Kementrian Lembaga: Komisi III DPR RI

  • RUU KUHAP Sertakan Pasal Baru Soal Penyitaan Alat Bukti, Apa Isinya?

    RUU KUHAP Sertakan Pasal Baru Soal Penyitaan Alat Bukti, Apa Isinya?

    Jakarta

    Panja RUU KUHAP sepakat menambah beberapa pasal baru dalam penyitaan alat bukti. Panja menyepakati penyitaan harus dilakukan dengan izin dari pengadilan.

    Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja Komisi III DPR RI bersama pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025). Adapun norma mengenai penyitaan akan diatur dalam Pasal 112 hingga Pasal 113A.

    Dalam rapat tersebut, juga disepakati terkait penyitaan alat bukti jika dikatakan tidak sah oleh pengadilan, maka tidak dapat dijadikan sebagai bukti. Pengembalian alat bukti itu harus dilakukan dalam waktu 2 hari sejak putusan praperadilan dibacakan.

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman pun menanyakan persetujuan peserta rapat mengenai usulan tersebut. Peserta rapat pun menyetujuinya.

    “Ya, teman-teman ini pasal diusulkan kita nih oleh para kapoksi dan pimpinan, diramu oleh tim,” kata Habiburohkman.

    “Ya, jadi kita tinggal menaikkan ke pemerintah saja. Ini banyak sekali juga merangkum masukan pemerintah di DIM-DIM yang kita skip tadi pak. Ini masuk dalam sini sudah,” tambahnya.

    Pasal 112

    Ayat 1
    Sebelum melakukan penyitaan, penyidik mengajukan permohonan izin kepada ketua pengadilan negeri tempat keberadaan benda tersebut.

    Ayat 3
    Ketua Pengadilan Negeri wajib meneliti secara cermat permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Paling lama 2 hari terhitung sejak permohonan izin diajukan.

    Ayat 4
    Dalam hal tertentu ketua Pengadilan Negeri dapat meminta informasi tambahan dari penyidik mengenai benda yang akan disita sebagaimana dimaksud pada ayat 2.

    Ayat 5
    Dalam hal ketua Pengadilan Negeri menolak untuk memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1, penolakan permohonan izin harus disertai dengan alasan.

    Ayat 6
    Terhadap penolakan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat 5, penyidik dapat mengajukan kembali permohonan penyitaan terhadap benda yang sama kepada ketua pengadilan negeri hanya 1 kali.

    Ayat 7
    Penyidik wajib menunjukkan surat perintah penyitaan dan surat izin penyitaan dari ketua Pengadilan Negeri kepada pemilik atau pihak yang menguasai benda tersebut.

    Ayat 8
    Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 7 harus disaksikan oleh 2 orang saksi.

    Ayat 9
    Dalam hal pemilik atau pihak yang menguasai benda yang disita tidak berada di tempat, penyitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau lurah atau nama lainnya atau ketua rukun warga atau rukun tetangga dengan 2 orang saksi.

    Ayat 10
    Setelah penyidik melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat 7 penyidik harus membuat berita acara penyitaan yang ditandatangani oleh penyidik, pemilik atau pihak yang menguasai benda yang disita dan saksi.

    Ayat 11
    Setelah penyidik melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat 9, penyidik harus membuat berita acara penyitaan yang ditandatangani oleh penyidik, kepala desa atau lurah atau nama lainnya atau ketua rukun warga atau rukun tetangga dan saksi.

    Ayat 12
    Dalam waktu paling lama 2 hari terhitung sejak penyitaan selesai dilakukan, penyidik memberikan salinan surat perintah penyitaan atau surat izin penyitaan sebagaimana dalam ayat 7 dan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat 10 dan ayat 11 kepada pemilik atau pihak yang menguasai benda dan kepada ketua pengadilan negeri.

    Di penjelasan Pasal 112 Ayat 2 Huruf B, benda yang disita harus disesuaikan dengan nilai kerugian yang ditimbulkan.

    Sedangkan penjelasan untuk Ayat 3, Ketua Pengadilan Negeri memeriksa kesesuaian barang yang disita dengan jenis dan nilai kerugian akibat tindak pidana.

    Pasal 112A

    Ayat 1
    Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua Pengadilan Negeri hanya atas benda bergerak dan untuk itu paling lama 2 hari wajib melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri guna memperoleh persetujuannya

    Ayat 2
    Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi
    A. letak geografis yang susah dijangkau;
    B. tertangkap tangan;
    C. tersangka berpotensi berupaya merusak dan menghilangkan barang bukti secara nyata;
    D. benda atau aset tersebut mudah dipindahkan dan atau;
    E. adanya ancaman serius terhadap keamanan nasional atau nyawa seseorang yang memerlukan tindakan segeraz

    Ayat 3
    Penyitaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 wajib dimintakan persetujuan dari ketua Pengadilan Negeri paling lama 2 hari terhitung sejak penyitaan selesai dilakukan.

    Ayat 4
    Ketua Pengadilan Negeri paling lama 2 hari terhitung sejak penyidik menyerahkan persetujuan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 wajib mengeluarkan penetapan persetujuan atau penolakan.

    Ayat 5
    Setelah memperoleh penetapan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 4, penyidik harus membuat berita acara penyitaan yang ditanda tangani oleh penyidik, pemilik atau pihak yang menguasai benda yang disita dan saksi

    Ayat 6
    Setelah memperoleh penetapan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat 4, penyidik wajib segera mengembalikan benda yang disita kepada pemilik atau pihak yang menguasai benda pada saat dilakukan penyitaan paling lama 1 hari terhitung sejak penetapan penolakan diterima.

    Pasal 113

    Ayat 1
    Benda yang dapat disita dari tersangka atau terdakwa adalah:

    A. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana;
    B. benda atau tagihan yang seluruh atau sebagian diduga kuat diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
    C. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
    D. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; dan atau
    E. benda yang tercipta dari suatu tindak pidana.

    Ayat 2
    Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1.

    Pasal 113A

    Ayat 1
    Penyitaan benda dari saksi hanya dapat dilakukan jika benda tersebut:
    A. alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana;
    B. hasil tindak pidana dan atau;
    C. memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana yang sedang disidik dan sangat diperlukan untuk pembuktian;

    Ayat 2
    Penyitaan benda dari saksi wajib dilakukan berdasarkan izin ketua Pengadilan negeri disertai dengan alasan penyitaan.

    Ayat 3
    Saksi atau kuasanya dapat mengajukan keberatan terhadap penyitaan kepada ketua pengadilan negeri melalui pra-peradilan.

    Ayat 4
    Dalam hal penyitaan benda dari saksi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dinyatakan tidak sah oleh hakim pra-peradilan, penyidik wajib mengembalikan benda yang disita dari saksi paling lama 2 hari terhitung sejak putusan peradilan diucapkan.

    Ayat 5
    Dalam hal penyitaan telah dinyatakan tidak sah sebagaimana ayat 4, maka benda tersebut tidak dapat diajukan sebagai alat bukti.

    (amw/wnv)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Revisi KUHAP: Komisi III DPR dan Pemerintah Sepakat Beri Hak Impunitas Advokat

    Revisi KUHAP: Komisi III DPR dan Pemerintah Sepakat Beri Hak Impunitas Advokat

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi III DPR RI dan pemerintah setuju untuk menambahkan ayat berkenaan impunitas bagi advokat dalam menjalani tugasnya, dalam Pasal 140 Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Mulanya, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan usulan rumusan ini muncul setelah pihaknya menggelar RDPU dengan organisasi advokat hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

    Legislator Gerindra ini berpendapat bahwa impunitas advokat perlu ditegaskan di dalam UU KUHAP, sehingga impunitas ini bukan hanya ada di UU Advokat saja. 

    “Kemarin seluruh poksi yang hadir kebetulan pada RDPU tersebut seluruh poksi hadir sehingga dan seluruh mayoritas anggota hadir memenuhi kuorum, bersepakatlah kami anggota Komisi III secara bulat untuk memasukan pasal tersebut dalam pasal 140 ayat 2,” tuturnya dalam rapat panja, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).

    Adapun, dia menyebut bunyi pasal 140 ayat 2 ini adalah sebagai berikut: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar persidangan”.

    “Ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Advokat berikut putusan Mahkamah Konstitusi, yang menambahkan frasa di luar pengadilan itu,” ucap dia.

    Merespons hal tersebut, Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej berpandangan selama usulan itu mengacu pada UU Advokat yang ada maka tidak ada masalah. Dia sepakat untuk menambahkan DIM ke-812 itu dalam pasal 140. 

    “Pasal 140 kan ayat 1 berbunyi ‘Advokat berstatus sebagai penegak hukum menjalankan tugas dan fungsi Jasa Hukum sesuai dengan etika profesi serta dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan’. Kemudian ayat 2 yang tadi pak ketua sebutkan, … setuju,” ucapnya.

    Setelah mendengar itu, Habiburokhman langsung mengetuk palu sembari mengucapkan Alhamdulillah.

  • KPK Usulkan Tambahan Anggaran Rp1,34 Triliun untuk 2026, untuk Program Pencegahan Korupsi

    KPK Usulkan Tambahan Anggaran Rp1,34 Triliun untuk 2026, untuk Program Pencegahan Korupsi

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta tambahan anggaran sebesar Rp1,34 triliun untuk 2026 guna mendukung dua program yakni dukungan manajemen dan pencegahan serta penindakan perkara korupsi.

    Ketua KPK Setyo Budiyanto menyebut untuk program dukungan manajemen, lembaga anti rasuah itu memiliki kekurangan anggaran sebesar Rp491,3 miliar. Sementara, pada program pencegahan dan penindakan perkara korupsi, KPK kekurangan anggaran sebesar Rp856,6 miliar.

    “Sehingga total kebutuhan anggaran KPK untuk tahun 2026 adalah sebesar Rp2,226 triliun,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).

    Lebih lanjut, purnawirawan Polri ini menjelaskan Rp1,34 triliun ini bila dikelompokkan dalam kegiatan maka akan digunakan untuk kegiatan prioritas nasional (Rp35,25 miliar), pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK (Rp649,13 miliar), dan inisiatif baru (Rp663,58 miliar).

    Adapun, Setyo membeberkan inisiatif baru tersebut sangat penting untuk dipenuhi. Kalau tidak, lanjutnya, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi akan semakin menurun, agenda prioritas nasional Astacita ketujuh berpotensi terhambat, dan akan menghambat agenda politik serta ekonomi di tingkat internasional seperti OECD dan BRICS.

    “Ini sangat penting. Yang pertama adalah pembangunan gedung pendidikan dan latihan anti korupsi sebesar Rp163,5 miliar. Yang kedua, pemutakhiran alat IT sebesar lebih kurang Rp500 miliar,” ujarnya.

    Sebagai informasi, pagu infikatif KPK untuk Tahun Anggaran 2026 mengalami penurunan sebesar Rp359,4 miliar atau turun 29% dibandingkan DIPA Tahun Anggaran 2025.

    “Alokasi pagu indikatif sebesar Rp878,04 miliar oleh Kementerian Keuangan seluruhnya dialokasikan untuk program dukungan manajemen yang mencakup sebagian kebutuhan dasar seperti gaji dan tunjangan, serta operasional kantor,” ujarnya.

    Sementara itu, ujarnya, anggaran untuk penyelenggaraan tugas dan kewenangan KPK yang ada pada program pencegahan dan penindakan perkara korupsi masih belum mendapatkan alokasi anggaran alias 0 rupiah.

  • KPK Minta ke DPR Tambah Anggaran 2026 Jadi Rp2,23T

    KPK Minta ke DPR Tambah Anggaran 2026 Jadi Rp2,23T

    Jakarta, CNBC Indonesia-Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Setyo Budiyanto mengusulkan penambahan anggaran 2026 lantaran dianggap belum mencakup pencegahan dan penindakan perkara korupsi.

    Berdasarkan pemaparan Setyo Budianto dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta pada Kamis (10/7/2025), pagu indikatif KPK 2026 sebesar Rp878,04 miliar, turun Rp359,4 miliar atau 29% dibandingkan 2025.

    Ia mengatakan bahwa dalam pagu indikatif tersebut, program pencegahan dan penindakan perkara korupsi belum mendapatkan alokasi anggaran.

    “Alokasi pagu indikatif tahun anggaran 2026 sebesar Rp878,04 miliar oleh Kementerian Keuangan seluruhnya untuk dukungan manajemen yang digunakan untuk gaji dan tunjangan serta operasional kantor,” ujarnya.

    Setyo memaparkan bahwa total kebutuhan KPK pada tahun anggaran 2026 senilai Rp2,23 triliun. Sehingga ia mengusulkan penambahan anggaran sebesar Rp1,34 triliun.

    “Untuk itu kami mengusulkan tambah anggaran sebesar Rp1,34 triliun,” ucap Setyo.

    Usulan anggaran untuk 2026 senilai Rp2,23 triliun tersebut digunakan untuk dua program, yakni dukungan manajemen dengan usulan anggaran Rp1,37 triliun atau bertambah Rp491,32 miliar dari pagu indikatif sebesar Rp 878,04 miliar.

    Kemudian, usulan anggaran untuk pencegahan dan penindakan perkara korupsi sebesar Rp856,64 miliar dari pagu indikatif sebesar Rp0.

    Ia mengatakan penambahan anggaran tersebut untuk menunjang kinerja KPK dalam memberantas tindak korupsi.

    “KPK dalam melaksanakan tugas membutuhkan dukungan nyata DPR sebagai wakil rakyat yaitu dalam bentuk dukungan anggaran dalam rangka melaksanakan output prioritas nasional dalam mencapai RKP 2026 serta untuk menjalankan tugas dan kewenangan KPK sebagaimana diamanatkan dalam UU No 19 tahun 2019,” ucapnya dalam meminta dukungan DPR.

    (ras/mij)

    [Gambas:Video CNBC]

  • 10
                    
                        Saat DPR Semprot MK gara-gara Aturan Pemilu Diutak-atik
                        Nasional

    10 Saat DPR Semprot MK gara-gara Aturan Pemilu Diutak-atik Nasional

    Saat DPR Semprot MK gara-gara Aturan Pemilu Diutak-atik
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Mahkamah Konstitusi
    (MK) menjadi sasaran kritik tajam dalam rapat kerja
    Komisi III DPR
    RI pada Rabu (9/7/2025).
    Para anggota dewan mengecam
    putusan MK
    yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Mereka menilai putusan itu menimbulkan kegaduhan dan menunjukkan inkonsistensi MK.
    Padahal rapat yang turut diikuti oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) itu sebenarnya beragendakan pembahasan anggaran.
    Anggota Fraksi Partai Nasdem,
    Rudianto Lallo
    mengatakan, MK saat ini tengah menjadi perbincangan hangat karena telah membuat putusan yang kontroversial dan bahkan menabrak konstitusi.
    “MK ini kemudian yang paling banyak didiskusikan hari ini karena ada putusan kontroversi soal pengujian UU. Ya tentu kita berharap MK menjadi penjaga konstitusi kita. Mudah-mudahan tidak ada lagi putusan-putusan yang menjadi polemik di masyarakat,” kata Rudianto di Kompleks Parlemen, Senayan.
    Dia pun menyinggung proses legislasi di DPR yang melibatkan waktu panjang dan harus menjaring aspirasi publik. Namun, hasil kerja itu bisa langsung berubah drastis oleh satu putusan MK.
    “Kalau tiba-tiba satu pasal dianggap bertentangan tetapi justru amar putusan MK ini bertentangan, ini juga problem konstitusi kita. Nah ini
    deadlock
    jadinya,” ujar dia.
    Nada serupa dilontarkan anggota Fraksi PKB,
    Hasbiallah Ilyas
    . Dia menyindir dominasi sembilan hakim konstitusi dalam mengubah arah sistem pemilu yang disusun oleh ratusan anggota legislatif.
    “Jangan 500 orang ini, Pak, kalah dengan 9 hakim. Ini bikin undang-undang KUHAP saja sudah berapa lama kita belum selesai sampai hari ini. Tolong agak lebih bijaklah,” kata Hasbiallah.
    Dia juga mengkritisi inkonsistensi aturan pemilu dari waktu ke waktu yang dinilai menimbulkan kebingungan di masyarakat.
    “Misalnya pemilu, berapa kali setiap pemilu itu diubah. Dari tahun 2009 diubah, sekarang diubah lagi, ini yang bikin jadi kegaduhan di masyarakat,” ujar Hasbiallah.
    Berkaca dari persoalan ini, Hasbiallah pun mendorong agar proses seleksi calon hakim konstitusi lebih ketat ke depannya.
    “Menurut saya perlu diseleksi lebih optimal lagi, jangan sampai adanya MK ini keluar dari norma yang ada,” kata dia.
    Dari Fraksi Demokrat, Andi Muzakir juga menyuarakan kekhawatiran soal inkonsistensi MK karena akan berdampak buruk bagi sistem ketatanegaraan.
    “Saya hanya satu, Pak, konsisten dalam mengambil keputusan. Jangan setiap periode berubah lagi putusannya. Jadi tidak ada konsistensi dalam mengambil putusan. Tahun ini serempak, berikutnya dipisah. Tidak ada konsistensi. Mau dibawa ke mana negara ini?” ujar dia.
    Wakil Ketua Komisi III Dede Indra Permana Soediro turut mengingatkan MK agar menjalankan tugas sebagai penguji, bukan pembentuk norma hukum.
    “Sedikit masukan juga kepada MK bahwa sesuai dengan tugas yang sudah ada, bahwa MK adalah penguji norma, bukan membentuk (norma),” kata politikus PDI-P itu.
    Menanggapi banyak kritik, Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan menegaskan bahwa putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah dibacakan dan MK hanya tinggal menunggu DPR menindaklanjutinya.

    Putusan MK
    kan sudah diucapkan, kami tinggal menunggu kewenangan DPR untuk menindaklanjuti. Kami tunggu. Karena DPR juga punya kewenangan,” ujar Heru.
    Dia pun enggan berkomentar lebih jauh mengenai kritik yang diarahkan ke lembaganya ataupun terhadap putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah.
    Sebagai informasi, melalui putusan tersebut, MK memutuskan agar pemilu nasional dan daerah dilaksanakan secara terpisah mulai 2029.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Selain itu, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Meski begitu, MK tidak menentukan secara pasti tenggat waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
    MK hanya mengusulkan agar pemilu daerah digelar paling cepat dua tahun setelah pemilu nasional, dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
    Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Taufik Basari menyatakan bahwa putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah menimbulkan dilema konstitusional. Pasalnya, pelaksanaan maupun pengabaian putusan MK tersebut akan sama-sama melanggar konstitusi.
    “Melaksanakan atau tidak melaksanakan putusan MK akan sama-sama melanggar konstitusi,” ujar Taufik.
    Dia mengacu pada Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 yang menyebut pemilu harus dilaksanakan lima tahun sekali, serta Pasal 18 Ayat (3) yang menegaskan DPRD dipilih melalui pemilu.
    “Inilah yang saya sebut sebagai dilematis
    constitutional deadlock
    . Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau,” ucap Taufik.
    Sementara itu, Peneliti Politik BRIN Devi Darmawan menilai sikap MK yang langsung menetapkan
    pemilu dipisah
    menunjukkan ketidakpercayaan terhadap DPR.
    “Hal ini menunjukkan sebenarnya ada ketidakpercayaan dari Mahkamah Konstitusi ini kepada kinerja parlemen,” kata Devi dalam diskusi daring.
    Menurut Devi, DPR dan pemerintah selama ini lambat merevisi UU Pemilu, sehingga MK mengambil sikap tegas yang tidak memberi pilihan lain.
    Namun, dia mengingatkan agar MK tetap berada dalam koridor sebagai penguji konstitusionalitas, bukan pembentuk norma.
    “Kalau seperti sekarang berkesan seolah-olah MK agak lebih mendominasi dalam pembuatan peraturan Undang-Undang, khususnya yang terkait dengan sistem kepemiluan,” ucap Devi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Puji DIM KUHAP Pemerintah, Habiburokhman: Racikannya Pas

    Puji DIM KUHAP Pemerintah, Habiburokhman: Racikannya Pas

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman memuji Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dari pemerintah, dalam rapat panitia kerja atau panja hari ini, Rabu (9/7/2025).

    Pujian tersebut dia sampaikan kala membahas substansi baru dalam Pasal 59A hingga 59F tentang koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, yang menggantikan substansi di pasal 24 hingga 26.

    “Jadi kalau menurut saya, temen-temen ini sudah pas betul racikannya pemerintah, memperhatikan prinsip kesetaraan dan keseimbangan antara penyidik dan penuntut yang selama ini sudah sangat baik,” katanya dalam rapat, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.

    Merespons hal tersebut, Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengaku substansi baru tersebut dibentuk oleh timnya yang berisikan 12 orang. Mereka terdiri dari 3 orang Mahkamah Agung (MA), 3 orang Kementerian Hukum, 3 orang kejaksaan, dan 3 orang kepolisian.

    Dia bercerita bahwa pasal tersebut disusun oleh tim ini dengan melalui perdebatan selama dua hari. Pemerintah, lanjutnya, sadar betul bahwa dalam sistem peradilan pidana, hubungan penyidik dan penutut umum bak ibarat dua sisi mata uang yang tidak mungkin saling dipisahkan.

    Kemudian, lanjutnya, dikatakan juga polisi itu adalah penjaga pintu gerbang sistem peradilan pidana, sehingga yang lain tidak bisa bekerja bilamana pintu gerbang itu tidak dibuka. Tapi, ketika itu dibuka, penyidik pun tidak bisa berbuat apa-apa bila tidak ada keterlibatan penutut umum. Pasalnya, penuntut umumlah berhak menentukan itu perkara akan ke pengadulan atau tidak.

    “Jadi dengan segala kerendahan hati pemerintah, pasal ini disusun bersama oleh khususnya temen-temen penyidik dan penuntut umum menghasilkan regulasi seperti ini berdasarkan pengalaman bahwa selama KUHAP 1981 itu ada ketidakpastian, ada saling sandera perkara bolak balik, kadang bolak gak balik balik. Jadi ini melatarbelakangi supaya ada kepastian hukum bagi pelaku, tetapi di sisi lain ada kemanfaatan dan keadilan bagi korban,” urainya.

    Berikut Pasal 59A sampai 59F dalam DIM RUU KUHAP:

    Pasal 59A

    Penanganan setiap tindak pidana dilaksanakan oleh Penyidik dengan melibatkan Penuntut Umum sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam kerangka sistem peradilan pidana terpadu.

    Pasal 59B

    (1) Pelibatan Penuntut Umum dalam penanganan setiap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59A melalui mekanisme koordinasi yang dilakukan secara setara, saling melengkapi, dan saling mendukung.

    (2) Koordinasi antara Penyidik dan Penuntut Umum dimulai dari proses pengiriman surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan yang dikirim oleh Penyidik kepada Penuntut Umum.

    (3) Koordinasi antara Penyidik dan Penuntut Umum dapat dilakukan dengan menggunakan sarana teknologi informasi.

    (4) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan sebelum dan setelah hasil Penyidikan dikirimkan Penyidik kepada Penuntut Umum serta wajib dituangkan dalam berita acara.

    (5) Dalam koordinasi yang dilakukan setelah hasil Penyidikan dikirimkan Penyidik kepada Penuntut Umum, hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam setiap perkara.

    (6) Pendapat Penuntut Umum dalam proses penelitian berkas perkara meliputi aspek formil dan aspek materil.

    (7) Pemberitahuan lengkapnya berkas perkara yang diajukan Penyidik, dituangkan dalam surat pemberitahuan yang ditandatangani oleh kepala kejaksaan negeri selaku penanggung jawab penuntutan di wilayah hukum yang bersangkutan

    (8) Dalam hal berkas perkara dinyatakan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Penyidik menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum untuk dilakukan penuntutan.

    Pasal 59C

    (1) Pemberitahuan dimulainya Penyidikan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum dikirimkan paling lama 7 (tujuh) hari setelah Penyidikan dimulai.

    (2) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) Hari sejak surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan diterima kejaksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penyidik berkoordinasi dengan Penuntut Umum yang ditunjuk untuk mengikuti perkembangan Penyidikan.

    (3) Dalam berjalannya proses Penyidikan, Penyidik dapat berkoordinasi dengan Penuntut Umum dalam melengkapi berkas perkara, perpanjangan Penahanan, dan/atau pemberitahuan penghentian Penyidikan.

    Pasal 59D

    (1) Setelah Penyidikan selesai, Penyidik menyampaikan hasil Penyidikan beserta berkas perkara kepada Penuntut Umum untuk dilakukan penelitian berkas perkara dalam waktu 7 (tujuh) Hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara dari Penyidik.

    (2) Dalam hal Penuntut Umum menilai berkas perkara yang diterima dari Penyidik belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai dengan petunjuk mengenai hal yang harus dilengkapi berdasarkan hasil koordinasi.

    (3) Penyidik wajib melengkapi berkas perkara melalui Penyidikan tambahan sesuai hasil koordinasi dengan Penuntut Umum dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum

    (4) Dalam hal berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum, Penyidik menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum untuk dilakukan Penuntutan.

  • RUU KUHAP Sertakan Pasal Baru Soal Penyitaan Alat Bukti, Apa Isinya?

    Panja Revisi KUHAP Tolak Usulan Saksi Dilarang ke Luar Negeri

    Jakarta

    Panitia kerja (Panja) penyusunan revisi Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) mulai memasuki pembahasan substansi. Pemerintah mengusulkan, selain tersangka, saksi juga dilarang untuk keluar wilayah Indonesia selama proses pengusutan suatu kasus.

    Hal itu mulanya disampaikan pemerintah, yakni Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej) di ruang Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (9/7/2025). Eddy menyebut dalam praktiknya, saksi juga termasuk pihak yang dilarang atau dicegah ke luar negeri.

    “Di sini kan dalam DIM DPR larangan bagi tersangka untuk keluar wilayah Indonesia. Padahal dalam praktiknya, tidak hanya tersangka. Saksi pun kadang-kadang dilarang untuk keluar negeri sehingga kami menambahkan saksi,” kata Eddy dalam rapat.

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyebut hal itu harus didiskusikan dahulu. Ia menyebut pencegahan saksi pergi ke luar negeri ini masuk pada kategori upaya paksa.

    “Mungkin karena keterangannya dibutuhkan oleh penyidik? Setuju? Oke ya,” kata pimpinan Panja, Rano Alfath menanggapi Eddy.

    “Diskusi dulu, Bos, itu kan upaya paksa tuh. Masih saksi tapi bisa diupaya paksa, gimana ini?” respons Habiburokhman.

    “Izin Ketua, kami berpendapat bahwa yang bersangkutan kan masih saksi. Jangan dilarang ke mana-mana. Dia bukan tersangka. Sehingga kami keberatan kalau saksi dimasukkan untuk mendapatkan upaya paksa, dicekal. Kami keberatan,” kata Tandra.

    Legislator Fraksi NasDem Rudianto Lallo juga menyampaikan keberatan. Rudianto ingin penambahan narasi saksi untuk dihapus dalam RUU KUHAP.

    Pimpinan rapat, Rano Al Fath, mengusulkan pasal 85 huruf h untuk kembali seperti draf yang diusulkan DPR. Diketahui, DPR hanya memasukkan tersangka sebagai pihak yang dilarang ke luar wilayah RI.

    “Sebetulnya, memang begini. Memang sering kali baru ditetapkan jadi saksi, terus dicekal, nah memang gambaran masyarakat akhirnya berubah. Nah ini kan upaya paksa. Nah ini kami hematnya kita ikutin aja yang sesuai ini. Kalau yang awal kan larangan bagi tersangka? Gimana?” ujar Rano.

    Legislator PKS Nasir Djamil juga menyampaikan hal serupa. Ia menyebut ada potensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) jika saksi turut dikenakan upaya paksa.

    “Izin ketua, kalau ini (disetujui) berpotensi abuse of power ya penerapannya. Daripada kita menuju ke sana, lebih bagus kembali rancangan awal aja ya,” kata Nasir Djamil.

    Pemerintah akhirnya menyetujui hal itu. Mayoritas fraksi di DPR tak setuju saksi dimasukkan dalam upaya pencegahan ke luar negeri.

    “Jadi saksi tidak termasuk ya, dihapus,” ungkap Rano sambil mengetuk palu.

    (dwr/jbr)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dan dua pengacara serta seorang panitera terkait dugaan suap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO di PN Jakarta Pusat.

    Kasus itu menambah daftar panjang kasus terkait mafia peradilan yang telah diungkap oleh penegak hukum. Sebelumnya, Kejagung juga berhasil melakukan operasi tangkap tangan terhadap tiga orang hakim di Pengadilan Negeri Surabaya. Ketiga hakim itu ditangkap atas dasar tuduhan menerima suap dalam proses penanganan perkara pembunuhan dengan terdakwa Gregorius Ronald Tanur.

    Tidak berhenti sampai di situ, penyidik berhasil mengembangkan informasi bahwa dalam perkara yang sama, terdapat upaya mempengaruhi proses hukum kasasi yang diajukan oleh Ronald Tanur. Benar saja, tidak lama berselang, pihak yang diduga sebagai makelar kasus akhirnya turut ditetapkan sebagai tersangka, yakni Zarof Ricar, mantan pejabat di Mahkamah Agung.

    Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengungkapkan, fenomena suap hakim dan mafia peradilan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang merusak integritas penegakan hukum. Praktik suap, intervensi pihak eksternal, dan kolusi antara penegak hukum, pengacara, dan para pihak berperkara telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

    Bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Meski pemerintah dan DPR telah berupaya dengan berbagai cara seperti membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) maupun Panitia Kerja (Panja) untuk menyoroti hal ini, namun ternyata kartel hukum ini tidak hilang.

    ilustrasi

    “Sebenarnya sudah ada komitmen untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan secara lebih terbuka, profesional, dan terpercaya. Seluruh model dan format kajian terhadap independensi, kemandirian, maupun upaya untuk meningkatkan integritas dan kualitas peradilan yang tinggi telah dicoba untuk digalakkan,” ujar Sudirta.

    Namun seolah permasalahan itu tidak akan pernah berhenti dan terus menerus terjadi, bahkan semakin marak dan kasat mata. Menurutnya, reformasi peradilan bukan hanya berbicara dari permasalahan suap di pengadilan yang diungkap Kejagung, tapi juga berbicara di seluruh tahap peradilan.

    “Ini berarti sistem peradilan pidana misalnya juga menyangkut penyidikan, upaya paksa, penuntutan, hingga putusan itu sendiri. Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi, seluruh tahap seolah memiliki tarif,” imbuhnya.

    Dalam praktek di lapangan, banyak modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan. Karena itu, reformasi peradilan tidak hanya berbicara soal struktur dan substansi dari hukum dan peraturan perundang-undangan, namun juga kultur dari hukum dan fenomena tersebut.

    Sudirta menjelaskan, permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukan hal baru karena terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal itu teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan, pertama adalah korupsi yang sudah sangat kronis dan sistemik dibarengi dengan lemahnya pengawasan internal dan eksternal.

    “Kita sering mendengar adanya penanganan terhadap hakim yang bermasalah, tapi tampaknya tidak juga memberikan dampak yang signifikan. Penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya gesture belaka atau untuk meredam amarah publik,” tuturnya.

    Kedua, sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem karir yang seringkali tidak transparan dan banyak “titipan”. Hal ini terasa biasa saja namun berdampak cukup jauh, koneksi masuknya mafia hukum dan peradilan menjadi langgeng dan banyak yang kemudian tersandera dengan “utang budi” tersebut.

    “Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada “koneksi”. Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan,” tukas Sudirta.

    Ketiga adalah permasalahan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibandingkan dengan beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang. Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, tidak serta merta membuat hakim merasa “aman” dan tercukupi.

    Selanjutnya adalah banyaknya intervensi dan minimnya pengawasan karena pengaruh dari luar (mafia) cukup tinggi. Pengawasan internal dan eksternal tidak efektif karena kalah dengan asas kemandirian dan independensi yudikatif; yang bebas dan mandiri. Pengawasan eksternal dari Komisi Yudisial (KY) maupun lembaga pengawas eksternal lainnya akhirnya hanya mengandalkan publik untuk menekan, bukan komitmen dari pengawas yang memegang kewenangan.

    Persoalan selanjutnya kata Sudirta, adalah minimnya pendidikan dan pelatihan yang mendorong integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Pelatihan integritas, pembangunan zona integritas dan wilayah bebas korupsi tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan obyektif. Modus operandi penyuapan terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan sebenarnya sudah teridentifikasi, namun tidak memiliki semacam denah (roadmap) untuk penanggulangannya.

    Hal yang paling dapat terlihat tentunya adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan atau penegakan hukum. Ketidakpastian berdampak pada sistem ekonomi dan investasi serta pelindungan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian dapat terlihat adanya penyimpangan terhadap tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Hingga kini adagium seperti “keadilan hanya milik penguasa atau orang kaya” atau “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” akan selalu muncul.

    Penguatan Sistem Pengawasan Internal dan Eksternal Bisa Menekan Praktik Mafia Peradilan

    Sudirta mengatakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan suap dan penyimpangan dalam sistem peradilan di Indonesia. Pertama, reformasi struktur peradilan dan penegakan hukum perlu dijamin. Kedua, penguatan fungsi pengawasan melalui sistem, pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Sistem peradilan pidana misalnya memiliki pengawasan hakim secara internal (Bawas MA), Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, hingga aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) ataupun penegakan hukum.

    “Perlu dipikirkan kembali bagaimana sistem dapat secara otomatis mengawasi akuntabilitas dan keakuratannya. Revisi Hukum Acara Pidana harus memungkinkan upaya untuk mengajukan keberatan terhadap beberapa tindakan atau upaya paksa yang telah diatur dalam undang-undang, secara obyektif dan transparan,” terangnya.

    Keempat, transparansi dari rekrutmen, pembinaan karir, uji kompetensi, dan peningkatan integritas harus dapat dijamin, diharapkan akan mendorong publik agar ikut mengawasi. Sistem pembinaan karir, mutasi, promosi, demosi, dan pengisian jabatan harus memiliki tolok ukur yang jelas, obyektif, dan kepastian atau ketegasan. Jaminan untuk pembinaan karir dan penempatan di wilayah harus dilakukan dengan sistem pengelolaan Sumber Daya Manusia yang sesuai dengan kompetensi dan profesionalitasnya.

    Kelima, perhatian terhadap hakim dan kesejahteraan maupun fasilitas yang mendukung optimalisasi kerja dan profesionalitas. Saat ini, banyak hakim atau aparat yang mengalami kekurangan dari sisi kesejahteraan maupun dukungan sarana dan prasarana kerja. Penanganan terhadap pelanggaran etik maupun hukum harus dapat dilakukan secara terbuka atau membuka ruang publik untuk dapat mengadu dan mendapat tindak lanjut yang jelas.

    “Pemanfaatan teknologi informasi juga dapat dioptimalkan untuk pengawasan dan transparansi publik. Hal terkait adalah penggunaan whistleblowing system dapat saling melaporkan penyimpangan tentunya dengan penghargaan jika terbukti dan bermanfaat,” tambah Sudirta.

    Keenam, peningkatan keterlibatan masyarakat sipil dalam pemantauan dan pengungkapan praktik mafia hukum dan peradilan. Selain edukasi terhadap seluruh aparat penegak hukum, hakim, dan termasuk advokat; dibutuhkan kejelasan sistem yang dapat memudahkan penanganan pelanggaran seperti hukum dan etik yang sangat berat dan dilakukan melalui SOP atau prosedur yang jelas dan obyektif.

    “Reformasi struktural, pemanfaatan teknologi, penegakan hukum tegas, dan peningkatan kesadaran integritas harus dilakukan secara konsisten dan simultan. Tanpa upaya serius, kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia akan terus merosot dan tentunya menghambat pembangunan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia,” tegas politikus dari PDI Perjuangan itu.

    Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya menilai, pengungkapan kasus mafia peradilan seperti pada penangkapan Zarof Ricar bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab modus yang dilakukan oleh Zarof serupa dengan yang dilakukan oleh jaringan mafia peradilan lainnya yang sebelumnya pernah diproses hukum oleh KPK, yakni Sekretaris MA, Nurhadi dan Hasbi Hasan. Sekalipun ketiganya bukan merupakan hakim atau pihak yang menangani perkara, namun dengan pengaruh besar yang dimiliki, mereka memperdagangkan pengaruh itu untuk menjadi perantara suap kepada hakim yang menangani perkara.

    “Modus ini juga setidaknya juga menjadi salah satu modus korupsi yang telah dipetakan oleh ICW sejak tahun 2003 silam. Artinya, modus korupsi di sektor peradilan tidak pernah berubah. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa, meski sudah pernah ada jaringan mafia peradilan yang diproses hukum, dan modus-modusnya sudah terpetakan, namun prakteknya masih ada hingga saat ini,” tuturnya.

    Menurut Diky, dua kemungkinan penyebab eksistensi mafia peradilan. Pertama, proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK atau penegak hukum lainnya tidak pernah menyasar hingga aktor-aktor intelektualnya. Kedua, tidak ada upaya signifikan yang dilakukan oleh MA untuk melakukan upaya reformasi yang berdampak signifikan untuk menutup ruang gerak bagi hakim, panitera, atau pegawai pengadilan untuk melakukan praktik-praktik bertindak sebagai makelar kasus.

    Kondisi ini tentu semakin menunjukkan bahwa moralitas para penegak hukum, khususnya hakim di lembaga peradilan, telah berada di titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Maka tidak berlebihan rasanya jika publik, yang notabene merupakan para pencari keadilan, mengharapkan bahwa pengungkapan Zarof Ricar dijadikan sebagai momentum bagi penegak hukum untuk mengungkap jaringan mafia peradilan yang lebih luas di Mahkamah Agung.

    Selain itu, penguatan kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman juga perlu diperkuat. Sebab, prakteknya saat ini, Komisi Yudisial hanya dapat memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan aduan mengenai pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim, dan kewenangan untuk memutusnya tetap di Mahkamah Agung.

    “Sebagai langkah menghindari adanya potensi konflik kepentingan, maka Komisi Yudisial perlu diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada hakim. Namun yang paling penting, agar simultan dengan strategi-strategi tersebut, perlu ada terobosan kebijakan dari Ketua MA untuk menjadi orkestrator dalam upaya mereformasi lembaganya guna mengembalikan kembali muruah lembaga peradilan,” tutup Diky.

  • RUU KUHAP Banjir DIM, Komisi III DPR: Ada 1.676 Poin

    RUU KUHAP Banjir DIM, Komisi III DPR: Ada 1.676 Poin

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi III DPR RI membeberkan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No.8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) memiliki 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah alias DIM.

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyebut DIM tersebut akan dibahas dalam rapat panitia kerja (panja) bersama pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian Hukum dan Kementerian Sekretariat Negara.

    “Berdasarkan keputusan rapat kerja komisi III dan Kemenkum, Kemensesneg bahwa  pembahasan DIM dilakukan pada tingkat panja dan jumlah DIM sebanyak 1.676 DIM,” katanya dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (9/7/2025).

    Legislator Gerindra ini merincikan 1.676 DIM terdiri dari 1.091 DIM bersifat tetap, 295 DIM bersifat redaksional, 68 DIM bersifat diubah, 91 DIM dihapus, dan 131 DIM bersifat substansi baru.

    Habiburokhman menjelaskan, DIM bersifat tetap dapat disetujui dengan catatan dapat dibuka kembali bila berkaitan dengan DIM yang bersifat substantif. Kemudian, DIM bersifat redaksional dapat diserahkan langsung ke tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin).

    “Kita melakukan pembahasan DIM berdasarkan DIM substansi sesuai klaster,” ujarnya.

    Lebih jauh, pria yang juga Waketum Gerindra ini mengatakan pada rapat perdana panja hari ini pembahasan dimulai dengan pasal-pasal yang berasal dari usuluan pemerintah.

    “Yang menurut kami perlu lebih dahulu sahkan karena ini jantungnya, baru kerjanya lebih gampang kita, kan toh tetap saja dibahas ini hanya sistematika saja pasal mana yang dibahas,” tuturnya.

    Dalam kesempatan terpisah, Habiburokhman memastikan bahwa revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan rampung pada masa sidang sekarang. 

    Dia pun menyebut bahwa rapat panita kerja (panja) hari ini juga langsung membahas substansi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Kemudian, lanjutnya, para anggota panja juga tidak bertele-tele dalam menyampaikan pandangannya.

    “Jadi omong substansi, omong substansi, omong substansi ini juga tergantung pada skill ketua rapatnya, kalau Pak Habiburokhman InsyaAllah bisa mengatur alur-alur lintas pembicaraan yang efektif,” katanya seusai rapat.

  • Komisi III DPR Targetkan Pembahasan RUU KUHAP Selesai pada Masa Sidang Sekarang

    Komisi III DPR Targetkan Pembahasan RUU KUHAP Selesai pada Masa Sidang Sekarang

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi III DPR Habiburokhman memastikan bahwa revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan rampung pada masa sidang sekarang. 

    Dia pun menyebut bahwa rapat panita kerja (panja) hari ini juga langsung membahas substansi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Kemudian, lanjutnya, para anggota panja juga tidak bertele-tele dalam menyampaikan pandangannya.

    “Jadi omong substansi, omong substansi, omong substansi ini juga tergantung pada skill ketua rapatnya, kalau Pak Habiburokhman InsyaAllah bisa mengatur alur-alur lintas pembicaraan yang efektif,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (9/7/2025). 

    Dengan demikian, dia menilai para anggota panja berada dalam suasana yang baik pasa rapat perdana panja hari ini.

    “Jadi kawan-kawan juga happy semua tadi ya. Kami berharap ini sih selesai sesuai dengan perencanaan kita di masa sidang ini, ya, masa sidang ini selesai sampai pembahasan tingkat pertama dan kedua,” harapnya.

    Lebih jauh, legislator Gerindra ini menjamin bahwa proses pembahasan DIM akan 100% terbuka dan selalu dilakukan di ruang rapat Komisi III DPR.

    “Dan kami minta perangkat live streaming diaktifkan. Karena siapa tahu ada masyarakat yang mengikuti rapat-rapat kami, ingin memberikan masukan dia bisa live melihatnya dari rumah,” ucapnya.

    Adapun, Wakil Ketua DPR Adies Kadir menginginkan pembahasan revisi KUHAP bisa segera selesai dengan cepat. Pasalnya, selain demi kepastian hukum juga karena banyak revisi UU lain yang masih mengantre.

    “Jadi kita harapkan ini cepat, selain itu kenapa kita minta cepat? Ada dua rancangan undang-undang juga yang menanti KUHAP ini, antara lain RUU kepolisian dan juga RUU perampasan aset. Jadi ada dua RUU yang menunggu itu,” katanya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025).