Kementrian Lembaga: Komisi XI DPR RI

  • BI: Burden sharing kali ini beda dengan era COVID, bakal ganti istilah

    BI: Burden sharing kali ini beda dengan era COVID, bakal ganti istilah

    sekarang zamannya sudah normal, defisit fiskal tidak lebih dari 3 persen, BI juga tidak boleh beli SBN dari pasar perdana

    Jakarta (ANTARA) – Bank Indonesia (BI) menegaskan skema pembagian beban bunga (burden sharing) untuk mendukung program pemerintah kali ini berbeda dengan yang diberlakukan saat pandemi COVID-19 karena bank sentral tidak lagi diperkenankan membeli SBN di pasar primer.

    BI juga akan mengganti istilah “burden sharing”, sesuai masukan yang disampaikan Komisi XI DPR RI. Penggantian istilah bertujuan agar tidak membingungkan publik dan menegaskan bahwa skema kali ini berbeda dengan era COVID-19.

    “Jadi beda sekarang (tidak sama dengan era COVID-19). Terima kasih ini, Pak Ketua Komisi XI, supaya jangan disamakan yang kemarin (kesepakatan dengan Kemenkeu) pada 4 September 2025. Tidak ada kaitannya dengan masalah berapa beli SBN (di pasar primer),” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin.

    Lebih lanjut, Perry menjelaskan bahwa burden sharing saat pandemi diberlakukan karena mempertimbangkan situasi yang luar biasa (extraordinary condition).

    Saat itu, defisit fiskal mencapai lebih dari 3 persen dari PDB dan pemerintah kesulitan untuk menjual SBN dengan suku bunga yang tinggi.

    Dengan situasi tersebut, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dan aturan lainnya, maka bank sentral saat itu diperkenankan untuk membeli SBN di pasar perdana selama tiga tahun.

    “Itu saat COVID-19 di mana memang ada dana pembelian SBN dari pasar perdana dan juga ada beban bunga. Tapi dasarnya adalah extraordinary condition. Nah, sekarang zamannya sudah normal, defisit fiskal tidak lebih dari 3 persen, BI juga tidak boleh beli SBN dari pasar perdana,” kata Perry.

    Sementara pada skema kali ini untuk mendukung program ekonomi kerakyatan, Perry menegaskan bahwa bank sentral tidak membeli SBN dari pasar perdana. Yang kini terus dilakukan BI yaitu pembelian SBN dari pasar sekunder, sejalan dengan ekspansi likuiditas moneter.

    Adapun burden sharing kali ini dengan membagi rata biaya atas realisasi alokasi anggaran untuk program pemerintah terkait Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) setelah dikurangi imbal hasil untuk penempatan pemerintah terkait kedua program tersebut di lembaga keuangan domestik.

    Dalam pelaksanaannya, pembagian beban dilakukan dalam bentuk pemberian tambahan bunga terhadap rekening pemerintah yang ada di bank sentral.

    Langkah ini juga sejalan dengan peran BI sebagai pemegang kas Pemerintah sebagaimana Pasal 52 UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan juncto Pasal 22 serta selaras dengan Pasal 23 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

    “Masalah tambahan bunganya sesuai UU karena BI sebagai pengelola kasnya pemerintah dan ada bunga yang kami akan berikan kepada pemerintah. Sehingga dasarnya adalah UU dan Keputusan Bersama (KB) pada 4 September 2025 (Keputusan Bersama Menteri Keuangan),” kata Perry.

    Sebelumnya pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mempertanyakan padanan lain untuk istilah “burden sharing”, karena istilah itu lekat dengan skema saat pandemi COVID-19. Alternatif terminologi dinilai perlu agar masyarakat tidak bingung.

    “Ini perlu diberikan titling baru, judul baru. Supaya orang tidak bingung. Seakan-akan ketika kita bicara burden sharing itu bicara pada saat kita menghadapi krisis COVID. Padahal ini kan sudah keadaan normal,” kata Misbakhun.

    Sebagai informasi, BI terus melakukan ekspansi likuiditas salah satunya melalui pembelian SBN di pasar sekunder. Hingga 16 September 2025, total SBN yang dibeli mencapai Rp217,10 triliun, termasuk pembelian di pasar sekunder dan program debt switching dengan pemerintah sebesar Rp160,07 triliun.

    Selain itu, BI juga menurunkan posisi instrumen moneter SRBI dari Rp916,97 triliun pada awal tahun 2025 menjadi Rp716,62 triliun pada 15 September 2025.

    Kebijakan moneter juga didukung oleh Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang telah mencapai Rp384 triliun hingga minggu pertama September 2025. Insentif KLM ini diberikan kepada perbankan yang menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • BI: Pemberian special rate jadi kendala penurunan suku bunga perbankan

    BI: Pemberian special rate jadi kendala penurunan suku bunga perbankan

    Kalau special rate ini bisa turun, berarti kan lebih cepat (penurunan suku bunga deposito dan kredit). Suku bunga pasar uang sudah turun, SBN sudah turun, suku bunga deposito itu kan bisa turun,

    Jakarta (ANTARA) – Bank Indonesia (BI) menyoroti fenomena pemberian special rate kepada deposan besar yang mencapai 25 persen dari total dana pihak ketiga (DPK) sehingga dinilai menjadi kendala penurunan suku bunga perbankan.

    Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin mencatat, jumlah DPK yang mendapatkan special rate atau bunga di atas penjaminan LPS mencapai Rp2.380,4 triliun.

    Kelompok pemerintah BUMN menjadi deposan yang mendapatkan special rate tertinggi di antara kelompok lainnya, yakni sebesar 6,30 persen per Agustus 2025.

    “Kenapa penurunan suku bunga (BI-Rate) dan likuiditas belum menurunkan suku bunga deposito dan suku bunga kredit, ini salah satu faktornya adalah adanya praktik special rate deposito, baik dari deposan besar maupun perbankan,” kata Perry

    Setelah deposan kelompok pemerintah BUMN, special rate tertinggi per Agustus 2025 secara berurutan diikuti oleh kelompok pemerintah non-BUMN sebesar 6,14 persen, swasta IKNB 6,11 persen, perseorangan 5,94 persen, swasta non-IKNB 5,72 persen, dan bukan penduduk 5,22 persen.

    Perry mencatat, special rate menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Berdasarkan data BI, rata-rata special rate pada 2024 sebesar 6,19 persen, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,13 persen. Per Agustus 2025, rata-rata special rate mencapai 5,91 persen.

    Apabila special rate tersebut diturunkan ke tingkat yang setara dengan bunga penjaminan yang ditetapkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Perry memperkirakan suku bunga cost of fund bisa turun sekitar 55 basis poin (bps) dan pada akhirnya suku bunga kredit juga turun dengan besaran yang sama.

    “Saya ibaratkan kalau 25,4 persen dana special rate itu sama dengan suku bunga yang sama dengan penjaminan LPS, suku bunga cost of fund-nya bisa turun sekitar 0,55 persen. Suku bunga kreditnya juga turun 55 bps, ini belum kalau ada efisiensi dari biaya overhead maupun margin, masalah ekspektasi persepsi,” jelas dia.

    Dibandingkan dengan penurunan BI-Rate sebesar 125 bps sejak September 2024 hingga Agustus 2025, suku bunga deposito 1 bulan hanya turun sebesar 16 bps dari 4,81 persen pada awal 2025 menjadi 4,65 persen pada Agustus 2025.

    Sementara itu, penurunan suku bunga kredit perbankan berjalan lebih lambat yaitu sebesar 7 bps dari 9,20 persen pada awal 2025 menjadi sebesar 9,13 persen pada Agustus 2025.

    “Kalau special rate ini bisa turun, berarti kan lebih cepat (penurunan suku bunga deposito dan kredit). Suku bunga pasar uang sudah turun, SBN sudah turun, suku bunga deposito itu kan bisa turun,” kata Perry.

    Ia pun memastikan bahwa penurunan BI-Rate telah tertransmisikan dengan baik ke suku bunga pasar uang. Suku bunga INDONIA menurun sebesar 144bps dari 6,03 persen pada awal 2025 menjadi 4,59 persen pada 16 September 2025.

    Kemudian, suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan juga menurun masing-masing sebesar 210 bps, 213 bps, dan 219 bps sejak awal 2025 menjadi 5,06 persen; 5,07 persen; dan 5,08 persen pada 12 September 2025.

    Imbal hasil SBN untuk tenor 2 tahun menurun sebesar 185 bps dari 6,96 persen pada awal 2025 menjadi 5,11 persen pada 16 September 2025, sementara untuk tenor 10 tahun menurun sebesar 94 bps dari tingkat tertinggi 7,26 persen pada pertengahan Januari 2025 menjadi 6,32 persen.

    Adapun pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) September ini, BI baru saja memutuskan untuk memangkas BI-Rate sebesar 25 bps sehingga berada pada level 4,75 persen.

    Suku bunga deposit facility juga diputuskan turun sebesar 50 bps menjadi pada level 3,75 persen. Sementara suku bunga lending facility diputuskan untuk turun sebesar 25 bps menjadi pada level 5,5 persen.

    Dengan penurunan terbaru ini, maka BI telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak enam kali dengan total sebesar 150bps sejak tahun lalu. Penurunan terjadi pada September 2024, kemudian pada Januari, Mei, Juli, Agustus, dan September 2025.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ada Wamenkeu Anggito, Ini 5 Nama Calon Ketua LPS yang Diputuskan Besok

    Ada Wamenkeu Anggito, Ini 5 Nama Calon Ketua LPS yang Diputuskan Besok

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto sudah menyerahkan surat ke DPR RI terkait daftar nama calon Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode 2025-2030. Ada lima nama yang akan menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dengan Komisi XI DPR RI malam ini.

    Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Mohamad Hekal mengatakan hasil dari fit and proper test malam ini akan dibawa ke rapat paripurna DPR RI yang rencananya akan berlangsung pada Selasa (23/9).

    “Insya Allah (hasil fit and proper test dibawa ke paripurna besok),” kata Hekal kepada detikcom, Senin (22/9/2025).

    Tercatat ada lima nama yang masuk sebagai calon Ketua Dewan Komisioner LPS periode 2025-2030. Di antaranya adalah Anggito Abimanyu yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu).

    Kedua, Ferdinan Dwikoraja Purba. Namanya tercatat sebagai Komisaris Independen di PT Asuransi Jasa Tania Tbk.

    Nama ketiga sebagai calon Ketua Dewan Komisioner LPS periode 2025-2030 adalah Agresius R Kardiman, yang tercatat sebagai Direktur Kepatuhan di Bank CCB Indonesia. Keempat, Muhammad Iman Nuril Hidayat Budi Pinuji yang merupakan salah satu anggota dari Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan.

    Nama kelima adalah Dwityapoetra Soeyasa Besar, yang merupakan Direktur Eksekutif Surveilans, Pemeriksaan dan Statistik LPS. Sebelumnya, ia juga pernah menjadi Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial di Bank Indonesia (BI).

    (kil/kil)

  • Heboh Surat Palsu Penjaringan Pendamping Desa, Ahmad Najib: Itu Bukan dari Kami

    Heboh Surat Palsu Penjaringan Pendamping Desa, Ahmad Najib: Itu Bukan dari Kami

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ahmad Najib Qodratullah, menegaskan, DPW PAN Jawa Barat (Jabar) tidak pernah menerbitkan surat tentang penjaringan bakal calon pendamping desa.

    Hal ini diungkapkan Ketua DPW PAN Jabar ini setelah heboh surat yang mencatut partainya dan beredar luas di Medsos.

    Isi surat tersebut ditujukan kepada Ketua DPD PAN Kabupaten Cirebon serta Ketua DPD PAN Kabupaten Indramayu.

    “Ada surat bantahan secara resmi, DPW PAN Jabar tidak mengeluarkan surat tersebut,” ujar Ahmad kepada fajar.co.id, Sabtu (20/9/2025) malam.

    Mengenai dugaan pihak tertentu ingin merusak citra PAN, Ahmad bilang bahwa pihak sementara masih melakukan investasi.

    “Begini, kami masih menelusuri atau investigasi terlebih dahulu,” sebutnya.

    Anggota Komisi XI DPR RI ini menekankan bahwa yang terpenting saat ini adalah meluruskan informasi yang menyesatkan di tengah masyarakat.

    “Yang jelas kami ingin sampaikan kepada khalayak umum bahwa surat tersebut tidak pernah kami terbitkan,” tandasnya.

    Saat ditanya mengenai tindakan dari Partai seandainya yang menyebar surat itu merupakan oknum anggota, Ahmad menegaskan bahwa segala sesuatu memiliki mekanisme.

    “Semua ada mekanismenya,” kuncinya.

    Untuk diketahui, dalam surat bantahan yang ditandatangani langsung oleh Ahmad, dijelaskan bahwa DPW PAN Jabar tidak pernah menginstruksikan dan menerbitkan surat terkait perihal Penjaringan Bakal Calon Pendamping Desa.

    “Bahwa Ketua dan Sekretaris DPW PAN Jabar tidak pernah melakukan penandatanganan surat yang dimaksud,” tertulis dalam surat tersebut.

  • DPR Usulkan Tax Amnesty Lagi, Menkeu Purbaya: Jadi Insentif buat Orang Bohong

    DPR Usulkan Tax Amnesty Lagi, Menkeu Purbaya: Jadi Insentif buat Orang Bohong

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menilai rencana untuk kembali melaksanakan program pengampunan pajak atau tax amnesty hanya akan memberikan insentif bagi wajib pajak (WP) yang suka berbohong. 

    Untuk diketahui, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. RUU itu merupakan usulan dari Komisi XI DPR. 

    Usai rapat dengan Presiden Prabowo Subianto, Jumat (19/9/2025), Purbaya mengatakan bahwa sebagai ekonom, dia memandang program itu bukan kebijakan yang tepat untuk memungut kewajiban pajak dan justru tidak memberikan sinyal yang bagus. Namun, dia tidak meyakini bisa menolak usulan tersebut. 

    “Saya lihat perkembangannya seperti apa. Cuma begini, kalau dua tahun ada tax amnesty, itu akan memberi insentif kepada orang-orang untuk kibul-kibul. Karena dia akan pikir, dua tahun lagi ada tax amnesty lagi,” jelasnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, dikutip Sabtu (20/9/2025). 

    Namun demikian, Purbaya menyebut akan tetap memelajari proposal yang bakal diajukan menjadi rancangan UU. Dia mengatakan bahwa hal yang tepat dilakukan adalah dengan menjalankan program pemungutan pajak yang tepat, dan menerapkan sanksi bagi yang tidak mematuhinya. 

    “Tapi kita jangan meres gitu. Jadi harus perlakuan yang baik terhadap pembayar pajak. Dan kalau udah punya duit, ya dibelanjain kira-kira gitu,” ujarnya. 

    Sebelumnya, di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Purbaya juga sudah buka suara tentang sikapnya terhadap rancangan UU tersebut. Dia menilai program tax amnesty yang sudah dua kali sebelumnya dilakukan justru memberikan sinyal yang buruk bagi perekonomian. 

    “Semuanya, kan message-nya adalah, ‘Kibulin aja pajaknya, nanti kita tunggu dekat amnesti. Pemutihannya di situ.’ Itu yang enggak boleh,” terangnya kepada wartawan. 

    Adapun DPR dan pemerintah menyepakati RUU Tax Amnesty masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Berdasarkan Daftar Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua pada Prolegnas Prioritas Tahun 2025, terdapat 52 RUU yang masuk ke Prolegnas Prioritas tahun ini. Kemudian, ada juga 5 buah RUU Kumulatif Terbuka.

    Sementara itu, ada 67 buah RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2026 dan 5 RUU Kumulatif Terbuka.

    RUU Tax Amnesty menjadi usulan dari Komisi XI DPR, yang membidangi Keuangan. “Proses Penyusunan,” dikutip dari dokumen yang diterbitkan DPR, Jumat (19/9/2025).

  • Ada Upaya Revisi UU, Tax Amnesty Gagal Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak?

    Ada Upaya Revisi UU, Tax Amnesty Gagal Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak?

    Bisnis.com, JAKARTA — DPR menginisiasi perubahan Undang-undang Pengampunan Pajak atau RUU Tax Amnesty. Usulan perubahan beleid itu kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional alias Prolegnas prioritas tahun 2025.

    Pembahasan RUU Tax Amnesty dilakukan Komisi XI DPR dan dalam proses penyusunan. “Keterangan: proses penyusunan,” demikian tertulis dalam dokumen Prolegnas yang dikutip Bisnis, Jumat (19/5/2025).

    Dalam catatan Bisnis, RUU Tax Amnesty itu adalah inisiatif DPR. Ketua Komisi XI DPR Misbakhun adalah satu pihak yang pernah mengemukakan pentingnya program tersebut.

    Dia merasa program pengampunan pajak alias tax amnesty perlu berlaku kembali untuk mengawal berbagai visi misi pemerintah baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

    Misbakhun menjelaskan bahwa Komisi XI secara resmi telah mengusulkan agar RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 DPR.

    Dia menjelaskan bahwa pembahasan RUU Tax Amnesty itu masih akan sangat panjang. Setelah disahkan masuk Prolegnas Prioritas 2025, sambungnya, pimpinan DPR masih akan menentukan RUU Tax Amnesty nantinya akan menjadi inisiatif pemerintah atau parlemen.

    Jika menjadi inisiatif DPR maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Komisi XI. Sebaliknya, jika menjadi inisiatif pemerintah maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Kementerian Keuangan.

    Oleh sebab itu, Misbakhun mengaku belum bisa menjelaskan substansi yang akan dibahas dalam RUU Tax Amnesty tersebut. Kendati demikian, tidak menampik bahwa akan ada Tax Amnesty Jilid III apabila beleid tersebut selesai dibahas.

    “Sektor apa saja yang akan dicakup di dalam tax amnesty itu, tax amnesty itu meliputi perlindungan apa saja, sektor apa saja, ya nanti kita bicarakan sama pemerintah,” ujarnya di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    TA Jilid 1 Tidak Efektif?

    Pemerintah pernah berulangkali menerapkan pengampunan pajak. Namun hasilnya tidak terlalu signifikan. Pelaksanaan TA Jilid 1, misalnya, selama sembilan bulan pelaksanaan kebijakan, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun yang Rp1.036,7 triliun di antaranya berasal luar negeri. Selain itu, otoritas pajak juga mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun.

    Kendati demikian, pengampunan pajak tak hanya menyisakan cerita manis. Bisnis mencatat, dibalik limpahan data ribuan triliun tersebut ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. 

    Dari sisi tingkat partisipasi misalnya, jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan pajak kurang dai 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta.

    Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.

    Ilustrasi Kantor Ditjen Pajak./Ist

    Tak heran sebenarnya jika hampir 6 tahun pascapelaksanaan tax amnesty, tingkat kepatuhan WP juga masih jauh panggang dari api. Tak banyak berubah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi data kepatuhan pajak menunjukkan rasio kepatuhan WP masih pada angka 83%. Angka itu masih di bawah standar yang ditetapkan OECD yakni pada angka 85%.

    Selain itu, tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi non karyawan juga tidak melonjak signifikan. Kontribusi mereka ke penerimaan negara juga tidak lebih dari 1% dari total penerimaan pajak negara.

    Satu hal lagi, menurut data OECD, rasio pajak Indonesia juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia Pasifik. Apalagi rata-rata OECD yang bisa di atas 30% dari produk domestik bruto. Rasio pajak RI paling hanya di kisaran 10% sampai 11-an persen.

    Kepatuhan Formal Belum Beranjak

    Di sisi lain, kendati telah melakukan berbagai macam relaksasi, Tten rasio kepatuhan formal wajib pajak yang hanya di angka 71% menunjukkan bahwa tudingan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak masih berburu di kebun binatang bukan isapan jempol semata.

    Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Pajak melaporkan terjadi penurunan kepatuhan formal penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2024 wajib pajak orang pribadi (WP OP).

    Setiap tahunnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat pada 31 Maret untuk WP OP dan 30 April untuk WP Badan. Pada tahun lalu, realisasinya penyampaian SPT Tahunan 2023 mencapai 1.048.242 atau 1,04 juta untuk WP Badan (korporasi) dan 13.159.400 atau 13,15 juta untuk WP OP.

    Sementara pada tahun ini, realisasi penyampaian SPT Tahunan 2024 sebesar 1.053.360 atau 1,05 juta untuk WP Badan dan 12.999.861 atau 12,99 juta untuk WP OP.

    Artinya, ada penurunan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini sebesar 159.539 (-1,21%) dibandingkan tahun lalu. Padahal, penyampaian SPT Tahunan WP Badan pada tahun ini meningkat sebanyak 5.118 (+0,49%) dibandingkan tahun lalu.

    Pemerintah Belum Perlu

    Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menganggap bahwa penyelenggaraan program pengampunan pajak (tax amnesty) tidak perlu dilakukan secara rutin. Pemerintah akan fokus untuk mengoptimalkan regulasi-regulasi yang ada untuk meningkatkan penerimaan pajak.

    Menurut Purbaya, penyelenggaraan tax amnesty secara berulang dapat berdampak negatif pada upaya pemerintah meningkatkan penerimaan pajak. Kebijakan pengampunan pajak yang dilakukan berulang kali juga berpotensi merusak kredibilitas pemerintah dalam penegakan pajak.

    “Pandangan saya, kalau (tax amnesty) berkali-kali, gimana kredibilitas amnesty? Itu memberikan sinyal ke pembayar pajak bahwa boleh melanggar. Nanti ke depan-depannya ada amnesti lagi,” katanya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).

    Dia menambahkan, sepanjang tahun ini pemerintah juga telah menggelar tax amnesty sebanyak dua kali. 

    Purbaya menuturkan, pengadaan tax amnesty yang dilakukan berulang kali dapat membuat wajib pajak dapat berpikir praktik penghindaran pajak akan terus ditoleransi.

    “Message yang kita ambil dari adalah begitu. Tahun ini kita sudah mengeluarkan ini sudah dua kali, nanti tiga (kali), empat, lima, dan seterusnya. Pesannya nanti kibulin aja pajaknya, nanti kita tunggu di tax amnesty, pemutihannya disitu. Itu yang enggak boleh,” jelasnya.

    Dia menambahkan, jika tax amnesty kembali dijalankan dalam jangka pendek, wajib pajak justru akan memanfaatkan celah tersebut.

    “Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, yaudah semuanya menyelundupkan uang. Tiga tahun lagi dapat tax amnesty. Jadi, pesannya kurang bagus untuk saya sebagai ekonom dan Menteri,” ujar Purbaya.

  • Sengkarut MBG: Serapan Anggaran Rendah hingga Isu Minyak Babi

    Sengkarut MBG: Serapan Anggaran Rendah hingga Isu Minyak Babi

    Bisnis.com, JAKARTA — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi andalan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali menuai sorotan publik karena temuan berbagai permasalahan seperti rendahnya serapan anggaran, isu minyak babi pada food tray, hingga keracunan massal.

    Terkait dengan serapan anggaran, Badan Gizi Nasional (BGN) selaku badan yang mendapat mandat untuk melaksanakan program MBG melaporkan bahwa sampai dengan 8 September 2025, realisasi anggaran mencapai Rp13,2 triliun. Realisasi tersebut baru mencapai 18,6% dari total pagu anggaran tahun ini yakni Rp71 triliun. 

    Minimnya serapan anggaran MBG ini pun sebelumnya turut disoroti oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Dia menyebut bahwa pihaknya bakal melakukan monitoring rutin untuk penyerapan anggaran MBG. Hal ini menjadi bagian dari strategi tata kelola fiskal guna menggerakkan roda perekonomian, baik melalui entitas swasta maupun pemerintahan.

    “Di government side, saya akan pastikan belanja-belanja yang lambat berjalan dengan lebih baik lagi. Ada yang komplain, MBG penyerapannya rendah. Saya tanya sama teman-teman keuangan, bagaimana monitoringnya? Dia bilang bagus-bagus saja, tapi ternyata enggak, jelek,” kata Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu (10/9/2025).

    Menurut Purbaya, selama ini belum ada tindak lanjut yang signifikan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) atas permasalahan tersebut. Oleh karenanya, dia berencana mempertegas transparansi atas penyerapan anggaran program MBG dengan mendorong Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) untuk memberikan paparan publik secara berkala.

    “Saya bilang, ya sudah, nanti sebulan sekali kita akan jumpa pers dengan kepala BGN. Nanti kalau penyerapannya jelek, dia suruh jelaskan ke publik, saya di sebelahnya,” ujar eks Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini.

    Penjelasan BGN

    Sementara itu, Kepala BGN Dadan Hindayana menjelaskan alasan serapan anggaran MBG masih seret hingga September 2025. Dia mengatakan bahwa penyerapan anggaran identik dengan jumlah penerima manfaat MBG.

    Dia mengakui adanya tantangan penyerapan anggaran pada awal implementasi program MBG, utamanya terkait dengan pembangunan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

    “Mesin penyerapan anggaran di Badan Gizi itu adalah jumlah SPPG. Satu SPPG berdiri dalam satu hari, maka Rp1 miliar akan terserap. Kenapa kita lambat di awal? Karena kan banyak orang yang tidak yakin program ini akan jalan,” kata Dadan saat ditemui di Kantor BGN, Jakarta Pusat, Kamis (18/9/2025).

    Kepala BGN Dadan Hindayana (tengah) didampingi Mendagri Tito Karnavian dan Menteri PU Dody Hanggodo saat ditemui di Kantor BGN, Jakarta Pusat, Kamis (18/9/2025). -BISNIS/Reyhan Fernanda Fajarihza.

    Dia lantas menjelaskan bahwa pada Januari 2025 lalu, jumlah SPPG yang berdiri hanya sebanyak 190 unit. Alhasil, anggaran yang terserap hanya sebesar Rp190 miliar sepanjang bulan pertama MBG berjalan.

    Seiring berjalannya waktu, Dadan mengungkapkan bahwa 8.344 SPPG telah dibangun sejauh ini atau setara dengan penyerapan anggaran sebesar Rp8,3 triliun.

    Dia pun menargetkan dapur MBG yang beroperasi dapat menembus 10.000 unit pada pengujung September ini, sehingga penyerapan anggaran setidaknya Rp10 triliun per bulan dapat berjalan mulai bulan berikutnya.

    “Kita targetkan pada bulan Oktober sudah akan ada sekitar 20.000 SPPG, sehingga pada November itu sudah Rp20 triliun sendiri [total penyerapan anggaran MBG]. Seperti itu mekanismenya. Sehingga penyerapan itu di ujung akan sangat besar, bukan diada-adakan, tetapi karena SPPG-nya bertambah,” tutur Dadan.

    Sementara itu, terkait dengan pernyataan Menkeu Purbaya soal rencana konferensi pers rutin setiap bulan, Dadan tidak menjawab secara gamblang apakah akan menerima usulan tersebut. Namun, dia memastikan bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memantau anggaran MBG setiap saat.

    “Saya perlu informasikan bahwa saya dengan Menkeu itu [berkomunikasi] setiap saat, jadi mereka akan memantau setiap saat,” ujarnya.

    Menurutnya, pada era Menkeu Sri Mulyani Indrawati, BGN telah beberapa kali berkesempatan memaparkan ke publik perihal serapan anggaran MBG.

    Dadan menyebut bakal melakukan hal yang sama dengan Purbaya, seiring komunikasi yang juga dijalin dengan tiga Wakil Menteri Keuangan yakni Thomas Djiwandono, Anggito Abimanyu, dan Suahasil Nazara.

    Isu Minyak Babi di Food Tray

    Di sisi lain, program MBG juga kini diterpa isu adanya kandungan minyak babi pada food tray impor asal China. Polemik ini turut mengundang perhatian Presiden Prabowo Subianto.

    Presiden Prabowo pun turun tangan untuk meminta klarifikasi langsung dari Kepala BGN terkait dengan persoalan tersebut. 

    Dadan mengaku mendapatkan telepon dari Presiden Prabowo Subianto terkait dengan masalah ompreng alias food tray MBG. Dia mengatakan bahwa Kepala Negara menanyakan perihal percepatan penyaluran MBG dan masalah food tray yang disinyalir mengandung minyak babi.

    “Nah, itu tadi yang ditanya Pak Presiden, kenapa saya mengangkat telepon. Begini, food tray itu isunya menggunakan minyak, itu bukan pada food tray-nya. Karena komponen food tray itu logam, salah satunya nikel. Jadi tidak ada minyak di dalam food tray,” ucap Dadan.

    Pekerja menyiapkan menu makanan sebelum didistribusikan ke sekolah, di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Dapur Kebayunan, Depok, Jawa Barat, Senin (6/1/2025). Badan Gizi Nasional (BGN) mengoperasikan 190 SPPG atau dapur untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG). -JIBI/Bisnis/Arief Hermawan

    Dia lantas menjelaskan bahwa minyak baru digunakan pada saat proses stamping alias pencetakan ompreng. Setelahnya, minyak dibersihkan dan direndam hingga steril. Menurutnya, yang menjadi isu adalah jenis minyak apa yang digunakan dalam proses ini. Dadan menyampaikan bahwa produksi food tray dalam negeri rata-rata menggunakan minyak nabati.

    “Kita akan fokuskan food tray ini berbasis industri dalam negeri. Untuk yang impor, kami sudah koordinasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) agar food tray yang diimpor sudah distempel halal,” terangnya.

    Terkait masalah kebutuhan impor, dia memaparkan bahwa kebutuhan rata-rata per bulan saat ini mencapai 15 juta ompreng, tetapi kapasitas produksi nasional baru berkisar 11,6 juta.

    Oleh karenanya, BGN bakal tetap mempertahankan kebijakan impor food tray untuk menambal kekurangan tersebut, seraya memastikan seluruhnya tersertifikasi halal.

    “Kalau kita tutup impornya, takutnya program ini [MBG] akan terganggu. Namun demikian, kita sudah kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal agar seluruh importir meminta sertifikat halal,” tutur Dadan.

    Sementara itu, Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) DKI Jakarta mengeklaim telah menemukan kandungan minyak babi dalam food tray impor asal China yang digunakan dalam program MBG.

    Atas temuan itu, RMI-NU DKI Jakarta mendesak agar pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menghentikan importasi food tray untuk program MBG.

    Wakil Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta Wafa Riansah mengatakan hasil pengujian laboratorium di dua lokasi di China menunjukkan adanya kandungan lemak babi dalam pelumas food tray.

    “Kami [RMI-NU DKI Jakarta] tes di China di dua tempat, itu semuanya menyatakan positif ada kandungan minyak babi atau lemak babi. Jadi makanya hari ini kita laporkan di Kementerian Perdagangan, hasil lab ada,” kata Wafa di Kantor Kemendag, Jakarta, Kamis (18/9/2025).

    Namun, Wafa menyatakan bahwa RMI—NU DKI Jakarta mendukung penuh MBG yang merupakan program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Namun, lanjut dia, pihaknya menolak akan adanya alat makan, yakni food tray yang mengandung unsur minyak babi.

    “Kami sangat mendukung program Presiden Prabowo, MBG, makan bergizi gratis, tetapi kami menolak food tray impor yang pelumasnya menggunakan minyak babi. Jadi kami sangat menolak,” ujarnya.

    Untuk itu, dia meminta agar Kemendag menghentikan impor food tray untuk MBG. Wafa juga menegaskan pihaknya siap bertanggung jawab penuh atas temuan kandungan minyak babi pada food tray tersebut.

    “Hari ini kami meminta juga ke Kementerian Perdagangan untuk menyetop impor apabila ini terjadi atau menggunakan minyak babi, jadi kami dari RMI-NU DKI menyatakan bahwa hari ini kami siap bertanggung jawab atas pernyataan yang kami sampaikan di dunia dan akhirat,” imbuhnya.

    Sementara itu, Ketua RMI-NU DKI Jakarta Rakhmad Zailani Kiki mengatakan kandungan minyak babi pada food tray itu tidak memenuhi standar makanan (food grade) dan kehalalan menjadi permasalahan serius bagi pemerintah.

    Adapun, kata dia, ke depan pemerintah akan mendorong Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib bagi produk seperti food tray. Di sisi lain, Rakhmad juga mendukung agar produsen dalam negeri mampu menyediakan food tray yang halal, aman, dan sesuai standar nasional.

    “Kita paham betul bahwa ini adalah sebuah program prioritas yang memang pengadaannya mendesak untuk tidak semua kemudian bisa selesai dalam waktu yang cepat juga, disiapkan oleh para pengusaha sehingga impor dibuka kita paham itu, bahwa itu kebutuhan impor,” pungkasnya.

  • Bos BGN Ungkap Serapan Anggaran Rendah Gegara Banyak Tak Yakin MBG Jalan

    Bos BGN Ungkap Serapan Anggaran Rendah Gegara Banyak Tak Yakin MBG Jalan

    Jakarta

    Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengungkapkan alasan serapan anggaran yang masih rendah. Ia menyinggung tentang banyak pihak tidak yakin terhadap jalannya program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai salah satu penyebabnya.

    Menurut Dadan, penyerapan anggaran di BGN sangat erat kaitannya dengan jumlah penerima manfaat. Dengan demikian, yang menjadi salah satu mesin penyerapan anggaran adalah jumlah Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) atau dapur MBG.

    Namun demikian, pada awal pelaksanaan program MBG pemerintah masih cukup berhati-hati. Bahkan pada kala itu, juga banyak pihak yang tidak yakin kalau program MBG bisa berjalan.

    “Satu SPPG berdiri, satu hari, maka Rp 1 miliar satu bulan akan terserap. Kita kenapa lambat di awal? Karena kan banyak orang yang tidak yakin program ini akan jalan. Januari itu kan hanya 190 SPPG, itu penyerapannya berapa? Hanya Rp 190 miliar,” kata Dadan di Kantor BGN, Jakarta Pusat, Kamis (18/9/2025).

    Per hari ini, Dadan mengatakan, sudah ada 8.344 SPPG beroperasi dan diperkirakan realisasi penyerapan anggaran telah mencapai Rp 8,3 triliun. BGN menargetkan, realisasi terus bertambah seiring waktu.

    Ditargetkan pada bulan ini jumlah SPPG bertambah menjadi 10.000 sehingga realisasi bisa tembus Rp 10 triliun. Dadan menargetkan, pada Oktober mendatang jumlah SPPG bertambah menjadi 20.000 sehingga penyerapannya bisa tembus hingga Rp 20 triliun.

    Persoalan lambatnya penyerapan anggaran BGN sempat mendapat sorotan dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Saat ditanya tentang permintaan Purbaya agar BGN mengadakan jumpa pers update realisasi keuangan secara rutin, Dadan mengatakan komunikasi intensif terus berjalan.

    “Saya perlu informasikan bahwa saya dengan menkeu itu setiap saat (koordinasi), mereka kan mantau setiap saat. Bahkan dengan Bu Sri Mulyani dulu kan sudah dua atau tiga kali konferensi pers. Jadi, karena Pak Menkeu baru, nanti kita akan lakukan dengan Pak Menkeu baru, tapi dengan tiga wamennya kan sudah biasa,” kata Dadan.

    Ancaman Menkeu ke Instansi yang Penyerapannya Lambat

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa akan keliling ke kementerian dan lembaga (K/L) yang penyerapan anggarannya belum optimal. Jika dirasa tidak bisa membelanjakannya sampai akhir tahun, maka anggaran tersebut akan diambil kembali.

    “Tadi saya izin ke Pak Presiden, bulan depan saya akan mulai beredar di kementerian-kementerian yang besar yang penyerapan anggarannya belum optimal. Kita akan coba lihat, kita akan bantu,” kata Purbaya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

    Ia akan melihat penyerapan anggaran K/L sampai Oktober 2025. Jika anggaran dirasa tidak bisa terserap sepenuhnya sampai akhir tahun, maka anggaran tersebut akan diambil kembali untuk dialihkan ke program-program yang langsung dirasakan masyarakat.

    Di samping itu, Purbaya juga sempat menyoroti rendahnya penyerapan anggaran BGN untuk program MBG. Pihaknya sudah memantau aktivitas BGN, namun dinilai masih baik sehingga belum diketahui penyebab rendahnya penyerapan anggaran.

    “Saya bilang ya udah nanti sebulan sekali kita akan jumpa pers dengan Kepala BGN, nanti kalau penyerapannya jelek, dia suruh jelasin ke publik, saya di sebelahnya,” kata Purbaya, dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).

    Menurutnya, penyerapan anggaran yang lambat disertai rentetan masalah di baliknya bisa saja menjadi penyebab dampak MBG kurang optimal bagi pertumbuhan ekonomi. Ia teringat masa saat ada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk memantau penyerapan anggaran.

    Tonton juga video “Komisi IX DPR Minta BGN Tak Ragu Kasih Sanksi ke SPPG” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (shc/ara)

  • DPR Ungkap Tugas Berat Menkeu Purbaya

    DPR Ungkap Tugas Berat Menkeu Purbaya

    Jakarta

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memiliki tugas berat sebagai sosok yang menggantikan Sri Mulyani Indrawati. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyebut, Purbaya harus bisa menjawab mitos atau hipotesis di masyarakat bahwa ekonomi Indonesia akan runtuh jika tidak dengan Sri Mulyani.

    Menurutnya, sosok Sri Mulyani adalah orang yang hebat sebagai Menkeu selama lebih dari 10 tahun ini. Masyarakat Indonesia juga tahu Sri Mulyani pernah menduduki jabatan sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.

    “Tentunya Pak Purbaya ini harus menjawab sebuah hipotesis yang mengatakan bahwa kalau Menteri Keuangannya bukan Sri Mulyani, apakah ekonomi Indonesia ini masih tetap stabil dalam menjaga sentimen pasar? Apakah harga saham akan jatuh? Apakah rupiah akan terkoreksi?,” kata dia dalam diskusi Menteri Keuangan Baru Harapan Baru Menata Ekonomi, di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (18/9/2025).

    Menurutnya, bayang-bayang Sri Mulyani sebagai sosok yang dapat menjaga perekonomian Indonesia masih melekat di pikiran masyarakat Indonesia. Apalagi, ia menyebut banyak yang mengatakan perekonomian Indonesia tanpa Sri Mulyani akan terguncang.

    Namun, ia menyebut itu hanya sebuah mitos dan saat ini sudah diruntuhkan oleh keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memilih Purbaya sebagai Menkeu baru.

    “Tapi yang perlu kita kuatkan itu adalah keberanian Bapak Presiden untuk menghapuskan, meruntuhkan mitos-mitos bahwa Menteri Keuangan kalau tidak dengan Sri Mulyani ini, Indonesia akan kolaps. Keberanian Bapak Presiden untuk meruntuhkan tembok besar psikologis seluruh seluruh rakyat Indonesia,” tuturnya.

    Meski demikian, ke depan kinerja dari Purbaya juga harus dilihat apakah benar-benar bisa menjalankan amanah dari Prabowo. Karena menurut Misbakhun, kriteria dari seorang Presiden dalam memilih menteri adalah yang bisa menjalankan visi misinya.

    “Nah inilah yang sedang dicari oleh Bapak Presiden. Dan apakah figur seorang Pak Purbaya itu adalah figur yang diinginkan Bapak Presiden? Nah inilah yang harus kita cermati ke depan,” terangnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah juga mengatakan bahwa dipilihnya Purbaya sebuah langkah yang dilakukan Prabowo meruntuhkan mitos bahwa Sri Mulyani sebagai Menkeu yang tidak tergantikan.

    “Hari ini, pasar hijau yang terutama karena kebijakan BI dan kebijakan The Fedd yang menurunkan suku bunga. Jadi ini membuktikan bahwasnya mitos, bahwasnya bu Sri Mulyani tidak tergantikan. Itu sudah terjawab,” pungkasnya.

    Tonton juga video “Bank Cukup Bayar Bunga 2% Kalau Dana Rp 200 T Disalurkan ke Kopdes” di sini:

    (ada/rrd)

  • DPR Mau Panggil OJK-BEI Bahas soal Free Float Saham

    DPR Mau Panggil OJK-BEI Bahas soal Free Float Saham

    Jakarta

    Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bakal memanggil Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek Indonesia (BEI), dan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) untuk membahas batas saham yang diperdagangkan atau free float pada penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO).

    Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, menjelaskan saat ini terdapat batas free float ada di angka 7,5% dengan dengan total emiten yang memenuhi ketentuan sebanyak 907 perusahaan tercatat dan 47 lainnya berada di bawah ketentuan free float.

    Inarno menyebut, semakin tinggi ketentuan free float, akan semakin banyak emiten yang tidak memenuhi ketentuan. Seandainya ketentuan tersebut dinaikkan menjadi 10%, hanya ada sebanyak 764 emiten yang memenuhi ketentuan begitu juga seterusnya.

    Sementara untuk perkiraan nilai free float, ada sebanyak Rp 13,42 triliun dana investasi yang harus diserap pasar modal. Begitu juga seterusnya, jika free float dinaikan menjadi 10%, nilai yang harus diserap oleh pasar itu sebesar Rp 36,64 triliun.

    “Jadi saya ingin mengatakan bahwasannya ini yang memang perlu kita diskusikan, artinya kami harus diskusikan. Bahwasannya untuk menaikan 10% (free float) itu pasar yang harus atau nilai free float yang harus diserap oleh pasar untuk 10% itu Rp 36,64 triliun,” ungkap Inarno dalam Raker bersama Komisi XI DPR RI, dikutip dari YouTube TV Parlemen, Kamis (18/9/2025).

    Ke depan, OJK akan mengubah free float IPO berdasarkan nilai kapitalisasi pasar calon emiten. Adapun saat ini, ketentuan free float IPO diputuskan berdasarkan ekuitas calon emiten.

    Jika ekuitas calon emiten sebesar Rp 500 miliar, ketentuan free float yang harus dipenuhi sebesar 20% dan terus menyusut sesuai besaran ekuitas yang dimiliki calon emiten. Skema ini juga akan digunakan jika ketentuan free float berdasarkan kapitalisasi pasar.

    “Nantinya kita akan ubah menjadi berdasarkan bukan dari nilai ekuitas tetapi dari kapitalisasi pasar. itu kalau lebih kecil dari Rp 5 triliun itu kira-kira minimumnya 20% antara Rp 5 triliun dan Rp 50 triliun itu 15% dan lebih besar dari Rp 50 triliun itu 10%. Ini ada initial free float IPO,” jelasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menyebut perubahan ketentuan ini penting melibatkan para pemangku kepentingan pasar modal. Pasalnya, OJK ingin melihat jumlah floating share lebih banyak di pasar saat ada IPO.

    “Di satu sisi kita ingin melihat floating share lebih banyak, tapi di lain sisi kalau kita tidak perkuat demandnya, permintaan terhadap yang akan kita IPO-kan listing-kan, lalu kalau tidak terjual akhirnya nanti tidak terjadi IPO-nya. Kalau kita siarkan dia tinggi ternyata tidak terserap oleh pasar, kan jadi tidak jadi. Jadi mesti dua sisi kita lakukan, kita minta dia lebih besar tapi pasarnya kita perkuat dari segi demand,” ungkapnya.

    Karenanya, Mahendra meminta DPR RI kembali memberi waktu untuk membahas ketentuan free float IPO ini bersama penyelenggara pasar modal, yakni BEI dan AEI. Pada pertemuan tersebut, OJK dan BEI akan memaparkan hasil penyusunan ketentuan free float yang baru.

    “Kami akan menyampaikan kemungkinan-kemungkinan itu yang terbaik. Sebab kami juga memahami cara pandang dari otoritas pajak yang melihatnya ‘ah ini sudah diberikan kok malah meminta lagi sesuatu yang pada gilirannya menguntungkan dari segi emiten itu sendiri’,” jelasnya.

    Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyetujui usul tersebut. Pada agenda pembahasan berikutnya, DPR akan melibatkan BEI dan AEI untuk membahas ketentuan free float IPO dan obligasi.

    “OJK menyampaikan kepada Komisi XI tentang hasil dari penyusunan tentang initial free float IPO dan continuous obligation free float untuk kelanjutannya dibahas bersama dalam rapat kerja OJK bersama Bursa Efek Indonesia dan Asosiasi Emiten Indonesia. Nanti rapatnya kita yang mengatur teknisnya. Kita dahulukan dengan siapa, dengan apa, nanti kita atur. Tentunya kalau kita dengan asosiasi emiten, tentu ini kan bisa RDPU yang kita panggil secara terpisah saat kita rapat dengan pihak otoritas atau lembaga yang mempunyai kewenangan,” ungkap Misbakhun.

    Tonton juga Video Yudhi Sadewa Sebut Jokowi Perkuat Peran LPS: Kita Disamakan OJK

    (acd/acd)