Kementrian Lembaga: Komisi IX DPR RI

  • Menkes Budi Gunadi Minta Iuran BPJS Kesehatan Naik Tahun Ini, Ini Alasannya – Halaman all

    Menkes Budi Gunadi Minta Iuran BPJS Kesehatan Naik Tahun Ini, Ini Alasannya – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan iuran BPJS Kesehatan sudah seharusnya naik tahun ini karena inflasi biaya kesehatan mencapai 15 persen setiap tahun.

    Karenanya, besaran iuran BPJS kesehatan juga perlu disesuaikan agar terjaga keberlangsungan BPJS Kesehatan.

    “Setiap tahun naiknya 15 persen, kan tidak mungkin uang yang ada sekarang itu bisa menanggung kenaikan yang 15 persen itu,” kata Budi dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, pada Selasa (11/2/2025).

    Budi menambahkan, iuran BPJS Kesehatan terakhir kali naik di tahun 2020 atau 5 tahun lalu. 

    Jika iuran BPJS kesehatan tidak disesuaikan, maka kondisi keuangan BPJS Kesehatan akan kritis dan tidak akan lagi mampu bertahan.

    “Sama aja kita ada inflasi 5 persen, kita bilang gaji pegawai negeri, menteri nggak boleh naik selama 5 tahun, itu kan agak menyedihkan juga, kalau kita bilang ke karyawan kita, supir kita gaji nggak naik selama 5 tahun, pada inflasi 15 persen, kan nggak mungkin,” ucapnya.

    Namun, Budi menyebut kenaikan iuran BPJS kesehatan tersebut harus dijalankan dengan adil tanpa menyasar masyarakat miskin. 

    Menurutnya, masyarakat miskin tetap mendapat bantuan pemerintah jika kenaikan iuran benar dilakukan.

    “Nah kalau naik sekarang kita mesti adil, gimana caranya yang miskin jangan kena, itu tugasnya kita kan. Itu sebabnya yang miskin tetap akan di cover 100 persen, PBI (Penerima Bantuan Iuran). Yang akan naik artinya bebannya pemerintah, dan pemerintah nggak apa-apa secara konstitusi kan tugas kita,” ujarnya.

    Budi mengatakan kenaikan iuran BPJS kesehatan bukanlah kebijakan populer, namun perlu segera diputuskan.

    Sebab, jika dibiarkan tanpa ada kenaikan, dikhawatirkan kondisi ini justru berbahaya bagi BPJS Kesehatan dan masyarakat.

    “Jadi memang ini bukan sesuatu yang populer, tapi somebody harus ngomong gitu kan, kalau enggak kita nanti di ujung-ujung meledak, malah bahaya,” ujarnya.

    “Lebih baik kita bilang secara jujur, bahwa dengan kenaikan inflasi kesehatan 10-15 persen per tahun, sedangkan tarif BPJS yang nggak naik 5 tahun, itu kan nggak mungkin, jadi harus naik,” tandasnya.

    Di sisi lain, Kemenkes akan mengubah sistem pembayaran klaim BPJS kesehatan ke rumah sakit. 

    Budi menjelaskan saat ini Indonesia menerapkan sistem INA-CBG’s dalam pembayaran klaim BPJS ke rumah sakit. 

    INA-CBG’S itu merupakan sistem pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur.

    Budi mengatakan model INA-CBG’s yang diimpor dari Malaysia tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi di Indonesia, baik dari segi paket tarif maupun kecocokan dengan jenis layanan rumah sakit di tanah air.

    “Kita mau ubah menjadi Indonesia DRG Group. Kenapa? Karena kita ambil INA-CBG’S kita ambil itu modelnya model Malaysia, kita import saja. Jadi, banyak yang belum cocok dengan kondisi di Indonesia dan juga paket-paketnya juga enggak cocok,” kata Budi.

  • Bocoran Rencana Asuransi Swasta Biayai Peserta BPJS Kesehatan

    Bocoran Rencana Asuransi Swasta Biayai Peserta BPJS Kesehatan

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengusulkan keterlibatan asuransi swasta untuk peserta BPJS Kesehatan kelompok kaya. Menurut Budi skema ini bakal menguntungkan semua pihak saat Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) diterapkan.

    Budi menjelaskan beban yang harus ditanggung oleh BPJS kesehatan untuk menanggung biaya pengobatan kelompok kaya dan miskin cukup berat.

    Di sisi lain, pemerintah juga ingin memperbesar porsi asuransi swasta di Indonesia.

    “Memang untuk beban kesehatan yang total, termasuk orang kaya yang miskin di jumlah, kita tahu, itu sangat berat, impossible untuk ditangguh BPJS sendiri. Itu dasarnya,” ujar Budi dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Jakarta, Selasa (11/2/2025).

    Budi sempat menjelaskan bagaimana skema combine benefit akan berjalan ke depannya. Menurut Budi, orang yang tergolong mampu cenderung memilih kelas rumah sakit yang tinggi.

    Misalnya untuk biaya rumah sakit Rp 10 juta, BPJS memberikan pembayaran sebesar Rp 2 juta. Kemudian dari jumlah Rp 2 juta itu BPJS akan membayar sebesar 70%, sementara sisanya oleh asuransi swasta.

    “Mekanisme yang kita bikin adalah orang itu dibayar oleh BPJS, klaimnya, ke rumah sakitnya, 70% dari Rp 2 juta. Bagus dong buat BPJS? Kalau orang ini sebenarnya mengklaim yang ambil ke BPJS, dia bayarnya beban BPJS Rp 2 juta kan,” tuturnya.

    “Sekarang, yang namanya combine benefit, jadi benefitnya orang itu yang harus bayar Rp 10 juta, dibayarin BPJS, Rp 1,4 juta. Buat BPJS untung, daripada dia bayar klaim BPJS Rp 2 juta, dia bayar Rp 1,4 juta. Sisanya dibayarkan asuransi swasta. Asuransi swastanya nggak usah bayar Rp 10 juta, bayarnya Rp 10 juta kurang Rp 1,4 juta. Untung asuransi swastanya,” tambah dia.

    BPJS Kesehatan untung karena membayar lebih sedikit, sementara pasien untung karena mendapatkan kelas yang lebih mahal tapi bayarnya hanya sekali.

    Menurutnya yang saat ini terjadi banyak orang kaya mengklaim obat-obat mahal ke BPJS Kesehatan sehingga menambah jumlah beban. Padahal ia menilai pihak swasta bisa berperan di situ.

    Pada kesempatan itu Budi juga menegaskan tidak ada paksaan untuk menambah asuransi swasta meski sudah memiliki BPJS Kesehatan. Meskipun budi memberikan catatan adanya potensi pembatasan limit klaim pada kelompok orang kaya.

    “Dia nggak boleh naik dengan seenaknya. Kalau sekarang kan dia naik seenaknya, di charge BPJS-nya mahal. Itu dia nggak boleh naik. Karena saya mau atur, saya nggak boleh naik aja. Itu sebabnya kenapa saya suka dengan satu kelas. Karena ini kan asuransi sosial namanya,” sebutnya.

    “Asuransi sosial, berisi gotong royong, yang kaya harus bayar lebih. Daripada yang miskin, dan dapetin yang sama. Kalau sekarang kan konsep sosial gotong royongnya banci. Karena yang kaya bayar lebih, dia harus dapat lebih bagus. Nah itu bukan asuransi sosial dong,” tutupnya.

    (ily/hns)

  • Menkes Targetkan Semua RS Terapkan Kelas Rawat Inap Standar pada Juni 2025 – Halaman all

    Menkes Targetkan Semua RS Terapkan Kelas Rawat Inap Standar pada Juni 2025 – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin menargetkan, semua Rumah Sakit (RS) di Indonesia, mengimplementasikan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) sebagai pengganti Kelas I, II dan III dalam BPJS Kesehatan pada Juni 2025.

    Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi IX DPR pada Selasa (11/2/2025).

    “Juni ini kita harapkan semua rumah sakit sudah melaksanakan implementasi KRIS, dari 3.228 ada 115 rumah sakit yang kita tidak masuk kewajibannya untuk KRIS,” ujarnya.

    “Ada 3.113, nah ini setengah-setengah lah ya swasta lebih banyak sediki, kemudian ada rumah sakit pemerintah,” imbuhnya.

    Budi menegaskan, tujuan KRIS bukan untuk penghapusan kelas.

    Namun untuk menghadirkan agar ada standar minimal untuk layanan kesehatan yang dapat diakses masyarakat.

    “Jadi tujuan utamanya bukan dari sisi kelas tapi layanan kesehatannya minimal sama dan standarnya terpenuhi,” ucapnya.

    Budi menjelaskan, ada 12 standar kriteria implementasi KRIS.

    Menurut Budi, ada empat kriteria yang masih banyak belum terpenuhi.

    Yakni ukuran pintu kamar mandi yang tidak muat dimasuki kursi roda, kelengkapan Nurse Call dan stop kontak, outlet oksigen di setiap tempat tidur dan ketersediaan kamar mandi di dalam ruangan.

    “Yang agak memerlukan effort tapi menurut kita sangat manusiawi adalah pasang kamar mandi di dalam. Jadi kamar mandinya enggak ush ke luar karena yang bersangkutan kan udah pasien sakit. Kalau bisa kamar mandinya di dalam ruangan tempat tidur mereka, seperti hotel lah,” pungkasnya.

     

  • Menkes: Tambahan Asuransi Swasta Selain BPJS Kesehatan Tidak Wajib, Tapi…

    Menkes: Tambahan Asuransi Swasta Selain BPJS Kesehatan Tidak Wajib, Tapi…

    Jakarta

    Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin buka suara soal kemungkinan tambahan asuransi swasta bagi peserta BPJS Kesehatan kelompok kaya. Menurutnya, penerapan semacam ini lebih ideal dalam konsep asuransi sosial gotong royong, sekaligus mengurangi beban pembiayaan BPJS Kesehatan di tengah potensi defisit.

    Menkes memaparkan sedikitnya dua pemikiran terkait konsep di balik penambahan asuransi swasta. Seperti diketahui, secara keseluruhan, sangat berat untuk BPJS Kesehatan meng-cover atau membiayai seluruh pengobatan kelompok miskin hingga kelompok kaya.

    Karenanya, perlu kombinasi penambahan asuransi swasta. “Ini jangan disalahartikan, karena untuk orang yang mampu. Misalnya mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan Pertamina, BUMN, dia kan pasti ambil swasta, begitu ambil swasta, asuransi swasta itu mesti setor ke BPJS, ada porsi untuk BPJS, jadi bayarnya dari satu sisi,” ungkap Menkes dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Selasa (11/2/2025).

    Menkes mencontohkan wacana mekanisme penerapan tambahan asuransi swasta. Bila yang bersangkutan mendatangi RS, kelompok kaya umumnya mengambil kelas paling tinggi.

    Misalnya, untuk penyakit jantung, yang di-cover mungkin hanya pasang ring. Jika biayanya lebih dari itu, maka hanya sekitar 70-80 persen yang ditanggung.

    “Sekarang yang namanya combine benefit, jadi benefitnya yang dia bayar misalnya itu Rp 10 juta, dibayarin BPJS Rp 1,4 juta, buat BPJS untung, daripada dia bayar klaimnya Rp 2 juta, sisanya dibayarin asuransi swastanya, asuransi swastanya bayarnya Rp 10 juta dikurang Rp 1,4 juta, untung asuransi swastanya, BPJS untung bayarnya lebih sedikit, pasiennya untung karena dia bisa dapatkan kelas yang lebih mahal tapi bayarnya sekali,” beber Menkes.

    “Jadi maksud asuransi swasta bukan independen sendiri, tapi dalam mekanisme combine benefit, dengan BPJS, nah ini yang harus didorong supaya terjadi, karena yang sekarang terjadi adalah orang kaya-nya ini dia ketika masuk, dia klaimnya semua ke BPJS, obat-obat mahalnya, dan BPJS terpaksa boncos,” sambung dia.

    Menkes Sebut Tak Ada Paksaan, Tapi…

    Penambahan asuransi swasta meski sudah memiliki kepesertaan BPJS Kesehatan memang hanya berupa anjuran. Tentu artinya tidak wajib. Meski begitu, Menkes Budi memberikan catatan kemungkinan pembatasan limit klaim pada kelompok kaya.

    Pada akhirnya, Menkes mengaku lebih menyukai konsep satu kelas lantaran paling sesuai dengan makna asuransi sosial gotong royong.

    “Itu sebabnya saya suka dengan satu kelas karena ini kan asuransi sosial namanya, asuransi sosial gotong royong yang kaya harus bayar lebih, daripada yang miskin, dan dapatnya yang sama, kalau sekarang kan prinsip gotong royongnya tidak begitu, yang kaya harus dapat lebih bagus, itu bukan asuransi sosial dong.”

    “Asuransi sosial bayar lebih untuk nanggung yang miskin, jangan dia bayar lebih, minta lebih, nah itu konsepnya dengan KRIS, karena yang kaya harusnya bayar lebih dia harus dapat sama dengan ini, yang kaya nggak mau ambil asuransi swasta boleh tapi dia ditreatnya sama dong dengan temannya yang miskin, jangan kemudian ditreat lebih tinggi dengan ada perbedaan kelas,” pungkasnya.

    Menkes ingin menerapkan konsep semacam itu dengan kelas rawat inap standar (KRIS) penyesuaian ruang rawat inap dengan dalih menyesuaikan akses kelompok miskin untuk juga mendapatkan pengobatan yang lebih baik.

    (naf/kna)

  • Dirut BPJS Kesehatan Heran Ada yang Mampu Beli Rokok, tetapi Tak Mau Bayar Iuran

    Dirut BPJS Kesehatan Heran Ada yang Mampu Beli Rokok, tetapi Tak Mau Bayar Iuran

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengaku heran dengan ulah sejumlah warga Indonesia yang tidak mau membayar iuran BPJS. Padahal, kata Ali, mereka rela mengeluarkan biaya hingga Rp 500.000 per bulan untuk membeli rokok.

    Hal tersebut disampaikan Ali menyinggung kelompok peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) BPJS Kesehatan.

    “Memang peserta PBPU, upahnya enggak dapat nih, itu paling sulit karena tekanan ekonomi dan segala macam, sehingga enggak ada kesadarannya. Namun, kalau beli rokok mampu, Rp 500.000 sebulan mampu,” ujar Ali dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2025).

    Ali menegaskan, iuran bulanan BPJS kesehatan tidak sampai sepersepuluh pengeluaran untuk rokok. Dia mencontohkan biaya untuk kelas 3 BPJS Kesehatan adalah Rp 42.000. Lalu, ditambah subsidi pemerintah sebesar Rp 7.000, maka biayanya menjadi Rp 35.000 per bulan.

    “BPJS enggak sampai sampai sepersepuluhnya. Bukan Rp 48.000, tetapi Rp 42.000. Kalau bayar masih disubsidi oleh pemerintah, baik pusat, daerah, bayarnya itu Rp 35.000,” tandas dia.

    Dalam raker tersebut, Ali juga membantah BPJS Kesehatan akan bangkrut dan akan gagal bayar pada 2025. Pasalnya, saat ini beredar informasi BPJS mengalami gagal bayar selama tiga bulan ke rumah sakit. Padahal, informasi itu tidak benar alias hoaks.

    “Saya tekankan di sini sampai 2025, BPJS tidak akan bangkrut dan tidak akan gagal bayar. Karena di medsos, waduh bunyinya gagal bayar tiga bulan dan 6 bulan baru dibayar rumah sakit. Saya sampaikan tidak ada,” tandas Ali.

    Ali juga memastikan seluruh rumah sakit sudah diselesaikan pembayarannya. Menurut dia, jika tidak terdapat dispute atau sengketa, maka pihaknya akan membayar klaim BPJS ke rumah sakit dalam waktu tidak lebih dari 15 hari.

    “Asal klaimnya beres, artinya itu tidak ada dispute, kalau dispute maka diagnosisnya masih dispute sehingga belum diputuskan atau pending klaim ya. BPJS Kesehatan bayar tidak lebih dari 15 hari. Kami jamin dan jangan dibandingkan dengan swasta loh ya,” pungkasnya.

  • Kemenkes Akan Ubah Sistem Pembayaran Klaim BPJS Kesehatan ke Rumah Sakit, Ini Alasannya – Halaman all

    Kemenkes Akan Ubah Sistem Pembayaran Klaim BPJS Kesehatan ke Rumah Sakit, Ini Alasannya – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Kesehatan RI akan mengubah sistem pembayaran klaim BPJS kesehatan ke rumah sakit. 

    Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, perubahan sistem pembayaran klaim BPJS ini, agar lebih efektif dan tepat sasaran. Budi menjelaskan, saat ini Indonesia menerapkan sistem INA-CBG’s dalam pembayaran klaim BPJS Kesehatan ke rumah sakit. 

    INA-CBG’S itu merupakan sistem pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur.

    Budi mengatakan model INA-CBG’s yang diimpor dari Malaysia tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi di Indonesia, baik dari segi paket tarif maupun kecocokan dengan jenis layanan rumah sakit di tanah air.

    Hal itu disampaikannya dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, pada Selasa (11/2/2025).

    “Kita mau ubah menjadi Indonesia DRG Group. Kenapa? Karena kita ambil INA-CBG’S kita ambil itu modelnya model Malaysia, kita import saja.”

    “Jadi, banyak yang belum cocok dengan kondisi di Indonesia dan juga paket-paketnya juga enggak cocok,” kata Budi di Ruang Rapat Komisi IX DPR, Senayan, Jakarta.

    Budi mengatakan, dalam sistem yang ada, referensi rumah sakit kelas A seringkali didasarkan pada jumlah tempat tidur yang lebih banyak, padahal seharusnya berdasarkan tingkat keparahan penyakit pasien. 

    Misalnya, pasien kanker harusnya dirujuk ke rumah sakit kelas A, yang memiliki kompetensi lebih baik dalam menangani penyakit tersebut, bukan karena faktor kapasitas tempat tidur.

    “Semua presiden juga kalau semua sakit mata, Bu Mega, Pak SBY, Pak Jokowi ya ke Jakarta Eye Center, itu artinya dia harus kelas A.”

    “Jangan hanya karena kamarnya kecil cuma 50 dia kasih Klas B. Nah, itu yang akan kita ubah dan itu akan berpengaruh ke DRG’S. Kemudian nanti Klas KRIS juga masuk,” ujarnya. 

    Sistem akan beralih ke INA-DRG. Model INA-DRG merupakan sistem pembayaran klaim BPJS Kesehatan berdasarkan kesamaan klinis dan kemiripan penggunaan sumber daya dalam perawatan pasien.

    “Jadi kenapa kita mesti ubah? Karena nanti RS bapak ibu, sekarang kan rujukannya dibagi Klas A dirujuk, itu tempat tidurnya lebih banyak. Padahal harusnya rujukan itu penyakitnya yang lebih parah kan,” ucapnya. 

    “Orang sakit cancer enggak bisa di Klas B, ya kita rujuk ke Klas A, kenapa? Karena Klas A tempat tidurnya lebih banyak, ya salah dong. Harusnya dirujuk Klas A karena kompetensi dia menangani cancer lebih baik,” tandasnya. 

     

     

     

     

     

  • Menkes Akan Ubah Sistem Pembayaran Klaim BPJS Kesehatan ke Rumah Sakit

    Menkes Akan Ubah Sistem Pembayaran Klaim BPJS Kesehatan ke Rumah Sakit

    Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Kesehatan berencana mengubah sistem pembayaran klaim BPJS Kesehatan ke rumah sakit. Perubahan sistem pembayaran klaim BPJS Kesehatan ini diterapkan agar lebih efektif dan tepat sasaran.

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, saat ini Indonesia menerapkan sistem INA-CBG’s dalam pembayaran klaim BPJS ke rumah sakit. INA-CBG’S itu merupakan sistem pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur.

    Budi mengatakan, model INA-CBG’s yang diimpor dari Malaysia ini tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi di Indonesia, baik dari segi paket tarif maupun kecocokan dengan jenis layanan rumah sakit di Tanah Air.

    “Kita mau ubah menjadi Indonesia DRG Group. Kenapa? Karena kita ambil INA-CBG’S itu modelnya model Malaysia dan kita impor. Jadi, banyak yang belum cocok dengan kondisi di Indonesia dan juga paket-paketnya juga enggak cocok,” ujar Budi dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2025).

    Budi menjelaskan, dalam sistem klaim BPJS kesehatan yang ada, referensi rumah sakit kelas A sering kali didasarkan pada jumlah tempat tidur yang lebih banyak, padahal seharusnya berdasarkan tingkat keparahan penyakit pasien.

    “Jadi kenapa kita mesti ubah? Karena rujukan RS sekarang kan rujukannya dibagi kelas A dirujuk, itu tempat tidurnya lebih banyak. Padahal harusnya rujukan itu penyakitnya yang lebih parah kan,” kata Budi.

    Sebagai contoh, pasien kanker harusnya dirujuk ke rumah sakit kelas A, yang memiliki kompetensi lebih baik dalam menangani penyakit tersebut, bukan karena faktor kapasitas tempat tidur.

    “Orang sakit cancer enggak bisa di kelas B, ya kita rujuk ke kelas A, kenapa? Karena kelas A tempat tidurnya lebih banyak, ya salah dong. Harusnya dirujuk ke kelas A karena kompetensi dia menangani cancer lebih baik,” ucap Budi.

    Diketahui, model INA-DRG merupakan sistem pembayaran klaim BPJS Kesehatan berdasarkan kesamaan klinis dan kemiripan penggunaan sumber daya dalam perawatan pasien.
     

  • Menkes Beberkan Persoalan yang Bikin Sistem Iuran BPJS Kesehatan Perlu Diubah, Revisi Maret 2025 – Halaman all

    Menkes Beberkan Persoalan yang Bikin Sistem Iuran BPJS Kesehatan Perlu Diubah, Revisi Maret 2025 – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin membeberkan tiga persoalan yang membuat tarif iuran BPJS Kesehatan perlu direvisi.

    Persoalan pertama terkait dengan pembayaran asuransi kesehatan di Indonesia yang masih terbilang kecil.

    Budi mengungkapkan tiap tahunnya baru 32 persen belanja kesehatan yang dikeluarkan lewat asuransi.

    Dia pun berharap agar belanja kesehatan terus didorong selalu naik agar iuran BPJS Kesehatan bisa disesuaikan.

    “Itu (belanja kesehatan) harusnya naik sampai 80-90 persen. Sehingga, kita bisa memiliki tenaga untuk mendorong balik agar harga yang dikasih di supply side itu reasonable,” kata Budi dalam rapat kerja (raker) bersama dengan Komisi IX DPR di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2025), dikutip dari YouTube TV Parlemen.

    Lalu, persoalan kedua adalah, ketika belanja kesehatan tidak dikontrol, dalam 10 tahun akan terjadi masalah terkait anggaran.

    Budi mengatakan hal tersebut saat ini tengah dialami oleh Amerika Serikat (AS).

    “Dalam 10 tahun ke depan, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan akan (terkena) problem. Karena ini akan menjadi isu politik yang sangat tinggi di mana kesehatan dan kematian itu prioritasnya tinggi di masyarakat.”

    “Jadi, politiknya akan tinggi, butuh belanjanya kalau nggak hati-hati akan kayak Amerika tuh. 79 tahun (di AS) butuh 11.000 dolar. Padahal, kalau di Kuba, 79 tahun hanya butuh 1.900 dolar,” katanya.

    Dengan paparan di atas, Budi mengatakan pihaknya ingin mengubah pengelompokan tarif BPJS Kesehatan yang semula berbasis INA-CBGs (Indonesian-Case Based Groups) menjadi INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Groups).

    Pasalnya, ketika Indonesia masih memakai sistem INA-CBGs ternyata masih belum cocok secara situasinya.

    Ditambah, kata Budi, paket pembiayaan jaminan kesehatan masih banyak yang tidak sesuai.

    Sebagai informasi, sistem INA-CBGs merupakan sistem pengelompokan penyakit berbasis kasus yang saat ini digunakan oleh BPJS Kesehatan untuk mengatur pembiayaan dan pemberian layanan kesehatan berdasarkan pada kelompok penyakit atau kasus yang serupa.

    Sementara, sistem INA-DRG adalah sistem klasifikasi kombinasi dari beberapa jenis diagnosa penyaki serta tindakan yang dilakukan di rumah sakit yang dikaitkan dengan pembiayaan terhadap pasien dengan pertimbangan mutu dan efektivitas pelayanan.

    Adapun sistem INA-DRG justru dirasa bisa memberi manfaat bagi rumah sakit lantaran bisa meningkatkan standar pelayanan.

    Budi pun menargetkan sistem iuran BPJS ke INA DRG dapat selesai pada Maret atau April 2025.

    Dia menyebut perubahan ini bertujuan agar inflasi kesehatan di Indonesia di Indonesia terkendali pada 10-15 tahun ke depan.

    “Tujuannya apa? Agar inflasi kesehatan ini bisa terkendali 10-15 tahun ke depan. Karena kalau tidak, nanti akan berat sekali bebannya untuk negara baik pemerintah maupun individu masing-masing karena belanjanya akan berat sekali,” katanya.

    (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

     

     

  • Menkes Bakal Ubah Skema Tarif Pembayaran BPJS Kesehatan ke RS

    Menkes Bakal Ubah Skema Tarif Pembayaran BPJS Kesehatan ke RS

    Jakarta

    Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengungkap rencananya mengubah skema tarif pembayaran BPJS Kesehatan ke rumah sakit. Ke depannya, skema tarif pembayaran BPJS Kesehatan akan diubah dari INACBG atau Indonesian Case Based Group menjadi iDRG atau Indonesia Diagnostic Related Group.

    “Kita mau ubah dari INACBG menjadi iDRG, kita juga minta masukan dari asosiasi rumah sakit untuk pengelompokan layanan penyakit,” kata Menkes Budi dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (11/2/2025).

    Skema pembayaran baru dengan iDRG ini disebut akan dirinci berdasarkan level tertentu. Dalam pemaparannya, perubahan ini disebut untuk memastikan kesamaan kasus secara klinis.

    Dia menyebutkan saat ini sudah terkumpul sekitar 22 ribu kode diagnosis dan prosedur yang disesuaikan dengan pelayanan di rumah sakit.

    “Kelompoknya akan disesuaikan dengan keadaan dan kejadian di Indonesia seperti apa,” ucap dia.

    Dalam kesempatan tersebut Menkes Budi juga menyinggung terkait implementasi KRIS atau kelas rawat inap standar yang direncanakan akan diberlakukan mulai Juni 2025. Rencananya sekitar 3 ribuan rumah sakit seluruh Indonesia dipersiapkan untuk perubahan KRIS tersebut.

    Implementasi KRIS ini disebutnya bertujuan untuk menerapkan standar minimal layanan bagi masyarakat.

    “Jadi tujuan utamanya bukan dari sisi kelas, tapi layanan kesehatannya minimal sama dan standarnya dipenuhi,” bebernya.

    (kna/naf)

  • Menkes Budi Sadikin Targetkan Implementasi KRIS di Seluruh Rumah Sakit pada Juni 2025

    Menkes Budi Sadikin Targetkan Implementasi KRIS di Seluruh Rumah Sakit pada Juni 2025

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihak menargetkan penerapan atau implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dimulai pada Juni 2025 mendatang. KRIS merupakan pengganti Kelas I, II dan III dalam BPJS Kesehatan.

    “Juni ini kita harapkan semua rumah sakit sudah melaksanakan implementasi KRIS, dari 3.228 ada 115 rumah sakit yang kita tidak masuk kewajibannya untuk KRIS,” ujar Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2025).

    Dari jumlah 3.113 rumah sakit yang sudah melaksanakan KRIS, kata Budi, sebagian besar adalah rumah sakit swasta.

    Budi menegaskan tujuan KRIS utamanya bukan sebagai penghapusan kelas melainkan agar ada standar minimal untuk layanan kesehatan yang dapat diakses masyarakat.

    “KRIS itu sebenarnya adalah menerapkan standar minimal layanan bagi masyarakat. Jadi tujuan utamanya bukan dari sisi kelas tetapi layanan kesehatannya minimal sama dan standarnya terpenuhi,” jelas dia.

    Merujuk Pasal 46A ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024, telah mengatur 12 persyaratan mengenai fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS.

    Ke-12 persyaratan tersebut adalah komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi; ventilasi udara memenuhi pertukaran udara pada ruang perawatan biasa minimal 6 (enam) kali pergantian udara per jam; pencahayaan ruangan buatan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur; dan kelengkapan tempat tidur berupa adanya 2 (dua) kotak kontak dan nurse call pada setiap tempat tidur.

    Selain itu, ada persyaratan soal adanya nakas per tempat tidur; dapat mempertahankan suhu ruangan mulai 20 sampai 26 derajat celsius; ruangan telah terbagi atas jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit (infeksi dan noninfeksi); kepadatan ruang rawat inap maksimal 4 (empat) tempat tidur, dengan jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter; tirai/partisi dengan rel dibenamkan menempel di plafon atau menggantung; kamar mandi dalam ruang rawat inap; kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas; dan outlet oksigen.

    “Ada 12 standar yang kita kasih. tidak semuanya sulit. Ada beberapa yang misalnya kasih partisi, temperatur ruangan, ventilasinya mesti bagus, tetapi mungkin ada yang agak memerlukan effort,” katanya.

    Meskipun demikian, Budi mengatakan sangat manusiawi jika kamar mandi dipasang di dalam ruangan. Hal ini dikarenakan pasien yang bersangkutan sudah dalam kondisi sakit, sehingga tidak perlu pergi ke luar untuk menggunakan kamar mandi.

    “Sebaiknya, kamar mandi tersebut berada di dalam ruangan tempat tidur pasien, seperti yang ada di hotel,” pungkas Budi seusai mengumumkan penerapan KRIS.