Kementrian Lembaga: Komisi III DPR RI

  • 2
                    
                        Mahasiswa Dihalau Saat Ingin Aksi ke Wapres, Anggota DPR: Aparat Jangan Represif
                        Nasional

    2 Mahasiswa Dihalau Saat Ingin Aksi ke Wapres, Anggota DPR: Aparat Jangan Represif Nasional

    Mahasiswa Dihalau Saat Ingin Aksi ke Wapres, Anggota DPR: Aparat Jangan Represif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR RI Abdullah mengkritik adanya penghalauan dan penahanan sementara terhadap tiga mahasiswa yang ingin menggelar aksi protes secara damai kepada Wakil Presiden (Wapres)
    Gibran Rakabuming Raka
    di Kota Blitar, Jawa Timur.
    Abdullah meminta aparat keamanan agar tidak bereaksi berlebihan atau bertindak represif menghadapi sejumlah mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasi.
    Apalagi, lanjut Abdullah, tiga mahasiswa itu tidak memuat unsur kekerasan, ujaran kebencian, atau tindakan yang mengancam keselamatan pejabat negara.
    “Penangkapan mahasiswa karena membawa poster bertuliskan pertanyaan atau kritik terhadap Wakil Presiden, apapun narasinya, adalah bentuk reaksi yang berlebihan,” kata Abdullah, kepada wartawan, Sabtu (21/6/2025).
    Menurut dia, sikap reaktif aparat yang berlebihan dapat menciptakan iklim ketakutan terhadap
    kebebasan berekspresi
    di Tanah Air.
    “Aparat jangan-lah
    over reaction
    , apalagi sampai represif seperti itu dalam menyikapi bentuk aspirasi publik yang dilindungi dalam konstitusi kita,” imbuh dia.
    Abdullah menilai, penghadangan terhadap mahasiswa itu tidak sesuai konstitusi.
    Sebab, warga negara punya hak konstitusional untuk bebas menyampaikan pendapat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
    “Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyampaikan pendapat. Aksi mahasiswa yang membentangkan poster kritik terhadap kebijakan publik jelas merupakan ekspresi damai, bukan ancaman keamanan,” ujar dia.
    Meski akhirnya ketiga mahasiswa itu dibebaskan, Abdullah menilai bahwa kritik terhadap pejabat tertinggi bukanlah tindakan kriminal, melainkan bagian dari partisipasi publik yang seharusnya dilindungi.
    Legislator dari Dapil Jawa Timur VI itu pun menilai sikap aparat tersebut tidak dapat dibenarkan secara demokratis.
    “Maka tindakan pengamanan yang berujung pada penahanan selama berjam-jam adalah bentuk pembatasan kebebasan sipil yang tidak dapat dibenarkan secara demokratis,” ujar dia.
    Politikus PKB ini menyoroti tindakan aparat yang membawa mahasiswa ke suatu tempat tertutup selama kurang lebih empat jam tanpa proses hukum dan kejelasan status.
    Menurut dia, tindakan polisi ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip
    due process of law
    dan membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang.
    “Aparat sebagai perwakilan negara dalam kasus ini, seharusnya hadir sebagai pelindung ruang demokrasi, bukan pengendali narasi tunggal kekuasaan,” kata Abdullah.
    Abdullah mengatakan, pengamanan terhadap pejabat tinggi negara memang penting.
    Namun, jangan dijadikan alasan pengamanan untuk meredam aspirasi masyarakat secara sewenang-wenang.
    Dia menekankan demokrasi bukan hanya soal pemilu, tapi juga tentang keberanian mendengar suara berbeda.
    “Kalau ruang kritik yang sah dan damai ditanggapi dengan penangkapan atau pembungkaman, maka kita sedang menghadirkan demokrasi yang hanya prosedural, bukan substantif,” tutur Abdullah.
    Abdullah berharap ke depannya tidak ada upaya lanjutan untuk membungkam mahasiswa secara struktural.
    Sebagai bagian dari fungsi pengawasan, Komisi III DPR RI disebut akan terus memastikan bahwa prinsip-prinsip negara hukum dijalankan secara adil.
    “Kami akan mengawal agar tidak ada bentuk intimidasi lanjutan. Kritik mahasiswa adalah bagian dari kontrol publik. Justru pejabat publik perlu mendengarkannya secara terbuka dan bertanggung jawab,” ujar dia.
    Diberitakan sebelumnya, tiga mahasiswa diringkus personel Paspampres saat membentangkan poster ke arah iring-iringan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang tengah menuju ke sebuah rumah makan di Jalan Kalimantan, Kota Blitar, Rabu (18/6/2025) siang.
    Aksi tersebut terekam dalam sebuah video berdurasi 10 detik.
    Terlihat tiga personel Paspampres memiting dua mahasiswa serta merebut sejumlah poster dari tangan mereka.
    Satu orang mahasiswa yang juga ikut membentangkan poster itu tidak terlihat dalam video tersebut.
    Wakil Kepala Polres Blitar Kota, Kompol Subiyantana, membenarkan peristiwa tersebut, tetapi membantah adanya penangkapan.
    “Informasinya tiga mahasiswa itu membawa poster mau menerobos rombongan Wakil Presiden itu sehingga dihalau untuk dipinggirkan,” ujar Subiyantana saat dikonfirmasi awak media.
    “Ketiganya sekarang sudah pulang. Wong cuma dihalau, suruh minggir. Kalau VVIP kan harus steril,” kata dia lagi.
    Terpisah, Ketua Pengurus Cabang Blitar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Muhammad Thoha Ma’ruf, melalui keterangan tertulisnya kepada awak media mengatakan bahwa sebenarnya ada empat mahasiswa yang membentangkan empat poster.
    “Ada empat poster catatan kritis mahasiswa PMII Blitar terhadap Wapres Gibran. Kami memang berniat membentangkan poster itu sebagai sambutan untuk Wapres Gibran,” ujar Thoha.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU
                        Nasional

    7 Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU Nasional

    Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Putusan hakim terhadap
    Agnez Mo
    di perkara lagu “Bilang Saja” karya
    Ari Bias
    dinilai oleh Ketua
    Komisi III DPR

    Habiburokhman
    menyalahi Undang-Undang tentang Hak Cipta.
    “Putusan tersebut tidak sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, makanya kita (Komisi III DPR) minta Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) untuk menindaklanjuti laporan,” kata Habiburokhman kepada
    Kompas.com
    , Sabtu (21/6/2025).
    Putusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang dinilai problematik itu bernomor 92/PDT.SUS-HKI/CIPTA/2024/PN Niaga JKT.PST, dibacakan pengadilan pada 30 Januari 2025 lalu.
    “Kami tidak dalam posisi mengintervensi pengadilan, tapi memang faktanya demikian (putusan hakim tidak sesuai UU),” kata Habiburokhman.
    Pandangan ini selaras dengan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan yang mengadu ke Komisi III DPR lewat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada Jumat (20/6/2025) kemarin.
    Hakim memvonis Agnez telah menggunakan lagu “Bilang Saja” tanpa izin penciptanya yakni Ari Bias dalam tiga kali konser komersial. Putusan hakim itu mewajibkan Agnez Mo membayar Rp 1,5 miliar ke Ari Bias.
    Adapun UU Hak Cipta mengatur bahwa orang tak perlu izin langsung ke pencipta karya asalkan membayar kepada pencipta karya lewat Lembaga Manajemen Kolektif atau LMK.
    Di pengujung RDPU di Komisi III DPR kemarin, Habiburokhman kemudian meneruskan dugaan yang disampaikan Koalisi agar diselidiki oleh Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA).
    “Komisi III DPR meminta kepada Bawas MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan nomor register 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujar Habiburokhman.
    Dalam jumpa pers ini, hadir pula pihak Dirjen Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, Bawas MA, dan juga penyanyi Tantri dari Band Kotak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan Kasus Agnez Mo Diduga Langgar UU, Ini Argumennya

    Putusan Kasus Agnez Mo Diduga Langgar UU, Ini Argumennya

    Putusan Kasus Agnez Mo Diduga Langgar UU, Ini Argumennya
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Koalisi Advokat Pemantau Peradilan menduga putusan hakim yang mewajibkan
    Agnez Mo
    membayar Rp 1,5 miliar ke
    Ari Bias
    itu melanggar undang-undang. Simak argumennya.
    “Dari kita Koalisi Advokat Pemantau Peradilan di sini menyoroti adanya dugaan pelanggaran kode etik dalam penerapan hukum terkait hak cipta ini,” kata perwakilan Koalisi dalam jumpa pers usai rapat dengar pendapat umum di
    Komisi III DPR
    , Jakarta, Jumat (20/6/2025) kemarin.
    Mereka menilai majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memutus perkara lagu “Bilang Saja” karya Ari Bias yang dibawakan Agnez Mo itu telah mengabaikan Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 87 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
    Mari kita simak pasal yang disebut oleh perwakilan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan tersebut.
    Pasal 23
    (5) Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
    Pasal 87
    (1) Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk Iayanan publik yang bersifat komersial.
    (2) Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
    Menurut Koalisi, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)-lah yang bertugas membayar royalti lagu “Bilang Saja” ke Ari Bias, bukan Agnez Mo sebagai penyanyi lagu “Bilang Saja” yang berkewajiban membayar ke Ari Bias.
    “Yang di mana dalam putusan tersebut yang seharusnya yang bertanggung jawab itu adalah LMK dan penyelenggara. Di situ di putusan tersebut hakim menuntut kerugian kepada penyanyi, yang di mana hakim tersebut telah mengabaikan prinsip-prinsip dalam penerapan hukum,” ujar perwakilan Koalisi.
    Argumentasi selanjutnya yang melandasi dugaan Koalisi bahwa hakim telah menyalah undang-undang dan melanggar kode etik adalah soal pengabaian keterangan ahli.
    “Yang kedua juga, majelis hakim dalam penerapan hukumnya sudah mengabaikan keterangan ahli tergugat, Iqbal Taufik analis ahli muda Dirjen Kekayaan Intelektual,” ujarnya.
    Dalam jumpa pers hasil RDPU ini, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman kemudian meneruskan dugaan yang disampaikan Koalisi agar diselidiki oleh Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA).
    “Komisi III DPR meminta kepada Bawas MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan nomor register 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujar Habiburokhman.
    Dalam jumpa pers ini, hadir pula pihak Dirjen Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, Bawas MA, dan juga penyanyi Tantri dari Band Kotak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU
                        Nasional

    Vonis Agnez Mo Diduga Salahi UU, Komisi III Minta Bawas MA Tindak Lanjuti

    Vonis Agnez Mo Diduga Salahi UU, Komisi III Minta Bawas MA Tindak Lanjuti
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Dalam rapat,
    Komisi III DPR
    RI meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung (
    Bawas MA
    ) menindaklanjuti dugaan bahwa vonis Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap kasus
    Agnez Mo
    menyalahi undang-undang.
    “Satu, Komisi III DPR meminta kepada Bawas MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan nomor register 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujar Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (20/6/2025).
     
    Komisi III
    DPR RI
    menggelar rapat dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA), dan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait kasus gugatan
    hak cipta
    lagu “Bilang Saja” yang menyeret Agnez Mo.
    Habiburokhman menyebut bahwa pemeriksaan dan putusan hakim atas perkara Agnez Mo tidak sesuai dengan undang-undang (UU).Habiburokhman menyampaikan, Komisi III DPR meminta MA untuk membuat surat edaran atau pedoman terkait panduan untuk penerapan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang
    Hak Cipta
    secara komprehensif.
    Dengan begitu, kata dia, tidak ada lagi putusan yang merugikan dunia seni.
    “Sehingga tidak ada lagi putusan yang tidak mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta merugikan orkestrasi dunia seni dan musik Indonesia,” tuturnya.
    Kemudian, Habiburokhman meminta Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum untuk dapat menyosialisasikan secara luas kepada semua pihak terkait mekanisme perolehan lisensi pengelolaan royalti yang dilakukan melalui LMKN.
    Dengan begitu, Habiburokhman menegaskan, tidak ada lagi sengketa, gugatan, atau putusan peradilan yang dapat merugikan seluruh artis atau pelaku industri musik Indonesia.
    “Termasuk dalam perkara register nomor 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, dan menimbulkan ketidakpastian hukum,” ucap Habiburokhman.
    Dalam kesempatan yang sama, Bawas MA yang diwakili Inspektur Wilayah UU Suradi mengaku telah menerima laporan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan pelanggaran etik majelis hakim yang memutus perkara Agnez Mo.
    “Benar, kita pada tanggal 19 Juni 2025 menerima pengaduan dari Koalisi Advokat tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim,” kata Suradi.

    Suradi pun memastikan MA akan menindaklanjuti laporan tersebut dengan transparan.
    Lalu, Wawan selaku pihak yang mewakili Agnez Mo berharap ada keadilan bagi Agnez Mo dan dunia musik saat ini.
    “Mbak Agnez tetap sebagai warga negara tunduk dan patuh pada proses hukum yang saat ini sedang berjalan sesuai kanalnya dan prosedurnya. Mudah-mudahan dengan waktu yang sesuai, mendapatkan hasil yang baik tidak hanya bagi Mbak Agnez Monica, tetapi juga bagi seluruh pelaku industri di entertainment Indonesia,” jelas Wawan.
    Sebelumnya, penyanyi Agnez Mo dinyatakan bersalah dalam gugatan pencipta lagu Ari Bias terkait royalti sebesar Rp 1,5 miliar.
    Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutus perkara ini pada 30 Januari 2025.
    “Intinya adalah menyatakan tergugat telah melakukan pelanggaran hak cipta karena telah menggunakan secara komersial lagu ciptaan penggugat, ‘Bilang Saja’, pada tiga konser tanpa izin penggugat,” kata kuasa hukum Ari Bias, Minola Sebayang, saat konferensi pers di Fatmawati, Jakarta Selatan, Senin (3/2/2025).
    Pengadilan memerintahkan Agnez untuk membayar royalti sebesar Rp 1,5 miliar dari tiga konser yang memakai lagu Ari Bias.
    “Konser tanggal 25 Mei 2023 di HW Superclubs Surabaya Rp 500 juta, konser tanggal 26 Mei 2023 di H-Club Jakarta Rp 500 juta, dan konser tanggal 27 Mei 2023 di HW Superclub Bandung Rp 500 juta. Total Rp 1,5 miliar,” tutur Minola.
    Minola menuturkan, nominal ganti rugi tersebut diatur dalam Pasal 113 Undang-Undang Hak Cipta.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        DJKI Jelaskan Agnez Mo Orang Pertama yang Terjerat UU Hak Cipta
                        Nasional

    10 DJKI Jelaskan Agnez Mo Orang Pertama yang Terjerat UU Hak Cipta Nasional

    DJKI Jelaskan Agnez Mo Orang Pertama yang Terjerat UU Hak Cipta
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (
    DJKI
    ) Kementerian Hukum mengungkapkan musisi
    Agnez Mo
    menjadi orang pertama yang terjerat kasus Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
    Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Razilu menjelaskan, sejak beleid tersebut disahkan pada 2014, tidak ada seseorang yang dilaporkan dan divonis bersalah dengan
    UU Hak Cipta
    .
    “Intinya adalah sejak UU ini disahkan pada tanggal 16 September 2014 sampai dengan sebelum kejadian Agnez Mo, sebenarnya belum ada kejadian yang dilaporkan terkait dengan kasus ini,” ujar Razilu usai rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR RI, Jumat (20/6/2025).
    Hal tersebut pun dianggap Razilu sebagai bukti tidak adanya masalah dalam aturan yang dimuat dalam UU tersebut.
    Implementasinya pun diyakini berjalan dengan baik karena aturan yang jelas.
    Bahkan, lanjut Razilu, UU Hak Cipta juga telah menegaskan bahwa pembayar
    royalti
    diatur oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) maupun Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
    “Artinya sebenarnya UU ini sudah berjalan cukup lama, ya, hampir 10 tahun lebih. Itu belum pernah ada kasus yang terkait hal ini,” ucap Razilu.
     
    “Jadi menurut kami, apa yang ada dalam peraturan perundang-undangan dengan peraturan pelaksanaannya sudah sangat jelas,” sambungnya.
    Razilu pun mengeklaim bahwa pihaknya telah memperoleh data lengkap mengenai pengelolaan dan pembayaran royalti oleh LMK dan LMKN hingga 2025 ini.
    Berdasarkan data yang didapatkan, royalti yang diperoleh LMK dan LMKN berasal dari penyelenggara kegiatan, misalnya promotor, partai politik, perguruan tinggi, dan perusahaan.
    “Dan juga ada yang dibayar oleh penyanyi sendiri, tetapi yang menyelenggarakan konser sendiri. Jadi ketika dia penyanyi membayar royalti, itu bukan sebagai penyanyi; Dia bayar karena dia menyelenggarakan konser. Itu mungkin penegasan dari kami,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan DJKI, Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA), Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, dan perwakilan musisi, Jumat.
    RDPU itu membahas polemik gugatan royalti oleh komposer atau pencipta lagu terhadap penyanyi atau musisi yang membawakan karya.
    “Jadi dibedah juga tentang kasus yang menimpa saudari Agnez Mo yang diputus oleh pengadilan. Padahal beliau itu cuma penyanyi, bukan penyelenggara sebuah event,” kata Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
    “Tadi dalam RDPU dijelaskan oleh Dirjen Haki bahwa mekanisme pembayaran royalti itu melalui LMK. Secara umumnya begitu, dan yang membayarkan tentu event organizer-nya, pelaksana event,” sambungnya.
    Dalam RDPU tersebut, Komisi III pun bersepakat meminta Bawas MA menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran hakim yang menangani dan memutus perkara gugatan terhadap Agnez Mo oleh komposer
    Ari Bias
    .
    Sebab, putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat itu dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang Hak Cipta.
    “Komisi III DPR RI meminta kepada Bawas Mahkamah Agung untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan oleh Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, terkait dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Perkara dengan Register No.92/PDT.SUS-HK/HAKCIPTA 2024 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” jelas Habiburokhman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan Hakim Perkara Agnez Mo Diduga Langgar UU, DPR Desak 2 Hal Ini ke MA

    Putusan Hakim Perkara Agnez Mo Diduga Langgar UU, DPR Desak 2 Hal Ini ke MA

    Bisnis.com, JAKARTA — Koalisi Advokat Pemantau Peradilan menduga adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan register Nomor 92/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst. Saat ini, mereka melaporkannya ke Mahkamah Agung (MA).

    Sebagai informasi, perkara tersebut merupakan gugatan pelanggaran hak cipta antara Arie Sapta Hernawan (Ari Bias) melawan Agnes Monica Muljoto (Agnez Mo) dan PT Aneka Bintang Gading. Setelah diputuskan hakim, Agnez Mo dinyatakan bersalah dan didenda Rp1,5 miliar.

    Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman meminta kepada Badan Pengawasan (Bawas) MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan ke MA tersebut.

    “Yang diduga pemeriksaan dan keputusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” tuturnya seusai rapat tertutup dengan Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkum, Bawas MA, dan koalisi tersebut, di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Jumat (20/5/2025).

    Selanjutnya, legislator Gerindra ini juga meminta MA untuk membuat surat edaran atau pedoman guna menerapkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dan Ketentuan terkait hak kekayaan intelektual lainnya dengan komprehensif.

    “Sehingga tidak ada lagi putusan yang tidak mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta merugikan orkestrasi dunia seni dan musik Indonesia,” bebernya.

    Selain mendesak dua hal tersebut ke MA, Komisi III DPR juga meminta kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum untuk dapat menyosialisasikan secara luas mengenai mekanisme lisensi dan pengelolaan royalti yang dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

    “Dan pemahamannya terhadap filosofi dan tujuan Undang-Undang No. 28 tahun 2015 tentang hak cipta dan ketentuan perundang-Undang terkait, sehingga tidak ada lagi sengketa, gugatan, putusan, peradilan yang dapat merugikan seluruh artis atau pelaku industri musik Indonesia seperti dalam perkara Nomor 92/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst.,” jelasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Bawas MA juga mengaku sudah menerima laporan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait hal tersebut.

    “Memang benar, kemarin kami menerima pengaduan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perlikau hakim,” ucap Inspektur Wilayah II Bawas MA, Suradi.

    Suradi memastikan pihaknya akan segera menindaklanjuti laporan tersebut. Sebab itu, dia menegaskan hingga sejauh ini masih berupa dugaan saja, bukan sudah pasti ada pelanggaran yang dilakukan hakim.

  • 7
                    
                        Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU
                        Nasional

    2 Komisi III Minta Bawas MA Usut Hakim yang Suruh Agnez Mo Ganti Rugi Rp 1,5 Miliar ke Ari Bias Nasional

    Ketua Komisi III Minta Bawas MA Usut Hakim yang Suruh Agnez Mo Ganti Rugi Rp 1,5 Miliar ke Ari Bias
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Pimpinan Komisi III DPR RI meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) segera menindaklanjuti laporan
    dugaan pelanggaran hakim
    yang menangani perkara gugatan royalti oleh komposer
    Ari Bias
    terhadap penyanyi Agnez Mo.
    Hal itu disampaikan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman saat membacakan kesimpulan rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Bawas MA, Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, dan perwakilan musisi, Jumat (20/6/2025).
    “Komisi III DPR RI meminta kepada
    Bawas Mahkamah Agung
    untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan oleh Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, terkait dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Perkara dengan Register No. 92/PDT.SUS-HK/HAKCIPTA 2024 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,” ujar Habiburokhman, Jumat.
    Dalam laporan tersebut, kata Habiburokhman, putusan majelis hakim memerintahkan Agnez Mo membayar ganti rugi karena menyanyikan lagu penggugat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    “Yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” jelas Habiburokhman.
    Habiburokhman menjelaskan, pengelolaan dan pembayaran royalti bagi musisi yang menyanyikan lagu ciptaan komposer telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
    Dalam beleid tersebut, pengelolaan dan pembayaran royalti diatur oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) atau Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
    “Jadi dibedah juga tentang kasus yang menimpa saudari Agnez Mo yang diputus oleh pengadilan. Padahal beliau itu cuma penyanyi, bukan penyelenggara sebuah
    event
    ,” kata Habiburokhman.
    “Tadi dalam RDPU dijelaskan oleh Dirjen Haki bahwa mekanisme pembayaran royalti itu melalui LMK. Secara umumnya begitu dan yang membayarkan tentu
    event organizer
    -nya, pelaksana
    event
    ,” sambungnya.
    Berkaca dari persoalan tersebut, Komisi III DPR RI pun meminta MA untuk membuat surat edaran atau pedoman penerapan UU Hak Cipta dan ketentuan mengenai Haki secara komprehensif.
    “Sehingga tidak ada lagi putusan yang tidak mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta merugikan orkestrasi dunia seni dan musik Indonesia,” kata Habiburokhman.
    Di samping itu, Habiburokhman juga meminta Ditjen Haki Kemenkum untuk lebih gencar mensosialisasikan mekanisme perolehan lisensi dan royalti melalui LMK dan LMKN.
    “Termasuk pemahaman terhadap filosofi dan tujuan UU Hak Cipta serta ketentuan perundang-undangan terkait. Sehingga tidak ada lagi sengketa gugatan dan putusan peradilan yang dapat merugikan seluruh pelaku industri musik Indonesia,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, Bawas MA mengaku telah menerima aduan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman profesi hakim dalam memutuskan perkara gugatan royalti oleh komposer Ari Bias terhadap penyanyi Agnez Mo.
    “Memang benar kemarin kita tanggal 19 Juni 2025 menerima pengaduan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, dan itu akan segera kita tindaklanjuti. Jadi apakah ada dugaan pelanggaran atau tidak, itu masih harus ditindaklanjuti,” ujar Anggota Bawas MA Suradi di Ruang Rapat Komisi III DPR, Jumat.
    Adapun kasus sengketa royalti antara komposer Ari Bias dan penyanyi Agnez Mo bermula pada Desember 2023.
    Saat itu, Ari Bias mengungkapkan bahwa ia tidak menerima royalti dari lagu-lagu ciptaannya yang dibawakan oleh Agnez Mo.
    Lagu-lagu tersebut, termasuk “Bilang Saja,” telah dinyanyikan oleh Agnez tanpa izin resmi dari Ari Bias.
    Merasa hak ciptanya dilanggar, Ari Bias melarang Agnez Mo untuk membawakan lagu-lagu ciptaannya.
    Ari Bias menegaskan, setiap penggunaan karyanya harus melalui izin dan disertai dengan pembayaran royalti yang sesuai.
    Setelah upaya komunikasi tidak membuahkan hasil, pada Mei 2024, Ari Bias melayangkan somasi kepada Agnez Mo dan menuntut ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar atas pelanggaran hak cipta.
    Namun, karena tidak ada respons yang memadai, pada September 2024, Ari Bias melanjutkan langkah hukumnya dengan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
    Proses persidangan bergulir sampai akhirnya pada Februari 2025, majelis hakim memutuskan bahwa Agnez Mo bersalah atas pelanggaran hak cipta dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Fokus Selesaikan Revisi KUHAP, Apa Kabar Nasib RUU Perampasan Aset?

    DPR Fokus Selesaikan Revisi KUHAP, Apa Kabar Nasib RUU Perampasan Aset?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kelanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) masih belum mendapatkan kejelasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

    Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil mengungkapkan sebenarnya masih butuh waktu dan pemikiran lebih jernih guna menilai urgensi Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA).

    Terlebih, Nasir menyebut saat ini di Komisi III DPR sendiri sedang berfokus untuk membahas revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang rencananya akan segera dibahas seusai masa reses berakhir.

    Menurutnya soal RUU PA ini tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Meskipun di satu sisi dia juga tak menampik memang RUU itu sangat dibutuhkan.  

    “Tapi kita lihat situasi dan kondisi. Kami fokus bagaimana menyelesaikan Hukum Acara Pidana karena itu kami anggap adalah jalan yang terang ya, untuk mengungkapkan kasus-kasus kejahatan dan bagaimana pencari keadilan bisa mendapatkan keadilan yang hakiki,” bebernya di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2025).

    Legislator PKS ini melanjutkan, alasan lain belum membahas RUU PA ini karena ada beberapa pakar hukum yang menilai ini belum dibutuhkan, karena ada instrumen terkait dengan perampasan aset ini.

    “Kita juga nanti akan melihat apakah misalnya badan pemulihan aset yang ada di Kejaksaan Agung itu masih relevan ya untuk memulihkan aset-aset yang disita, dirampas oleh negara dari kejahatan korupsi,” ungkapnya.

    Sementara itu, di lain kesempatan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menegaskan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) masih merupakan inisiasi dari pemerintah.  

    “Apakah DPR ingin menginisiasi atau tetep pemerintah, bagi saya dan bagi presiden terutama yang penting RUU itu siapapun yang inisiasi tapi hasilnya selesai,” ungkapnya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (6/6/2025).

    Dengan ini, menurutnya hingga kini belum ada pembicaraan lebih lanjut soal RUU PA karena masih menunggu evaluasi Prolegnas, meskipun draf priode lalu dari pemerintah sudah ada.

  • Banyak Pasal Kuatkan Hak Tersangka

    Banyak Pasal Kuatkan Hak Tersangka

    Jakarta

    Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bersama sejumlah perwakilan dari mahasiswa. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menjelaskan jika KUHAP yang berlaku saat ini sulit memberikan keadilan kepada warga negara.

    Rapat terselenggara di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2025). Rapat ini dihadiri oleh perwakilan Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum UI, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lampung dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Bandar Lampung.

    “Menurut saya yang paling penting saat ini adalah kita merasakan KUHAP yang ada sekarang ini memang sangat sulit untuk memberikan keadilan kepada warga negara. Kenapa? Karena secara prinsip KUHAP itu adalah mengatur relasi, hubungan antara state negara dengan warga negara yang berproses hukum. State itu diwakili oleh penyidik, penuntut, hakim,” kata Habiburokhman di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2025).

    Habiburokhman berharap kehadiran KUHAP yang baru mampu menciptakan kekuatan bagi rakyat RI. Ia melihat KUHAP lama justru memberikan kewenangan penuh untuk negara.

    “Negara itu adalah orang yang bermasalah dengan hukum baik mencari keadilan, dia sebagai pelapor atau terlapor. Nah ini situasinya kurang tidak imbang di KUHAP 81. State begitu powerful, warga negara begitu less power,” ujar Waketum Gerindra ini.

    “Nah ini yang menurut kami prioritasnya adalah sekarang kita lebih bagaimana warga negara ini lebih powerful,” tambahnya.

    “Yang tadinya nggak paham hukum harus didampingi oleh kuasa hukum dan kuasa hukum yang tadinya nggak berdaya supaya lebih berdaya ketika mendampingi orang yang bermasalah dengan hukum,” ujar Habiburokhman.

    “Itulah mengapa dalam rancangan KUHAP ini banyak sekali pasal-pasal yang menguatkan hak-hak tersangka, perlindungan terhadap tersangka, terdakwa dan menguatkan peran advokat,” ungkapnya.

    “Jadi yang urgent dulu kita beresin, kenapa? Makin lama kita menyelesaikan RKUHAP ini, semakin banyak rakyat kecil, rakyat susah, orang susah yang mendapat ketidakadilan. Tadi teman-teman Unila kasih contoh kasus yang di pelecehan seksual teman-teman UBL soal advokat ya kan. Itu kan output dari KUHAP yang saat ini,” ujarnya.

    Ia mengingatkan pada dasarnya undang-undang hadir tak bisa mengakomodir semua hal. Pihaknya mengupayakan perlindungan maksimal terhadap warga negara di KUHAP ini.

    “Karena tidak maksimalnya perlindungan terhadap warga negara. Kita at the end nih, saya harus kasih ini, teman-teman punya idealisme pasti, pengin semuanya ideal. Tapi at the end, tidak ada satu undang-undang pun yang sempurna, yang bisa mengakomodir semua keinginan semua orang, tidak akan ada,” imbuhnya.

    (dwr/isa)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Legislator dukung pembubaran Satgas Saber Pungli ketimbang mati suri

    Legislator dukung pembubaran Satgas Saber Pungli ketimbang mati suri

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mendukung langkah Presiden RI Prabowo Subianto pembubaran Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) yang dibentuk pada era pemerintahan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo ketimbang berada kondisinya mati suri.

    “Iya, daripada dia mati suri, daripada Satgas Pungli itu mati suri, sebaiknya memang harus dilikuidasi, harus dibubarkan,” kata Nasir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.

    Dia memandang satgas tersebut tidak berjalan efektif dan implementatif karena kurang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang jelas.

    “Memang karena enggak jelas. Jadi dia tidak efektif dan implementatif, dan tangkapannya juga kecil, kemudian yang ditangkap juga enggak signifikan,” ujarnya.

    Sebab, kata dia, penindakan terhadap pungli telah dilakukan oleh instansi maupun kementerian/lembaga lewat kewenangan dan programnya.

    Misalnya, lanjut dia, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) melalui program Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM).

    “Itu sebenarnya kan sudah bisa mencegah yang namanya pungli tersebut,” katanya.

    Meski demikian, dia mengingatkan agar pembubaran Satgas Saber Pungli tidak mereduksi komitmen pemerintah dalam mencegah dan memberantas praktik pungli di tingkat pusat maupun daerah.

    “Jangan sampai kemudian dibubarkannya Satgas Saber Pungli ini, ya kemudian tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mencegah pungutan-pungutan liar ini, mulai dari yang paling kecil sampai yang paling besar,” kata dia.

    Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto mencabut aturan tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) yang dibentuk pada era pemerintahan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo.

    Pencabutan tersebut diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pencabutan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.

    “Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 202), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” bunyi pasal 1 pada Perpres tersebut, dikutip dari laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Sekretariat Negara di Jakarta, Kamis (19/6).

    Dalam perpres tersebut disebutkan bahwa keberadaan Satgas Saber Pungli sudah tidak efektif sehingga perlu dibubarkan. Perpres Nomor 49 Tahun 2025 itu ditetapkan Presiden Prabowo pada 6 Mei 2025.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.