DPR Kebut Pembahasan RUU Penyesuaian Pidana agar Kelar Sepekan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi III DPR RI dan pemerintah mengebut pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana agar bisa rampung dalam pekan ini.
Wakil Ketua Komisi III
DPR RI
Dede Indra Permana Soediro mengatakan, hasil pembahasan yang dimulai pada Selasa (15/11/2025) besok bisa langsung disepakati pada 1 Desember 2025, dan dibawa ke rapat paripurna DPR RI pada pekan depan.
“Tanggal 25-26 November 2025 rapat Panja RUU tentang Penyesuaian Pidana. Setelahnya, tanggal 27 November 2025 rapat Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RUU tentang Penyesuaian Pidana,” ujar Dede dalam rapat di Gedung DPR RI, Senin (24/11/2025).
“Tanggal 1 Desember 2025 rapat kerja pembahasan tingkat 1 atau pengambilan keputusan atas RUU tentang Penyesuaian Pidana,” sambungnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum
Edward Omar Sharif Hiariej
mengatakan, percepatan pembahasan ini untuk memastikan regulasi pelengkap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (
KUHP
) tersebut dapat selesai sebelum KUHP mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
“Yang jelas
RUU Penyesuaian Pidana
ini harus diselesaikan sebelum KUHP baru berlaku. Kalau tadi kita melihat susunan rencana kerja, pada hari Selasa dan hari Rabu akan dilakukan pembahasan. Kemudian pada hari Senin akan ada persetujuan tingkat pertama, kemudian akan masuk di Paripurna,” ujar Eddy saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (24/11/2025).
Eddy meyakini bahwa pembahasan RUU ini tidak akan menghadapi persoalan substansial.
Sebab, beleid itu hanya untuk menyesuaikan berbagai peraturan yang ada dengan ketentuan di KUHP terbaru.
“Jadi sebetulnya tidak ada isu yang kritikal, karena ini semata-mata adalah masalah teknis. Jadi kita mengubah sekian banyak undang-undang di luar KUHP itu untuk disesuaikan dengan KUHP Nasional. Demikian juga dengan belasan ribu Peraturan Daerah yang harus disesuaikan dengan KUHP Nasional. Makasih ya,” kata Eddy.
Pemerintah pun telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Penyesuaian Pidana kepada Komisi III DPR RI.
Dalam paparannya di ruang rapat, Eddy menjelaskan bahwa RUU tersebut terdiri atas tiga bab dan disiapkan sebagai aturan turunan dari KUHP.
“Bapak Ibu Pimpinan dan anggota Komisi III DPR RI yang kami muliakan, secara garis besar RUU ini berisi 3 Bab. Bab I Penyesuaian Pidana dalam Undang-Undang di luar KUHP,” ucap Eddy dalam rapat kerja di Komisi III DPR RI, Senin (24/11/2025).
Pada Bab I, pemerintah mengusulkan penghapusan pidana kurungan sebagai pidana pokok dan penyesuaian kategori pidana denda agar sesuai dengan Buku I KUHP.
Harmonisasi tersebut dilakukan untuk memastikan keseragaman pemidanaan nasional.
“Penyelesaian ancaman pidana penjara untuk menjaga personalitas dan menghilangkan disparitas. Penataan ulang pidana tambahan agar sesuai dengan sistem sanksi dalam KUHP. Penyesuaian dilakukan untuk memberikan satu standar pemidanaan yang konsisten secara nasional,” kata Eddy.
Bab II RUU memuat penataan aturan pidana dalam peraturan daerah (Perda), termasuk larangan memuat kembali pidana kurungan dalam Perda.
Pembatasan tersebut ditujukan agar regulasi pemidanaan di daerah tetap proporsional.
“Bab II penyesuaian pidana dalam peraturan daerah. Adapun materi yang diatur: Satu, pembatasan pidana denda yang dapat diatur dalam peraturan daerah yang paling tinggi kategori ke-3 sesuai sistem KUHP. Dua, penghapusan pidana kurungan dalam seluruh peraturan daerah,” jelas Eddy.
“Tiga, penegasan bahwa peraturan daerah hanya dapat memuat ketentuan pidana untuk norma tertentu yang bersifat administratif dan berskala lokal,” sambungnya.
Adapun Bab III berisi penyesuaian dan penyempurnaan KUHP.
Menurut Eddy, perubahan redaksional dan teknis penulisan diperlukan untuk menghindari multitafsir saat KUHP diberlakukan.
“Bab III penyesuaian dan penyempurnaan KUHP. Penyesuaian terhadap UU KUHP dilakukan pada pasal-pasal yang memerlukan perbaikan redaksional dan teknis penulisan, penegasan ruang lingkup norma, dan harmonisasi ancaman pidana agar tidak lagi mengandung minimum khusus atau rumusan kumulatif yang tidak sesuai dengan sistem baru,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Komisi III DPR RI
-
/data/photo/2025/03/11/67d03de6a8725.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
DPR Kebut Pembahasan RUU Penyesuaian Pidana agar Kelar Sepekan
-

Kementerian Hukum Serahkan DIM RUU Penyesuaian Pidana ke DPR, Ini yang Diatur
Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Hukum menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana ke Komisi III DPR RI, Senin (24/11/2025), di Ruang Komisi III DPR RI.
Pembahasan ini sebagaimana berdasarkan keputusan nomor 64/DPR RI/I/2024-2025 tentang Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2025 dan Program Legislasi Nasional RUU 2025-2029. RUU Penyesuaian Pidana masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional tahun 2025-2029.
Wakil Menteri Hukum Edward, Omar Sharif Hiariej menyampaikan RUU Penyesuaian Pidana merupakan perintah dari pasal 613 KUHP Nasional.
RUU Penyesuaian Pidana berisikan III bab. Pada Bab I berisikan penyesuaian pidana di luar Undang-Undang KUHP, bagian ini memuat antara lain penghapusan pidana kurungan sebagai pidana pokok, penyesuaian kategori pidana denda dengan mengacu pada buku ke-1 KUHP.
“Penyelesaian ancaman pidana penjara untuk menjaga personalitas dan menghilangkan disparitas, penataan ulang pidana tambahan agar sesuai dengan sistem sanksi dalam KUHP, [dan] penyesuaian dilakukan untuk memberikan satu standar pemidanaan yang konsisten secara nasional,” katanya Senin (24/11/2025).
Kemudian Bab II terkait penyesuaian pidana dalam peraturan daerah. Dalam bab ini akan mengatur tentang pembatasan pidana denda yang dapat diatur dalam peraturan daerah yang paling tinggi kategori ke-3 sesuai sistem KUHP, penghapusan Pidana kurungan dalam seluruh peraturan daerah, dan penegasan bahwa peraturan daerah hanya dapat memuat ketentuan pidana untuk norma tertentu yang bersifat administratif dan berskala lokal.
Ketentuan ini menjaga proporsionalitas pemidanaan, dan mencegah over regulation. Kemudian pada Bab III penyesuaian dan penyempurnaan KUHP, di mana akan memperbaiki kesalahan redaksiona, dan teknis penulisan, penegasan ruang lingkup norma, serta harmonisasi ancaman pidana agar tidak lagi mengandung minimum khusus atau rumusan kumulatif yang tidak sesuai dengan sistem baru.
Setelah itu, delapan fraksi menyampaikan pandangannya dan menyatakan setuju bahwa RUU Penyesuaian Pidana dibahas ditingkat selanjutnya.
“Maka dapat kami sampaikan DIM RUU tentang Penyesuaian Pidana dengan rincian sebagai berikut dari klasterisasi batang tubuh 479 DIM, klasterisasi penjelasan 160 DIM,” jelas Dede Indra Permana Soediro selaku pimpinan sidang.
Dalam kesempatan itu, Komisi III bersama pemerintah juga menyetujui pembentukan Panitia Kerja (Panja) yang dipimpin oleh Dede Indra Permana.
Selanjutnya RUU akan dibahas pada pekan ini dan ditargetkan rampung sebelum masa reses atau pada awal Desember.
-

Komisi III DPR Nilai KPK Pamerkan Uang ke Publik Bentuk Akuntabilitas
Jakarta –
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Dede Indra Permana Soediro, mengapresiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan penjelasan terkait uang Rp 300 miliar yang dipamerkan saat konferensi pers bukan pinjaman bank. Dede mengatakan penjelasan dari KPK sebagai bentuk ketegasan.
“Kinerja KPK harus kita apresiasi. Transparansi dan ketegasan dalam pengungkapan kasus merupakan bagian dari integritas lembaga,” kata Dede kepada wartawan, Sabtu (22/11/2025).
Dede menyoroti langkah KPK dalam melakukan aset recovery dari tindak pidana korupsi. Menurutnya, upaya pengembalian kerugian negara merupakan poin yang sama pentingnya dengan penegakan hukum terhadap pelaku.
“KPK tidak hanya menjalankan fungsi penindakan, tetapi juga berhasil mengembalikan aset negara yang sebelumnya hilang akibat korupsi. Ini langkah yang sangat strategis,” ucapnya.
Ia menyebut pencegahan tindak pidana korupsi dan pemulihan aset menjadi dua pilar penting dalam pemberantasan korupsi. Politikus PDIP ini berharap KPK konsisten dalam setiap kinerja yang ditampilkan kepada publik.
“Harapan kita bersama, kinerja KPK semakin baik dan konsisten mengedepankan pencegahan serta pengembalian aset kepada negara,” sambungnya.
Dikonfirmasi terpisah, anggota Komisi III Fraksi NasDem Rudianto Lallo mengatakan publikasi uang sitaan oleh KPK ke masyarakat adalah bentuk pembuktian. Rudianto mengatakan KPK menjaga akuntabilitas dalam memproses perkara.
Rudianto Lallo juga menilai bahwa langkah KPK menampilkan uang tunai Rp 300 miliar dalam konferensi pers merupakan bentuk komunikasi publik yang efektif. Wakil Ketua Mahkamah Partai NasDem ini menyebut KPK memberikan bukti bahwa proses pengembalian aset benar dilakukan.
“Publik butuh bukti nyata. Ketika KPK menunjukkan secara terbuka uang sitaan itu, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum semakin meningkat,” imbuhnya.
Ketua KPK: Dari Dulu Uang Sitaan Sering Ditampilkan
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, buka suara terkait tumpukan uang ratusan miliar terkait kasus investasi fiktif PT Taspen yang dipamerkan ke publik. Setyo mengatakan setiap uang yang dipublikasikan ke masyarakat sebagai bentuk transparansi.
“Dari dulu sudah sering ditampilkan uang sitaan sebagai bentuk transparansi,” kata Setyo kepada wartawan, Sabtu (22/11).
(dwr/jbr)
-
/data/photo/2025/04/08/67f4ef48c6121.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Elemen Koalisi Sipil Tanggapi Habiburokhman: Yang Pemalas adalah DPR
Elemen Koalisi Sipil Tanggapi Habiburokhman: Yang Pemalas adalah DPR
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Koalisi Masyarakat Sipil menanggapi Ketua Komisi III DPR yang menyebut mereka sebagai pemalas dalam mencermati pembahasan RUU KUHAP yang kini telah mejadi UU KUHAP.
“Enggak bisa juga dibilang bahwa Koalisi Sipil malas. Sebenarnya yang pemalas adalah DPR itu sendiri karena tidak mau membuat draf lebih baik lagi, lebih sempurna lagi, dan tergesa-gesa mengesahkan,” kata Ketua Umum
YLBHI
, Muhammad Isnur, kepada
Kompas.com
, Jumat (21/11/2025).
YLBHI atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia merupakan salah satu LSM elemen
Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Pembaruan
KUHAP
.
KUHAP termutakhir telah disahkan oleh rapat paripurna DPR pada Selasa (18/11/2025) lalu.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP terdiri dari banyak LSM antara lain YLBHI, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Lembaga Bantuan Hukum APIK, Lokataru Foundation, Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan AJI.
Mereka mengkritisi
KUHAP terbaru
sejak KUHAP masih dalam tahap draf pembahasan dan setelah KUHAP itu menjadi undang-undang.
Koalisi juga merasa dicatut namanya saat rapat Panitia Kerja (Panja)
RUU KUHAP
berlangsung di
Komisi III DPR
pada 12 dan 13 November 2025.
Dia juga merasa undangan Komisi III DPR ke LSM-LSM penentang KUHAP terbaru sebagai undagan yang sia-sia karena KUHAP sudah telanjur disahkan DPR menjadi undang-undang.
“Pertanyaannya, mengundang untuk apa ya? Karena seharusnya mengundang itu sebelum disahkan ketika masih dalam tahap perbaikan,” kata
“Tidak lagi ada kesempatan untuk memperbaiki. Kita enggak perlu penjelasan mereka,” kata Isnur.
Ketua Komisi III DPR RI
Habiburokhman
menanggapi sejumlah kritik terhadap pasal-pasal kontroversial dalam KUHAP terbaru yang dinilainya berangkat dari informasi keliru.
Dia bahkan menyindir pihak yang menyoroti beberapa pasal kontroversial revisi KUHAP sebagai koalisi pemalas, karena tidak membaca dokumen maupun mengikuti pembahasan secara utuh.
“Nah, ini kan berarti koalisi pemalas, dia enggak lihat live streaming kita debat khusus soal ini. Ini koalisi pemalas saja kita kasih nama. Tidak benar,” ujar Habiburokhman, dalam konferensi pers di gedung DPR, Rabu (18/11/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan Habiburokhman ketika memaparkan penjelasan tak akurat soal pasal-pasal kontroversial di RUU KUHAP yang perlu diluruskan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/11/691318cf010fb.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Natalius Pigai Siap Fasilitasi Masyarakat yang Tak Puas dengan KUHAP Baru
Natalius Pigai Siap Fasilitasi Masyarakat yang Tak Puas dengan KUHAP Baru
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyatakan, Kementerian HAM siap menfasilitasi masyarakat yang tidak puas dengan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang baru disahkan DPR.
“Kita tetap berada dan berpijak kepada orang yang merasa aspek-aspek HAM-nya masih belum maksimal. Silakan menyampaikan pendapatnya, pikirannya, perasaannya, berdiskusi, dan berdialog dengan
Kementerian HAM
. Kementerian HAM akan memfasilitasi,” kata Pigai di Hotel Shangri-La, Jakarta, Jumat (21/11/2025).
Pigai mengatakan, Kementerian HAM akan terbuka untuk menyampaikan kepada pemerintah dan
DPR
mengenai aspek HAM yang belum ditampung dalam RKUHAP.
“Kementerian HAM terbuka pintu untuk menyampaikan kepada pihak-pihak yang berkewajiban untuk melakukan koreksi kalau di dalam KUHAP tersebut tidak mewadahi aspek-aspek yang beririsan dengan hak asasi manusia,” ujarnya.
Meski demikian, Natalius menilai proses penegakan hukum dalam KUHAP yang baru memiliki unsur HAM sebanyak 80 persen.
Dia mengatakan, selain menyampaikan kepada Kementerian HAM, masyarakat juga dapat melakukan uji materi atau
judicial review
ke Mahkamah Konstitusi (MK) bila tetap tidak puas dengan
KUHAP baru
.
“Oleh karena itu, kalau akan memperumit ruang hidup dan kebebasan serta hak asasi anak cucu kita dan cicit kita, maka silakan ajukan judicial review. Kementerian HAM tidak tanggung-tanggung memberi dukungan kalau hanya soal HAM,” ucap dia.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi undang-undang.
Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026, pada Selasa (18/11/2025).
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman dalam laporannya menyampaikan bahwa KUHAP memerlukan pembaruan untuk memperkuat posisi warga negara dalam hukum.
KUHAP baru yang telah disahkan DPR disebutnya telah mengakomodasi kebutuhan kelompok rentan; memperjelas syarat penahanan; perlindungan dari penyiksaan; penguatan dan perlindungan hak korban; kompensasi; restitusi; rehabilitasi; hingga keadilan restoratif.
“Di KUHAP yang lama, negara itu terlalu powerful, aparat penegak hukum terlalu powerful. Kalau di KUHAP yang baru, warga negara diperkuat, diberdayakan haknya, diperkuat melalui juga penguatan profesi advokat sebagai orang yang mendampingi warga negara,” ujar Habiburokhman membacakan laporan Komisi III dalam rapat paripurna.
KUHAP yang baru disahkan menjadi undang-undang dibutuhkan seiring bakal berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2 Januari 2026.
“Komisi III bersama rekan-rekan pemerintah mengucapkan syukur alhamdulillah atas telah selesainya pembahasan RUU tentang KUHAP yang sangat dibutuhkan seluruh penegak hukum di negeri ini yang akan mendampingi penggunaan KUHP,” ujar Habiburokhman.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/10/17/68f1adcf80180.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KUHAP Baru, Pasal Pemblokiran Jadi Polemik Pihak DPR vs Koalisi Sipil
KUHAP Baru, Pasal Pemblokiran Jadi Polemik Pihak DPR vs Koalisi Sipil
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– KUHAP versi terbaru telah mengatur soal pemblokiran rekening hingga akun media sosial. DPR versus Koalisi Masyarakat Sipil berbeda pandangan soal pasal ini.
KUHAP
termutakhir telah disahkan oleh rapat paripurna
DPR
pada Selasa (18/11/2025).
KUHAP terbaru itu disahkan usai dibahas oleh Panitia Kerja (Panja)
RUU KUHAP
di
Komisi III DPR
, dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.
Polemik mengemuka soal pasal-pasal di dalamnya, termasuk soal
pemblokiran
.
Dalam KUHAP versi lama (UU Nomor 8 Tahun 1981), tidak ada pasal yang mengatur mengenai pemblokiran.
Dalam KUHAP terbaru, pemblokiran didefinisikan sebagai tindakan untuk mencegah semetara waktu terhadap akses penggnaan bermacam-macam jenis hal, mulai dari pemindahan harta, bukti kepemilikan, transaksi perbankan, akun
medsos
, informasi elektronik, dokumen elektronik, hingga produk administratif.
Selanjutnya, ada bagian khusus soal pemblokiran dalam KUHAP terbaru, yakni pada bagian kesembilan, pasal 140. Berikut bunyinya:
Pasal 140
(1) Pemblokiran dapat dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim.
(2) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin ketua pengadilan negeri.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat informasi lengkap mengenai alasan perlunya dilakukan pemblokiran minimal meliputi:
a. uraian tindak pidana yang sedang diproses;
b. dasar atau fakta yang menunjukkan objek yang akan diblokir memiliki relevansi dengan tindak pidana yang sedang diproses dan sumber perolehan dasar atau fakta
tersebut; dan
c. bentuk dan tujuan Pemblokiran yang akan dilakukan terhadap masing-masing objek yang akan diblokir.
(4) Ketua pengadilan negeri wajib meneliti secara cermat permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak permohonan izin diajukan.
(5) Ketua pengadilan negeri dapat meminta informasi tambahan dari Penyidik mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Pemblokiran hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali untuk jangka waktu 6 (enam) Bulan.
(7) Dalam keadaan mendesak, Pemblokiran dapat dilaksanakan tanpa izin ketua pengadilan negeri.
(8) Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi:
a. potensi dialihkannya harta kekayaan;
b. adanya tindak pidana terkait informasi dan transaksi elektronik;
c. telah terjadi permufakatan dalam tindak pidana terorganisasi; dan/atau
d. situasi berdasarkan penilaian Penyidik.
(9) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Penyidik dalam jangka waktu paling lama 2×24 (dua kali dua puluh empat) jam meminta persetujuan kepada ketua
pengadilan negeri setelah dilakukan Pemblokiran.
(10) Ketua pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 2×24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah Penyidik meminta persetujuan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (9) mengeluarkan penetapan.
(11) Dalam hal ketua pengadilan negeri menolak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), penolakan harus disertai dengan alasan.
(12) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) mengakibatkan Pemblokiran wajib dibuka dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja oleh pejabat yang memerintahkan Pemblokiran dengan mengeluarkan surat perintah pencabutan Pemblokiran.
(13) Dalam hal perkara dihentikan pada tahap Penyidikan, Penuntutan, atau berdasarkan putusan Praperadilan mengenai tidak sahnya penetapan Tersangka, Pemblokiran harus dibuka dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja oleh pejabat yang memerintahkan Pemblokiran dengan mengeluarkan surat perintah pencabutan Pemblokiran.
Pihak DPR melalui Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menjamin bahwa aturan soal pemblokiran dan bentuk upaya paksa lainnya diatur lebih ketat di KUHAP versi terbaru ini.
“Pemblokiran, Pasal 140, dilakukan harus dengan izin ketua pengadilan. Jadi enggak benar ya apa namanya kalau tanpa izin ya,” kata Habiburokhman saat jumpa pers di Gedung DPR, Rabu (19/11/2025).
Pemblokiran dan upaya paksa lainnya tidak dapat dilakukan hanya berdasar subjektivitas aparat.
“Jadi pengaturan soal penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan pemblokiran ini jauh lebih baik di
KUHAP baru
daripada di KUHAP Lama,” kata politikus Partai Gerindra ini.
Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Pembaruan KUHAP menilai Pasal 140 itu mengandung celah penyalahgunaan subjektivitas aparat untuk melakukan pemblokiran, terlepas dari izin pengadilan.
“Perlu ditegaskan bahwa izin hakim tersebut dapat dikecualikan dan pengecualian tersebut bersifat sangat rentan untuk disalahgunakan secara subjektif,” kata Koalisi melalui siaran pers, Rabu (19/11/2025).
Celah itu ada pada ayat (7) dan (8) yang mengatur bahwa pemblokiran tanpa izin ketua pengadilan dapat dilakukan dalam keadaan mendesak.
“Yang paling rentan disalahgunakan adalah alasan pemblokiran tanpa izin pengadilan berdasarkan ‘situasi berdasarkan penilaian Penyidik’,” kata Koalisi.
Ada syarat-syarat ‘keadan mendesak’ sebagaimana diatur di ayat (8), namun menurut Koalisi, syarat itu bersifat pilihan dan tidak wajib dipenuhi seluruhnya.
“Syarat tersebut juga alternatif, yang artinya sesederhana bahwa tanpa perlu melihat alasan-alasan yang lain, cukup dengan alasan adanya ‘penilaian penyidik’ maka sudah bisa menjadi dasar untuk pemblokiran tanpa izin pengadilan,” kata Koalisi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

DPR: RUU Penyesuaian Pidana sesuaikan hukuman mati hingga denda
Isinya tidak substansial ya, hanya bersifat penyesuaiannya
Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi III DPR RI Soedison Tandra menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyesuaian Pidana akan menyesuaikan hukuman pidana mati hingga mengatur kategori untuk hukuman denda.
Dia mengatakan bahwa RUU Penyesuaian Pidana itu untuk mengikuti pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku mulai 2026. Sehingga ketentuan-ketentuan hukuman dari yang sebelumnya diterapkan berdasarkan KUHP lama, akan diterapkan berdasarkan KUHP yang baru.
“Isinya tidak substansial ya, hanya bersifat penyesuaiannya,” kata Tandra di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan bahwa RUU Penyesuaian Pidana itu nantinya akan mengatur bahwa pidana denda akan diberlakukan kategori, mulai dari kategori 1, kategori 2, dan kategori 3. Namun dia belum menjelaskan secara rinci isi kategorisasi tersebut.
“Lalu, ada penyesuaian mengenai masa pidana, yang dulunya pidananya di atas berapa tahun, kemudian harus menyesuaikan dengan KUHP,” katanya.
Selain itu, dia mengatakan bahwa pidana mati di dalam KUHP baru diterapkan oleh hakim secara bersyarat. Maka perkara yang sudah diputus untuk hukuman mati, akan menyesuaikan dengan KUHP baru.
“Jadi (dalam KUHP baru), dia masa 10 tahun berkelakuan baik dan sebagainya, dapat dirubah menjadi seumur hidup,” kata dia.
Dia mengatakan bahwa RUU tersebut ditargetkan rampung sebelum masa persidangan ini berakhir. Pasalnya, dia mengatakan bahwa KUHP baru akan berlaku mulai 3 Januari 2026, sedangkan masa reses DPR RI akan dimulai pada 10 Desember 2025.
“Supaya apa? Sinkronisasi, harmonisasi. Untuk ada kepastian hukum juga. Tujuannya itu,” katanya.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Komisi III DPR mulai susun RUU Penyesuaian Pidana pekan depan
Jakarta (ANTARA) – Komisi III DPR RI bakal mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyesuaian Pidana pada pekan depan guna mempersiapkan penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan diberlakukan 2026.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan pihaknya bersama Kementerian Hukum sudah menggelar rapat secara internal pada Kamis ini untuk membahas penyusunan RUU tersebut.
“Persiapan rapat hari Senin (24/11). Undang-Undang Penyesuaian Pidana,” kata Habiburokhman di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej yang juga turut hadir dalam rapat itu menjelaskan bahwa RUU Penyesuaian Pidana adalah perintah dari Pasal 613 KUHP. Dalam jangka waktu tiga tahun setelah disahkan, KUHP baru harus disesuaikan antara Undang-Undang lainnya, termasuk hingga peraturan daerah.
“Harus selesai. Kalau nggak, KUHP baru nggak bisa dilaksanakan,” kata Eddy.
Dia menjelaskan bahwa RUU Penyesuaian Pidana hanya sedikit karena terdiri dari 35 pasal yang terbagi ke dalam tiga bab.
“Bab,m satu, penyesuaian antara UU di luar KUHP, ini mengenai ketentuan pidana. Dua, penyesuaian Perda dengan KUHP nasional. Dan yang ketiga kan di KUHP ada beberapa typo, nah itu yang kita betulin,” katanya.
Sebelumnya, Komisi III DPR RI segera berlanjut ke pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana setelah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah disetujui untuk menjadi undang-undang.
Komisi III DPR RI pun berharap RUU itu bisa segera rampung di sisa waktu masa persidangan ini sebelum memasuki masa reses pada 10 Desember 2025.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
/data/photo/2025/10/20/68f5e8fd158aa.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
