Kementrian Lembaga: Komisi XI DPR RI

  • Batuk Saat Bahas Bea Keluar Emas, Purbaya: Produsen Mengutuk Saya

    Batuk Saat Bahas Bea Keluar Emas, Purbaya: Produsen Mengutuk Saya

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan candaan saat dirinya berkali-kali batuk ketika menjelaskan rencana pemerintah menerapkan bea keluar (BK) untuk emas dan batu bara mulai 2026.

    Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (8/12/2025), Purbaya berkelakar mungkin ada produsen emas yang sedang “mengutuk” dirinya karena keberatan dengan kebijakan tersebut.

    Ketika memaparkan alasan pemerintah menetapkan pungutan baru terhadap komoditas emas, Purbaya beberapa kali berhenti berbicara karena batuk yang tak kunjung reda.

    “Kebijakan bea keluar emas diterapkan dengan prinsip bahwa tarif produk hulu lebih tinggi dari produk hilir,” ucapnya sebelum kembali terhenti untuk minum air. Ketua Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun mencoba menenangkan Purbaya dengan berkata, “Pelan-pelan, Pak.”

    Setelah kondisinya membaik, Purbaya sempat melontarkan humor yang mengundang tawa.

    “Mungkin produsen emas mengutuk saya dari jauh nih. Mau narikin bea nih,” ujarnya sambil tertawa. Saat kembali menjelaskan tujuan penerapan bea keluar, Purbaya pun masih sempat batuk dan berkata, “(batuk lagi) doanya kuat juga mereka.”

    Purbaya menegaskan, pemerintah menargetkan Rp 23 triliun penerimaan dari kebijakan BK tersebut pada 2026, terdiri dari Rp 3 triliun dari emas dan Rp 20 triliun dari batu bara. Menurutnya, pungutan ini tetap akan diterapkan meski ada penolakan dari produsen maupun apabila harga komoditas menurun, karena kebijakan tersebut menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam menutup potensi defisit APBN 2026.

    Ia menjelaskan, bea keluar emas dan batu bara merupakan langkah optimalisasi penerimaan negara di sektor mineral yang tengah menghadapi berbagai tantangan, seperti fluktuasi harga global, transisi energi, dan kebutuhan menjaga konsistensi penerimaan.

    Penerapan bea keluar, lanjut Purbaya, diharapkan dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan baku dalam negeri, mendorong hilirisasi, memperkuat tata kelola ekspor, sekaligus meningkatkan pendapatan negara.

    “Menjawab tantangan tersebut, pemerintah akan memanfaatkan berbagai instrumen fiskal yang relevan, seperti penerapan bea keluar atas ekspor emas dan batu bara,” pungkasnya.

  • Momen Purbaya Batuk-Batuk saat Bahas Bea Keluar Emas: Produsen Ngutuk Saya Nih!

    Momen Purbaya Batuk-Batuk saat Bahas Bea Keluar Emas: Produsen Ngutuk Saya Nih!

    GELORA.CO  – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sempat menjadi pusat perhatian dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR, Senin (8/12/2025). Pasalnya, ia sempat batuk berulang kali saat menjelaskan kebijakan Bea Keluar (BK) emas.

    Awalnya, Purbaya memaparkan prinsip penerapan BK emas, yang tarifnya diatur agar produk hulu dikenakan tarif yang lebih tinggi dibandingkan produk hilir, sebagai insentif untuk hilirisasi.

    Di tengah penjelasannya, Purbaya harus berhenti sejenak untuk minum karena batuknya yang tak kunjung reda. Melihat itu, Ketua Komisi XI DPR, Mukhammad Misbakhun sempat menyela. 

    Purbaya kemudian menanggapi batuknya dengan nada bercanda, mengaitkannya dengan reaksi para pengusaha emas terhadap kebijakan baru yang ia sampaikan.

    “Mungkin produsen emas ngutuk saya dari jauh nih hahahaha mau narikin bea nih,” kata Purbaya disambut tawa.

    Namun, batuk Purbaya muncul lagi setelahnya. Misbakhun kembali mengingatkan agar Purbaya tenang.

    “Calm down Pak,” ucap Misbakhun.

    Purbaya pun membalas dengan candaan lagi. 

    “Doanya kuat juga mereka,” candanya.

    Dalam paparannya, Purbaya menjelaskan bahwa pengawasan ekspor emas diperkuat melalui ketentuan yang melarang ekspor produk emas dengan kadar di bawah 99 persen. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memastikan nilai tambah komoditas mineral dan kepatuhan pajak

  • Alasan Hipmi Sebut Insentif bagi Pengusaha Kelas Menengah Belum Proporsional

    Alasan Hipmi Sebut Insentif bagi Pengusaha Kelas Menengah Belum Proporsional

    Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai insentif yang digelontorkan pemerintah untuk dunia usaha belum proporsional terutama bagi pengusaha kelas menengah. 

    Sebagaimana diketahui, pemerintah masih akan menggelontorkan triliunan rupiah untuk insentif perpajakan berupa tax holiday maupun tax allowance pada 2026 untuk dunia usaha dan iklim investasi. 

    Sekjen Hipmi Anggawira menyampaikan bahwa pihaknya mengapresiasi keberlanjutan insentif perpajakan itu. Menurutnya, itu memberikan sinyal bahwa negara tetap proinvestasi termasuk untuk 2026. 

    Namun, dia menyebut pengusaha tetap masih memiliki catatan untuk alokasi insentif dimaksud. 

    “Untuk investasi skala besar dan sektor prioritas tertentu, skema tax holiday relatif memadai. Namun untuk pelaku usaha menengah, industri padat karya, dan hilirisasi sektor riil, banyak yang menilai insentif masih bersifat top-heavy dan belum sepenuhnya menjangkau kebutuhan lapangan,” terang Anggawira kepada Bisnis, Minggu (7/12/2025). 

    Selain itu, Anggawira mengingatkan perlunya melihat seberapa efektif dan mudah insentif itu dimanfaatkan oleh dunia usaha khususnya di tengah ketidakpastian global dan fluktuasi permintaan domestik.

    Saat ini, lanjutnya, sebagian pengusaha diakui olehnya masih dalam mode wait and see. Akan tetapi, dia menyebut alasannya bukan karena insentif yang tidak menarik, melainkan berbagai faktor lain. 

    Faktor-faktor itu meliputi kepastian regulasi dan konsistensi kebijakan fiskal–industri, kecepatan dan kepastian perizinan, stabilitas biaya produksi (energi, logistik, dan tenaga kerja), serta akses pembiayaan yang kompetitif. 

    Anggawira menyebut pihaknya mendorong sejumlah alternatif maupun penyempurnaan insentif pajak untuk dunia usaha. Misalnya, dia mendorong agar pemberian insentif berbasis kinerja nyata dan bukan hanya untuk investasi awal.

    Menurutnya, insentif bagi dunia usaha perlu dikaitkan juga dengan serapan tenaga kerja, peningkatan tingkat komponen dalam negeri atau TKDN, integrasi UMKM dalam rantai pasok, serta ekspor atau substitusi impor. 

    Selanjutnya, dia mendorong agar insentif fiskal tidak hanya dialamatkan untuk pembebasan atau keringanan pajak penghasilan (PPh), namun juga untuk cost structure. 

    “Misalnya insentif energi/listrik untuk industri strategis, super deduction tax untuk R&D, vokasi, dan digitalisasi; dan insentif PPN untuk mesin dan bahan baku tertentu,” lanjut pria yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batu Bara (Aspebindo) itu. 

    Lalu, dia meminta agar ke depan pemerintah bisa menerapkan skema insentif cepat dan sederhana untuk usaha menengah. Menurutnya, perlu ada insentif jalur cepat yang tidak terlalu administratif, berbasis online dan terukur, memberi kepastian waktu persetujuan, serta insentif sektoral yang lebih adaptif. 

    Catatan lain yang disampaikannya yakni bahwa insentif jangan sampai dialokasikan hanya untuk manufaktur besar, melainkan juga bagi industri pendukung hilirisasi, energi baru dan terbarukan, serta industri pangan dan ekonomi kesehatan.

    Insentif Pajak Gerus Tax Ratio

    Di sisi lain, otoritas fiskal mengakui bahwa pemberian insentif pajak beberapa tahun belakangan turut menggerus rasio penerimaan pajak alias tax ratio. Namun, efek itu diyakini hanya jangka pendek. 

    Pada rapat dengan Komisi XI DPR, Rabu (26/11/2025), Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto memaparkan bahwa selisih antara potensi dan realisasi penerimaan pajak Indonesia (tax ratio) mencapai total 6,4% terhadap produk domestik bruto (PDB) selama 2016–2021. 

    Terdapat gap sebesar ratusan triliun masing-masing akibat kebijakan fiskal maupun ketidakpatuhan pajak, merujuk pada laporan Bank Dunia yang dipaparkan Bimo di Komisi XI DPR, Rabu (26/11/2205). Dia menjelaskan bahwa total rata-rata tax gap per tahun itu merupakan gabungan dari gap yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal (policy gap) sebesar 2,7%, serta akibat ketidakpatuhan (compliance gap) sebesar 3,7%, terhadap PDB. 

    Otoritas pajak memandang bahwa kendati adanya dampak jangka pendek terhadap tergerusnya rasio pajak, pemberian tax holiday maupun tax allowance khususnya untuk dunia usaha berguna untuk memberikan nilai tambah. 

    Pemberian triliunan rupiah untuk insentif pajak dipandang perlu sebagai trade off dari sektor-sektor tertentu agar mampu meningkatkan nilai tambah. 

    “Perlu kami sampaikan bahwa dalam jangka panjang pemberian kebijakan ini merupakan trade-off dari sektor-sektor yang mendapatkan insentif agar mampu meningkatkan nilai tambah, menguatkan daya saing di pasar global, menciptakan lapangan pekerjaan baru, hingga meningkatkan konsumsi dalam negeri sehingga berimplikasi luas terhadap peningkatan penerimaan pajak,” terang Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Rosmauli kepada Bisnis, dikutip Minggu (7/12/2025). 

    Untuk itu, lanjut Rosmauli, pemerintah akan terus melakukan penyempurnaan kebijakan pemberian insentif secara terukur dan terarah. Tujuannya, agar multiplier effect dari sektor yang mendapat insentif dapat mendorong akselerasi perekonomian, yang pada akhirnya juga meningkatkan penerimaan pajak dalam membiayai pembangunan negara.

    Dikutip dari Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, nilai belanja perpajakan selama 2021 sampai dengan proyeksi 2025 dan yang dianggarkan 2026 terus meningkat. Bermula dari Rp293 triliun pada 2021, nilainya terus meningkat ke Rp400,1 triliun pada 2024.

    Nilainya melonjak 32,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada 2025 yang diproyeksikan mencapai Rp530,3 triliun. Kemudian, pada 2026, belanja perpajakan dicanangkan sebesar Rp563,6 triliun. 

    Pada 2025 dan 2026, belanja perpajakan terbesar masih untuk jenis pajak konsumsi yakni pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajak penjualan barang mewah (PPnBM), serta pajak penghasilan (PPh) masing-masing Rp343,3 triliun (2025) dan Rp371,9 triliun (2026). Nilainya juga meningkat pada APBN 2026 yakni masing-masing Rp150,3 triliun dan Rp160,1 triliun. 

    Berdasarkan tujuannya, belanja perpajakan untuk meningkatkan investasi dan mendukung dunia bisnis sama-sama meningkat. Untuk meningkatkan investasi, pemerintah menggelontorkan insentif pajak Rp84,3 triliun pada 2025 dan meningkat ke Rp84,7 triliun. 

    Sementara itu, untuk mendukung dunia bisnis, belanja perpajakan yang dianggarkan sebesar Rp56,9 triliun pada 2025 dan meningkat ke Rp58,1 triliun. 

  • Menkop Ajak ICMI Perkuat Kopdes sebagai Ekosistem Baru Ekonomi Kerakyatan

    Menkop Ajak ICMI Perkuat Kopdes sebagai Ekosistem Baru Ekonomi Kerakyatan

    Jimbaran, Beritasatu.com – Menteri Koperasi (Menkop) Ferry Juliantono menegaskan bahwa koperasi adalah amanat konstitusi dan fondasi ekonomi rakyat yang kini diperkuat melalui program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebagai ekosistem baru yang memotong rantai pasok, menghadirkan layanan usaha di desa, dan melibatkan jutaan anggota.

    Oleh karena itu, Menkop menekankan, penguatan koperasi juga membutuhkan dukungan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang memiliki peran strategis dalam memberikan pandangan keilmuan, pembinaan, dan jejaring intelektual.

    “Hal itu untuk memastikan gerakan ekonomi kerakyatan berjalan lebih terarah dan berkelanjutan, sehingga manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat,” ucap Menkop, saat menjadi narasumber dalam acara National Leadership Camp dengan tema “Meneguhkan Peran Cendikiawan Muslim untuk Menwujudkan Indonesia Emas” yang diadakan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), di Bali, Sabtu (6/12/2025).

    Hadir dalam acara tersebut, Ketua MPR RI Ahmad Muzani, Kepala BRIN sekaligus Ketua Umum ICMI Arif Satria, Anggota DPD Fadel Muhammad, Anggota Komisi XI DPR RI Andi Yuliani Paris, Wakil Ketua Umum ICMI Priyo, Bendahara Umum ICMI Andi Irman dan Direktur Pembiayaan Syariah LPDB Ari Permana.

    Menkop mengajak kalangan ICMI untuk mengambil kesempatan dan memanfaatkan momentum ini untuk perkuatan ekonomi kerakyatan ke depan. Tahun depan, bakal ada 80 ribu lebih gerai ritel moderen yang dikelola Kopdes Merah Putih.

    “Maknanya, kita harus bisa memproduksi barang-barang sendiri untuk dijual di ritel-ritel moderen milik Kopdes Merah Putih,” imbuh Menkop.

    Bahkan, bagi Menkop, ini merupakan kesempatan emas dalam mendorong masyarakat koperasi bisa kembali ke sektor produksi.

    “Kembali ke sektor distribusi, industri dan sektor perkreditan,” tegas Menkop.

    Menkop berharap ICMI bisa membangun koperasi atau mendorong pelaku UMKM yang ada di lingkungan keluarga besar ICMI untuk mulai bikin pabrik sabun, pabrik detergen, pabrik shampo, pabrik kecap, pabrik saus, pabrik sambal, dan sebagainya.

    “Apapun pabriknya, juga industri kecil, dan dalam bentuk koperasi, kita akan dukung,” kata Menkop.

    Kemenkop akan mendorong pembentukan industri-industri, produk-produk, hingga pabrik-pabrik, yang akan memproduksi barang-barang kebutuhan masyarakat.

    “Tidak usah takut, produk-produk itu akan kami jual di Kopdes Merah Putih,” ucap Menkop.

    Menurut Menkop, bangsa ini harus kembali percaya diri untuk menjadi produsen.

    “Kemenkop akan mendukung 100% sekiranya ada yang berkinginan untuk menjadi produsen, pabrik-pabrik, barang-barang, apalagi dalam bentuk badan usaha koperasi, kami akan biayai,” kata Menkop.

    Dengan begitu, melalui eksistensi Kopdes Merah Putih, Menkop meyakini bangsa Indonesia akan kembali menjadi bangsa produsen.

    “Ini menjadi cara kita menuntaskan cita-cita para pendiri republik, pendiri ICMI, hingga tokoh-tokoh ICMI,” ucap Menkop.

    Lebih dari itu, Menkop juga mendorong perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mulai membuat dan menciptakan mesin-mesin pasca panen, dryer, alat pengatur suhu untuk buah-buahan dan sayuran, cold storage, dan lain sebagainya.

    “Kita punya semangat yang sama dan kami siap untuk kolaborasi,” ujar Menkop.

  • Purbaya Ungkap Harga Asli Pertalite yang Dijual Rp 10.000/ Liter

    Purbaya Ungkap Harga Asli Pertalite yang Dijual Rp 10.000/ Liter

    Jakarta

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan harga asli BBM solar dan Pertalite yang dikonsumsi masyarakat jika tidak disubsidi.

    Selama ini harga di masyarakat lebih terjangkau karena pemerintah menanggung subsidi dan kompensasinya.

    “Selama ini pemerintah menanggung selisih antara harga keekonomian dan harga yang dibayar masyarakat melalui pemberian subsidi dan kompensasi baik energi dan non energi,” kata Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI beberapa waktu lalu, dikutip Sabtu (6/12/2025).

    Untuk harga solar misalnya, seharusnya mencapai Rp 11.950/liter, namun harga jual eceran (HJE) yang dibayar masyarakat hanya Rp 6.800/liter. Artinya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menanggung Rp 5.150/liter.

    Kemudian untuk BBM bersubsidi lainnya seperti Pertalite, harga aslinya Rp 11.700/liter, namun HJE yang dibayar masyarakat Rp 10.000/liter.

    “Sehingga APBN harus menanggung Rp 1.700/liter atau 15% melalui kompensasi,” beber Purbaya.

    PT Pertamina (Persero) kembali menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi mulai, Senin 1 Desember 2025. Mengutip situs MyPertamina, khusus di Jakarta saja, harga BBM Pertamax per 1 Desember 2025 naik menjadi Rp 12.750 per liter dari harga sebelumnya Rp 12.200 per liter. Harga BBM Pertamax Turbo juga naik menjadi Rp 13.750 per liter dari harga sebelumnya Rp 13.100 per liter.

    Kemudian, harga Pertamax Green 95 juga naik menjadi Rp 13.500 per liter dibandingkan harga sebelumnya Rp 13.000 per liter. Namun, untuk BBM Pertalite dan solar subsidi tidak mengalami perubahan. Harga Pertalite tetap Rp 10.000 per liter di seluruh Indonesia dan solar subsidi Rp 6.800 per liter.

    Berikut harga lengkap BBM Pertamina:
    Pertalite: Rp 10.000/liter
    Solar: Rp 6.800/liter
    Pertamax: Rp 12.750/liter
    Pertamax Turbo: Rp 13.750/liter
    Pertamax Green 95: Rp 13.500/liter
    Dexlite: Rp 14.700/liter
    Pertamina Dex: Rp 15.000/liter

    (ily/hns)

  • Purbaya Bersih-bersih Orang Kaya Nikmati Subsidi

    Purbaya Bersih-bersih Orang Kaya Nikmati Subsidi

    Jakarta

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan masih ada orang-orang yang tergolong kaya menikmati subsidi yang ditujukan untuk orang miskin. Oleh karena itu pemerintah akan merombak desain penyaluran subsidi, khususnya sektor energi (BBM dan listrik).

    Purbaya mengatakan pihaknya diberi waktu enam bulan untuk mendesain ulang skema penyaluran subsidi. Skema baru nantinya akan menyetop orang kaya menikmati subsidi.

    “Kami re-design subsidinya supaya lebih tepat sasaran karena sekarang setelah kami lihat, ternyata yang kaya masih dapat. Saya dikasih waktu enam bulan ke depan untuk mendesain itu,” ujar Purbaya usai rapat tertutup dengan Danantara dan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (4/12).

    Purbaya menjelaskan masyarakat pada kelompok desil 8, 9 dan 10 masih banyak yang menerima subsidi. Ke depan, penerima subsidi dari kelompok itu akan dikurangi secara signifikan dan dialihkan ke desil 1 hingga 4.

    Meski demikian, Purbaya menyebut perbaikan skema subsidi akan dilakukan secara bertahap hingga kurun waktu dua tahun ke depan. Dalam mendesain ulang skema subsidi, koordinasi erat dilakukan dengan Danantara.

    “Itu perlu desain macam-macam karena melibatkan juga BUMN dari Danantara,” kata Purbaya.

    Senada, CEO Danantara Indonesia Rosan Roeslani mengatakan pihaknya bersama Kementerian Keuangan sedang berupaya menyempurnakan supaya penyaluran subsidi dan kompensasi lebih adil dan tepat sasaran bagi masyarakat Indonesia.

    Dengan upaya penyempurnaan itu, ia memastikan anggaran penyaluran subsidi dan kompensasi dapat lebih efisien, namun tetap tidak akan mengurangi hak-hak yang semestinya didapatkan oleh masyarakat.

    “Dan juga sangat membantu BUMN-BUMN yang sudah memberikan subsidi dan kompensasi dari beberapa Public Service Obligation (PSO) yang memang harus kami laksanakan,” ujar Rosan dalam kesempatan yang sama.

    (aid/hns)

  • Pemerintah Siapkan Aturan Pajak agar Merger BUMN Tak Bebani Negara

    Pemerintah Siapkan Aturan Pajak agar Merger BUMN Tak Bebani Negara

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah sedang menyiapkan aturan baru agar proses merger dan restrukturisasi di lingkungan BUMN dapat berjalan lebih efisien tanpa menimbulkan beban perpajakan tambahan.

    Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto seusai menghadiri rapat Dewan Pengawas Danantara dan pertemuan dengan PT Pertamina di Wisma Danantara, Jumat (5/12/2025).

    Menurutnya, restrukturisasi Danantara dari sekitar 1.000 entitas menjadi sekitar 200 akan melibatkan banyak aksi korporasi yang membutuhkan penyesuaian aturan perpajakan.

    “Tadi dilanjutkan dengan rapat dengan Pertamina. Untuk restrukturisasi itu butuh regulasi penyesuaian dari peraturan menteri keuangan (PMK) tentang perpajakan. Itu yang kita mau selesaikan. Bukan hanya untuk Pertamina tetapi untuk keseluruhan proses merger, akuisisi, dan yang lain,” jelas Airlangga.

    Ia berharap revisi PMK tersebut dapat rampung pada Desember 2025. Airlangga menegaskan bahwa kebijakan yang disiapkan bukan berupa pengurangan pajak, melainkan pemberian fasilitas perpajakan agar restrukturisasi BUMN dapat berlangsung lebih ekonomis.

    “Bukan pajaknya dikurangi tetapi fasilitasnya,” tegasnya.

    Airlangga menambahkan rapat tersebut juga membahas sejumlah SOP Danantara, seperti regulasi etik, audit, dan tata kelola.

    Terpisah, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa pemerintah sedang menyiapkan regulasi yang memungkinkan efisiensi BUMN meningkat serta membuat proses merger lebih ekonomis.

    “Lagi kita bahas regulasi yang BUMN bisa lebih efisien dan juga merger-mergernya bisa lebih ekonomis,” ujar Bimo di Wisma Danantara.

    Ia menyebut rencana insentif tersebut akan diberikan dalam periode tiga-empat tahun. Namun, anak buah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa itu menegaskan bahwa pembahasan insentif merger atau akuisisi BUMN tersebut belum final.

    Bimo juga memastikan tidak ada pengurangan pajak, melainkan fasilitas perpajakan yang mencakup pengaturan smoothing dividend, yaitu mekanisme menjaga stabilitas pembayaran dividen dari tahun ke tahun.

    “Enggak ada pengurangan pajak, tetapi fasilitas,” ujarnya.

    Sebelumnya, Purbaya menjelaskan bahwa insentif dari Kementerian Keuangan hanya diberikan sesuai ketentuan perundang-undangan. Ia mencontohkan bahwa akan ada insentif pajak bagi aksi korporasi BUMN dalam masa transisi.

    “Kalau disuruh bayar pajak semua, ya kemahalan. Saya pikir itu masuk akal untuk konsolidasi, kita kasih waktu berapa tahun, dua-tiga tahun ke depan,” kata Purbaya seusai rapat dengan Danantara bersama Komisi XI DPR di kompleks Senayan, Kamis (4/12/2025).

    “Setelah itu, setiap aksi korporasi akan kita kenakan pajak sesuai aturan. Ini kan Danantara baru dan juga proyek pemerintah, jadi itu hal yang wajar,” pungkasnya.

  • Purbaya Diberi Waktu 6 Bulan Perbaiki Skema Penyaluran Subsidi BBM-Listrik

    Purbaya Diberi Waktu 6 Bulan Perbaiki Skema Penyaluran Subsidi BBM-Listrik

    Jakarta

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan masih ada kelompok kaya menikmati subsidi yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Atas kondisi tersebut, pemerintah akan merombak desain penyaluran subsidi.

    Purbaya mengatakan pihaknya diberi waktu enam bulan untuk mendesain ulang skema penyaluran subsidi. Skema baru nantinya akan membatasi porsi untuk orang kaya.

    “Kami re-design subsidinya supaya lebih tepat sasaran karena sekarang setelah kami lihat, ternyata yang kaya masih dapat. Saya dikasih waktu enam bulan ke depan untuk mendesain itu,” kata Purbaya usai rapat tertutup dengan Danantara dan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (4/12).

    Purbaya menjelaskan masyarakat pada kelompok desil 8, 9 dan 10 masih banyak yang menerima subsidi. Ke depan, penerima subsidi dari kelompok itu akan dikurangi secara signifikan dan dialihkan ke desil 1 hingga 4.

    Meski demikian, Purbaya menyebut perbaikan skema subsidi akan dilakukan secara bertahap hingga kurun waktu dua tahun ke depan. Dalam mendesain ulang skema subsidi, koordinasi erat dilakukan dengan Danantara.

    “Itu perlu desain macam-macam karena melibatkan juga BUMN dari Danantara,” imbuhnya.

    Senada, CEO Danantara Indonesia Rosan Roeslani mengatakan pihaknya bersama Kementerian Keuangan sedang berupaya menyempurnakan supaya penyaluran subsidi dan kompensasi lebih adil dan tepat sasaran bagi masyarakat Indonesia.

    Dengan upaya penyempurnaan itu, ia memastikan anggaran penyaluran subsidi dan kompensasi dapat lebih efisien, namun tetap tidak akan mengurangi hak- hak yang semestinya didapatkan oleh masyarakat.

    “Dan juga sangat membantu BUMN-BUMN yang sudah memberikan subsidi dan kompensasi dari beberapa Public Service Obligation (PSO) yang memang harus kami laksanakan,” ujar Rosan dalam kesempatan yang sama.

    Tonton juga video “Purbaya Pastikan Dana Tambahan untuk Bencana Sumatera Sudah Siap”

    (aid/fdl)

  • Skema Kompensasi Baru Bisa Sehatkan Keuangan BUMN

    Skema Kompensasi Baru Bisa Sehatkan Keuangan BUMN

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menerangkan skema pembayaran kompensasi baru akan menyehatkan keuangan BUMN. Perusahaan pelat merah tidak perlu lagi memgambil utang untuk menambal kebutuhannya.

    Hal ini turut dibahas antara Purbaya, Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan Roeslani, serta Komisi XI DPR. Skema itu akan menguntungkan BUMN.

    “Mereka (BUMN) senang banget karena tahun depan nanti cashflow-nya akan membaik. Mereka enggak perlu pinjam ke bank lagi. Jadi ngurangin cost mereka cukup banyak,” kata Purbaya di Kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip Jumat (5/12/2025).

    Dia mengatakan, pemerintah akan membayar 70 persen total kompensasi setiap bulan kepada BUMN pada periode Januari-September. Kemudian, masuk Oktober, pemerintah akan membayarkan 30 persen sisanya.

    Informasi, akan ada audit dan evaluasi yang dilakukan dalam rentang pembayaran tersebut. Tujuannya melihat efektivitas penyaluran barang subsidi/kompensasi.

    “Kalau subsidi kan dipayar langsung, yang kompensasi itu 70 persen setiap bulan sampai 9 bulan. Nanti Oktober dibayar yang 30 persennya,” kata Purbaya.

    Orang Super Kaya Masih Dapat Subsidi

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyadari banyak orang super kaya yang menikmati subsidi dari pemerintah. Dia berencana memangkas subsidi tersebut dan dialihkan kepada yang membutuhkan.

    Hal ini dibahas dalam rapat antara Menkeu Purbaya bersama Komisi XI dan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Bahasannya adalah subsidi energi, termasuk BBM dan listrik.

    “Jadi kita lihat masih ada orang yang relatif kaya atau kaya, super kaya kalau di Indonesia mungkin, yang masih mendapat subsidi,” kata Purbaya usai rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 4 Desember 2025.

  • Utak Atik Skema Subsidi BBM-Listrik untuk Pangkas Beban Negara

    Utak Atik Skema Subsidi BBM-Listrik untuk Pangkas Beban Negara

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah menggodok rencana perombakan skema penyaluran subsidi energi BBM hingga listrik. Rencana kebijakan ini dilakukan agar anggaran negara yang dikucurkan lebih efisien dan tepat sasaran.

    Rencana perombakan skema subsidi BBM dan listrik ini terungkap dalam rapat kerja (raker) antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Danantara, dan Komisi XI DPR, Kamis (4/12/2025).

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa pemerintah dan Danantara akan mendesain ulang (redesign) strategi penyaluran subsidi dalam dua tahun ke depan.

    Pada rapat tertutup selama 2,5 jam itu, Purbaya mengungkap bahwa DPR dan pemerintah memandang perlunya efisiensi penyaluran subsidi. Dia menyebut adanya analisis yang menunjukkan terdapat kendala dalam hal desain hingga penyaluran subsidi.

    Masalah subsidi yang tidak tepat sasaran diakui Purbaya menjadi bahasan antara pemerintah, Danantara serta DPR terkait dengan subsidi maupun kompensasi pada APBN 2025 itu.

    “Masih ada orang yang relatif kaya atau kaya, super kaya di Indonesia mungkin yang masih mendapat subsidi. Nanti ke depan akan kami lihat gimana perbaikannya. Kami simpulkan sih tadi dalam dua tahun ke depan kami akan redesign strategi subsidi sehingga betul-betul tetap sasaran,” kata Purbaya kepada wartawan usai rapat tersebut di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (4/12/2025).

    Skema Baru Subsidi

    Purbaya pun memberikan bocoran terkait dengan rancangan skema baru kebijakan subsidi, salah satunya yakni mengurangi jumlah masyarakat menengah ke atas yang menerima subsidi. Misalnya, apabila merujuk ke Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), maka gambaran kategori desil meliputi 1-10.

    Desil 1-5 meliputi kategori masyarakat miskin esktrem hingga pas-pasan atau mendekati kelas menengah, serta 6-10 yakni kelompok menengah ke atas atau dinilai mampu.

    “Mungkin desil 8, 9, 10 subsidi akan dikurangi secara signifikan. Kalau perlu uangnya kami balikkan ke yang desil 1, 2, 3, 4 yang lebih miskin gitu. Itu kira-kira utamanya itu dan itu perlu desain macam-macam karena terlibatkan BUMN-BUMN, Danantara,” jelas Purbaya.

    Lebih lanjut, Purbaya mengaku dirinya memiliki waktu enam bulan untuk menggodok ulang strategi penyaluran subsidi.

    “Saya dikasih waktu enam bulan ke depan untuk mendesain itu. Mengoordinasikan desain tadi,” jelasnya.

    Adapun mengenai kebijakan kompensasi, Kemenkeu belum lama ini menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 73/2025 tentang Tata Cara Penyediaan Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi Atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Penetapan Harga Jual Eceran BBM dan Tarif Tenaga Listrik. Skema baru ini diundangkan dan berlaku pada 19 November 2025.

    Beleid itu mengubah tata cara pembayaran kompensasi kepada sejumlah BUMN, utamanya seperti PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Dari awalnya pembayaran kompensasi setiap tiga bulan atau kuartalan 100%, maka tahun depan pembayaran kompensasi dilakukan setiap bulannya sebesar 70%. 

    Sementara itu, sisa 30% pembayaran dana kompensasi akan dibayarkan setelah melalui proses audit BPKP atas realisasi kompensasi selesai. Adapun, audit tahunan dijadwalkan selesai setiap September sehingga pembayaran akhir disesuaikan dari hasil verifikasi.

    Menurut Purbaya, Danantara merespons positif kebijakan baru itu karena bakal mendukung arus keuangan perseroan.

    “Mereka senang banget karena tahun depan nanti cashflow-nya akan membaik, mereka enggak perlu pinjem ke bank lagi. Jadi ngurangin cost mereka cukup banyak, 70% setiap bulan. Kalau subsidi kan dibayar langsung, yang kompensasi itu 70% setiap bulan sampai 9 bulan, nanti Oktober dibayar yang 30% sisanya,” ungkapnya

    Respons Danantara

    CEO Danantara Rosan Roeslani menyebut pihaknya saat ini pun sudah memulai proses untuk mengefisienkan proses subsidi dan kompensasi. Khususnya kompensasi, hal tersebut sudah dijalankan di PT Pupuk Indonesia (Persero).

    “Bagaimana kalau dari BUMN ini kami lebih mengefisienkan di pihak BUMN sendiri. Contohnya, kami sudah mulai lakukan di Pupuk yang tadinya kompensasi dalam bentuk cost plus, sekarang kami sesuaikan dengan harga market sehingga ini memberikan insentif kami untuk lebih efisien,” jelasnya kepada wartawan usai rapat tersebut di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (4/12/2025).

    Untuk diketahui, cost plus pricing method merujuk pada penentuan harga jual dengan cara menghitung dan menambahkan laba yang diharapkan di atas biaya penuh.

    Menurut Rosan, Pupuk yang dulu menerapkan metode inefisien itu pun tetap mendapatkan kompensasi dari APBN. Oleh sebab itu, dia menilai perlunya membenahi skema kompensasi tanpa mengurangi hak-hak dari masyarakat.

    Secara umum, pria yang juga menjabat Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM itu menilai pembayaran dari kompensasi dan subsidi dari pemerintah kepada BUMN sudah berjalan lebih baik.

    “Sangat membantu BUMN ini yang sudah memberikan subsidi dan kompensasi dari beberapa public service obligation yang memang harus kami laksanakan,” ujarnya. 

    Adapun dikutip dari Buku II Nota Keuangan APBN 2026, outlook belanja subsidi pada APBN 2025 senilai Rp288,1 triliun yang mencakup energi dan nonenergi. Pada 2026, belanja subsidi dianggarkan sebesar Rp318,9 triliun. Sampai dengan akhir Oktober 2025, realisasi belanja subsidi energi dan nonenergi sudah mencapai Rp194,9 triliun. Sementara itu, kompensasi sudah dibelanjakan Rp120 triliun. Keduanya total mencapai Rp315 triliun.