “Ini harus diklarifikasi dan harus dijelaskan. Kalau lulusan SMA di luar negeri, berarti kenapa kita harus pakai vendor asing. Kenapa kita butuh waktu empat tahun untuk menyiapkan?,” tanya Misbakhun kepada jajaran Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

    Tidak hanya soal programmer lulusan SMA, Misbakhun turut menyoroti pernyataan Purbaya bahwa Coretax masih memiliki banyak error. Padahal, sistem tersebut akan segera digunakan untuk penyampaian laporan SPT tahun depan. 

    Belum lagi, Purbaya juga menyebut pihaknya masih menunggu pihak LG selaku vendor untuk menyerahkan source code dari sistem Coretax. Hal itu belum bisa dilakukan saat ini karena masih ada sisa waktu kontrak yang belum selesai. 

    “Sistem keamanannya lemah, keamanan sibernya setelah beliau perbaiki. Jadi Menteri Keuangan Pak Purbaya menurunkan tim sendiri untuk memperbaiki sistem keamanan sibernya. Artinya apa? Bahwa tim yang lama itu tidak siap dengan keamanan sumbernya,” ujar politisi Partai Golkar itu. 

    Sebelumnya pada Jumat (24/10/2025), Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengeklaim sebagian besar masalah Coretax dari sisi pengguna sudah bisa diatasi. Namun, salah satu isu yang saat ini masih belum dituntaskan adalah perangkat lunak atau software buatan LG. 

    Adapun mengutip laman resmi Ditjen Pajak, LG CNS-Qualysoft Consortium menjadi pemenang pengadaan sistem informasi Coretax senilai Rp1,2 triliun (termasuk pajak). 

    LG CNS-Qualysoft Consortium yang beralamatkan di Jakarta ini menyediakan solusi Commercial Off The Shelf (COTS) untuk Sistem Inti Administrasi Perpajakan dan mengimplementasikan solusi tersebut. Pembenahan Coretax adalah salah satu aspek yang menjadi fokus Purbaya setelah resmi dilantik sebagai Menkeu menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada September 2025. 

    Setelah satu bulan upaya pembenahan, dia mengungkap turut mempekerjakan peretas atau hacker asal Indonesia untuk mengatasi IT Coretax. Purbaya menyebut, peretas yang dipekerjakan olehnya itu menemukan bahwa programmer yang ditugaskan LG untuk menyusun sistem perangkat lunak Coretax adalah lulusan SMA. 

    “Dia [peretas] bilang, wah ini programmer tingkat baru lulusan SMA, jadi yang dikasih ke kita bukan orang jago-jagonya kelihatannya. Jadi ya memang Indonesia sering dikibulin asing, begitu asing ‘wah’. Apalagi K-Pop, wah K-Pop nih, tapi di bidang programmer beda ya, di K-Pop, di film sama di nyanyi, programming [red] beda,” terangnya di kantor Kemenkeu, Jakarta, dikutip Sabtu (25/10/2025).

  • Wanti-wanti DPR Defisit APBN Bisa Tembus 4,4% Imbas Setoran Pajak Jeblok

    Wanti-wanti DPR Defisit APBN Bisa Tembus 4,4% Imbas Setoran Pajak Jeblok

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mewanti-wanti pemerintah bahwa defisit APBN 2025 bisa melebar tajam ke 4,4% terhadap PDB akibat penerimaan pajak yang memburuk.

    Misbakhun mengaku sudah melakukan simulasi realisasi penerimaan perpajakan sepanjang 2025 dan pengaruhnya terhadap defisit fiskal. Dia masih memakai data acuan laporan semester I/2025 yang disampaikan Kementerian Keuangan pada Juli lalu.

    Hasilnya, jika penerimaan perpajakan mencapai Rp2.241,82 pada akhir tahun atau setara 90% dari target (Rp2.490,91 triliun) maka defisit APBN 2025 akan mencapai 3,39% terhadap PDB.

    Sementara jika penerimaan perpajakan sebesar Rp2.241,82 triliun pada akhir tahun atau setara 85% dari target maka defisit bisa mencapai 3,92%. Lebih buruk lagi, jika penerimaan perpajakan Rp1.992,73 triliun pada akhir tahun atau hanya setara 80% dari target maka defisit melebar ke 4,44% dari PDB.

    “Ini mengkhawatirkan. Sementara tadi penerimaan [pajak] kita baru 70,2% [per akhir Oktober 2025]. Saya mengkhawatirkan di paling ujung, yaitu defisit,” ujar Misbakhun dalam rapat dengan Dirjen Pajak Bimo Wijayanto dan jajarannya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

    Sebagai catatan, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara sudah menetapkan ambang batas defisit anggaran sebesar 3% terhadap PDB. Artinya, jika defisit melebar ke 3,39% atau 3,92% atau bahkan 4,44% seperti simulasi Misbakhun maka pemerintah akan melanggar UU.

    Oleh sebab itu, legislator dari Fraksi Partai Golkar itu meminta penjelasan dari Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto terkait taktik hingga langkah konsolidasi untuk bisa meningkatkan penerimaan pajak, baik upaya ekstra maupun rutin.

    “Saya menyadari Pak Bimo adalah salah satu generasi baru di Direktorat Jenderal Pajak yang diharapkan pemikiran-pemikiran segarnya itu bisa memberikan visi baru, arahan baru, dan kemimpinan yang baru, untuk membawa leadership-nya Pak Bimo itu menjadi inspirasi bagi semua anak buah Bapak,” katanya.

    Komisi XI DPR, sambung Misbakhun, siap memberikan dukungan penuh atas langkah-langkah Bimo memperbaiki penerimaan pajak.

    Sementara dalam perkembangan terbaru per akhir Oktober 2025, APBN membukukan defisit sebesar Rp479,7 triliun. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa defisit APBN tersebut setara dengan 2,02% terhadap PDB.

    Pemerintah sendiri mendesain defisit APBN 2025 sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53% terhadap PDB. Kendati demikian, dalam laporan semester I/2025, DPR dan pemerintah menyetujui pelebaran defisit menjadi 2,78% dari PDB.

    Strategi DJP

    Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan masih meyakini outlook penerimaan pajak sebesar Rp2.076,92 triliun sepanjang 2025 masih bisa tercapai, didorong oleh penguatan pengawasan kepatuhan hingga optimalisasi penegakan hukum.

    Dalam paparannya, Direktur cs9xfuwr Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa realisasi penerimaan mencapai Rp1.459,03 triliun hingga Oktober 2025 atau sekitar 70,2% dari perkiraan penerimaan sepanjang tahun. Artinya, otoritas pajak harus kumpulkan Rp617,87 triliun dalam dua bulan agar outlook tersebut tercapai.

    Dari sisi jenisnya, Bimo merincikan penerimaan pajak penghasilan (PPh) Nonmigas tercatat Rp759,36 triliun hingga Oktober dan diproyeksikan mencapai Rp987,52 triliun pada akhir tahun. Sementara pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN & PPnBM) mengumpulkan Rp556,61 triliun dan ditargetkan Rp895,91 triliun.

    Selain itu, pajak bumi dan bangunan (PBB) mencatatkan realisasi Rp22,84 triliun, pajak lainnya Rp99,86 triliun, dan PPh Migas Rp20,35 triliun. DJP memperkirakan tiga pos terakhir tersebut masing-masing menutup tahun pada Rp30,08 triliun, Rp109,33 triliun, dan Rp54,08 triliun.

    Bimo menyatakan bahwa DJP telah menyiapkan empat strategi untuk mengamankan target penerimaan. Pertama, dinamisasi pembayaran pajak dari sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan.

    “[Kedua], realisasi penerimaan dari bahan-bahan kegiatan proses bisnis utama Direkturat Jenderal Pajak dari mulai kegiatan pengawasan pemeriksaan penegakan hukum dan penagihan yang sudah dilakukan sejak awal tahun,” jelasnya dalam rapat dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

    Ketiga, memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana perpajakan yang beririsan dengan kasus korupsi dan pencucian uang.

    “Untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan dan deterrent effect [efek jera],” lanjut Bimo.

    Keempat alias terakhir, memperkuat sistem administrasi dengan mengandalkan sistem Coretax. Dengan demikian, diharapkan terjadi peningkatan efisiensi proses, kualitas data, dan tingkat kepatuhan wajib pajak.

  • Komisi XI DPR desak Bea Cukai jadikan Hico-Scan sebagai aset negara

    Komisi XI DPR desak Bea Cukai jadikan Hico-Scan sebagai aset negara

    Jakarta (ANTARA) – Komisi XI DPR RI meminta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk memperkuat pengawasan arus barang dengan menjadikan alat pemindai kontainer Hico-Scan (Hi-Co Scan) sebagai aset negara.

    Dorongan ini mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Jakarta, Senin, setelah Direktur Jenderal Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama menilai keberadaan scanner tersebut terbukti efektif menutup celah penyelundupan tetapi masih berada di bawah pengelolaan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo).

    Djaka menjelaskan pemanfaatan Hico-Scan menjadi salah satu langkah konkret mengurangi kebocoran, terutama di sektor tekstil, elektronik, kosmetik, dan berbagai komoditas lain yang rentan dimasuki barang ilegal.

    Alat tersebut telah ditempatkan di sejumlah pelabuhan utama, seperti Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, hingga Belawan.

    “Seperti apa yang kemarin diteliti pada saat kunjungan Pak Menteri Keuangan (Purbaya Yudhi Sadewa) di Surabaya, itu juga adalah berdasarkan hasil Hico-Scan, termasuk juga beberapa waktu lalu kita berhasil menggagalkan ekspor fiktif yang dilakukan di kawasan berikat,” kata dia.

    Bahkan, Hico-Scan berperan dalam menggagalkan ekspor rokok yang ternyata berisikan air mineral. Namun, efektivitas itu justru memunculkan kritik dari Komisi XI DPR RI.

    Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menilai penggunaan Hico-Scan selama ini tidak optimal karena banyak peralatan di pelabuhan yang tidak berfungsi meski berada di bawah pengawasan Bea Cukai.

    “Selama ini kita tahu Bea Cukai itu punya di banyak pelabuhan, tapi selama ini enggak hidup. Kalau sekarang dihidupkan kita senang Pak. Kita beberapa kali kunker (kunjungan kerja) spesifik ke pelabuhan-pelabuhan, mengecek peralatan itu, semua enggak hidup Pak,” ujar Misbakhun.

    Sebagaimana diketahui, Hico Scan merupakan alat pemindai peti kemas dan barang menggunakan teknologi X-ray yang dipasang di pelabuhan untuk membantu pemeriksaan fisik tanpa membuka kontainer. Namun alat ini merupakan fasilitas milik Pelindo, dan dibuat oleh PT Graha Segara.

    Maka dari itu, Misbakhun langsung menyoroti persoalan tata kelola.

    Dirinya menegaskan alat sejenis itu seharusnya menjadi aset Bea Cukai agar pengawasan bisa berjalan penuh tanpa bergantung pada operator pelabuhan.

    “Ini kan sebenarnya aset bukan asetnya Bapak (Bea Cukai), sementara lalu lintas barang itu tanggung jawab Bapak. Ke depan Pak, ini enggak boleh menjadi asetnya orang lain, harus menjadi asetnya Bea Cukai, dikerjakan oleh Bea Cukai, dimiliki oleh negara, dan dioperasionalkan oleh Bea Cukai,” tegas Misbakhun.

    Ia juga mengingatkan potensi celah penyelundupan jika alat rusak atau tidak beroperasi, mengingat perangkat tersebut bekerja selama 24 jam penuh dan membutuhkan pemeliharaan intensif. Ketergantungan pada anggaran dan kebijakan Pelindo justru dinilai berisiko memperlambat perbaikan bila terjadi kerusakan.

    Maka dari itu, Misbakhun meminta Bea Cukai menyusun langkah strategis agar alat pemindai tersebut dapat menjadi aset negara, sekaligus memastikan pengawasan terhadap arus barang berjalan tanpa hambatan teknis maupun administratif.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kinerja Setoran Pajak Loyo, Ini Dua Sektor Pemicunya

    Kinerja Setoran Pajak Loyo, Ini Dua Sektor Pemicunya

    Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja penerimaan pajak dari dua sektor usaha terbesar terus mengalami tekanan pada Januari–Oktober 2025.

    Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto menjelaskan empat sektor usaha penyumbang penerimaan pajak terbesar yaitu industri pengolahan, perdagangan, pertambangan, dan keuangan.

    Industri pengolahan dan aktivitas keuangan, mencatatkan pertumbuhan positif. Sementara sektor perdagangan dan pertambangan mengalami tekanan.

    Perinciannya, penerimaan pajak sektor industri pengolahan sebagai kontributor terbesar dengan porsi 28% tumbuh 2,3% dari Rp490,9 triliun pada Januari–Oktober 2024 menjadi Rp502,3 triliun pada periode sama 2025.

    Pertumbuhan ini didorong subsektor minyak kelapa sawit akibat volume perdagangan dan harga CPO naik, logam dasar bukan besi terutama terkait sektor pengolahan.

    Kemudian, kendaraan bermotor roda empat yang ditopang dengan aktivitas investasi pembangunan pabrik-pabrik kendaraan bermotor berbasis baterai listrik, serta farmasi.

    “[Pertumbuhan industri pengolahan] konsisten selaras dengan pergerakan pertumbuhan ekonomi di sektor manufaktur [tumbuh 5,54% pada kuartal III/2025],” papar Bimo dalam rapat dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

    Sementara sektor perdagangan yang menyumbang 23% terhadap penerimaan pajak justru terkontraksi 1,6%. Penerimaan turun dari Rp420,3 triliun pada Januari–Oktober 2024 menjadi Rp413,6 triliun tahun ini.

    Pelemahan terutama terjadi pada perdagangan mobil yang turun 4,4% secara tahunan per Oktober 2025, yang terlihat dari data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Tak hanya itu, perdagangan besar berbasis jasa juga turun.

    Sejalan, sektor pertambangan yang berkontribusi 11,4% dari total penerimaan pajak juga mencatat koreksi sebesar 0,7%, sejalan dengan penurunan harga komoditas global. Penerimaan turun dari Rp207,1 triliun pada Januari–Oktober 2024 menjadi Rp205,7 triliun tahun ini.

    Bimo menjelaskan bahwa kontraksi terbesar datang dari subsektor pertambangan migas yang melemah hingga 5%. Tak hanya itu, sambungnya, harga minyak bren turun 14,4% dan harga batubara juga turun sampai 20,7%.

    Terakhir untuk sektor aktivitas keuangan kembali menjadi motor pertumbuhan dengan kenaikan 5,1% menjadi Rp207,5 triliun. Kenaikan ini ditopang peningkatan jasa perbankan, asuransi, dan layanan keuangan lainnya.

    Bimo memaparkan bahwa data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai 11,18% secara tahunan pada September 2025.

    Secara keseluruhan, Bimo memaparkan bahwa realisasi penerimaan mencapai Rp1.459,03 triliun hingga Oktober 2025 atau sekitar 70,2% dari perkiraan penerimaan sepanjang tahun. Adapun, outlook penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp2.076,92 triliun sepanjang 2025 

    Dia meyakini outlook itu masih bisa tercapai, didorong oleh penguatan pengawasan kepatuhan hingga optimalisasi penegakan hukum. Artinya, otoritas pajak harus kumpulkan Rp617,87 triliun dalam dua bulan agar outlook tersebut tercapai.

    Bimo menyatakan bahwa DJP telah menyiapkan empat strategi untuk mengamankan target penerimaan. Pertama, dinamisasi pembayaran pajak dari sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan.

    “[Kedua], realisasi penerimaan dari bahan-bahan kegiatan proses bisnis utama Direkturat Jenderal Pajak dari mulai kegiatan pengawasan pemeriksaan penegakan hukum dan penagihan yang sudah dilakukan sejak awal tahun,” jelasnya.

    Ketiga, memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana perpajakan yang beririsan dengan kasus korupsi dan pencucian uang.

    “Untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan dan deterrent effect [efek jera],” lanjut Bimo.

    Keempat alias terakhir, memperkuat sistem administrasi dengan mengandalkan sistem Coretax. Dengan demikian, diharapkan terjadi peningkatan efisiensi proses, kualitas data, dan tingkat kepatuhan wajib pajak.

  • DPR Soroti ‘Ilusi Bruto’ Setoran Pajak Purbaya: Bukan Angka Riil!

    DPR Soroti ‘Ilusi Bruto’ Setoran Pajak Purbaya: Bukan Angka Riil!

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Komisi XI DPR Harris Turino mengkritik keras kinerja penerimaan pajak yang dinilai tidak sejalan dengan narasi optimisme pemerintah.

    Harris menyebut kenaikan penerimaan pajak bruto sebesar 1,8% yang kerap disampaikan pemerintah tak berarti apa-apa karena tidak mencerminkan penerimaan riil yang tersedia untuk menopang APBN 2025.

    Menurutnya, data terakhir menunjukkan penerimaan pajak neto baru mencapai Rp1.459,03 triliun atau turun 3,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya di Rp1.517,5 triliun.

    Dengan capaian yang baru 70,2% dari outlook penerimaan pajak sepanjang tahun sebesar Rp2.077 triliun, Haris menilai ruang fiskal semakin tertekan.

    “Yang saya ngeri, target [penerimaan pajak] 2026 kita semua sepakat bahwa ini besarnya Rp2.357,7 triliun atau naik lagi 13,5% dibandingkan dengan kalau kita mencapai target outlook Lapsem. Nah ini menjadi pertanyaan besar,” ujarnya dalam rapat dengan Dirjen Pajak Bimo Wijayanto di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

    Masalahnya, jika realisasi penerimaan pajak tahun ini tidak mencapai outlook maka target tahun depan akan semakin sulit tercapai. Misalnya, jika realisasi penerimaan pajak tahun ini hanya mencapai 85% dari outlook maka target tahun depan naik 28,5%.

    Kondisi akan semakin memburuk apabila penurunan penerimaan pajak tidak diikuti dengan penyesuaian terhadap belanja. Jika penerimaan pajak tersendat namun belanja terus berjalan maka defisit APBN akan semakin melebar.

    Adapun, outlook defisit APBN 2025 sebesar 2,78% terhadap PDB dan defisit APBN 2026 sebesar 2,68% terhadap PDB. Dengan defisit APBN yang mendekati batas 3% terhadap PDB itu, dia menilai ketergantungan fiskal terhadap PPh Badan semakin riskan. 

    “Apalagi banyak program-program strategis yang kita tahu perlu pendanaan yang besar,” wanti-wanti legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu.

    Harris menyoroti lonjakan restitusi yang menurutnya tidak normal. Berdasarkan paparan, restitusi pajak penghasilan (PPh) Badan melonjak 80%, sementara restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) Dalam Negeri naik hampir 24%.

    “Ini harus ada penjelasan yang bening dan transparan. Kira-kira apa penyebabnya? Apakah Dirjen Pajak punya early warning system terhadap hal ini?” tanyanya.

    Dia mengingatkan bahwa pola yang sama terjadi tahun lalu, ketika peningkatan penerimaan bruto digenjot di akhir tahun namun diikuti tingginya restitusi sehingga penerimaan neto kembali terkoreksi.

    “Katakan [penerimaan pajak] bruto-nya nanti naik, tetapi netonya akan susah untuk tercapai karena polanya berulang. Artinya adalah 2026 nanti restitusinya lebih gede lagi,” ujarnya.

    Harris juga memberi perhatian khusus pada pelemahan dua sektor dengan kontribusi besar yaitu perdagangan dan pertambangan yang menyumbang 34% total penerimaan pajak. Dalam paparan Ditjen Pajak, sektor perdagangan turun 1,6%, sementara pertambangan merosot 0,7% per Januari–Oktober 2025.

    “Direktorat Jenderal Pajak perlu menyajikan elasticity analysis antara pertumbuhan sektoral dan penerimaan pajak. Jangan hanya trend saja,” tegasnya.

    Dia turut menyoroti kenaikan PPh Badan bruto sebesar 7,1% yang dinilai tidak bisa dijadikan gambaran kesehatan ekonomi 2025. Menurutnya, pertumbuhan itu lebih disebabkan kinerja korporasi pada 2024 termasuk faktor harga sawit yang sempat tinggi.

    Harris menegaskan bahwa Komisi XI DPR membutuhkan bukan sekadar paparan teknis, tetapi strategi konkret dengan analisa risiko, timeline jelas, dan proyeksi realistis.

  • DJP sebut TER picu kontraksi penerimaan PPh orang pribadi dan PPh 21

    DJP sebut TER picu kontraksi penerimaan PPh orang pribadi dan PPh 21

    Ada penurunan PPh orang pribadi dan PPh 21 akibat terdampak TER di awal tahun.

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Bimo Wijayanto mengatakan kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) menyebabkan kontraksi penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dan PPh 21.

    Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan dari jenis pajak PPh OP dan PPh 21 tercatat sebesar Rp191,66 triliun atau turun 12,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    “Ada penurunan PPh orang pribadi dan PPh 21 akibat terdampak TER di awal tahun,” kata Bimo dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Senin.

    Merespons laporan tersebut, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun meminta DJP untuk merasionalisasikan kebijakan TER agar tak membuat penerimaan pajak terus terkontraksi.

    Bimo pun menyatakan akan kembali meninjau data dan melakukan normalisasi perhitungan TER. Di samping itu, Bimo juga akan mempelajari realokasi deposit per jenis pajak.

    Sebagai informasi, kebijakan TER yang telah diterapkan sejak Januari 2024 dirumuskan dengan desain yang menyederhanakan penghitungan pajak bila dibandingkan dengan tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh. Namun, penerapan tarif TER kerap menimbulkan lebih bayar, sehingga otoritas pajak perlu melakukan restitusi kepada wajib pajak.

    Adapun penerimaan pajak per Oktober 2025 secara umum tercatat melambat bila dibandingkan dengan tren tahun lalu.

    Realisasi penerimaan pajak neto mencapai Rp1.459,03 triliun per Oktober 2025 atau setara 70,2 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

    Bila ditinjau per jenis pajak, penerimaan PPh badan tercatat senilai Rp237,56 triliun, atau terkoreksi 9,6 persen year on year (yoy) dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

    Lalu, PPh orang pribadi dan PPh 21 tercatat senilai Rp191,66 triliun, atau terkoreksi 12,8 persen (yoy) dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

    Kemudian, PPh final, PPh 22 dan PPh 26 tercatat senilai Rp275,57 triliun, atau terkoreksi 0,1 persen (yoy) dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

    Selanjutnya, penerimaan PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tercatat senilai Rp556,61 triliun, atau terkoreksi 10,3 persen (yoy) dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Adapun penerimaan pajak lainnya tercatat senilai Rp197,61 triliun.

    Menurut Bimo, salah satu faktor melambatnya penerimaan pajak tahun ini adalah lonjakan restitusi atau pengembalian pajak yang mencapai 36,4 persen.

    Secara nilai, restitusi pajak tercatat sebesar Rp340,52 triliun, salah satunya berasal dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan Rp93,80 triliun. Nilai ini tumbuh 80 persen dari periode yang sama tahun lalu.

    Kemudian, dari pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri sebesar Rp238,86 triliun yang tumbuh 23,9 persen serta jenis pajak lainnya Rp7,87 triliun atau naik 65,7 persen.

    Namun, meski restitusi menyebabkan perlambatan penerimaan pajak, Bimo memastikan pengembalian pajak ini berdampak positif lantaran bisa menggeliatkan gerak perekonomian.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DJP: 79 ribu Kopdes Merah Putih telah terdaftar di Coretax

    DJP: 79 ribu Kopdes Merah Putih telah terdaftar di Coretax

    Jakarta (ANTARA) – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat sebanyak 79.182 dari 82.797 Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih berbadan hukum telah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang terdata dalam sistem Coretax.

    “Tercatat 95,6 persen, atau dalam angka nominal 79.182 Kopdes Merah Putih berbadan hukum yang sudah terdaftar dan memiliki NPWP di Coretax,” kata Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin.

    Bimo mengatakan pihaknya melayani pendaftaran NPWP Kopdes Merah Putih di sistem Coretax sebagai bentuk dukungan terhadap program prioritas nasional yang digagas oleh Presiden RI Prabowo Subianto serta Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka.

    Terdaftarnya NPWP Kopdes Merah Putih dalam Coretax akan membantu tiap koperasi mengurus administrasi pajak dengan lebih mudah.

    “Ini dukungan kami terhadap program prioritas nasional,” ujarnya.

    Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 17/ 2025 tentang Percepatan Pembangunan Fisik Gerai, Pergudangan dan Kelengkapan Kopdes/Kel Merah Putih, pembangunan hingga operasional seluruh Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih ditargetkan rampung pada 2026.

    Menteri Koperasi Ferry Juliantono mengatakan telah menandatangani Keputusan Bersama (SKB) untuk melakukan akselerasi pembangunan gerai, pergudangan, dan fasilitas Kopdes Merah Putih dengan lintas sektoral terutama dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, BP BUMN dan BPI Danantara.

    Kemenkop juga telah menggandeng Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk memberikan supervisi teknis terkait pembangunan gerai, gudang dan aset fisik lainnya.

    Sementara itu, PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero), yang ditunjuk untuk melaksanakan pembangunan fisik gerai dan gudang Kopdes Merah Putih berdasarkan SKB No. 17/2025, telah menyelesaikan pembangunan 15.788 bangunan per 18 November 2025, setara 16,44 persen.

    Agrinas juga memasang target pembangunan 2.930 titik per hari, meski jumlah realisasi baru tercatat sebanyak 1.200 titik.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ketua Komisi XI DPR Cecar Dirjen Pajak Soal Sistem Coretax Digarap Anak SMA

    Ketua Komisi XI DPR Cecar Dirjen Pajak Soal Sistem Coretax Digarap Anak SMA

    Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun meminta klarifikasi Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto. Terutama mengenai kabar sistem coretax digarap oleh pihak selevel ‘anak SMA’.

    Dia meminta klarifikasi Bimo mengenai hal tersebut. Apalagi, sistem coretax ini pula yang sempat menjadi perhatian Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa beberapa waktu lalu.

    “Perlu diklarifikasi pak pernyataan dan statement-nya Menteri Keuangan yang mengatakan bahwa coretax itu programmer-nya dari vendornya itu lulusan SMA, ini yang ngomong Menkeu loh,” kata Misbakhun dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirjen Pajak Kemenkeu, Senin (24/11/2025).

    Dia mempertanyakan alasan penggunaan pihak ketiga dari luar negeri yang setara dengan lulusan SMA, termasuk lamanya waktu persiapan coretax sebelum efektif digunakan. Dia juga menyoroti kalau Presiden Prabowo Subianto yang lebih memilih produk lokal ketimbang produk luar negeri.

    “Pak presiden kita aja pak, ada mobil mercy, ada BMW ada rolls-royce, pakainya Maung pak, produksi dalam negeri, rekayasa engineering-nya dalam negeri,” tegas dia.

    “Nah kalau yang seperti ini, kita harus klarifikasi mengenai coretax ini. Dan saya butuh kejelasan karena berita terakhirnya itu pak Purbaya, yang diakhir Oktober itu masih menyampaikan banyak kelemahan-kelemahan di coretax,” sambung Misbakhun.

     

  • DJP: Penerimaan pajak melambat akibat lonjakan restitusi 36,4 persen

    DJP: Penerimaan pajak melambat akibat lonjakan restitusi 36,4 persen

    Restitusi ini artinya uang kembali ke masyarakat, sehingga dengan restitusi dan kas yang diterima oleh masyarakat, termasuk sektor swasta, tentu bertambah dan bisa meningkatkan aktivitas geliat perekonomian,

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengatakan, perlambatan penerimaan pajak per Oktober 2025 disebabkan oleh restitusi atau pengembalian pajak yang melonjak signifikan sebesar 36,4 persen.

    “Restitusi melonjak sekitar 36,4 persen, sehingga walaupun penerimaan pajak brutonya sudah mulai positif, penerimaan netonya masih mengalami penurunan,” kata Bimo dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin.

    Secara nilai, restitusi pajak tercatat sebesar Rp340,52 triliun, salah satunya berasal dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan Rp93,80 triliun. Nilai ini tumbuh 80 persen dari periode yang sama tahun lalu.

    Kemudian, dari pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri sebesar Rp238,86 triliun yang tumbuh 23,9 persen serta jenis pajak lainnya Rp7,87 triliun atau naik 65,7 persen.

    Namun, meski restitusi menyebabkan perlambatan penerimaan pajak, Bimo memastikan pengembalian pajak ini memiliki dampak positif terhadap perekonomian.

    “Restitusi ini artinya uang kembali ke masyarakat, sehingga dengan restitusi dan kas yang diterima oleh masyarakat, termasuk sektor swasta, tentu bertambah dan bisa meningkatkan aktivitas geliat perekonomian,” ujarnya.

    Berdasarkan laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per akhir Oktober 2025, realisasi penerimaan pajak neto mencapai Rp1.459,03 triliun atau setara 70,2 persen dari target.

    Rinciannya, penerimaan PPh badan tercatat senilai Rp237,56 triliun, atau terkoreksi 9,6 persen year on year (yoy) dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

    Lalu, PPh orang pribadi dan PPh 21 tercatat senilai Rp191,66 triliun, atau terkoreksi 12,8 persen (yoy) dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

    Kemudian, PPh final, PPh 22 dan PPh 26 tercatat senilai Rp275,57 triliun, atau terkoreksi 0,1 persen (yoy) dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

    Selanjutnya, penerimaan PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tercatat senilai Rp556,61 triliun, atau terkoreksi 10,3 persen (yoy) dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Adapun penerimaan pajak lainnya tercatat senilai Rp197,61 triliun.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pemerintah Kantongi Pajak Rp 1.799,5 Triliun per Oktober 2025

    Pemerintah Kantongi Pajak Rp 1.799,5 Triliun per Oktober 2025

    Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah sudah mengantongi pajak senilai Rp 1.799,55 triliun hingga Oktober 2025 ini. Jumlah ini naik sekitar 1,8% dari tahun lalu dengan penipang kenaikan dari sektor Pajak Penghasilan (PPh) Badan.

    Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto menuturkan setoran pajak sepanjang Januari-Oktober 2025 ini lebih tinggi sedikit dibandingkan periode yang sama pada 2024 lalu.

    “Secara bruto memang alhamdulillah kami selama 8 bulan terakhir sudah mencatat nilai yang positif walaupun tipis-tipis,” kata Bimo dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR, Senin (24/11/2025).

    Mengutip data yang ditampilkannya, secara bruto memang pendapatan pajak RI naik 1,8% dari Rp 1.767,13 triliun di Januari-Oktober 2024 menjadi Rp 1.799,55 triliun di Januari-Oktober 2025. Setoran positif tercatat pada Maret-Oktober 2025, sedangkan Januari-Februari 2025 negatif.

    Melihat angka setoran pajak bruto, PPh Badan menyumbang pertumbuhan tertinggi dengan 5,3%, sedangkan, PPh Final, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 26 naik 0,3 persen. Sementara itu, PPh Oramg Pribadi dan PPh Pasal 21 anjlok 12,6%, serta PPN dan PPnBM turun 2,1%.

    “Yang mengalami pertumbuhan di sisi bruto itu PPh Badan 5,3%, kemudian tentu ini menggambarkan profitabilitas dari korporasi-korporasi yang menjadi wajib pajak penyumbang penerimaan, selain itu juga PPh final, PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 26,” kata Bimo.

    “Ada beberapa penurunan dari sisi bruto, yang pertama itu PPH orang pribadi dan PPh Pasal 21, ini akibat adanya dampak TER (tarif efektif rata-rata) di awal tahun kemudian PPN dan PPnBM juga mengalami penurunan 2,1% karena masih terdapatnya setoran ada di deposit,” sambungnya menjelaskan.