Kementrian Lembaga: Komisi XI DPR RI

  • DPR Minta DJP Sinergikan Dua Sistem Pajak untuk Antisipasi Coretax

    DPR Minta DJP Sinergikan Dua Sistem Pajak untuk Antisipasi Coretax

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi XI DPR meminta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tetap menjalankan sistem pajak lama bersamaan dengan penerapan core tax administration system (Coretax). Langkah ini bertujuan untuk membantu wajib pajak yang masih mengalami kesulitan dalam menggunakan sistem baru.

    Kesepakatan ini dihasilkan dalam rapat antara Komisi XI DPR dan DJP di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (10/2/2025). Ketua Komisi XI DPR Misbakhun menegaskan, DJP harus tetap memanfaatkan sistem perpajakan lama untuk memastikan penerimaan pajak tidak terganggu.

    “DJP Kemenkeu agar memanfaatkan kembali sistem perpajakan lama sebagai mitigasi dalam implementasi Coretax yang masih terus disempurnakan,” ujar Misbakhun.

    Sejak diterapkan mulai 1 Januari 2025 banyak wajib pajak yang mengalami kesulitan saat menggunakan Coretax. Terkait hal itu, DPR meminta DJP agar tidak mengenakan sanksi terhadap wajib pajak yang diakibatkan oleh gangguan penerapan sistem Coretax pada 2025. 

    Sampai dengan 3 Februari 2025 pukul 23.59 WIB, wajib pajak yang telah berhasil memperoleh sertifikat digital atau sertifikat elektronik untuk keperluan penandatanganan faktur pajak dan bukti potong Pajak Penghasilan  (PPh) berjumlah 508.679. 

    Sementara itu, jumlah wajib pajak yang telah menerbitkan faktur pajak yaitu sebesar 218.994. Jumlah faktur pajak yang telah diterbitkan untuk masa Januari 2025 yaitu sebesar 30.143.543 dengan jumlah faktur pajak telah divalidasi atau disetujui sebesar 26.313.779.

    “Upaya penyempurnaan sistem pajak baru Coretax juga dilakukan dengan  memperkuat cyber security (keamanan siber). DJP melaporkan perkembangan sistem Coretax kepada Komisi XI DPR secara berkala,” kata Misbakhun.

    Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyatakan, DJP terus memantau implementasi Coretax, termasuk perubahan jadwal penyampaian SPT dan penyetoran pajak.

    “Ada perubahan terkait penyampaian SPT dan penyetoran PPh Pasal 21. Sebelumnya batas waktu pada Senin (10/2/2025), kini menjadi Sabtu (15/2/2025),” ujar Suryo.

    DJP berkomitmen untuk menjaga stabilitas penerimaan negara selama masa transisi ke sistem pajak baru, yaitu Cortex.

  • Dasco Minta Pimpinan Komisi DPR Tunda Rapat Pembahasan Efisiensi Anggaran, Ada Apa?

    Dasco Minta Pimpinan Komisi DPR Tunda Rapat Pembahasan Efisiensi Anggaran, Ada Apa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad meminta pimpinan komisi parlemen untuk menunda rapat pembahasan efisiensi anggaran dengan kementerian/lembaga mitra kerjanya masing-masing.

    Dalam surat bernomor B/1972/PW.11.01/2/2025 tertanggal 7 Februari 2025, Dasco menyampaikan pemerintah akan melakukan rekonstruksi anggaran kembali.

    Oleh sebab itu, dia meminta pimpinan Komisi I—XIII DPR untuk menunda rapat pembahasan efisiensi anggaran bersama kementerian/lembaga seperti yang sebelumnya diinstruksikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

    Bahkan, jika sudah ada komisi yang sudah melakukan pembahasan efisiensi anggaran dengan kementerian/lembaga mitra kerjanya maka Dasco meminta untuk pelaksanaan rapat ulang setelah adanya hasil rekonstruksi anggaran terbaru.

    Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbhakun mengonfirmasi ada edaran surat tersebut melalui WhatsApp Group. Kendati demikian, dia meminta waktu untuk membaca secara teliti surat tersebut.

    “Saya baru terima suratnya,” ujar Misbhakun di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).

    Politisi Partai Golkar itu mengaku juga sudah merencanakan rapat dengar Kementerian Keuangan sebagai mitra kerja Komisi XI untuk membahas efisiensi anggaran.

    Kendati demikian, sambungnya, Kementerian Keuangan meminta agar rapat ditunda terlebih dahulu karena adanya rekonstruksi kembali anggaran oleh pemerintah.

    “Mereka semuanya menunggu hasil pembahasan akhir,” jelas Misbhakun.

    Lebih dari itu, dia mengaku tidak mau memberi komentar. Misbhakun menyatakan rekonstruksi kembali anggaran merupakan wewenang pemerintah, bukan parlemen.

    Salinan surat DPR nomor B/1972/PW.11.01/2/2025 tentang penundaan rapat pembahasan efisiensi anggaran dari kementerian/lembaga yang beredar di grup-grup aplikasi pengirim pesan. / IstimewaPerbesar

  • Alasan DPR Terima Usulan Bos Pajak Bahas Coretax Tertutup, Simak!

    Alasan DPR Terima Usulan Bos Pajak Bahas Coretax Tertutup, Simak!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengungkapkan alasan persetujuan para anggota dewan terhadap permintaan Dirjen Pajak Suryo Utomo supaya rapat dengar pendapat terkait sistem Coretax digelar secara tertutup.

    Misbakhun mengatakan, pembahasan rapat itu digelar secara tertutup demi menghindari potensi kegaduhan selama rapat berlangsung. Ia mengingatkan, persoalan pajak sangat strategis karena menyangkut penerimaan negara.

    “Kita minta maaf kepada teman-teman rapat ini kita tertutup karena permintaan dan disepakati bersama rapat kita buat tertutup untuk menghindari kegaduhan-kegaduhan yang kita anggap tidak kondusif,” kata Misbakhun seusai rapat yang digelar sekitar empat jam itu di ruang rapat Komisi XI, Jakarta, Senin (10/2/2025)

    “Nanti tidak memberikan daya dukung yang kondusif karena pajak ini sangat strategis bagi penerimaan negara,” tegasnya.

    Dalam rapat itu, Misbakhun mengaku para anggota dewan sebetulnya meminta supaya implementasi sistem coretax yang kerap menghadapi masalah sejak diimplementasi pada 1 Januari 2025 ditunda sampai pembenahannya selesai.

    Namun, hasil dari rapat selama empat jam itu menghasilkan kesepakatan sistem coretax tetap berjalan bagi pelayanan administrasi para wajib pajak, bersamaan dengan kembali dibukanya layanan lama yang melalui sistem DJP Online.

    “Tadi kita menyimpulkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak agar memanfaatkan kembali sistem perpajakan yang lama, agar ya bahasanya ya, antisipasi dalam mitigasi implementasi coretax yang masih terus disempurnakan agar tidak mengganggu kolektivitas penerimaan pajak,” ungkap Misbakhun.

    Sebagaimana diketahui, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo meminta rapat dengar pendapat atau RDP tentang sistem Coretax dilakukan secara tertutup.

    Permintaan ini ia sampaikan setelah ditawari Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun apakah RDP tentang Coretax mau digelar secara terbuka atau tertutup.

    “Kalau diizinkan pimpinan rapat dilakukan secara tertutup,” ucap Suryo di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (10/2/2025).

    Merespons permintaan Suryo itu, Misbakhun lalu meminta pendapat para anggota dewan di Komisi XI, mereka juga menyatakan setuju rapat coretax digelar tertutup.

    “Maka rapat ini saya nyatakan tertutup untuk umum,” tegas Misbakhun.

    Rapat yang dihadiri 15 anggota DPR dari dari 6 fraksi itu mulai sekitar pukul 10.28 WIB. RDP itu dipimpin oleh Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun.

    “Telah dihadiri sebanyak 15 anggota, terdiri 6 fraksi dari 48 anggota Komisi XI yang terdiri dari 8 fraksi. Dengan demikian kuorum sebagaimana ditentukan dalam pasal 279 dan 281 peraturan DPR RI nomor 1 tahun 2020 tentang tata tertib telah terpenuhi,” kata Misbakhun saat membuka rapat.

    (arj/mij)

  • Komisi XI DPR Minta Implementasi Penuh Coretax Ditunda, Jalan Paralel dengan Sistem Lama

    Komisi XI DPR Minta Implementasi Penuh Coretax Ditunda, Jalan Paralel dengan Sistem Lama

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi XI DPR meminta Direktorat Jenderal Pajak menunda implementasi penuh sistem inti administrasi perpajakan alias Coretax, usai masih ditemukan banyak permasalahan setelah diluncurkan pada 1 Januari 2025. Aplikasi Coretax pun akan berjalan bersama sistem lama.

    Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menjelaskan permintaan sesuai kesimpulan rapat dengar pendapat antara Komisi XI DPR dengan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo dan jajarannya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Senin (10/2/2025).

    Misbhakun menyatakan Komisi XI sepakat agar Direktorat Jenderal Pajak memanfaatkan kembali sistem perpajakan yang lama sebagai antisipasi dalam mitigasi implementasi Coretax yang masih terus disempurnakan.

    “Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menjamin bahwa sistem IT apapun yang digunakan tidak akan mempengaruhi upaya kolektivitas penerimaan pajak di APBN Tahun Anggaran 2025,” ujar Misbhakun dalam konferensi pers usai rapat.

    Selain itu, sambungnya, Komisi XI DPR meminta Direktorat Jenderal Pajak menyiapkan peta jalan (roadmap) implementasi Coretax berbasis resiko yang paling rendah dan mempermudah pelayanan terhadap wajib pajak.

    Komisi XI juga meminta Direktorat Jenderal Pajak tidak mengenakan sanksi terhadap wajib pajak yang diakibatkan oleh gangguan penerapan sistem Coretax selama 2025. Anggota parlemen juga meminta Direktorat Jenderal Pajak menyempurnakan sistem Coretax dengan memperkuat sistem keamanan sibernya.

    “Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan melaporkan perkembangan sistem Coretax kepada Komisi XI DPR RI secara berkala,” tutup Misbhakun.

    Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyatakan pihaknya akan segera menyiapkan peta jalan implementasi Coretax setelah Komisi XI DPR meminta ditunda penerapannya.

    Setelah ini, sambungnya, Direktorat Jenderal Pajak akan kembali menerapkan sistem perpajakan yang lama seperti DJP Online, e-Faktur Desktop, dan lain-lain. Kendati demikian, sambungnya, Coretax juga akan tetap bisa digunakan.

    “Jadi kita menggunakan dua sistem ya,” kaya Suryo.

    Sebelumnya, gangguan pengaplikasian Coretax sudah mendapatkan banyak sorotan dari wajib pajak bahkan pejabat negara sendiri. Setidaknya sudah ada dua pejabat tinggi negara yang mengunjungi markas Ditjen Pajak untuk mengecek langsung pengimplementasian Coretax.

    Misalnya Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan pada Selasa (14/1/2025). Meski masih kerap ditemukan permasalahan, namun Luhut meyakini sistem Coretax lambat laun akan beroperasi dengan baik.

    “Saya juga mendorong keberlanjutan layanan bantuan [helpdesk] selama masa implementasi awal ini agar tantangan yang dihadapi dapat segera diatasi,” ujar Luhut dalam keterangannya, Selasa (14/1/2025).

    Tidak hanya Luhut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga sempat mengunjungi ke Kantor Ditjen Pajak pada Senin (3/2/2025).

    Airlangga memastikan bahwa Kemenko Perekonomian memberi dukungan penuh atas pengaplikasian Coretax. Apalagi, sambungnya, kesuksesan Coretax akan mempengaruhi penerimaan negara.

    “Jadi, itu yang kami pastikan saja supaya penerimaan anggaran tidak terganggu dengan implementasi Coretax yang tentu perlu penyempurnaan,” ujar Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (3/2/2025).

  • Kasus Dugaan Korupsi CSR, KPK Panggil Pejabat BI dan OJK

    Kasus Dugaan Korupsi CSR, KPK Panggil Pejabat BI dan OJK

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil sejumlah pejabat dari Bank Indonesia (BI) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk diperiksa di kasus dugaan korupsi corporate social responsibility (CSR) di lembaga tersebut.

    Terdapat total lima orang saksi yang hari ini dipanggil KPK pada kasus dugaan korupsi BI dan OJK.

    Empat di antaranya adalah Analis Implementasi PSBI Bank Indonesia Tri Subandoro dan Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tahun 2021 s.d. 2024 Erwin Haryono. 

    Kemudian, Kepala Departemen Pengendalian Kualitas dan Pengembangan Pengawasan Perbankan Indarto Budiwitono dan Kepala Departemen Sekretariat Dewan Komisioner dan Hubungan Kelembagaan OJK Oktober 2022 s.d. Februari 2024 Enrico Hariantoro. 

    “Hari ini Senin (10/2) KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi terkait dugaan TPK dana CSR di Bank Indonesia. Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih,” ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto kepada wartawan, Senin (10/2/2025). 

    Satu orang saksi lainnya, yakni Bendahara Yayasan Abhinaya Dua Lima Fatimatuzzahroh. 

    Seret Dua Anggota DPR

    Untuk diketahui, KPK telah memulai penyidikan dugaan korupsi terkait dengan program CSR BI.

    Dugaan rasuah itu diduga melibatkan sejumlah anggota DPR Komisi XI atau Komisi Keuangan periode 2019-2024. Namun, belum ada tersangka yang sudah ditetapkan.

    Berdasarkan catatan Bisnis, penyidik KPK telah memeriksa sejumlah saksi dan menggeledah beberapa tempat terkait, antara lain kantor BI dan OJK, serta dua rumah milik anggota DPR Komisi XI 2019-2024 Satori dan Heri Gunawan.  

    KPK juga sebelumnya pernah memeriksa Satori dan Heri Gunawan pada Desember 2024 lalu.

    Sebelumnya, Direktur Penyidikan KPK Brigjen Pol Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa lembaga antirasuah menduga dana CSR yang disalurkan bank sentral itu diterima oleh penyelenggara negara melalui yayasan.

    KPK menduga terjadi penyimpangan, di mana CSR diberikan ke penyelenggara negara melalui yayasan yang direkomendasikan, namun tak sesuai peruntukannya. 

    Uang dana CSR, atau Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) itu pun, kata Asep, diduga sempat berpindah-pindah rekening sebelum terkumpul lagi ke satu rekening yang diduga merupakan representasi penyelenggara negara.

    Bahkan, dana itu sudah ada yang berubah bentuk ke aset seperti bangunan hingga kendaraan. 

    Sebagaimana dana CSR, bantuan sosial itu harusnya disalurkan ke dalam bentuk seperti perbaikan rumah tidak layak huni hingga beasiswa. 

    “Ada yang dalam bentuk bangunan, ada yang dalam bentuk kendaraan dan lain-lain. Jadi di situ penyimpangannya tidak sesuai peruntukkannya. Harusnya, dana CSR yang diberikan kepada mereka, dititipkan lah karena mereka merekomendasikan yayasan. Harusnya disalurkan.

    Lembaga antirasuah mendalami bagaimana pemilihan yayasan penerima dana PSBI itu. Ada dugaan yayasan dimaksud mendapatkan dana CSR bank sentral melalui rekomendasi, atau karena terafiliasi dengan anggota Komisi XI DPR. 

    Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso memastikan bahwa penyaluran CSR BI dilakukan dengan tata kelola/ketentuan yang benar. 

    “Proses pemberian PSBI senantiasa dilakukan sesuai tata kelola/ketentuan yang benar, mencakup tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dengan menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan kemanfaatan,” tuturnya, Minggu (29/12/2024).

  • Bahas Coretax, DPR dan Ditjen Pajak Rapat Tertutup – Halaman all

    Bahas Coretax, DPR dan Ditjen Pajak Rapat Tertutup – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – DPR RI dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menggelar rapat mengenai pengaturan dan pengawasan Coretax system secara tertutup.

    Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mulanya mengatakan bahwa rapat telah dihadiri 15 anggota terdiri dari 6 fraksi dari 48 anggota Komisi XI yang terdiri dari 8 fraksi.

    “Dengan demikian, kuorum sebagaimana ditentukan dalam pasal 279 dan pasal 281, peraturan DPR RI nomor 1 tahun 2020 tetntang tata tertib telah terpenuhi,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/2/2025).

    “Untuk itu dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, izinkanlah kami membuka rapat dengar pendapat dengan Komisi XI dengan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan,” lanjutnya.

    Misbakhun lalu menawarkan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo apakah rapat ini mau dilakukan secara terbuka atau tertutup untuk umum.

    Suryo pun menjawab, jika diizinkan, rapatnya bisa dilaksanakan secara tertutup.

    “Kalau diizinkan pimpinan, rapat dilakukan secara tertutup,” kata Suryo.

    Misbakhun lalu bertanya kepada para anggota yang hadir apakah setuju rapatnya dilakukan secara tertutup. Mereka pun setuju.

    “Rapat ini saya nyatakan tertutup untuk umum,” ujar Misbakhun.

    Sebagai informasi, Coretax adalah sistem teknologi informasi terbaru yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengintegrasikan seluruh layanan administrasi perpajakan di Indonesia.

    Sistem ini bertujuan untuk menggantikan sistem perpajakan lama yang sebelumnya terfragmentasi menjadi satu platform terpadu. 

    Sehingga, proses bisnis inti administrasi perpajakan dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak dilakukan dalam satu wadah. 

    Namun sayangnya, sistem ini menuai berbagai keluhan dari wajib pajak sejak diimplementasikan pada 1 Januari 2025.

    Mulai dari kendala sertifikat digital, pembuatan faktur pajak, hingga gangguan teknis pada server dan antarmuka pengguna, semua menjadi keluhan dari Wajib Pajak di berbagai media sosial.

    Suryo Utomo pernah menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan oleh tingginya volume pengguna dan akses yang dilakukan secara bersamaan.

    Ia menyebutkan bahwa masalah ini timbul karena Coretax merupakan sistem yang baru dan banyak diakses oleh berbagai pihak untuk melakukan transaksi sekaligus.

    “Kendala utamanya karena memang volumenya tinggi, barang baru, kemudian diakses seluruh pihak, dan pada waktu mengakses bukan hanya mencoba, tapi juga bertransaksi. Ini situasi yang kami betul-betul hadapi,” katanya dalam konferensi pers APBN 2024 di Jakarta, Senin (6/1/2025).

    Menurut Suryo, akibat terlalu banyaknya akses yang dilakukan secara bersamaan, sistem Coretax menjadi terpengaruh. Hal ini menyebabkan terjadinya beberapa gangguan teknis.

    Ia mengatakan Direktorat Jenderal Pajak terus melalukan fine tuning selama 24 jam.

    Suryo juga mengungkapkan bahwa sistem ini tidak bisa berdiri sendiri karena terhubung dengan sistem lain seperti penyedia jaringan telekomunikasi.

    “Dalam 7 hari terus berjalan, mereka berjalan mengumpulkan permasalahan troubleshooting yang ada, termasuk kendala mengenai infrastruktur karena sistem tidak bisa berdiri sendiri karena kita terkait dengan sistem dari pihak lain. Contoh kata misalnya vendor penyedia jaringan telekomunikasi,” ujar Suryo.

    Direktorat Jenderal Pajak pun telah memperlebar kapasitas bandwidth dan mengoptimalkan sistem untuk mengatasi lonjakan beban akses.

    Suryo juga menegaskan bahwa masyarakat wajib pajak tidak perlu khawatir jika terjadi keterlambatan dalam pelaporan atau penerbitan faktur karena masalah pada sistem Coretax.

    “Masyarakat wajib pajak tidak perlu khawatir apabila dalam implementasi ini mungkin ada keterlambatan penerbitan faktur atau pelaporan,” ucap Suryo.

    “Nanti kami pikirkan supaya tidak ada beban tambahan kepada masyarakat pada waktu menggunakan sistem yang baru,” lanjutnya.

    Ia memastikan Direktorat Jenderal Pajak terus mengikuti dan memantau keluhan dari masyarakat, baik wajib pajak maupun pemangku kepentingan lain.

    Pemerintah Tergesa-gesa

    Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rachmat menilai bahwa peluncuran Coretax tampak tergesa-gesa demi memenuhi target timeline.

    “Agaknya pemerintah dalam hal ini DJP memang terkesan memaksakan diri untuk memenuhi target timeline peluncuran pada 1 Januari 2025,” ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Minggu (5/1).

    Secara prosedural, Ariawan bilang, sebelum mulai meluncurkan aplikasi secara publik, seharusnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan uji coba menyeluruh.

    Meski uji coba pengguna telah dilakukan pada akhir 2024, agaknya feedback dari pengguna belum dijadikan landasan untuk penyempurnaan lebih lanjut sebelum peluncuran Coretax.

    Ariawan menjelaskan bahwa idealnya, sebuah sistem digital seperti Coretax memerlukan tahapan pengujian yang matang. Ini termasuk pengujian kapasitas, responsivitas, dan sinkronisasi data yang tampaknya belum dilakukan secara optimal.

    Oleh karena itu, masalah-masalah yang muncul di awal peluncuran ini mengindikasikan bahwa Coretax masih jauh dari kata sempurna.

    “Ke depan saya yakin masih banyak tantangan dan perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan DJP. Entah itu dari sisi kapasitas server, user interface ataupun user experience, bahkan keamanan sistem,” katanya.

    Ia menyarankan agar DJP Kemenkeu lebih membuka diri terhadap masukan dari pengguna serta meminta feedback yang luas untuk membantu mengidentifikasi dan memperbaiki kelemahan sistem.

    “Kasus-kasus yang ada di lapangan dijadikan data awal untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang dilakukan,” imbuhnya.

  • Bahas Masalah Coretax di DPR, Dirjen Pajak Minta Rapat Dilakukan Tertutup

    Bahas Masalah Coretax di DPR, Dirjen Pajak Minta Rapat Dilakukan Tertutup

    Jakarta

    Komisi XI DPR RI membahas pengaturan dan pengawasan Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax bersama Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo. Rapat dilakukan secara tertutup.

    Rapat dipimpin Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun dan dimulai pukul 10.28 WIB. Awalnya pimpinan menanyakan kepada Suryo apakah rapat mau dilakukan secara terbuka atau tertutup.

    “Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, izinkanlah kami membuka rapat dengar pendapat Komisi XI DPR RI dengan Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu. Saya tawarkan ini ke Dirjen Pajak, apakah rapat ini dibuka atau tertutup? Nanti baru saya tawarkan kepada anggota,” kata Misbakhun di Ruang Komisi XI DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).

    “Kalau diizinkan pimpinan, rapat dilakukan secara tertutup. Terima kasih,” jawab Suryo.

    Suryo didampingi oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan Yon Arsal, dan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi.

    Setelah Suryo meminta izin untuk rapat dilakukan secara tertutup, pimpinan pun mengiyakan permintaan tersebut setelah disetujui juga oleh para anggota.

    “Bagaimana, anggota? Setuju, ya? Oke. Maka rapat ini saya nyatakan tertutup untuk umum,” ujar Misbakhun yang diikuti ketuk palu.

    “Minta tolong silakan untuk ditutup, yang tidak berhak untuk mendengarkan silakan keluar,” tambah Misbakhun.

    Sebagai informasi, Coretax yang baru diberlakukan DJP mulai 1 Januari 2025 banjir keluhan dari masyarakat karena sulit diakses. Keluhan yang disampaikan pun beragam mulai dari periode pelaporan maupun transaksi pajak.

    Saksikan juga Blak-blakan: Menguak Rahasia Untung Kilang Minyak Paling ‘Rumit’ Se-Indonesia

    (aid/ara)

  • Menteri Ara Bakal Panggil Bos Danantara hingga Himbara Bahas Program 3 Juta Rumah

    Menteri Ara Bakal Panggil Bos Danantara hingga Himbara Bahas Program 3 Juta Rumah

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait mengatakan pihaknya sudah mengundang Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), Direktur Utama Himbara sampai Menteri BUMN untuk membahas program proyek 3 juta rumah.

    Adapun posisi Pandu Sjahrir di dalam BPI Danantara tersebut memang belum ada informasi resmi dari pemerintah. Namun, sosok Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia tersebut menjadi nama yang sering di-endorse Ara sebagai Bos BPI Danantara. Saat ini, Kepala BPI Danantara dijabat oleh eks Deputi Gubernur BI Muliaman Darmansyah Hadad.

    “Kita hari Selasa akan diskusi dengan Gubernur Bank Indonesia, saya undang Pak Misbakhun [Ketua Komisi XI DPR RI] dan ajak Pak Erick Thohir, Pak Pandu dari Danantara, dan kita bicara dengan Pak Perry, bersama dengan kawan-kawan perbankan untuk bagaimana menjawab soal pembiayaan yang disampaikan Pak Nixon [Dirut BTN]. Karena isu yang pokok adalah pendanaan, lahan, perizinan dan bagaimana hal itu tepat sasaran dan kualitas rumahnya juga,” kata Ara saat menghadiri peluncuran super aps Bale by BTN di Istora Senayan, Minggu (9/2/2025).

    Ara melanjutkan, pertemuan di hari Selasa pekan depan tersebut merupakan lanjutan dari lawatannya keliling menemui setiap pihak tersebut yang dilakukan empat mata dalam empat hari terakhir. Di sini, dia juga kembali menegaskan kompetensi Pandu Sjahrir sebagai pengusaha dalam posisinya di BPI Danantara nanti.

    “Saya tidak ragu-ragu untuk bagaimana waktu saya, pikiran saya dulu bagaimana memajukan usaha kami, kalau sesudah jadi menteri, bagaimana pemikiran saya terobosan [inovasi] dengan sahabat-sahabat kami, Pak Misbakhun, Pak Perry, Pak Pandu dan semuanya, dari kalangan dunia usaha, kita gerakkan untuk rakyat. Ini waktunya saya bekerja untuk rakyat,” kata Ara.

    Selain Dirut-Dirut Himbara, pada pertemuan hari Selasa nanti Ara juga akan mengundang Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) dan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau PT SMF.

    Sementara itu, Nixon menjabarkan saat ini tantangan perbankan dalam memberikan pendanaan sektor perumahan bukan pada sisi suplai dan demand, tapi lebih kepada faktor likuiditas yang ketat.

    “Likuiditas ini jadi game changer memuluskan program 3 juta rumah. Pemerintah kerja keras cari berbagai sumber, Misal Pak Presiden kunjungan ke Qatar. Lalu juga Kebijakan di Kementerian PKP sudah banyak dilakukan,” kata Nixon.

    Setali tiga uang, Misbakhun mengatakan likuiditas ini menjadi salah satu tantangan yang dihadapi perbankan dalam kemampuannya memberikan pendanaan dalam proyek 3 juta rumah Prabowo.

    Dalam hal dukungan DPR, Misbakhun menjelaskan Komisi XI nantinya akan menjadi mitra bagi BPI danantara. Selain itu, mitra pemerintah di Komisi XI ini juga punya peran strategis dalam kebijakan fiskal, yakni Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia.

    “Saya di Komisi XI akan lihat mana aturan selama ini yang kurang mendukung, baik itu aturan perbankan, aturan penyediaan lahan, aturan di bank pusat, itu kita berusaha sinkronisasi untuk kepentingan pembangunan sektor perumahan, sehingga memudahkan bagaimana likuiditas itu tersedia di pasar dan tersalurkan dengan baik. Sehingga keinginan Pak Presiden bangun 3 juta rumah bisa terwujud,” kata Misbakhun.

  • Kasus Korupsi Dana CSR BI, KPK Panggil 4 Saksi dari OJK hingga Tenaga Ahli DPR

    Kasus Korupsi Dana CSR BI, KPK Panggil 4 Saksi dari OJK hingga Tenaga Ahli DPR

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemanggilan empat saksi terkait kasus dugaan penyimpangan dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) pada Jumat (7/2/2025).

    Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika menyatakan pemeriksaan akan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih. “Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih,” ujar Tessa.

    Keempat saksi yang dipanggil memiliki latar belakang dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga tenaga ahli di DPR. Mereka adalah Analis Junior Hubungan Kelembagaan OJK Dhira Krisna Jayanegara (DKJ), Pengawas Utama di Departemen Pemeriksaan Khusus dan Pengawasan Perbankan Daerah OJK Ferial Ahmad Alhoreibi (FAA), Anggota Badan Supervisi OJK Mohammad Jufrin (MJ), Tenaga Ahli Anggota DPR Heri Gunawan, Helen Manik (HLM).

    KPK belum mengungkap detail materi yang akan didalami dalam pemeriksaan ini. Namun, hasilnya akan disampaikan setelah agenda pemeriksaan rampung.

    Sebelumnya, KPK menyebut kasus korupsi dana CSR BI diduga mengalir ke Komisi XI DPR mencapai angka triliunan rupiah. Penyelidikan terus dilakukan untuk menelusuri aliran dana tersebut.

    “Jumlah pastinya triliunan, nanti akan kami sampaikan,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur, pada Rabu (22/1/2025).

    KPK juga menyoroti pernyataan anggota Komisi XI DPR Satori (S) yang mengeklaim seluruh anggota Komisi XI menerima dana CSR tersebut, yang kemudian ditampung dalam yayasan. “Berdasarkan keterangan saudara S, seluruh anggota Komisi XI menerima CSR. Itu yang sedang kami dalami,” ungkap Asep.

    KPK tengah menyelidiki dugaan dana CSR BI digunakan tidak sesuai peruntukannya. “Yang sedang penyidik dalami adalah penyimpangan. Kami telah menemukan data bahwa CSR yang diberikan kepada penyelenggara negara melalui yayasan tidak sesuai peruntukkannya,” kata Asep.

    Namun, ia juga menegaskan jika dana CSR digunakan sesuai aturan, maka tidak akan dianggap sebagai penyimpangan. “Kalau penerima menggunakan CSR sesuai amanahnya, misalnya untuk pembangunan sekolah, maka itu tidak menyimpang. Namun, data yang kami peroleh menunjukkan adanya penyimpangan,” pungkasnya terkait kasus korupsi dana CSR BI.

  • Kasus Korupsi CSR BI, KPK Panggil Pihak OJK dan Tenaga Ahli Heri Gunawan – Halaman all

    Kasus Korupsi CSR BI, KPK Panggil Pihak OJK dan Tenaga Ahli Heri Gunawan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagendakan pemeriksaan saksi untuk mengusut kasus dugaan korupsi program corporate social responsibility alias dana CSR Bank Indonesia (BI) atau program sosial Bank Indonesia (PSBI), Jumat (7/2/2025).

    Ada empat saksi yang dipanggil penyidik, yakni Dhira Krisna Jayanegara, Analis Junior Hubungan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun; Ferial Ahmad Alhoreibi, Pengawas Utama di Departemen Pemeriksaan Khusus dan Pengawasan Perbankan Daerah OJK; Mohammad Jufrin, Anggota Badan Supervisi OJK; dan Helen Manik, Tenaga Ahli Anggota DPR RI Heri Gunawan periode 2019–2024.

    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, dalam keterangannya, Jumat.

    Adapun dana CSR Bank Indonesia yang disalurkan ke Komisi XI DPR dan saat ini sedang diusut KPK ditaksir mencapai triliunan rupiah. 

    KPK menduga dana CSR menyimpang untuk kepentingan pribadi dengan modus melalui yayasan. 

    Mulanya penyidik KPK menemukan terjadinya penyimpangan dalam pemberian dana CSR itu. 

    KPK mengantongi data dan informasi jika dana CSR itu diduga tidak sesuai peruntukkannya. 

    “Kami dapat informasi, juga kami dapat dari data-data yang ada CSR yang diberikan kepada para penyelenggara negara ini melalui yayasan yang disampaikan, direkomendasikan kepada mereka tapi tidak sesuai peruntukkannya,” kata Direktur Penyidikan KPK, Brigadir Jenderal Polisi Asep Guntur Rahayu, beberapa waktu lalu.

    Diduga Yayasan sengaja digunakan lantaran BI tidak menyalurkan CSR ke rekening pribadi. 

    Para penikmat menggunakan sejumlah cara agar dana itu dinikmati untuk pentingan pribadi. 

    Biasanya yayasan yang diberikan CSR direkomendasikan oleh pihak yang mengajukan. 

    Dalam kasus ini, misalnya, yang menyampaikan nama adalah anggota Komisi XI DPR RI sebagai mitra BI.

    “Ini kemudian mereka olah. Jadi ada yang kemudian dipindah dulu ke beberapa rekening lain dari situ menyebar tapi terkumpul lagi di rekening yang bisa dibilang representasi penyelenggara negara. Ada yang dalam bentuk bangunan, ada yang dalam bentuk kendaraan dan lain-lain. Jadi di situ penyimpangannya,” tutur Asep Guntur.

    KPK saat ini sedang mempertajam bukti dugaan anggota Komisi XI DPR RI yang menyelewengkan dana CSR BI. 

    Upaya itu sejurus dengan pernyataan Satori selaku anggota DPR RI Fraksi Partai NasDem yang sudah diperiksa pada Jumat, 27 Desember. 

    Di mana Satori saat itu menyebut jika semua Komisi XI DPR ikut menerima dana CSR. 

    “Itu yang kita sedang dalami di penerima yang lain. Karena berdasarkan keterangan saudara S (Satori), teman-teman sudah catat ya, seluruhnya juga dapat. Ya, kan, seluruh anggota Komisi XI terima CSR itu,” kata Asep.

    Sejauh ini penyidik KPK telah menemukan dugaan penyimpangan penggunaan dana CSR BI di Cirebon. 

    Wilayah Cirebon merupakan daerah pemilihan Satori saat maju sebagai caleg DPR Pemilu 2024.

    Tim penyidik KPK beberapa waktu lalu sudah melakukan penggeledahan di Cirebon, Jawa Barat. 

    Dari lokasi di Cirebon itu penyidik mengamankan beberapa dokumen.

    “Sementara yang kita peroleh saat ini sudah ada penyimpangannya, itu yang di Cirebon. Jadi setelah semuanya terima tapi ada yang amanah ada juga yang tidak sesuai peruntukkannya. Jadi beberapa waktu lalu selain penggeledahan di BI, OJK, juga kita menggeledah beberapa tempat. Salah satunya di Cirebon. Itu di tempatnya saudara S,” kata Asep. 

    Penyidik KPK sebelumnya telah memeriksa Satori yang merupakan politikus NasDem dan anggota Komisi XI DPR Fraksi Gerindra Heri Gunawan pada Jumat 27 Desember. 

    Usai diperiksa, Satori mengakui menggunakan dana CSR BI untuk berkegiatan di daerah pemilihannya.

    “Programnya? Programnya kegiatan untuk sosialisasi di dapil,” kata Satori sebelum meninggalkan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

    Satori juga mengatakan seluruh anggota Komisi XI DPR turut menggunakan dana CSR BI untuk berkegiatan di Dapil mereka. Ia menyebut dana CSR itu mengalir melalui yayasan.

    “Semuanya sih semua anggota Komisi XI programnya itu dapat. Bukan, bukan kita aja,” ujar Satori.

    Diketahui, KPK saat ini melakukan penyidikan dugaan korupsi dana tanggung jawab sosial atau CSR Bank Indonesia. Pengusutannya menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum pada Desember 2024. 

    Belum ada nama tersangka di dalamnya tapi dua orang atau bahkan lebih berpotensi dijerat. 

    Dalam pengusutan kasus ini, penyidik juga telah menggeledah kantor Bank Indonesia hingga OJK pada Senin malam, 16 Desember 2024. 

    Penyidik menyita sejumlah dokumen serta barang bukti elektronik dari upaya paksa tersebut. 

    Selain Satori dan Heri Gunawan, penyidik juga telah memeriksa banyak saksi. 

    Di antaranya dua pejabat Departemen Komunikasi (Dkom) Bank Indonesia, yaitu Erwin Haryono selaku Kepala Departemen Komunikasi BI dan Hery Indratno selaku Kepala Divisi PSBI-Dkom BI.

    Namun, hingga saat ini penyidik KPK belum memanggil dan memeriksa Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo. 

    KPK berkali-kali menyatakan pemanggilan Perry Warjiyo terkait kasus dugaan korupsi dana CSR BI akan dilakukan berdasarkan kebutuhan penyidikan.