Kementrian Lembaga: Komisi III DPR RI

  • RUU Perampasan Aset Jika Jadi Usul Inisiatif DPR Akan Lebih Cepat

    RUU Perampasan Aset Jika Jadi Usul Inisiatif DPR Akan Lebih Cepat

    Jakarta

    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan akan bertemu dengan pimpinan DPR untuk membahas RUU Perampasan Aset. Pertemuan itu untuk menentukan RUU tersebut jadi usul pemerintah atau DPR.

    “Nanti kami akan bicara dengan pimpinan DPR, apakah ini menjadi usul inisiatif pemerintah atau akan menjadi usul inisiatif DPR,” kata Supratman di Kemenkum, Jakarta, Rabu (3/9/2025).

    Menurut Supratman, jika jadi inisiatif DPR, pembahasan RUU Perampasan Aset prosesnya akan lebih cepat. Untuk itu, Supratman meminta menunggu prolegnas 2026 atau revisi prolegnas 2025.

    “Kalau menjadi usul inisiatif DPR, saya pastikan itu akan jauh lebih cepat,” sebutnya.

    Supratman menuturkan pemerintah memiliki komitmen untuk segera meresahkan RUU Perampasan Aset. DPR juga telah menyatakan kesiapannya untuk membahas.

    Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat Benny K Harman mendukung pengesahan RUU Perampasan Aset. Di sisi lain, Benny mendorong Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perampasan Aset.

    “Ya, ada urgensi (pengesahan RUU Perampasan Aset). Itu kan bagian dari agenda pemberantasan korupsi, dan kalau presiden memang serius, ya, bikin Perppu. Apakah akan didukung oleh Dewan? Saya yakin akan didukung karena mayoritas DPR ini mendukung Presiden Prabowo,” kata Benny di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (2/9).

    (ial/rfs)

  • Kritik Polisi Tangkap Delpedro, Benny Harman: Negara Gagal Hadir!
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 September 2025

    Kritik Polisi Tangkap Delpedro, Benny Harman: Negara Gagal Hadir! Nasional 3 September 2025

    Kritik Polisi Tangkap Delpedro, Benny Harman: Negara Gagal Hadir!
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman menyayangkan penangkapan Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, dan sejumlah aktivis lain atas dugaan provokasi, oleh polisi.
    Polisi, menurutnya, seharusnya lebih fokus mengusut tuntas kasus penjarahan yang terjadi di sejumlah rumah, seiring dengan berlangsungnya aksi demonstrasi sejak 25 Agustus 2025.
    “Yang lebih penting diusut Polri ialah tindak pidana penjarahan, bukan malah mengusut dan menahan Delpedro. Negara gagal hadir!” kata Benny dalam siaran pers yang diterima
    Kompas.com
    , Rabu (3/9/2025).
    Benny mengingatkan bahwa Polri seharusnya lebih mementingkan pengusutan pelaku penjarahan di beberapa tempat. Sebab, aksi penjarahan tersebut jelas-jelas termasuk tindakan kriminal.
    Dia juga mempertanyakan dasar penetapan Delpedro dan sejumlah aktivis lainnya sebagai tersangka. Menurutnya, ajakan menggelar atau mengikuti demonstrasi tak bisa menjadi dasar penangkapan.
    “Kalau mengajak orang apa hasut? Kalau saya ajak, ‘eh datang kita demonstrasi di depan kantor polisi, atau di depan gedung kejaksaan, untuk menyampaikan pendapat tangkap koruptor’, apa salah?” ucap Benny.
    Selain salah mengambil langkah soal penangkapan Delpedro, Benny menilai Polri gagal melindungi hak dasar warga negara, yakni rasa aman terhadap diri dan harta bendanya dalam kericuhan yang terjadi.
    Benny menambahkan, negara juga gagal melindungi hak asasi warganya yang telah dijamin Undang-Undang Dasar 1945, khususnya terkait Hak Asasi Manusia.
    Dalam Pasal 28G (1) UUD 1945, kata Benny, diatur bahwa:
    Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi
    .
    “Dengan alasan apapun penjarahan tidak dapat dibenarkan. Lalu negara atau Polri ke mana? Usut para pelakunya!” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, Polisi resmi menetapkan Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen (DMR), sebagai tersangka kasus dugaan penghasutan yang melibatkan pelajar dalam aksi ricuh di depan Gedung DPR/MPR RI.
    Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, menjelaskan, Delpedro diduga menghasut dan menyebarkan ajakan provokatif yang berujung aksi anarkis di sekitar Kompleks Parlemen dan sejumlah titik lain di Jakarta.
    Dugaan tindak pidana ini disebut sudah berlangsung sejak 25 Agustus 2025.
    Selain Delpedro, polisi menetapkan lima orang lain sebagai tersangka dalam kasus dugaan penghasutan anak di bawah umur untuk melakukan aksi anarkistis di Jakarta lewat media sosial, yakni MS staf Lokataru sekaligus admin @blokpolitikpelajar, SH admin akun @gejayanmemanggil, KA admin Instagram @AliansiMahasiswaPenggugat, RAP, dan FL.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketika Rakyat Berjuang Sendirian

    Ketika Rakyat Berjuang Sendirian

    OLEH: MUHAMMAD FADHIL BILAD*

    AGUSTUS, bulan kemerdekaan, seharusnya menjadi momen rakyat menikmati hasil perjuangan leluhur. Namun, realitanya jauh dari harapan. Rakyat masih harus berjuang: mengejar kesejahteraan, melawan ketimpangan ekonomi, dan memperjuangkan martabat kemanusiaan. 

    Ibu Pertiwi menangis melihat anak-anaknya berjuang menuntut keadilan, yang kerap bertransformasi menjadi gerakan sosial. Sayangnya, gerakan organik ini sering dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab: fasilitas publik dirusak, rumah-rumah dijarah, kantor dibakar, bahkan rakyat tak berdosa menjadi korban kekerasan dengan dalih “pembelaan diri”. Kemurnian aspirasi rakyat pun ternoda, isu besar yang diperjuangkan menjadi kabur dan tak terarah.

     

    Hilangnya Partisipasi yang Bermakna

     

     

    Idealnya, DPR sebagai wakil rakyat mengadopsi prinsip “meaningful participation”, partisipasi bermakna, yang menjamin hak rakyat untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan atas aspirasinya. Keputusan DPR seharusnya lahir dari proses terbuka bersama rakyat. Jika prinsip ini diterapkan sungguh-sungguh, demonstrasi di jalanan tak perlu terjadi karena suara rakyat sudah terwakili. Namun, realitas berbicara lain. Maraknya aksi protes menjadi indikasi nyata bahwa DPR gagal mewujudkan partisipasi bermakna. 

     

    Lalu, kepada siapa DPR meminta pertimbangan dalam pengambilan keputusan? Bambang Wuryanto, atau akrab disapa Bambang Pacul, anggota DPR dari Fraksi PDIP, secara jujur mengungkap realitas pahit. Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Menko Polhukam pada Maret 2023, ia blak-blakan menyatakan bahwa keputusan DPR diambil berdasarkan instruksi pimpinan partai. 

    Sistem pengambilan keputusan di Rapat Paripurna DPR pun memperkuat pernyataan ini: suara diwakilkan oleh fraksi, bukan individu anggota DPR atau daerah pemilihan. Artinya, pimpinan partai, bukan wakil rakyat yang kita pilihlah yang menentukan arah kebijakan. Anggota DPR hanyalah “pemain orkestra” yang menari mengikuti irama sang maestro: pimpinan partai.

     

    Chile vs. Prancis: Pelajaran dari Dua Dunia

     

    Untuk memahami peran partai politik dalam merespons gejolak sosial, mari kita lihat dua kasus berbeda. Di Chile pada 2019, kenaikan harga tiket transportasi umum memicu protes massa yang meluas ke isu pendidikan dan ketimpangan ekonomi. Pemerintahan Bastian Piñera awalnya merespons dengan tindakan represif, namun tekanan rakyat memaksa mereka membuka dialog. Partai oposisi, seperti Partido Socialista dan Frente Amplio, mendorong reformasi struktural, menghasilkan kesepakatan lintas partai yang memberikan kanal politik formal bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi. 

     

    Sebaliknya, di Prancis pada 2018, gerakan “Yellow Vests” dipicu kenaikan pajak bahan bakar, yang memicu demonstrasi besar, penjarahan, dan bentrokan dengan aparat. Partai oposisi seperti La France Insoumise dan Rassemblement National berusaha mengambil peran, tetapi ditolak massa yang tidak ingin gerakan mereka diklaim sebagai agenda partai. Presiden Macron akhirnya mencabut pajak bahan bakar dan meluncurkan “Grand Débat National”, sebuah forum dialog langsung dengan rakyat. 

     

    Dari kedua kasus ini, kita belajar bahwa partai politik bisa menjadi jembatan penyelesaian konflik, seperti di Chile, atau justru kehilangan relevansi jika gagal merangkul rakyat, seperti di Prancis.

     

     

    Di Indonesia, partai politik bukan hanya berkuasa di parlemen, tetapi juga di setiap lini pemerintahan. Mulai dari penyusunan kabinet, penempatan pejabat di lembaga negara, kepala daerah, hingga posisi direksi dan komisaris, semua dipengaruhi rekomendasi partai. Realitas ini diperparah dengan praktik di bawah meja yang menjadi “ciri khas” Indonesia. Dengan kekuatan sebesar ini, pertanyaannya: apa peran partai dalam mendamaikan gejolak sosial-politik? Apakah partai hanya sibuk mengumpulkan “setoran” dari gaji, tunjangan, atau proyek-proyek yang digarap kadernya? 

     

    Di tingkat akar rumput, partai politik juga punya pengaruh besar. Keberadaan mereka di parlemen dan pemerintahan tak lepas dari dukungan rakyat saat pemilu, yang sering disebut sebagai “pesta demokrasi”. Saat kampanye, partai mendekati rakyat, membentuk komunitas kecil untuk menjaga simpati pemilih dengan janji-janji kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan. Namun, setelah pemilu, komunikasi ini meredup. Partai seolah hanya hadir saat butuh suara, bukan saat rakyat butuh didengar. Apakah sarasehan dengan rakyat hanya agenda musiman menjelang pemilu? Mengapa partai tidak menggelar dialog serupa di tengah situasi krisis seperti sekarang? 

     

    September Hitam: Ancaman Ketidakstabilan

     

    Hari ini, kita memasuki bulan yang kelam dalam sejarah Indonesia: “September Hitam”. Tragedi Semanggi II, pembunuhan Munir Said Thalib, dan peristiwa G30S/PKI menjadi pengingat betapa rapuhnya keadilan sosial di negeri ini. Di tengah dinamika politik saat ini, kabar tentang partai politik lebih banyak berputar pada manuver elit: Nasdem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya, Golkar menonaktifkan Adies Kadir, sementara Gerindra, PDIP, dan PKS setuju menghapus tunjangan rumah DPR setelah protes publik. Bahkan, Presiden memanggil ketua umum partai ke Istana Negara. Semua ini mengesankan bahwa partai politik adalah penguasa sejati republik ini, tapi apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat? 

     

    Upaya partai saat ini masih jauh dari optimal, terutama jika dibandingkan dengan kekuatan besar yang mereka miliki di setiap lini pemerintahan. Jika eskalasi ketidakstabilan sosial-politik terus diabaikan, rakyat didiskriminasi, kebebasan berekspresi dibatasi, dan aspirasi tidak terpenuhi, maka risiko terburuk mengintai: revolusi rakyat. Partai politik bisa kehilangan legitimasi, digantikan oleh gerakan rakyat yang akan menentukan arah bangsa.

     

    Ke Mana Partai Harus Melangkah?

     

    Partai politik harus kembali ke akarnya: rakyat. Mereka harus membuka ruang dialog yang intensif, bukan hanya saat pemilu, tetapi juga di saat krisis. DPR perlu menjalankan prinsip partisipasi bermakna dengan sungguh-sungguh, mendengar dan mempertimbangkan aspirasi rakyat, bukan sekedar menjalankan instruksi pimpinan partai, sekalipun tidak bisa dilepaskan karena realitas yang tersistemik dan sudah menjadi tradisi antara partai dengan kadernya di parlemen, maka sebaik-baiknya instruksi ‘pimpinan partai’ adalah untuk membersamai dan mendengarkan secara utuh aspirasi rakyat. 

    Jika partai gagal menjadi jembatan antara rakyat dan negara, mereka tidak hanya kehilangan kepercayaan, tetapi juga relevansi di mata rakyat. September ini, partai politik punya pilihan: menjadi solusi atau bagian dari masalah. Pilihan ada di tangan mereka, dan waktu terus berjalan. 

    *(Penulis adalah Director of Diplomacy and Foreign Affairs, Indonesia South-South Foundation)

  • Apa Itu Black Mamba? Benda Viral yang Jadi Sorotan Usai Penjarahan di Rumah Ahmad Sahroni

    Apa Itu Black Mamba? Benda Viral yang Jadi Sorotan Usai Penjarahan di Rumah Ahmad Sahroni

    FAJAR.CO.ID — Istilah “Black Mamba” ramai menjadi perbincangan di media sosial setelah beredarnya foto sebuah benda berwarna hitam pasca penjarahan di rumah politikus Partai Nasdem, Ahmad Sahroni.

    Istilah “Black Mamba” dan potongan gambar tersebar luas melalui unggahan media sosial. Benda itu disebut-sebut ditemukan di kediaman Ahmad Sahroni setelah aksi penjarahan di rumah anggota DPR RI itu pada Sabtu (30/8/2025) lalu.

    Spekulasi liar pun beredar di kalangan warganet terkait penemuan benda yang disebut dengan istilah “Black Mamba” itu.

    Ada yang menanggapinya dengan satire, namun tak sedikit pula yang mempercayainya seolah-olah kabar itu benar.

    Situasi inilah yang membuat nama Ahmad Sahroni, mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, kembali jadi bahan perbincangan hangat.

    Klarifikasi: Hoaks Benda Black Mamba di Rumah Sahroni

    Di tengah ramainya isu tersebut, muncul klarifikasi dari akun X (Twitter) bernama @KPHYudi.

    Dalam unggahannya, ia menegaskan bahwa kabar soal penemuan benda berbentuk dildo di rumah Sahroni adalah hoaks.

    “Tidak ada fakta yang mendukung kabar itu. Isu ini jelas sengaja digoreng untuk memperkeruh opini publik,” tulisnya.

    Ia pun mengingatkan masyarakat agar tidak mudah percaya pada informasi yang sumbernya tidak jelas.

    Apa Itu Black Mamba?

    Secara umum, Black Mamba dikenal sebagai nama salah satu spesies ular paling berbahaya di Afrika.

    Ular ini terkenal dengan bisa yang sangat mematikan.

    Karena sifatnya yang mematikan, istilah Black Mamba kerap digunakan secara kiasan untuk menggambarkan sesuatu yang menakutkan, misterius, atau berisiko tinggi.

  • Hoaks! Prabowo minta rakyat jarah rumah Bahlil dan Sri Mulyani

    Hoaks! Prabowo minta rakyat jarah rumah Bahlil dan Sri Mulyani

    Jakarta (ANTARA/JACX) – Sebuah unggahan foto di TikTok memperlihatkan Presiden Indonesia ke-8, Prabowo Subianto. Foto tersebut diberi narasi bahwa setelah rumah Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni dijarah, Prabowo meminta rakyat juga menjarah rumah pejabat lain, seperti Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Anggota Komisi IX DPR Uya Kuya, dan Wakil Ketua Komisi VI DPR Eko Patrio.

    Narasi dalam unggahan itu berbunyi:

    “Setelah rumah Ahmad Sahroni, Prabowo minta rakyat untuk jarah rumah Bahlil, Eko, Sri Mulyani, dan Uya Kuya hari ini juga.”

    Namun, benarkah Prabowo minta rakyat jarah rumah Bahlil dan Sri Mulyani?

    Unggahan yang menarasikan Prabowo minta rakyat jarah rumah Bahlil dan Sri Mulyani. Faktanya, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin juga menegaskan bahwa Presiden Prabowo justru memerintahkan aparat kepolisian dan TNI untuk menindak tegas pelaku penjarahan rumah pejabat.

    Penjelasan:

    Namun, pernyataan tersebut tidak benar. Berdasarkan penelusuran, tidak ada pernyataan Presiden Prabowo yang meminta rakyat melakukan penjarahan.

    Foto yang digunakan dalam unggahan itu sebenarnya berasal dari akun Instagram Kementerian Sekretariat Negara.

    Dalam unggahan asli, Presiden Prabowo menyampaikan keprihatinan atas insiden demonstrasi pada Kamis (28/08/2025) malam yang menewaskan seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan. Pernyataan itu disampaikan dari kediaman pribadinya di Hambalang, Bogor, pada Jumat (29/08/2025).

    Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin juga menegaskan bahwa Presiden Prabowo justru memerintahkan aparat kepolisian dan TNI untuk menindak tegas pelaku penjarahan rumah pejabat.

    Ia menyampaikan bahwa Presiden menugaskan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto agar mengambil langkah tegas untuk menjaga keamanan fasilitas pribadi, pejabat, maupun negara.

    “Dengan memperhatikan faktor-faktor keamanan baik yang dimiliki secara individu, pribadi, pejabat, maupun institusi negara, beliau menugaskan kepada kepala Polri dan panglima TNI untuk tidak ragu-ragu mengambil langkah-langkah yang terukur dan tegas terhadap terjadinya kegiatan pelanggaran hukum maupun pelanggaran terhadap penegakan hukum,” kata dia, dilansir dari ANTARA.

    Klaim: Prabowo minta rakyat jarah rumah Bahlil dan Sri Mulyani

    Pewarta: Tim JACX
    Editor: M Arief Iskandar
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Penonaktifan Sahroni dkk: Parpol Serius atau Setengah Hati?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 September 2025

    Penonaktifan Sahroni dkk: Parpol Serius atau Setengah Hati? Nasional 2 September 2025

    Penonaktifan Sahroni dkk: Parpol Serius atau Setengah Hati?
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    DI PENGUJUNG
    Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto mengundang ketua umum dari delapan partai politik yang mendukung pemerintahannya ke Istana Merdeka, Jakarta.
    Bersama mereka hadir pula tiga pemimpin lembaga negara, yakni ketua DPR, DPD dan MPR. Di antara delapan ketua umum partai, cuma ketum Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang tidak bisa hadir karena sedang berada di luar negeri dan luar kota. Keduanya diwakili pentolan dari kedua partai tersebut.
    Saya mencatat, ini adalah pertemuan terlengkap di mana pemimpin eksekutif duduk bareng dengan legislatif di Istana.
    Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berasal dari delapan partai politik sehingga seluruh ketua umumnya diundang, tidak terkecuali Megawati Soekarnoputri yang belum lama ini didapuk kembali menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan.
    Kehadiran Mega di Istana bersama ketua umum dari parpol yang menyokong Prabowo adalah yang pertama, tak ayal menerbitkan analisis dan spekulasi.
    Mereka berkumpul tatkala negeri kita sedang berduka akibat demonstrasi luas di sejumlah kota yang dipicu kematian pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.
    Pemuda ini ditabrak dan dilindas kendaraan taktis Brigade Mobil Polri di Pejompongan, Jakarta. Skala kemarahan rakyat mengingatkan peristiwa Mei 1998.
    Kini amuk massa dan penjarahan menjangkau rumah anggota DPR serta menteri keuangan yang dianggap tidak peduli dengan nasib rakyat serta menyulut kemarahan publik–terutama di media sosial.
    Dalam beberapa saat, kita pun bertanya menyangkut kesanggupan negara dalam menjamin rasa aman dan ketertiban umum.
    Dengan latar belakang Indonesia yang sedang menangis itulah para pemimpin berkumpul. Presiden Prabowo tampak benar ingin selalu menjaga persatuan dengan elite partai politik serta lembaga negara.
    Prabowo ingin langkah-langkahnya memulihkan keadaan disokong penuh oleh tetamunya yang hadir–entitas yang menentukan politik nasional.
    Pesannya elite nasional bersatu, sudah seharusnya rakyat juga bersatu–meredakan amarah dan melanjutkan kegiatan seperti sediakala atau normal. Pendek kata “Indonesia harus reset” untuk menapaki sejarah panjang menuju adil dan makmur.
    Dari sekian banyak yang dipaparkan oleh presiden, apakah hal itu dapat “menyembuhkan luka” rakyat? Ini yang kita ingin dengar dari presiden dan karena itu membetot perhatian khalayak luas.
    Sekurang-kurangnya dua hal yang berkaitan dengan DPR. Pertama, ketua umum partai politik telah memberi sanksi kepada anggota DPR dari partainya yang dianggap menciderai perasaan rakyat.
    Partai Nasdem menon-aktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Begitu juga PAN melakukan hal yang sama kepada Eko Patrio dan Uya Kuya. Partai Golkar pun menon-aktif Adies Kadir sebagai anggota DPR per 1 September 2025.
    Kedua, mencabut tunjangan rumah untuk anggota DPR serta moratorium kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri.
    Dua hal ini memiliki tali-temali atau setidaknya berkontribusi atas mencuatnya demonstrasi 25 Agustus 2025 dan diikuti demo lanjutan hingga berkulminasi pada tragedi Pejompongan.
    Kedua hal ini perlu diperjelas agar tidak multitafsir. Istilah non-aktif yang diberlakukan oleh Nasdem, PAN dan Golkar untuk menindak wakil mereka di DPR agak problematis.
    Apakah itu berarti Sahroni, Nafa, Eko, Uya dan Adies dicopot dari keanggotaannya di DPR? Atau ini sekadar “dinon-aktifkan”, lalu ketika situasinya berlangsung normal mereka akan diaktifkan lagi?
    Keputusan “non-aktif” itu berlaku di intern partai politik atau menyangkut lembaga DPR? Non-aktif bisa saja diterjemahkan posisi Sahroni dan lain-lain itu dikosongkan oleh partainya: Nasdem, PAN dan Golkar.
    Bila sanksi kepada lima anggota DPR itu cuma sanksi internal partai, kita ragu dan khawatir kejadian di akhir Agustus 2025, bakal memberi pelajaran kepada anggota DPR dan partai politik.
    Pakar pemilu Titi Anggraini menyatakan istilah non-aktif diatur dalam UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
    Namun, istilah itu spesifik untuk pemimpin atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang sedang diadukan. Mekanisme non-aktif bukan untuk anggota DPR secara umum, tegas pengajar di Fakultas Hukim UI ini (
    Hukumonline.com
    , 1/9/2024).
    Lumayan tidak lumrah jika partai politik menggunakan istilah non-aktif untuk memberi sanksi anggotanya itu. Padahal keadaan negeri sedang “gelap” dan sensitif.
    Jika partai politik mendengar dan terkoneksi dengan aspirasi rakyat–terutama mereka yang mau melawan terik matahari saat demonstrasi–seharusnya tiga partai politik itu melakukan Penggantian Antarwaktu (PAW).
    Ini lebih jelas, tegas dan tidak setengah-setengah. Toh, intensi dan tujuan dari tiga partai politik itu adalah memberi sanksi.
    Jika kita cermat, partai politik memberi “sanksi” kepada anggotanya dengan “wait and see”.
    Tengok saja Ahmad Sahroni. Pada 29 Agustus 2025, ia dicopot dari posisinya sebagai wakil ketua Komisi III DPR. Ia lalu dipindah menjadi anggota Komisi I DPR. Dua hari kemudian, Nasdem menon-aktifkan Sahroni bersama Nafa Urbach.
    “Dengan ini DPP Partai NasDem menyatakan terhitung sejak hari Senin, 1 September 2025, DPP Partai NasDem menonaktifkan saudara Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem,” kata Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim, dalam keterangan resminya, Minggu (
    Kompas.com
    , 31/8/2025).
    Lebih afdol ditempuh PAW. Ini adalah proses pergantian antarwaktu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang berhenti antarwaktu untuk digantikan oleh pengganti antarwaktu yang diambil dari daftar calon pengganti.
    Yang bisa menggantikan pun tidak sembarangan, tidak bisa suka-suka partai politik. PAW diatur mengikuti prinsip adil dan berbasis daerah pemilihan (distrik).
    Kita masih ingat PAW anggota DPR dari PDI Perjuangan pernah menerbitkan skandal ketika ada uang suap ke anggota KPU tahun 2020.
    Hingga kini, Harun Masiku yang diplot menggantikan anggota DPR terpilih dari dapil 1 Sumatera Selatan masih buron dan tidak sanggup ditangkap oleh KPK.
    Adapun Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang terbukti terlibat dalam praktik suap ini di pengadilan Tipikor akhirnya bebas karena diberi amnesti oleh presiden.
    Jika tiga partai politik tadi serius, sebaiknya mekanisme PAW diberlakukan. Ganti lima anggota DPR tadi dengan pengganti dari daerah pemilihan mereka berasal. Ini lebih representatif, lebih mewakili rakyat di dapil tersebut.
    Beda halnya jika sanksi untuk lima anggota DPR sekadar “membaca arah angin”. Lebih sensitif lagi jika sanksi lewat penonaktifan itu tidak menghentikan gaji serta fasilitas yang melekat pada anggota DPR.
    Alih-alih menyembuhkan “luka” rakyat, mekanisme non-aktif justru dapat memperkeruh suasana.
    Pokok soal lainnya, yakni pencabutan tunjangan rumah buat anggota DPR. Dalam catatan saya, ini juga tidak terlalu maju. Ini sekadar perulangan dari pernyataan wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan fraksi PDI Perjuangan di DPR.
    Awalnya cuma berlaku sampai Oktober 2025. Lalu PDI-P menyatakan setuju untuk menghentikan, kemudian Presiden Prabowo menyatakan tunjangan itu akan dicabut oleh DPR.
    Pertanyaannya dicabut mulai kapan? Lalu, apa pengganti fasilitas rumah di DPR? Apakah kembali ke rumah jabatan anggota (RJA) di Kalibata dan Ulujami, Jakarta?
    Padahal RJA ini disebut telah rusak dan tidak layak huni. Publik bertanya-tanya, apakah pencabutan tunjangan rumah senilai Rp 50 juta itu tidak dikompensasi?
    Jika iya, tidak dikompensasi apapun, berarti anggota DPR terutama yang berasal dari luar Jakarta harus menggunakan sebagian dari penghasilannya untuk mengontrak rumah.
    Ini pesan yang baik, meskipun publik terus meraba-raba karena ketua DPR Puan Maharani tidak menjelaskan poin-poin detail atas keputusan “mencabut” tunjangan rumah untuk anggota DPR ini.
    Dan inilah keunikan DPR periode ini. Komunikasi yang super penting untuk meredam spekulasi di luar, tidak dilakukan dengan baik.
    Seusai demo 25 Agustus 2025, yang bicara ke publik justru Sufmi Dasco Ahmad, bukan Puan Maharani sebagai nakhoda DPR.
    Saat ini adalah momentum yang baik untuk menunjukkan kepemimpinan di masa krisis. Toh Puan sebagai ketua DPR yang hadir di Istana Merdeka bersama ketua MPR, DPD dan ketua umum parpol pemilik kursi di DPR.
    Di masa krisis, seorang pemimpin tidak bisa bertindak biasa-biasa saja. Pemimpin dituntut proaktif.
    Kepemimpinan krisis mencakup eksplorasi skenario potensial dan pengembangan rencana komunikasi serta respons.
    Namun, lebih dari itu pemimpin di masa krisis juga perlu berpikir strategis dan mengambil keputusan cepat untuk meminimalkan dampak. Hari-hari ini kita butuh pemimpin yang seperti itu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nonaktif Anggota DPR Sekadar Formalitas, Parpol Tak Berani Tegas?

    Nonaktif Anggota DPR Sekadar Formalitas, Parpol Tak Berani Tegas?

    Bisnis.com, JAKARTA — Polemik status “nonaktif” yang disematkan sejumlah partai politik kepada kadernya di DPR mendapat sorotan dari publik.

    Khususnya, agar setiap nahkoda partai segera melakukan pergantian antarwaktu (PAW) terhadap anggota yang dianggap bermasalah.

    Sayangnya, pimpinan partai tampak enggan mengambil langkah tegas. Beberapa partai sebelumnya telah menyatakan menonaktifkan kader mereka di DPR. Meski begitu, keputusan tersebut menuai kritik lantaran dianggap hanya bersifat simbolis tanpa dasar hukum yang jelas.

    Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, saat dimintai tanggapan mengenai desakan PAW, tidak memberikan jawaban tegas. Ia hanya mengulangi sikap partai soal status Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir.

    “Kemarin dari DPP Golkar seperti yang sudah disampaikan sekjen, bahwa Pak Adies Kadir sudah dinonaktifkan,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (1/9/2025).

    Ketika ditanya lebih lanjut mengenai hak-hak anggota DPR yang berstatus nonaktif, termasuk soal gaji, Bahlil kembali menghindar.

    “Iya nanti kita lihat,” kata Bahlil singkat.

    Hal serupa terlihat dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Saat dicecar pertanyaan terkait kemungkinan PAW terhadap Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio, Zulhas memilih diam dan langsung menuju mobilnya.

    Sikap yang tidak lugas dari para pimpinan partai tersebut semakin memperkuat persepsi publik bahwa kebijakan “nonaktif” hanyalah langkah sementara untuk meredam kritik, bukan upaya serius dalam menegakkan akuntabilitas politik.

    Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana, menilai istilah tersebut tidak memiliki dasar hukum dan lebih merupakan keputusan politik semata.

    “Nonaktif ini bukan istilah hukum, ini adalah keputusan politik. Kalau dalam hukum itu adanya pergantian antar waktu, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap,” ujar Denny saat dihubungi Bisnis, Senin (1/9/2025).

    Dia menjelaskan, pemberhentian sementara hanya berlaku dalam kondisi tertentu, seperti ketika anggota dewan menjadi tersangka atau terdakwa. Sementara itu, status nonaktif tidak pernah diatur dalam undang-undang.

    “Jadi nonaktif ini istilah yang tidak muncul dalam undang-undang, sehingga lebih bersifat politis dari langkah yang diambil partai untuk meredakan ketegangan dengan publik. Tapi konsekuensi hukumnya tidak jelas,” tegasnya.

    Denny menilai, perdebatan soal nonaktif seharusnya menjadi momentum untuk mendorong reformasi yang lebih mendasar.

    “Yang harus ditargetkan bukan hanya anggota dewan yang dijatuhi sanksi, tetapi lebih jauh adalah reformasi DPR dan reformasi partai politik. Karena anggota dewan yang relatif bermasalah hadir lewat proses rekrutmen dan pemilu yang juga bermasalah,” ujarnya.

    Hal senada disampaikan pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Ia menegaskan bahwa istilah nonaktif tidak dikenal dalam Undang-Undang MD3, sehingga anggota DPR yang dinyatakan nonaktif oleh partai tetap berhak menerima gaji dan tunjangan.

    “Ya, karena istilah nonaktif itu tidak dikenal dengan Undang-Undang MD3, sehingga tidak bermakna nonaktif itu diberhentikan. Tentu saja kalau tidak diberhentikan, segala haknya sebagai anggota masih akan mereka dapatkan,” jelas Feri.

  • Profil Ahmad Sahroni! Dari Anak Sopir Truk hingga jadi Legislator, Miliki Kekayaan Rp328,9 Miliar

    Profil Ahmad Sahroni! Dari Anak Sopir Truk hingga jadi Legislator, Miliki Kekayaan Rp328,9 Miliar

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ahmad Sahroni, politikus Partai Nasdem tengah menjadi sorotan publik usai pernyataannya yang kontroversial terkait desakan pembubaran DPR. Di balik polemik tersebut, rekam jejak hidup dan jumlah kekayaannya ikut menarik perhatian.

    Saat kunjungan kerja di Polda Sumatera Utara, Jumat (22/8/2025), Sahroni melontarkan pernyataan keras. “Mental manusia yang begitu adalah mental manusia tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma mental bilang bubarin DPR, itu adalah orang tolol sedunia,” ucapnya.

    Politisi kelahiran Jakarta, 8 Agustus 1977, itu juga menyarankan agar para anggota dewan bekerja dari rumah (WFH) lantaran adanya demonstrasi di depan Gedung DPR. “Karena, kan, kami enggak mau gini, ada hal-hal mungkin orang sudah masuk, susah keluar kayak kemarin. Pulang ribet, ke mana-mana susah. Makanya diimbau untuk WFH,” ujar dia.

    Kontroversi pernyataannya membuat Fraksi Partai Nasdem merotasi jabatannya dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI menjadi anggota Komisi I DPR RI.

    Latar Belakang Ahmad Sahroni

    Ahmad Sahroni, yang akrab disapa Roni, berasal dari keluarga sederhana di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Orang tuanya berdagang nasi Padang di Pelabuhan Tanjung Priok. Sejak kecil, ia sudah bekerja serabutan, mulai dari tukang semir sepatu hingga ojek payung.

    Meski sempat tidak langsung melanjutkan kuliah setelah lulus SMA Negeri Baru Cilincing (sekarang SMA Negeri 114 Jakarta), Roni akhirnya menyelesaikan pendidikan tinggi. Ia meraih gelar S-1 di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Pelita Bangsa pada 2009, lalu gelar S-2 di Stikom InterStudi, dan menuntaskan pendidikan doktor Ilmu Hukum di Universitas Borobudur pada 2024.

  • NasDem Nonaktifkan Sahroni dan Nafa dari DPR, Netizen: Akhirnya

    NasDem Nonaktifkan Sahroni dan Nafa dari DPR, Netizen: Akhirnya

    Jakarta

    Partai NasDem resmi menonaktifkan dua anggota DPR dari fraksinya, yakni Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Netizen merasa bahwa ini merupakan langkah yang tepat.

    “Bahwa atas pertimbangan hal-hal tersebut di atas dengan ini DPP Partai NasDem menyatakan terhitung sejak hari Senin, 1 September 2025, DPP Partai NasDem menonaktifkan saudara Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem,” demikian pernyataan resmi Partai NasDem dari siaran pers yang ditandatangani Ketum NasDem, Surya Paloh, dan Sekjen NasDem, Hermawi Taslim, dikutip dari detikNews, Minggu (31/8/2025).

    Tentunya kabar ini langsung menarik perhatian netizen. Banyak yang memberikan tanggapannya terkait keputusan yang diambil Partai NasDem. Tidak sedikit dari warganet mengapresiasinya.

    “Sangat bagus pemikiran yang bijak dari Nasdem untuk mengnonaktifkan 2 orang anggota DPR nya,” tambah @pil*****.

    Namun tetap masih ada yang belum puas. Menurut netizen, pemecatan merupakan pertimbangan paling tepat dibanding menonaktifkannya saja.

    “Kurang puas, tetep kudu dipecat sih,” jelas @n.an*****.

    Terlepas dari itu, netizen yang lain masih memaklumi, karena setidaknya ada tindakan yang diambil oleh partainya. Berikut beberapa reaksi warganet terkait Sahroni dan Nafa yang dinonaktifkan dari DPR.

    “Rumah dijarah , jabatan hilang, mudah bagi Allah merubah keadaan seseorang. Maka yang sedang berjuang, terus lah berusaha, yang sedang di atas lihatlah mudah bagi Allah menghilangkan semuanya . Salam damai,” ujar @usi*****.

    “Akhirnya,” imbuh @mol*****.

    “Kshan mb nafa urbach, bru kmrn blm ckup sethun kepilih mlah di nonaktfkan sj, ikut prihatin mb, turut bersedih. smga dilapangakn hati u ya mb. semngat mb nafa,” ucap @hur*****.

    “Ini baru keputusan yang tepat, sudah seharusnya para partai partai mengevaluasi parah kader nya di DPR, kader yang menyakiti rakyat harus di pecat, Terimakasih @official_nasdem sudah mengambil keputusan yang tepat, kapan giliran @amanatnasional , @pdiperjuangan , dan partai lainnya untuk menonaktifkan kader nya di DPR yang tidak layak mewakili rakyat,” jelas @ric*****.

    “Nahh ini baru bener pak @official_nasdem,” puji @lal*****.

    “Alhamdulillah… pelan pelan di dengar oleh petinggi partainya,” tambah dian*****.

    Sebelumnya, Sahroni telah turun jabatan dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Surat itu bernomor F.NasDem.758/DPR-RI/VIII/2025. Sahroni kemudian ditempatkan sebagai Anggota Komisi I DPR.

    Sementara, Nafa Urbach merupakan Bendahara Fraksi NasDem di DPR RI. Dia duduk di Komisi IX DPR.

    (hps/fay)

  • Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dinonaktifkan sebagai anggota DPR RI

    Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dinonaktifkan sebagai anggota DPR RI

    Jakarta (ANTARA) – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem memutuskan untuk menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach sebagai anggota DPR RI dari Fraksi NasDem setelah mencermati dinamika yang terjadi saat ini.

    Surat keputusan penonaktifan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach itu diteken Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Sekretaris Jenderal Partai NasDem Hermawi Taslim. Dengan keputusan itu, Sahroni dan Nafa Urbach sudah tak lagi menjadi anggota DPR RI terhitung mulai Senin, 1 September 2025.

    “Bahwa sesungguhnya aspirasi masyarakat harus tetap menjadi acuan utama dalam perjuangan Partai NasDem,” kata Hermawi di Jakarta, Minggu.

    Atas berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, dia menegaskan bahwa Partai NasDem berbelasungkawa yang mendalam atas wafatnya sejumlah warga negara Indonesia dalam upaya memperjuangkan aspirasinya.

    Dia juga mengatakan bahwa pernyataan para wakil rakyat yang telah menyinggung dan mencederai perasaan rakyat merupakan penyimpangan terhadap perjuangan Partai NasDem.

    “Perjuangan Partai NasDem sesungguhnya merupakan kristalisasi dan semangat kerakyatan yang senantiasa bertumpu pada tujuan nasional bangsa Indonesia, sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945,” kata Hermawi.

    Sebelumnya, Ahmad Sahroni juga sudah dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Selain itu, rumah Sahroni di kawasan Tanjung Priok, Jakarta, pun dirusak dan dijarah oleh massa.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.