Kementrian Lembaga: Komisi III DPR RI

  • DPR bentuk tim supervisi untuk awasi penulisan ulang sejarah

    DPR bentuk tim supervisi untuk awasi penulisan ulang sejarah

    Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (tengah) menjawab pertanyaan wartawan saat ditemui pada sela-sela acara melepas keberangkatan Presiden Prabowo melawat ke Arab Saudi di Pangkalan Udara TNI AU (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (1/7/2025). ANTARA/Mentari Dwi Gayati.

    DPR bentuk tim supervisi untuk awasi penulisan ulang sejarah
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Minggu, 06 Juli 2025 – 12:15 WIB

    Elshinta.com – DPR RI akan membentuk tim untuk melakukan supervisi terhadap penulisan ulang sejarah yang dilakukan Kementerian Budaya (Kemenbud) guna  memastikan sejarah ditulis ulang dengan baik. Wakil Ketua DPR RI  Sufmi Dasco Ahmad    mengatakan bahwa pembentukan tim ini diputuskan setelah berkonsultasi dengan Ketua DPR dan hasil diskusi dengan Pimpinan DPR RI lainnya.

    “Setelah konsultasi dengan Ketua DPR dan sesama Pimpinan DPR lain nya maka DPR akan membentuk, menugaskan tim supervisi penulisan ulang sejarah, dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan DPR RI,” kata Dasco dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu.

    Dasco menjelaskan tim yang diturunkan terdiri Komisi III DPR RI dan Komisi X DPR RI. Alat kelengkapan dewan yang diterjunkan ke dalam tim itu, kata dia, dipastikan akan bekerja secara profesional.

    “Yang terdiri dari komisi hukum Komisi III, dan komisi pendidikan dan kebudayaan Komisi X untuk melakukan supervisi terhadap penulisan ulang sejarah yang dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan,” kata dia.

    Dia berharap dengan supervisi ini, penulisan ulang sejarah yang digagas Kemenbud tidak lagi menjadi polemik. Menurut dia, hal-hal yang menjadi kontroversi akan menjadi perhatian khusus bagi tim tersebut.

    “Akan menjadi perhatian khusus oleh tim ini dalam melakukan supervisi terhadap penulisan ulang sejarah yang dilakukan tim yang dibentuk oleh Kementerian Kebudayaan,” katanya.

    Sumber : Antara

  • Taufik Basari: Putusan MK soal Pemilu DPRD Hadirkan Deadlock Konstitusional

    Taufik Basari: Putusan MK soal Pemilu DPRD Hadirkan Deadlock Konstitusional

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR Taufik Basari menyoroti munculnya dilema serius yang timbul dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai jadwal pemilu anggota DPRD.

    Menurutnya, putusan tersebut menimbulkan kondisi “deadlock konstitusional” karena baik dilaksanakan maupun tidak, sama-sama berpotensi melanggar konstitusi.

    “Di dalam ayat 1, 22E ayat 1 [UUD 1945], normanya adalah pemilihan umum dilaksanakan secara luber, langsung umum, bebas rahasia, jujur dan adil, setiap 5 tahun sekali, saya berikan huruf tebal disitu sebagai penekanan, setiap 5 tahun sekali,” ujarnya dalam Rapat Dengar Komisi III DPR RI, Jumat (4/7/2025).

    Dia menjelaskan pada pasal 22E ayat 2 UUD 1945 juga menegaskan pemilu digunakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD. Sementara pasal 18 ayat 3 menyebutkan anggota DPRD harus dipilih melalui pemilu, tanpa jalur lain. 

    Lebih lanjut, dia mengurai bahwa amar putusan MK menyatakan pemilu anggota DPRD baru akan digelar paling cepat dua atau dua setengah tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden. Artinya, akan ada jeda yang membuat masa jabatan DPRD melewati periode lima tahunan yang diamanatkan konstitusi.

     “Nah tetapi, Bapak-Ibu, kalau putusan MK ini dilaksanakan oleh pembuat Undang-Undang, yaitu DPR dan Presiden dalam bentuk mengubah Undang-Undangnya, maka justru akan melanggar pasal 22E ayat 1, terkait dengan pemilu yang harus dilaksanakan 5 tahun sekali,” jelasnya. 

    Di sisi lain, jika putusan MK tersebut tidak dilaksanakan, itu juga melanggar konstitusi. Penyebabnya, kata Taufik, di dalam pasal 24C ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa putusan MK bersifat final. Oleh sebab itu, dia menyebut situasi ini sebagai dilema besar yang harus dicarikan jalan keluar.

    Menurut Taufik, kondisi deadlock ini menuntut DPR dan pemerintah untuk segera merumuskan solusi agar pelaksanaan pemilu tetap sesuai amanat konstitusi dan putusan MK tetap dihormati.

    “Ini yang saya sebut sebagai dilematis, conditional deadlock. Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau. Kenapa kan begitu? Dilaksanakan melanggar konstitusi, tidak dilaksanakan melanggar konstitusi,” pungkas Taufik.

  • Anggota DPR usul amendemen terbatas UU kepemiluan respons putusan MK

    Anggota DPR usul amendemen terbatas UU kepemiluan respons putusan MK

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin mengusulkan dilakukannya amendemen (perubahan) terbatas undang-undang kepemiluan dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah.

    “Ya sudah kita lakukan amendemen terbatas saja terkait dengan undang-undang kepemiluan karena hampir pasti dengan putusan ini, revisi undang-undang pemilu tidak berdiri sendiri, tapi harus melakukan kodifikasi atau omnibus law,” kata Khozin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.

    Hal itu disampaikannya dalam diskusi Fraksi PKB DPR RI terkait putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal bertajuk “Proyeksi Desain Pemilu Pascaputusan MK”.

    Sebab di samping Undang-Undang Pemilu, dia menyebut putusan MK tersebut membawa implikasi pula terhadap sejumlah undang-undang lain, seperti Undang-Undang Pilkada hingga Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

    “Banyak undang-undang lain yang berkaitan dengan amar putusan ini,” ucapnya.

    Ditemui usai diskusi, Khozin menjelaskan bahwa amendemen terhadap undang-undang kepemiluan perlu dilakukan bila putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut ditindaklanjuti secara langsung.

    “Itu perspektif. Jika kita konsisten, ingin secara direct putusan MK dilaksanakan, ya way out-nya satu-satunya ya itu harus melakukan amendemen,” katanya.

    Dia lantas berkata, “Karena kalau tidak melakukan amandemen, ya kita merumuskan satu produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi.”

    Meski demikian, dia menyebut bahwa DPR RI masih melakukan pembahasan dan kajian dalam menyikapi putusan MK tersebut, baik itu di tingkat fraksi maupun komisi dan pimpinan DPR.

    Dia menuturkan pada Senin (30/6), Komisi II DPR RI telah lebih dulu menggelar rapat bersama pimpinan DPR RI, Komisi III DPR RI, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, hingga Menteri Hukum (Menkum) RI Supratman Andi Agtas, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) RI Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Tito Karnavian, hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI membahas ihwal putusan MK tersebut.

    “Nanti kalau tidak salah minggu depan akan ada diskusi juga nanti dari pimpinan MPR dengan partai-partai,” kata dia.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6).

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Patrialis Akbar: Putusan MK tentang Pemilu Bertentangan dengan Konstitusi

    Patrialis Akbar: Putusan MK tentang Pemilu Bertentangan dengan Konstitusi

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk mengubah substansi konstitusi.

    Menurut Patrialis, hal tersebut bertentangan langsung dengan fungsi MK yang sejatinya hanya berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

    “Pasal ini menjelaskan kewenangan MK, antara lain yaitu menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Jadi bukan mengubah undang-undang dasar,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum membahas putusan Mahkamah Konstitusi yang memisah Pemilu nasional dan lokal Komisi III DPR pada Jumat (4/7/2025).

    Lebih lanjut, dia menekankan, rujukan utama MK harus selalu konstitusi, dan lembaga ini bertugas menjaga kemurnian konstitusi sebagai pedoman utama dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya.

    “MK tidak diberikan kewenangan mengubah konstitusi, yang berhak mengubah konstitusi hanyalah MPR saja. Jika ingin mengubah substansi konstitusi, maka apabila MK mengubah substansi konstitusi, maka MK sama saja melanggar konstitusi,” tegasnya.

    Patrialis menilai, soal perubahan atau revisi konstitusi seharusnya diserahkan kepada lembaga yang memang memiliki wewenang sebagaimana diatur konstitusi.

    “Jadi serahkan saja kepada lembaga yang memang sudah diberikan fungsi dan kewenangannya oleh konstitusi. Kita kan bicara tentang masalah hidup berbangsa dan bernegara,” lanjutnya.

    Terkait putusan MK Nomor 135/2024 yang membahas pemisahan pemilu, Patrialis juga menyoroti bahwa alasan yang digunakan MK lebih bersifat teknis, bukan persoalan konstitusionalitas.

    Oleh sebab itu, dia pun merujuk pada pertimbangan hukum di halaman 138 putusan tersebut. Bahwa, di dalam pertimbangan hukumnya mengatakan antara lain, selain ancaman terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu, tumpukan beban kerja penyelenggara yang terpusat pada rentang waktu tertentu, menyebabkan adanya kekosongan waktu yang relatif panjang dan seterusnya merupakan persoalan teknis, bukan persoalan konstitusionalitas.

    Menurut Patrialis, hal-hal teknis seperti ini seharusnya dibahas dan diatur oleh DPR bersama pemerintah serta Komisi Pemilihan Umum, bukan dijadikan dasar bagi MK untuk memutuskan perkara.

    “Tapi kalau ingin menjadikan pesan-pesan itu boleh saja, tapi tidak jadi landasan diputusnya perkara ini dari masalah-masalah teknis,” tambahnya.

    Dengan paparan tersebut, Patrialis menilai putusan MK Nomor 135/2024 bertentangan dengan konstitusi. “Dengan paparan singkat ini, saya, bahwa putusan MK nomor 135 itu, 135/2024 bertentang dengan konstitusi,” pungkas Patrialis.

  • DPR Sebut Kapolri Jabatan Karier Bukan Politik

    DPR Sebut Kapolri Jabatan Karier Bukan Politik

    Bisnis.com, Jakarta — DPR mengungkapkan masa jabatan Kapolri tidak dapat disatukan dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden.

    Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding mengemukakan jika masa jabatan Kapolri disamakan dengan jabatan presiden dan wakil presiden, maka jabatan Kapolri itu menjadi jabatan politik, bukan jabatan karier.

    Menurutnya, jika posisi Kapolri jadi jabatan politik yang hanya dijabat selama 5 tahun, maka Korps Bhayangkara tidak akan netral dan tidak bisa menjadi profesional selama menjalankan tugasnya dan fungsinya.

    “Jadi hal ini tidak hanya berbahaya bagi independensi institusi kepolisian tetapi juga bisa menciptakan politisasi aparat penegak hukum,” tuturnya di sela-sela sidang pleno MK dengan agenda mendengar keterangan DPR di Jakarta, Rabu (2/7/2025).

    Sarifuddin menjelaskan jabatan Kapolri itu merupakan jabatan karier sehingga berlaku ketentuan batas usia pensiun yaitu 58 tahun. 

    Namun, menurut Sarufuddin, tidak menutup kemungkinan jabatan Kapolri akan berakhir sebelum memasuki usia pensiun karena pengangkatan dan pemberhentian menjadi Kapolri merupakan hak prerogratif presiden.

    “Meski tidak ada periodesasi dan berlaku usia pensiun bukan berarti Kapolri tidak bisa diberhentikan sebelum memasuki usia pensiun karena pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak prerogratif presiden,” katanya.

    Sebelumnya, sejumlah mahasiswa menguji materi Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (NRI). 

    Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian berbunyi, “Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.” 

    Sementara Penjelasan Pasal 11 ayat (2) menyebutkan, “Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.”

    Sebagai informasi, para Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XXIII/2025 terdiri dari Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra yang berstatus sebagai Pelajar/Mahasiswa. 

    Para Pemohon mengatakan frasa ‘disertai dengan alasannya’ dalam norma tersebut tidak diatur lebih lanjut atau setidak-tidaknya tidak dirumuskan secara jelas dalam UU Kepolisian. 

    Menurut para Pemohon, pasal dimaksud tidak saja dihadapkan pada persoalan norma melainkan telah menimbulkan masalah riil, dalam situasi konkret Kapolri yang saat ini dijabat Listyo Sigit Prabowo tidak sah karena belum diangkat kembali oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU 2/2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

    Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif presiden, sekalipun dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri tersebut harus dengan persetujuan DPR sebagai mekanisme terciptanya check and balances.

    Presiden memiliki hak prerogatif mengangkat jabatan-jabatan lain yang sangat strategis yang memiliki implikasi besar terhadap pencapaian tujuan negara termasuk pengangkatan Kapolri. 

    Oleh karena pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden bersangkutan, maka semestinya setiap Presiden diberikan hak prerogatif yang sama sesuai dengan masa jabatan masing-masing Presiden. Maka, dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkat Kapolri bersangkutan, maka semestinya masa jabatan Kapolri bersangkutan harus berakhir.

  • DPR Sebut Masa Jabatan Kapolri Tidak Bisa Dibatasi Hanya 5 Tahun

    DPR Sebut Masa Jabatan Kapolri Tidak Bisa Dibatasi Hanya 5 Tahun

    Bisnis.com, Jakarta — Masa jabatan Kapolri tidak dapat disatukan dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang hanya 5 tahun. 

    Anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding mengatakan jika masa jabatan Kapolri disamakan dengan jabatan presiden dan wakil presiden, maka jabatan Kapolri itu menjadi jabatan politik, bukan jabatan karir.

    Menurutnya, jika posisi Kapolri jadi jabatan politik yang hanya dijabat selama 5 tahun, maka Korps Bhayangkara tidak akan netral dan tidak bisa menjadi profesional selama menjalankan tugasnya dan fungsinya.

    “Jadi hal ini tidak hanya berbahaya bagi independensi institusi kepolisian tetapi juga bisa menciptakan politisasi aparat penegak hukum,” ujarnya di sela-sela sidang pleno MK dengan agenda mendengar keterangan DPR di Jakarta, Rabu (2/7/2025).

    Sarifuddin menjelaskan jabatan Kapolri itu merupakan jabatan karier sehingga berlaku ketentuan batas usia pensiun yaitu 58 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan jabatan Kapolri akan berakhir sebelum memasuki usia pensiun karena pengangkatan dan pemberhentian menjadi Kapolri merupakan hak prerogratif presiden.

    “Meski tidak ada periodesasi dan berlaku usia pensiun bukan berarti Kapolri tidak bisa diberhentikan sebelum memasuki usia pensiun karena pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak prerogratif presiden,” katanya. 

    Sebelumnya, sejumlah mahasiswa menguji materi Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (NRI). 

    Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian berbunyi usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya. 

    Sementara Penjelasan Pasal 11 ayat (2) menyebutkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.

    Sebagai informasi, para Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XXIII/2025 terdiri dari Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra yang berstatus sebagai Pelajar/Mahasiswa. 

    Para Pemohon mengatakan frasa disertai dengan alasannya dalam norma tersebut tidak diatur lebih lanjut atau setidak-tidaknya tidak dirumuskan secara jelas dalam UU Kepolisian. 

    Menurut para Pemohon, pasal dimaksud tidak saja dihadapkan pada persoalan norma melainkan telah menimbulkan masalah riil, dalam situasi konkret Kapolri yang saat ini dijabat Listyo Sigit Prabowo tidak sah karena belum diangkat kembali oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU 2/2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

    Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif presiden, sekalipun dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri tersebut harus dengan persetujuan DPR sebagai mekanisme terciptanya check and balances.

    Presiden memiliki hak prerogatif mengangkat jabatan-jabatan lain yang sangat strategis yang memiliki implikasi besar terhadap pencapaian tujuan negara termasuk pengangkatan Kapolri. 

    Oleh karena pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden bersangkutan, maka semestinya setiap Presiden diberikan hak prerogatif yang sama sesuai dengan masa jabatan masing-masing Presiden. Maka, dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkat Kapolri bersangkutan, maka semestinya masa jabatan Kapolri bersangkutan harus berakhir.

  • Mengusut Kasus Penembakan yang Dilakukan Anak Bupati Majalengka

    Mengusut Kasus Penembakan yang Dilakukan Anak Bupati Majalengka

    JAKARTA – Urusan bisnis, khususnya utang piutang menjadi salah satu motif terjadinya tindak pidana. Salah satu contohnya adalah kasus penembakan yang dilakukan anak Bupati Majalengka Karna Sobahi, Irfan Nur Alam.

    Irfan menembak Panji Pamungkasandi yang saat itu menagih hutang proyek pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) senilai Rp500 juta.

    Insiden penembakan tersebut bermula ketika Panji berkomunikasi dengan Irfan terkait pelunasan proyek yang telah berlangsung sejak April 2019. Dari komunikasi itu disepakati untuk bertemu di di Ruko Hana Sakura, Kecamatan Cigasong, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

    Minggu, 10 November, malam, keduanya bertemu. Utang itu dibayar. Hanya saja, tanpa alasan yang jelas Irfan menembakan pistol ke arah Panji. Tangan kiri Panji terluka. 

    Sadar tangannya terluka, Panji bergegas ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan. Setelah itu, dia melapor polisi untuk menyelesaikan perkara tersebut.

    Berdasarkan laporan itu, polisi memulai penyelidikan. Tiga hari berselang, Irfan ditetapkan sebagai tersangka. Dia disangkakan Pasal 170 KUHP tentang penganiyaan dan undang-undang darurat no 12 tahun 1951 tentang penggunaan senjata api. 

    Meski jadi tersangka, Irfan tak ditahan. Alasannya, Irfan akan diperiksa berlebih dahulu yang sesuai jadwal pada Jumat, 15 November.

    “Hari ini kita periksa (Irfan). (Soal penahanan) Nanti penyidik yang akan menentukan,” ucap Kapolres Majalengka, AKBP Mariyono kepasa VOI, Jumat, 14 November.

    Sementara, pistol yang digunakan Irfan telah disita sebagai barang bukti. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa senjata tersebut hanya berisi peluru karet ketika digunakan untuk menembak Panji.  Hanya saja, polisi masih menelusuri perizinan kepemilikan senjata api tersebut.

    “Iya betul, senjatanya berisi peluru karet bukan peluru tajam,” kata Martono.

    Kasus penembakan tersebut pun disoroti Ketua Komisi III DPR-RI Herman Herry. Politikus PDI Perjuangan ini meminta polisi mengusut tuntas kasus penembakan tersebut, serta menyelesaikan ini secepatnya agar tak berlarut guna menghindari opini negatif di masyarakat.

    “Saya imbau kepada Kapolda Jabar (Irjen Rudy Sufahriadi) untuk perintahkan jajarannya dalam penegakan hukum hendaknya objektif dan profesional, terlebih dalam menangani kasus penembakan dan menarik perhatian publik,” ucap Herman, Kamis, 13 November.

    “Segera ambil langkah-langkah profesional penyidikan, jangan bertele-tele sehingga membuat para pihak curiga bahwa polisi tidak profesional,” tambah Herman.

  • Komisi III: Polri hadirkan keamanan lewat pemberantasan preman

    Komisi III: Polri hadirkan keamanan lewat pemberantasan preman

    Yang mau saya highlight adalah dalam memberantas premanisme. Belakangan kita lihat, Polri tidak saja menindak preman yang kasat mata, tapi juga mereka yang berkedok preman dan sangat meresahkan masyarakat, seperti pelaku pungli, parkir liar, ormas, d

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni memberikan apresiasi atas kinerja Polri yang dinilai telah menghadirkan keamanan dan kenyamanan di tengah masyarakat lewat pemberantasan premanisme.

    “Yang mau saya highlight adalah dalam memberantas premanisme. Belakangan kita lihat, Polri tidak saja menindak preman yang kasat mata, tapi juga mereka yang berkedok preman dan sangat meresahkan masyarakat, seperti pelaku pungli, parkir liar, ormas, dan lain-lain. Hasilnya bisa sangat dirasakan, kehidupan bermasyarakat kita jadi lebih aman dan nyaman,” ujar Sahroni dalam keterangannya, Selasa.

    Menurut Sahroni, langkah konkret Polri yang paling dirasakan langsung oleh masyarakat adalah ketegasan dalam memberantas praktik premanisme. Tidak hanya menyasar preman jalanan, tetapi juga kelompok-kelompok yang berkedok ormas, namun menjalankan praktik intimidatif dan ilegal di ruang publik.

    Hasil dari langkah tegas ini, kata Sahroni, dapat terlihat dari hasil Operasi Berantas Jaya yang baru-baru ini digelar. Dilaporkan ada ribuan preman serta ribuan atribut yang diamankan oleh pihak berwajib.

    “Penindakannya pun tidak main-main, selama 15 hari Operasi Berantas Jaya kemarin saja ada 3.599 preman yang berhasil diringkus polisi. Selain itu polisi, TNI, dan Satpol PP juga turut menertibkan 1.804 atribut ormas dan 130 pos ormas yang menyalahi aturan. Nah kerja-kerja seperti ini yang masyarakat selalu butuhkan. Penegakan hukum tanpa pandang bulu. Karena siapa lagi kalau bukan negara yang menindak,” ujarnya.

    Dalam momentum peringatan HUT Bhayangkara ke-79 yang jatuh pada 1 Juli 2025, Sahroni menilai bahwa Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo terus menunjukkan komitmen nyata dalam menjaga rasa aman di tengah masyarakat.

    “Saya mengucapkan selamat HUT Bhayangkara ke-79. Di bawah komando Pak Sigit, Polri benar-benar menjawab kegelisahan masyarakat,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Demi Penyadapan Kejagung Jalin Kerja Sama dengan 4 Operator Seluler, Pengamat Minta DPR Awasi

    Demi Penyadapan Kejagung Jalin Kerja Sama dengan 4 Operator Seluler, Pengamat Minta DPR Awasi

    JAKARTA – Pengamat komunikasi politik dari The London School of Public Relations Communication & Bussines Institute, Ari Junaedi menilai penandatanganan kesepakatan antara Kejagung dengan para operator seluler mengenai penyadapan seperti dua sisi mata uang. Ia pun mendorong DPR RI untuk terus mengawal dan mengawasi kerjasama ini agar penegakan hukum tidak kebablasan.

    Disatu sisi, menurut Ari, kerjasama ini bertujuan mulia, namun di sisi lainnya akan lebih banyak dampak negatifnya. Sisi baiknya, kata Ari, yakni membongkar dugaan potensi kasus fraud dan korupsi. Dengan demikian, aparat kejaksaan bisa maksimal dalam upaya pengungkapannya.

    “Maka kehadiran DPR sebagai pengawas penting untuk memastikan bahwa kerja sama ini betul-betul untuk penegakan hukum, termasuk dalam hal penyadapan yang dilakukan atas bantuan operator seluler,” kata Ari Junaedi, Senin, 30 Juni.

    Seperti diketahui, Kejagung meneken kerja sama atau nota kesepakatan dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT Xlsmart Telecom Sejahtera Tbk untuk membantu penegakan hukum.

    Kejagung menyebut kerja sama ini berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data atau informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi.

    Menurut Ari, jika kerja-kerja ini dilakukan dengan baik, maka kejaksaan bisa membantu mengurangi beban Presiden Prabowo Subianto dalam menangkap para koruptor.

    “Apalagi Presiden Prabowo akan mengejar koruptor hingga Kutub Utara sampai Kutub Selatan, malah ke gurun pasir segala. Kepercayaan publik terhadap institusi Kejaksaan pun sedang meningkat, jauh di atas Polri dan KPK,” katanya.

    Namun di sisi lain, Ari menilai, penandatanganan nota kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler jutsru akan lebih banyak kerugian atau mudaratnya. Menurutnya, penyadapan rawan dengan pelanggaran privasi, mengingat tugas kejaksaan dalam penyadapan kebal dari pengawasan lembaga yang independen.

    “Penyadapan tanpa izin atau tanpa prosedur yang jelas, rawan melanggar hak privasi warga negara,” ucap Ari.

    Belum lagi dari tinjauan power abuse atau penyalahgunaan kekuasaan, lanjut Ari, penyadapan bisa saja dilakukan tanpa alasan yang sah mengingat kejaksaan adalah salah satu instrumen yang dimiliki eksekutif dari rezim yang tengah berkuasa.

    “Dengan mudahnya dilakukan penyadapan oleh kejaksaan, publik semakin distrust terhadap institusi kejaksaan dan operator seluler dalam negeri jika tidak ada transparansi yang jelas,” jelasnya.

    Ari pun menilai, tidak menutup kemungkinan apabila publik kemudian merasa khawatir menggunakan operator selular dalam negeri. “Jadi jangan menyalahkan publik akan memilih layanan operator dari negeri jiran jika resiko keamanan data pribadi warga pengguna seluler dalam negeri tidak dikelola dengan baik,” kata Ari.

    “Publik khawatir data yang diperoleh melalui penyadapan dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau afiliasi politik,” sambungnya.

    Oleh karena itu, menurut Ari, masukan Ketua DPR RI Puan Maharani yang menegasakan batas antara kebutuhan penegakan hukum dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara di tengah kerja sama tersebut harus menjadi perhatian pemerintah. Ia juga mendorong agar DPR mengawasi ketat kerja sama tersebut untuk menghindari dampak buruk MoU Kejagung dan Operator seluler ini.

    “Publik tidak saja bersandar dari dukungan akademisi dan penggiat demokrasi saja, tetapi harus meminta dukungan politik dari parlemen. Untuk itu, DPR harus memastikan kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler dijalankan dengan transparan, akuntabel dan apakah selaras dengan Undang-Undang tentang ITE dan Udang- Undang tentang Komunikasi,” katanya.

    Adapun Kejagung menjelaskan kerja sama dengan operator telekomunikasi sejalan dengan UU No.11/2021 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

    Ari sepakat dengan DPR yang mewanti-wanti agar kerja sama soal Kejagung dan operator seluler dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang ada. Hal itu juga sempat disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding.

    “Jangan sampai nota kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler yang bersifat khusus dan teknis melabrak aturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya,” ungkap Ari.

    Ari juga mendukung jika para wakil rakyat bersikap kritis dan korektif terhadap potensi pencideraan demokratis warga terkait kerja sama Kejagung dan operator ini, khususnya dalam hal penyadapan.

    “Kalau perlu DPR bisa ‘menekan’ Kejaksaan dan para operator seluler agar penyadapan yang dilakukan benar-benar tidak melanggar aturan dengan pengawasan badan independen,” pungkasnya.

  • Komisi II rapat dengan pimpinan DPR bahas putusan MK terkait pemilu

    Komisi II rapat dengan pimpinan DPR bahas putusan MK terkait pemilu

    Jakarta (ANTARA) – Komisi II DPR RI menggelar rapat bersama pimpinan DPR RI yang membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    “Komisi II ini adalah komisi yang memang mengurusi permasalahan-permasalahan KPU ya, termasuk juga pemilu. Tetapi karena keputusan MK ini bersifat final and binding, tadi kami sudah diundang rapat konsultasi dengan pimpinan DPR,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

    Dede menuturkan rapat tersebut turut dihadiri pula oleh pimpinan Komisi III DPR RI, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, hingga Menteri Hukum (Menkum) RI Supratman Andi Agtas, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) RI Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Tito Karnavian, hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

    Dia menyebut rapat tersebut bahkan turut dihadiri oleh perwakilan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang mengajukan gugatan uji materi terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah ke MK.

    Legislator itu menjelaskan bahwa rapat itu membahas putusan MK tersebut dari berbagai peninjauan, termasuk sumber-sumber gugatan yang diajukan oleh Perludem selaku koalisi masyarakat sipil.

    Dia mengaku rapat tersebut di dalamnya berlangsung perdebatan yang cukup panjang, misalnya terkait konsekuensi pemilu daerah untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah yang dipisah dengan pemilu nasional.

    Hal tersebut, lanjut dia, akan berdampak pada harus dilakukannya perpanjangan masa jabatan hingga perombakan sejumlah undang-undang terkait, seperti Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Otonomi Khusus, hingga Undang-Undang Partai Politik.

    “Kalau DPRD-nya dipisah berarti ada masa perpanjangan, baik kepala daerah maupun juga DPRD dalam jangka waktu dua tahun atau bahkan lebih 2,5 tahun. Nah, ini nanti korelasinya harus merubah berbagai undang-undang lainnya,” tuturnya.

    Dia lantas berkata, “Tidak semudah itu. Artinya mungkin ada empat atau lima undang-undang lain yang akan terevisi dengan hal seperti ini. Ini pasti akan jadi satu concern yang amat besar terutama juga bagi para partai politik, bagi DPR, lembaga-lembaga lain, termasuk juga kementerian lainnya.”

    Untuk itu, dia mengatakan rapat itu menghasilkan kesepakatan bahwa masing-masing komisi terkait di DPR RI akan melakukan kajian akademik terlebih dahulu guna menindaklanjuti putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah untuk diteruskan pada rapat selanjutnya dengan berbagai lembaga dan komisi di DPR RI.

    “Kami pada prinsipnya siap-siap saja ya (menindaklanjuti putusan MK), tetapi kita juga harus melihat dari berbagai undang-undang lain yang harus terevisi karena konteks keputusan yang terkait ini,” kata dia.

    Terpisah, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengkonfirmasi bahwa rapat tersebut dilangsungkan secara mendadak pada Senin pagi, sesaat sebelum Komisi II DPR RI menggelar rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan sejumlah mitra kerja.

    Rapat tersebut dilangsungkan antara Komisi II DPR RI dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini; Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Zudan Arif Fakrulloh; Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik; hingga para kepala daerah yang mengikuti rapat secara daring.

    “Kami tadi mendadak harus menghadiri rapat pimpinan DPR terkait dengan beberapa isu strategis yang menjadi tugas konstitusional Komisi II DPR RI,” kata Rifqi saat membuka jalannya rapat.

    Sebelumnya, Kamis (26/6), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.